BAB II
TINJAUAN TEORITIS MENGENAI KETENAGAKERJAAN, PERJANJIAN KERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, DAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA
A.Perlindungan Hukum
Perngertian perlindungan buruh atau arbeidsbescherming (dalam bahasa belanda), employee protection (dalam Bahasa Inggris) adalah perlindungan yang diberikan dalam lingkungan kerja itu sendiri, dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik dan teknis serta sosial ekonomi melalui norma yang berlaku.23
Menurut Imam Soepomo membagi perlindungan pekerja ini menjadi 3 (tiga) macam, yaitu sebagai berikut :
a. Perlindungan Ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya,termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu di luar kehendaknya. Perlindungan ini disebut dengan jaminan sosial.
23Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Kencana, Jakarta, 2011, Hlm. 274.
b. Perlindungan Sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengeyam dan mengembangkan perikehidupannya sebagai manusia pada umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga atau yang bisa disebut kesehatan kerja.
c. Perlindungan Teknis, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerjaan dari bahaya yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerjaan dari bahaya kecelakaan yang ditimbulkan oleh pesawat-pesawat atau alat kerja lainnya atau oleh bahan yang diolah atau dikerjakan perusahaan. Perlindungan jenis ini disebut dengan keselamatan kerja.24
Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja atau buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja atau buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.25
24Lalu Husni, Perlindungan Buruh (arbeidscherming), dalam Zainal Asikin, dkk, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, Hlm. 75-77.
25Abdul R. Saliman, Loc.cit, Hlm. 278.
B.Perjanjian Kerja
1. Pengertian Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601a KUHPerdata memberikan pengertian sebagai berikut :
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain,si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah.”
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 14 memberi pengertian yakni :
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.”
Menurut Subekti sebagaimana dikutip Abdul Khakim :26
“Perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dan seorang majikan, perjanjian mana ditandai dengan ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas (dienstverhoeding), dimana pihak majikan berhak memberikan perintah- perintah yang harus ditaati oleh pihak lain.”
26Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, Hlm. 55.
Menurut Imam Soepomo menyatakan bahwa :27
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh) mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah dari pihak kedua yakni majikan dan majikan mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.”
2. Unsur-Unsur Perjanjian Kerja
Hubungan kerja tidak dapat dipisahkan dari perjanjian kerja karena syarat adanya hubungan kerja harus ada perjanjian kerja karena syarat adanya hubungan kerja harus ada perjanjian kerja. Karena itu dapat ditarik beberapa unsur dari perjanjian kerja yakni :28
2.1 Adanya Unsur Work atau Pekerjaan
Dalam suatu hubungan kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUHPerdata Pasal 1603a yang berbunyi :
27Imam Soepomo, Op Cit. Hlm. 51.
28Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, Hlm.63-64.
“Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya.”
Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan keterampilan dan keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.
2.2 Adanya Unsur Perintah (Command)
Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerjaan yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Disinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan lainnya, misalnya hubungan antara dokter dengan pasien, pengacara dengan klien. Hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja karena dokter, pengacara tidak tunduk pada perintah pasien atau klien.
2.3 Adanya Upah (Pay)
Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja), bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja. Seperti seorang narapidana yang diharuskan untuk melakukan pekerjaan tertentu, seorang mahasiswa perhotelan yang sedang melakukan praktik lapangan di hotel.
3. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja merupakan bagian dari perjanjian pada umumnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Ketentuan ini juga tertuang dalam Pasal 52 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian dibuat atas dasar :
1. Kesepakatan kedua belah pihak;
2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
4. Bentuk dan Jangka Waktu Perjanjian Kerja
Menurut Pasal 51 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan perjanjian kerja dapat dibuat secara lisan dan/atau tertulis. Secara normatif bentuk perjanjian tertulis akan menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan atau persengketaan akan sangat membantu dalam proses pembuktian.
Namun tidak dapat disangka masih banyak perusahaan yang tidak atau belum membuat perjanjian kerja secara tertulis disebabkan karena
ketidakmampuan sumber daya manusia (SDM) maupun karena kezaliman, sehingga atas dasar kepercayaan membuat perjanjian kerja secara lisan.
Dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat keterangan :
a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. Jabatan atau jenis pekerjaan;
d. Tempat pekerjaan;
e. Besarnya upah dan cara pembayaran;
f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;
i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu disebut dengan perjanjian kerja kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap. Sedangkan untuk perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tidak tertentu biasanya disebut dengan perjanjian kerja tetap dan status pekerjaannya adalah pekerja tetap.
Didalam Pasal 57 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis. Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih
menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja. Perjanjian kerja untuk waktu tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan.
Dalam Pasal 59 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai atau sementara sifatnya :
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau bersifat sementara b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun c. Pekerjaan yang bersifat musiman
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
5. Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja
5.1 Kewajiban Buruh/Pekerja
Dalam KUHPerdata ketentuan mengenai kewajiban buruh/pekerja diatur dalam pasal 1603, 1603a, 1603b, 1603c KUHPerdata yang pada intinya adalah sebagai berikut :29
29Ibid, Hlm. 68-71
1. Buruh /pekerja wajib melakukan pekerjaan; melakukan pekerjaan adalah tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri, meskipun demikian dengan seizin pengusaha dapat diwakilkan. Untuk itulah mengingat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja yang sangat pribadi sifatnya karena berkaitan dengan keterampilan dan keahliannya, maka berdasarkan ketentuan perundang- undangan jika pekerja meninggal dunia, maka hubungan kerja berakhir dengan sendirinya (PHK dengan hukum).
2. Buruh/pekerja wajib menaati aturan dan petunjuk majikan/pengusaha; dalam melakukan pekerjaan buruh/pekerja wajib menaati petunjuk yang diberikan oleh pengusaha. Aturan yang wajib ditaati oleh pekerja sebaiknya dituangkan dalam peraturan perusahaan sehingga menjadi jelas ruang lingkup dari petunjuk tersebut.
3. Kewajiban membayar ganti rugi dan denda; juka buruh/pekerja melakukan perbuatan yang merugikan perusahaan baik karena kesengajaan atau kelalaian, maka sesuai dengan prinsip hukum pekerja wajib membayar ganti-rugi dan denda.
5.2 Kewajiban Pengusaha
1. Kewajiban membayar upah; dalam hubungan kerja kewajiban utama bagi pengusaha adalah membayar upah
kepada pekerjanya secara tepat waktu. Campur tangan pemerintah dalam menetapkan upah ini penting guna menjaga agar jangan sampai besarnya upah yang diterima oleh pekerja terlampau rendah sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya meskipun secara minimum sekalipun.
2. Kewajiban memberikan istirahat/cuti; pihak majikan/pengusaha diwajibkan untuk memberikan istirahat kepada pekerja. Selain itu pengusaha juga berkewajiban memberikan cuti tahunan kepada pekerja secara teratur.
3. Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan;
perlindungan bagi tenaga kerja yang sakit, kecelakaan, kematian telah dijamin melalui perlindungan Jamsostek sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, atau sekarang jaminan sosial tenaga kerja tersebut telah diatur dalam BPJS ketenagakerjaan
4. Kewajiban memberikan surat keterangan; kewajiban ini didasarkan pada kententuan Pasal 1602a KUHPerdata yang menentukan bahwa majikan/pengusaha wajib memberikan surat keterangan yang diberi tanggal dan ditanda tangan.
Surat keterangan itu penting artinya sebagai bekal pekerja
dalam mencari pekerjaan baru, sehingga ia diperlakukan sesuai dengan pengalaman kerjanya.
Kewajiban pekerja/buruh yang telah disebut diatas merupakan hak pengusaha atau pemberi kerja, sebaliknya kewajiban pengusaha merupakan hak perkerja.
C.Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
1. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Menurut Halim, pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah suatu langkah pengakhiran hubungan kerja antara buruh dan majikan karena suatu hal tertentu.30
Pemutusan Hubungan Kerja berdasarkan Pasal 1 angka 25 Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 :
“Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha.”
Pemutusan hubungan kerja ini berdasarkan ketentuan Pasal 150 Undang- Undang No.13 Tahun 2003 meliputi PHK yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha
30Eko Wahyudi dkk, Hukum Ketenagakerjaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, Hlm. 89.
lainnya yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.31
2. Ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja
Pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan suatu peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya, khususnya dari kalangan pekerja karena Dengan PHK pekerja yang bersangkutan akan kehilangan mata pencahariannya untuk menghidupi diri dan keluarganya, karena semua pihak yang terlibat dalam hubungan Industrial (pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah), dengan segala upaya harus mengusahakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pasal 153 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan :32
a) Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus menerus;
b) Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
31Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Hlm.
158.
32Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2014, Hlm. 175.
c) Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d) Pekerja menikah;
e) Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f) Pekerja mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya didialam suatu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja sama;
g) Pekerja mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja, pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h) Pekerja yang mengadukan pengusaha kepada pihak yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i) Karena berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j) Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat
keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dipastikan.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud diatas ialah batal demi hukum dan pengusaha wajib untuk mempekerjakan kembali perkerja yang bersangkutan.
Menurut Pasal 151 ayat 3 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, jika pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), maka terlebih dahulu dirundingkan dengan serikat pekerja atau dengan pekerja yang bersangkutan jika tidak menjadi anggota serikat pekerja. Apabila perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Apabila pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa penetapan dari lembaga yang berwenang maka batal demi hukum, terkecuali alasan-alasan yang disebutkan dalam Pasal 154 Undang- Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
3. Jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Pemutusan hubungan kerja (PHK) secara teoritis terbagi dalam empat macam, yaitu pemutusan hubungan kerja (PHK) demi hukum, pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pengadilan, pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh buruh atau pekerja, dan pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pengusaha. Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terakhir tampaknya lebih dominan diatur dengan ketentuan ketenagakerjaan. Hal ini karena pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh
pengusaha sering tidak diterima oleh pekerja, sehingga menimbulkan permasalahan.33
3.1 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) demi hukum
Pemutusan hubungan kerja (PHK) demi hukum adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi dengan sendirinya secara hukum. Pasal 1603e KUHPerdata menyebutkan bahwa hubungan kerja berakhir demi hukum, jika habis waktunya yang ditetapkan dalam perjanjian dan dalam peraturan perundang- undang atau jika semua itu tidak ada, menurut kebiasaan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pemutusan hubungan kerja (PHK) demi hukum dalam praktik secara yuridis disebabkan oleh:
a. Berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu;
b. Pekerja telah mencapai usia pensiun yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama;
c. Pekerja meninggal dunia.
3.2 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh Pengadilan
Pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pengadilan ialah tindakan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena adanya putusan hakim pengadilan.
Dalam hal ini salah satu pihak (pengusaha, pekerja, atau keluarganya) mengajukan pembatalan perjanjian kepada pengadilan. Contohnya bila pengusaha
33Eko Wahyudi dkk, Hukum Ketenagakerjaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, Hlm. 90.
mempekerjakan anak dibawah umur (kurang dari 18 tahun), dimana wali anak tersebut mengajukan pembatalan perjanjian kerja kepada pengadilan.
3.3 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh Pekerja
Pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pekerja ialah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang timbul karena kehendak pekerja secara murni adanya rekayasa pihak lain. Dalam praktik bentuknya adalah pekerja yang mengundurkan diri dari perusahaan tempat ia bekerja.
Supaya tindakan pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pekerja tidak melawan hukum, maka pekerja bersangkutan harus memenuhi dua syarat, yaitu pengakhiran hubungan kerja dan memperhatikan tenggang waktu pengakhiran hubungan kerja sesuai Pasal 1603i KUHPerdata.34
Lebih lanjut, Pasal 162 ayat 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur syarat-syarat pengunduran diri yang harus dipenuhi oleh pekerja, antara lain:
a. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat- lambatnya 30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri.
b. Tidak terikat dalam ikatan dinas.
c. Tetap menjalankan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pekerja juga dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan
34Ibid, Hlm. 92.
Industrial (Pasal 169 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan), bila pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
a. Menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam pekerja.
b. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
c. Tidak membayar upah tepat waktu pada waktu yang telah ditentukan selama 3 kali berturut-turut atau lebih.
d. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja.
e. Memerintahkan pekerja untuk melakukan pekerjaan di luar yang dijanjikan.
f. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja, sedangkan pekerjaan tersebut tidak tercantum di dalam perjanjian kerja.
Terhadap pasal ini hendaknya pekerja untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan haknya, karena jika alasan-alasan yang diajukan benar-benar tidak terbukti berakibat pekerja yang bersangkutan dapat di-PHK oleh pengusaha tanpa harus adanya penetapan dan tidak berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja maupun penggantian hak lainnya.
3.4 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh Pengusaha
Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja dengan alasan pekerja telah melakukan kesalahan berat seabgai berikut :
a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan
c. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya dilingkungan kerja;
d. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. Menyerang, menganiaya, mengancam atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara;
j. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih (Pasal 158 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).
Kesalahan berat yang dimaksud harus didukung dengan bukti sebagai berikut:
1. Pekerja tertangkap tangan
2. Adanya pengakuan dari pekerja yang bersangkutan; atau
3. Bukti lainnya berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Apabila pekerja tidak menerima pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagaimana dimaksud dalam pasal 158 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, pekerja bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Jika pekerja ditahan oleh pihak berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Untuk 1 (satu) orang tanggungan: 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
2. Untuk 2 (dua) orang tanggungan: 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
3. Untuk 3 (tiga) orang tanggungan: 45% (empat puluh lima per seratus) dari upah;
4. Untuk 4 (empat) orang tanggungan: 50% (lima puluh perseratus) dari upah. (Pasal 160 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 2, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat 3, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 4.
Selain itu pengusaha juga dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja karena perusahaan tutup disebabkan oleh kerugian secara terus-menerus selama 2 (dua) tahun, keadaan memaksa dengan ketentuan pekerja berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali dengan ketentuan Pasal 156 ayat 2, uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat 3, dan uang pergantian hak sesuai dengan Pasal 156 ayat 4 (Pasal 164 ayat 1 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).
Pengusaha juga dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja karena persusahaan tutup bukan mengalami kerugian 2 (dua) tahun bertutrut-turut atau bukan keadaan memaksa tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja berhak atas pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat 2, uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat 3 dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 4 (Pasal 164 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).
Dalam Pasal 165 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juga disebutkan pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketetuan Pasal 156 ayat 2, uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali kententuan Pasal 156 ayat 3, dan uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat 4.
4. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Adapun prosedur pemutusan hubungan kerja (PHK) menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut :
1. Sebelumnya semua pihak (pengusaha, pekerja, maupun serikat pekerja) harus melakukan upaya untuk menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK);
2. Apabila tidak dapat dihindari, pengusaha dan serikat pekerja maupun pekerja mengadakan perundingan ;
3. Jika perundingan berhasil, membuat persertujuan bersama;
4. Apabila tidak berhasil, pengusaha mengajukan permohonan penetapan disertai dasar dan alasan-alasannya kepada Lembaga penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Menurut Shamad, khusus untuk penanganan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang di sebabkan keadaan perusahaan, seperti
rasionalisasi, resesi, ekonomi, dan lain-lain menyarankan sebelumnya agar melakukan upaya perbaikan seperti berikut:35
1. Bentuk perbaikan perusahaan melalui peningkatan efisiensi atau penghematan, antara lain:
a. Mengurangi shift (kerja giliran), apabila perusahaan menggunakan sistem shift;
b. Membatasi atau menghapus kerja lembur sehingga dapat mengurangi biaya tenaga kerja;
c. Bila upaya diatas belum berhasil, dapat dilakukan pengurangan jam kerja;
d. Meningkatkan usaha efisiensi, seperti mempercepat pensiun bagi pekerja yang kurang produktif;
e. Meliburkan atau merumahkan pekerja secara giliran untuk sementara waktu.
2. Apabila upaya-upaya butir pertama tidak berhasil untuk memperbaiki keadaan perusahaan, maka pengusaha terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan cara sebagai berikut:
a. Sebelumnya harus merundingkan dan menjelaskan kepada serikat pekerja mengenai keadaan perusahaan secara riil, agar mereka memahami alasan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh pengusaha.
35Ibid, Hlm. 98-99.
b. Bersama serikat pekerja merumuskan jumlah kriteria pekerja yang akan di-PHK.
c. Merundingkan persyaratan dalam melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara terbuka dan dilandasi dengan itikad baik.
d. Setelah persyaratan dalam melakukan pemutusan hubungan kerja disetujui bersama, selanjutnya dilakukan sosialisasi untuk dapat diketahui oleh seluruh pekerja sebagai dasar diterima atau tidaknya syarat- syarat tersebut.
e. Apabila sudah ada persetujuan dari masing-masing pekerja, ditetapkan prioritas pelaksanaan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada pekerja secara bertahap.
f. Pada saat penyelesaian pemutusan hubungan kerja (PHK) dibuat persetujuan bersama dengan menyebutkan besarnya uang pesangon dan lain-lain g. Selesai melaksanakan rangkaian diatas, dilakukan
rekapitulasi untuk dasar mengajukan permohonan izin ke Panitia Penyelesaian Pusat (P4P) melalui Kandepnaker setempat.
5. Penetapan Hak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Hak pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masih relevan tercantum pada Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP- 150/-MEN/200, yaitu sebagai berikut:
1. Uang pesangon, ialah pembayaran berupa uang dari pengusaha terhadap pekerja sebagai akibat adanya pemutusan hubungan kerja (PHK).
2. Uang penghargaan masa kerja, ialah uang jasa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 sebagai penghargaan pengusaha kepada pekerja dikaitkan dengan lamanya masa bekerja.
3. Ganti kerugian, ialah pembayaran berupa uang dari perusahaan kepada pekerja sebagai penggantian istirahat tahunan. Istirahat panjang , biaya perjalanan ketempat di mana pekerja diterima bekerja, fasilitas pengobatan, fasilitas perumahan, dan lain-lain yang ditetapkan oleh Panitia Penyelesaian Perselisihan Daerah (P4D) atau Panitia Penyelesaian Perselisihan Pusat (P4P) sebagai akibat adanya pengakhiran hubungan kerja.
D. Perselisihan Hubungan Industrial
Hubungan Industrial pada dasarnya merupakan suatu hubungan hukum yang dilakukan antara pengusaha dengan pekerja. Adakalanya hubungan itu
mengalami suatu perselisihan. Perselisihan itu dapat terjadi pada siapa pun yang sedang melakukan hubungan hukum.
Perselisihan dibidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan, baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerjasama maupun peraturan perundang-undangan.
Perselisihan hubungan industrial ini dapat pula disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja. Hal ini terjadi karena hubungan antara pekerja dan pengusaha merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan para pihak. Apabila satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut, sulit bagi para pihak untuk mempertahankan hubungan yang harmonis. Oleh karena itu, perlu dicari jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk menentukan bentuk penyelesaian, sehingga Pengadilan Hubungan Industrial yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 akan dapat menyelesaikan kasus- kasus pemutusan hubungan kerja yang tidak diterima oleh salah satu pihak.
Penyelesaian perselisihan terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak.
Seperti penyelesaian Bipartit dapat dilakukan dengan melalui musyawarah mufakat oleh para pihak tanpa dicampuri oleh pihak manapun. Sebagai upaya untuk memberikan pelayanan masyarakat khususnya kepada pekerja dan pengusaha, Pemerintah berkewajiban memfasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut. Upaya fasilitasi dilakukan dengan menyediakan tenaga mediator
yang bertugas untuk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berselisih.36
1. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial
Pengertian perselisihan hubungan industrial ini tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang menyebutkan:
“Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan perselisihan antar serikat pekerja dalam suatu perusahaan.”
2. Jenis Perselisihan Hubungan Industrial
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, jenis perselisihan hubungan industrial dibedakan menjadi 4 macam, yaitu sebagai berikut:37
2.1 Perselisihan Hak
36Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, 2009, Hlm. 178-179.
37Op.Cit, Hlm. 64-65.
Perselisihan hak, ialah perselisihan yang timbul karena tidak terpenuhinya hak yakni salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau ketentuan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
2.2 Perselisihan Kepentingan
Perselisihan kepentingan, ialah perselisihan yang terjadi karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan/atau perubahan syarat-syarat kerja dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
2.3 Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), ialah perselisihan yang timbul apabila tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pemutusan hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak.
2.4 Perselisihan Antar Serikat Pekerja dalam Satu Perusahaan
Perselisihan ini terjadi karena tidak adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatan.
3. Prosedur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Secara umum prosedur penyelesaian perselisihan terbagi dua:
a. Tahap pertama, penyelesaian dilakukan dengan cara musyawarah dan berunding bersama antara pengusaha dan
pekerja yang terlibat, baik di perantarai pihak ketiga yang bersifat netral maupun tidak melalui non litigasi.
b. Tahap kedua, apabila dengan tahap pertama tidak menemukan titik temu atau tidak ada penyelesaiannya, maka menggunakan sarana terakhir yaitu melalui jalur pengadilan dengan menggunakan hukum acara sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang.
Sesungguhnya Undang-Undang ini (Undang-Undang No. 2 Tahun 2004) memberi makna yang dalam atas proses penyelesaian perselisihan dibidang ketenagakerjaan dengan mengedapankan aspek non litigasi seabagai mekanisme yang harus dijalankan lebih dahulu, dan sedapat mungkin menjauhkan dari mekanisme pengadilan formal (litigasi).38
Menurut M.Yahya Harahap bahwa proses litigasi dianggap tidak efektif dan efesien. Terutama di zaman sekarang yang ditandai dengan beberapa gejala, yaitu business in global village, free market, dan free competitions, bahkan lebih jauh banyak kritik yang dilontarkan terhadap badan peradilan.39
Ketika terjadinya suatu perselisihan dibidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, maka upaya yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:40
38Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Dinamika dan Kajian Teori, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, Hlm. 168.
39M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, PT.
Citra Aditya,Bandung, 1997, Hlm. 144,151.
40Eko Wahyudi dkk, Hukum Ketenagakerjaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, Hlm. 65-71.
1. Penyelesaian Bipartit
Bipartit sama dengan negosiasi, yaitu penyelesaian sengketa oleh para pihak tanpa melibatkan pihak lain yang bertujuan tercapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang harmonis. Prosedur penyelesaian sengketa dengan cara bipartit diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 adalah:
a. Musyawarah untuk mufakat antara para pihak dengan membuat risalah yang ditandatangani oleh kedua belah pihak;
b. Jika tercapai kesepakatan dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani kedua belah pihak. Perjanjian ini bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan.
c. Perjanjian bersama tersebut wajib didaftarkan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
d. Apabila perjanjian bersama tidak dilaksanakan maka dapat diajukan permohonan kasasi pada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri setempat.
2. Penyelesaian Mediasi
Jika tidak menemui kesepakatan dengan bukti risalah perundingan yang lengkap, maka pada para pihak ditawarkan tenaga penyelesaian apakah konsiliator atau arbitrase, jika tidak memilih maka perselisihan tersebut diselesaikan dengan cara mediasi. Mediator adalah PNS yang diangkat oleh menteri yang mempunyai wewenang untuk menangani dan
menyelesaikan keempat jenis perselisihan. Secara umum, penyelesaian mediasi berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 dilaksanakan sebagai berikut:
a. Paling lambat 7 hari setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan, mediator harus sudah mengadakan penelitian tetang duduk perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.
b. Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli dalam sidang mediasi untuk dimintai dan didengar keterangannya.
c. Jika mencapai kesepakatan harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan disaksikan mediator serta didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
d. Jika tidak tercapai kesepakatan penyelesaian melalui mediasi, maka:
1) Mediator mengeluarkan anjuran tertulis yang disampaikan selambat-lambatnya 10 hari sejak sidang mediasi pertama harus disampaikan kepada para pihak.
2) Para pihak dalam 10 hari sejak menerima anjuran tersebut harus sudah memberikan jawaban kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran yang dibuat mediator.
3) Para pihak tidak memberikan pendapatnya, mereka dianggap menolak anjuran
4) Apabila anjuran disetujui, dalam waktu selambat- lambatnya 3 hari sejak anjuran disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat perjanjian bersama untuk kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan akta pendaftaran.
e. Apabila perjanjian bersama yang telah didaftarkan tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan penetapan eksekusi.
f. Jika pemohon eksekusi berdomisili di luar pengadilan negeri tempat perjanjian bersama, pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
g. Jika anjuran tertulis yang dibuat mediator ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
h. Mediator harus menyelesaikan tugasnya paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
3. Penyelesaian Konsiliasi
Penyelesaian cara konsiliasi ini dilakukan melalui seorang atau beberapa orang atau badan, sebagai penengah (konsiliator) dengan mempertemukan atau memberi fasilitas para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihannya secara damai.
Konsiliasi ini adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004).
Konsiliator bukan PNS, tetapi masyarakat yang telah mendapat legitimasi dan diangkat oleh menteri, dan mempunyai kewenangan yang sama dengan mediator. Konsiliasi sendiri dilakukan dengan cara seabgai berikut:
a. Para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak.
b. Paling lambat 7 hari setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan secara tetulis, konsiliator harus sudah ada mengadakan penelitian tentang duduk perkara dan selambat-lambatnya pada hari kerja kedepalan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama
c. Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya.
d. Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi mecapai sepakat, dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak disaksikan oleh konsiliator dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum para pihak mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan bukti pendaftaran.
e. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan,maka:
1) Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis selambat- lambatnya 10 hari sejak sidang konsiliasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
2) Para pihak dalam 10 hari sejak menerima anjuran harus memberikan jawaban kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran
3) Jika para pihak tidak memberikan pendapatnya, maka dianggap menolak anjuran tertulis;
4) Dalam hal anjuran tertulis disetujui dalam waktu selambat- lambatnya 3 hari kerja sejak anjuran tertulis itu disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak membuat perjanjian bersama untuk kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.