Penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (studi oleh Badan Penanggulangan Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Provinsi Kalimantan Tengah). Memberikan masukan informasi dalam optimalisasi pelaksanaan kebijakan pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di kawasan lahan gambut.
Kebijakan Publik
Dye dalam Subiyanto (2020:3) “kebijakan publik adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan (apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan). Berdasarkan definisi-definisi kebijakan publik yang telah diuraikan di atas, kebijakan publik memiliki konsep-konsep sebagai berikut.
Implementasi Kebijakan
Teori George C. Edward III
Dalam hal ini Edwards III dalam Kadji (2015: 64) menjelaskan bahwa implementasi kebijakan dapat berjalan efektif apabila mereka yang bertanggung jawab atas implementasi kebijakan mengetahui apa yang harus dilakukan. Kondisi ini akan memberikan peluang bagi mereka untuk tidak melaksanakan kebijakan atas kehendak pemberi mandat atau pembuat kebijakan. Faktor sumber daya tidak hanya mencakup jumlah SDM atau aparatur, tetapi juga mencakup kemampuan SDM untuk mendukung implementasi kebijakan (kapasitas dan motivasi).
Betapapun jelas, tepat dan konsistennya petunjuk pelaksanaan kebijakan, jika penanggung jawab pelaksanaan kebijakan kekurangan sumber daya dalam pekerjaannya, maka pelaksanaan kebijakan tidak akan efektif. Sumber daya penting meliputi jumlah personel yang cukup dengan keahlian yang memadai, informasi yang memadai dan relevan mengenai pedoman pelaksanaan kebijakan, kewenangan untuk memastikan bahwa kebijakan dilaksanakan sesuai dengan sasaran dan tujuan kebijakan, dan fasilitas pendukung, termasuk sarana/prasarana, dan kegiatan untuk penyediaan layanan publik. Sumber daya yang tidak memadai berarti bahwa kebijakan tidak akan ditegakkan, layanan prima tidak akan ditegakkan, dan aturan yang masuk akal tidak akan disiapkan dengan sebaik mungkin.
Teori Merilee S. Grindle
Suatu kebijakan yang mencakup kepentingan kelompok sasaran akan lebih mudah dilaksanakan daripada kebijakan yang tidak mencakup kepentingan kelompok sasaran. Semakin tersebarnya posisi pengambil keputusan dalam implementasi kebijakan publik baik secara geografis maupun organisasi, maka implementasi program akan semakin sulit. Sebaliknya, jika kelompok sasaran heterogen maka pelaksanaan program relatif lebih sulit, karena tingkat pemahaman masing-masing anggota kelompok sasaran terhadap program relatif berbeda.
Suatu program yang tujuannya untuk memberikan pengetahuan atau bersifat kognitif akan relatif lebih mudah dilaksanakan daripada program yang tujuannya untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat. Suatu program yang memberikan peluang yang luas bagi keterlibatan masyarakat akan memperoleh dukungan yang relatif lebih banyak daripada program yang tidak melibatkan masyarakat. Konstituensi dalam masyarakat dapat mempengaruhi implementasi kebijakan dengan berbagai cara, antara lain: (1) Konstituen dapat mengintervensi keputusan lembaga eksekutif dengan berbagai komentar untuk mengubah keputusan; (2) Pemilih secara tidak langsung dapat mempengaruhi badan eksekutif dengan menerbitkan kritik terhadap kinerja eksekutif dan dengan pernyataan yang ditujukan kepada legislator.
Teori Donald Van Meter dan Carl Van Horn
Pejabat lembaga pelaksana harus memiliki keterampilan dalam memprioritaskan tujuan dan kemudian mencapai tujuan prioritas tersebut. Standar dan target kebijakan harus jelas dan terukur, karena standar dan target yang tidak jelas berpotensi menimbulkan multitafsir yang pada akhirnya akan berimplikasi pada sulitnya implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan memerlukan dukungan sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia.
Karakteristik agen pelaksana meliputi birokrasi, norma, dan pola hubungan yang muncul dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi kebijakan. Variabel ini meliputi sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok kepentingan memberikan dukungan terhadap implementasi kebijakan; karakteristik peserta yaitu mendukung atau menolak; apa sifat opini publik di lingkungan; dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.
Teori Jan Merse
Informasi merupakan faktor yang sangat penting dalam implementasi kebijakan karena kurangnya informasi dapat mempengaruhi kebijakan itu sendiri. Isi kebijakan memegang peranan penting dalam implementasi kebijakan, hal ini mempengaruhi seberapa besar manfaat dan tujuan yang dapat dirasakan dalam kebijakan tersebut. Masyarakat harus berpartisipasi aktif dalam upaya penentuan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah, sehingga mampu menentukan kondisi kehidupannya sendiri mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pengawasan suatu kebijakan.
Pembagian potensi adalah pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam pelaksanaan kebijakan, sehingga diperlukan koordinasi antar organisasi untuk menentukan keberhasilan suatu kebijakan.
Teori Warwic
Kurangnya informasi aktor tentang objek kebijakan atau kurangnya struktur komunikasi antara organisasi pelaksana dan objek kebijakan. Kurangnya kemauan subjek kebijakan untuk "terikat" pada aktivitas atau kewajiban tertentu dan kurang patuh ketika konten kebijakan bertentangan dengan pendapat atau keputusan mereka. Pembagian wewenang dan tanggung jawab tidak disesuaikan dengan pembagian tugas, seperti batasan yang tidak jelas dan desentralisasi pelaksanaan.
Teori Rippley dan Franklin
Model Rippley menekankan bahwa setiap produk kebijakan publik yang siap diimplementasikan akan berhasil jika memperhatikan dan mensinergikan tiga faktor utama, yaitu. Diperlukan sikap dan pola pikir dari aparatur pelaksana atau para pelaksana kebijakan publik, yang diwujudkan dalam tindakan patuh dan berprinsip dalam pelaksanaan setiap kebijakan publik. Sebisa mungkin, pelaksana kebijakan publik menghilangkan potensi masalah yang muncul dalam proses implementasi kebijakan publik.
Setiap implementasi kebijakan pada akhirnya bermuara pada efektivitas proses implementasi kebijakan itu sendiri. Efisiensi proses implementasi kebijakan tentu akan melahirkan apa yang disebut dengan optimalisasi kinerja kebijakan, namun efisiensi dan optimalisasi kinerja kebijakan juga ditentukan oleh kinerja individu dan pemegang kebijakan publik itu sendiri.
Teori Charles O. Jones
Bahwa dalam setiap pelaksanaan atau pelaksanaan kebijakan publik, kapanpun dan dimanapun kebijakan tersebut dioperasionalisasikan, harus didukung oleh adanya organisasi yang fleksibel dengan tugas pokok dan fungsi yang jelas dan terarah serta didukung oleh para pelaksana kebijakan yang handal dan memiliki kapasitas yang tidak diragukan lagi. pelaksanaan tugasnya organisasi agar setiap kebijakan yang dilaksanakan menjadi kenyataan dan diterima oleh dan untuk kepentingan umum. Padahal setiap kebijakan strategis yang telah disusun dapat langsung diimplementasikan tanpa harus mempublikasikan turunan kebijakan teknisnya, namun lebih ideal dan realistis jika kebijakan strategis tersebut masih dimaknai atau diterjemahkan ke dalam hal-hal yang lebih teknis dan dapat diimplementasikan, sehingga setiap orang atau pelaksana dapat lebih baik lagi. memahami apa yang harus dilakukan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai oleh setiap kebijakan. Untuk itu perlu dikeluarkan keputusan kepala daerah tentang pedoman teknis operasional pelaksanaan peraturan daerah tersebut, setelah itu masing-masing kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dapat menurunkan kebijakan atau keputusan kepala daerah tersebut.
Setiap produk kebijakan yang dilakukan oleh suatu organisasi yang bersifat fleksibel dan eksistensial, serta didukung oleh kemampuan interpretatif yang dijabarkan pada level implementasi, merupakan syarat mutlak bahwa kebijakan tersebut akan semakin aplikatif, sehingga kebijakan tersebut bukan sekedar angan-angan yang pada kenyataannya tidak menjadi kenyataan. Namun, pada akhirnya, semua tergantung pada kemampuan para pelaksana kebijakan publik untuk mengambil tindakan nyata guna memastikan bahwa setiap produk kebijakan melayani kepentingan publik.
Teori Matland
Kebenaran kebijakan ini dinilai dari: (a) Sejauh mana kebijakan yang ada memuat hal-hal yang benar-benar memecahkan masalah yang harus dipecahkan. Ada tiga lembaga yang dapat mengimplementasikan kebijakan, yaitu: pemerintah, kerjasama pemerintah-masyarakat/swasta, atau implementasi kebijakan yang telah diprivatisasi (privatisasi atau outsourcing). Beberapa contoh pihak mana yang seharusnya paling banyak berperan, misalnya: (a) Kebijakan yang bersifat monopolistik, seperti KTP, atau memiliki tingkat keamanan politik yang tinggi, seperti pertahanan dan keamanan, harus dilaksanakan oleh pemerintah. .
Banyak kebijakan yang terkesan baru pada dasarnya mengulang kebijakan lama sehingga menjadi kebijakan yang sama sekali tidak efektif. Ada dua lingkungan yang paling krusial, yaitu: (a) Lingkungan kebijakan, yaitu interaksi antara lembaga perumus kebijakan dengan pelaksana kebijakan dan lembaga terkait. Calista menyebutnya sebagai variabel endogen yaitu tatanan otoriter yang terkait dengan kekuatan sumber otoritas dari politik, komposisi jaringan yang terkait dengan komposisi jaringan dari berbagai organisasi yang terlibat dalam politik, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat. . , menetapkan implementasi terkait posisi negosiasi antar otoritas, mengeluarkan kebijakan dan jaringan terkait implementasi kebijakan.
Model Hoogwood & Gun
Partisipasi Masyarakat
Cohen dan Uphoff dalam Dwiningrum membedakan partisipasi dalam empat macam, yaitu pertama, partisipasi dalam pengambilan keputusan. Partisipasi ini terutama terkait dengan penentuan alternatif bersama-sama dengan masyarakat mengenai ide atau gagasan yang menyangkut kepentingan bersama. Bentuk partisipasi dalam pengambilan keputusan antara lain menyumbangkan ide atau pemikiran, menghadiri rapat, diskusi dan menanggapi atau menolak program yang disajikan.
Kedua, partisipasi dalam pelaksanaan meliputi mobilisasi sumber daya keuangan, kegiatan administratif, koordinasi dan penjabaran program. Partisipasi dalam pelaksanaan merupakan kelanjutan dari rencana yang telah dirintis sebelumnya, baik yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan maupun tujuan. Partisipasi dalam mengambil manfaat tidak lepas dari hasil pelaksanaan yang dicapai baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Pencegahan Kebakaran
Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat adalah keterlibatan kelompok atau masyarakat setempat dalam suatu program untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sejak perencanaan, pelaksanaan, evaluasi sampai dengan menikmati hasil yang dicapai. Dalam sistem pemerintahan yang kebijakannya bersifat top-down, partisipasi masyarakat dalam kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan bukanlah masalah yang nyata, namun dalam sistem pemerintahan bottom-up, partisipasi masyarakat yang tinggi dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan kebijakan tersebut. Tindakan rehabilitasi, yaitu tindakan pemulihan yang dilakukan setelah terjadi kebakaran pada sekelompok bangunan setelah dilakukan pemeriksaan dan penelitian tingkat keandalan bangunan setelah terjadi kebakaran sesuai dengan juknis yang berlaku.
Kerangka Berpikir
Dengan kemacetan lalu lintas, kepadatan penduduk yang tinggi dan banyaknya pemukiman yang tidak tertata menjadi penyebab terjadinya kecelakaan kebakaran. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori Jan Merse yang dianggap peneliti relevan dengan permasalahan awal yang peneliti temukan di lapangan. Merujuk pada pendapat Jan Merse yang menyatakan bahwa keberhasilan kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel yaitu informasi, isi kebijakan, dukungan masyarakat dan potensi distribusi.
Proposisi