• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Perpustakaan Poltekkes Malang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Perpustakaan Poltekkes Malang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keamanan Pangan

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan Mutu dan Pangan mendefinisikan pangan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Selanjutnya, menurut UU RI No.7 tahun 1996, keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat menggangu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (Wardanita, 2013).

Seiring dengan berkembangnya pengetahuan dan teknologi dalam pengolahan bahan pangan, penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) semakin banyak digunakan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 tahun 2012, bahan tambahan pangan (BTP) merupakan bahan yang ditambahkan kedalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.

Pada peraturan tersebut juga ditetapkan tentang pemakaian zat pewarna berbahaya untuk bahan pangan. Rhodamin B merupakan bahan pewarna merah yang dilarang penggunaannya sebagai bahan tambahan pangan.

Selain itu, peraturan mengenai penggunaan zat pewarna yang diizinkan dan dilarang untuk pangan diatur melalui SK Menteri Kesehatan RI No. 722/MenKes/Per/IX/88 mengenai bahan tambahan pangan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pewarna sintesis seperti rhodamin B masih digunakan sebagai pewarna pada pangan. Pelarangan penggunaan rhodamin B pada produk pangan dikarenakan efek karsinogenik, mutagenik, dan toksiknya pada semua organisme hidup.

(2)

7 2.2 Rhodamin B

Rhodamine B adalah pewarna amfoter, biasanya terdaftar sebagai bahan pewarna merah dasar, memiliki muatan positif secara keseluruhan serta larut dalam air dari golongan xanthene (Lide, 1994). Penggunaan rhodamin B sebagai zat pewarna karena sifat kimianya yang tidak mudah terurai, memiliki stabilitas dan ketahanan yang sangat tinggi terhadap foto dan degradasi oksidatif, memiliki ikatan rangkap terkonjugasi, panjang gelombang maksimumnya lebih dari 500 nm, dan cincin aromatiknya memiliki gugus kromofor (Bignozzi, 2013). Struktur Rhodamin B sangat penting karena struktur cincin benzena memberikan elektron yang mampu memancarkan dan menghasilkan fluoresensi. Sejumlah turunan rhodamin sangat menarik karena molekul-molekul nya mengalami keseimbangan antara dua bentuk yaitu cincin spirolaktam tertutup dan cincin amida terbuka. Bentuk cincin spirolaktam tertutup tidak berwarna dan tidak berfluoresensi, tetapi cincin yang membuka bentuk amida berwarna merah muda dan memiliki fluoresensi yang kuat (Xianglin, 2014).

Rodhamin B merupakan pewarna sintetis berbentuk serbuk kristal, berwarna hijau atau ungu kemerahan, tidak berbau, dan dalam larutan akan berwarna merah terang berpendar/berfluorosensi. Rodhamin B merupakan zat warna yang digunakan pada industri tekstil, cat dan kertas. Nama lain rhodamin B adalah D and C Red no 19, ADC Rhodamine B, Aizen Rhodamine, Brilliant Pink, Rhodamine 123 Basic Violet 10, diethylammonium chloride, Rhodamine O dan Tetraethylrhodamine.

Rumus molekul dari Rhodamin B adalah C28H31N2O3Cl dengan berat molekul sebesar 479 g/mol dan titik leburnya pada suhu 165 0C. Rhodamin B sangat larut dalam air yang akan menghasilkan warna merah kebiru-biruan dan berfluoresensi kuat. Rhodamin B juga merupakan zat yang larut dalam alkohol, HCl, dan NaOH, eter selain dalam air. Di dalam laboratorium, zat tersebut digunakan sebagai pereaksi untuk identifikasi timbal, bismut, kobal, emas, magnesium, thorium, antimon dan zinc. Larutan rhodamin B dalam

(3)

8

asam kuat membentuk senyawa dengan kompleks antimon berwarna merah muda yang larut dalam isopropil eter (Agristika, 2015).

Gambar 2.1 Struktur Rhodamin B (Mawadah, 2015).

Ciri-ciri pangan yang mengandung Rhodamin B adalah warna terlihat cerah (kemerahan atau merah terang) dan lebih mencolok sehingga tampak menarik, dalam bentuk larutan atau minuman warna merah berpendar, banyak memberikan titik-titik warna karena tidak homogen (rata) atau terdapat gumpalan warna pada produk, terdapat sedikit rasa pahit, muncul rasa gatal di tenggorokan setelah mengonsumsinya, dan aroma tidak alami sesuai pangan, serta saat diolah, tahan terhadap pemanasan (direbus atau goreng warna tidak pudar) (Cahyani, 2015). Biasanya Produk pangan yang mengandung Rhodamin B tidak mencantumkan kode, label, merek, atau identitas lengkap lainnya (Putriningtyas, 2017).

Menurut WHO, rhodamin B berbahaya bagi kesehatan manusia karena sifat kimia dan kandungan logam beratnya. Rhodamin B mengandung senyawa klorin (Cl) yang merupakan senyawa halogen berbahaya dan reaktif.

Jika tertelan, maka senyawa ini akan berusaha mencapai kestabilan dalam tubuh dengan cara mengikat senyawa lain dalam tubuh, hal inilah yang bersifat racun bagi tubuh. Selain itu, rhodamin B juga memiliki senyawa pengalkilasi (CH3-CH3) yang bersifat radikal sehingga dapat berikatan dengan protein, lemak, dan DNA dalam tubuh (BPOM, 2015). Konsumsi rhodamin B dalam jangka panjang dapat terakumulasi di dalam tubuh dan dapat menyebabkan gejala pembesaran hati dan ginjal, gangguan fungsi hati, kerusakan hati, gangguan fisiologis tubuh, atau bahkan bisa menyebabkan timbulnya kanker hati. Bila terpapar Rhodamin B dalam jumlah besar dalam waktu singkat, maka akan terjadi gejala akut keracunan Rhodamin B.

(4)

9

Rhodamin B bersifat karsinogenik atau memacu pertumbuhan sel kanker jika digunakan terus menerus disebabkan oleh unsur N+(nitronium) dan Cl- (klorin) yang terkandung. Ion klorin diikat dalam reaksi pembentukan rhodamin B atau sintesis zat warna. Reaksi terjadi antara ftalat ahidrida dan resolsinol dengan keberadaan seng klorida yang menghasilkan fluorescein.

Apabila resolsinol diganti dengan N-N-dietilaminofenol, reaksi ini akan menghasilkan rhodamin B (Ningsih, 2011).

2.3 Metode Deteksi Rhodamin B Berbasis Kolorimetri

Analisis cepat kandungan rhodamin B pada sampel makanan berdasarkan pembentukan dan perubahan warna telah banyak dikembangkan baik penelitian dari dalam negeri maupun luar negeri. Xianglin (2014) telah mengembangkan analisis pembentukan kompleks rhodamin dengan penambahan ion logam. Rhodamin B dalam larutan asetonitril tidak berwarna dan tidak memiliki fluoresensi. Setelah penambahan 100 μmol/L Cu2+ atau Fe3+ kedua larutan menjadi merah muda dan fluoresensi larutan kuat ketika Fe3+ ditambahkan, tetapi masih lemah ketika Cu2+ ditambahkan.

Selanjutnya, penelitian Wang (2017) tentang pelarut eutektik dalam (DES-1) yang terdiri atas kolin klorida dan etilen glikol (rasio mol 1: 3) dapat secara selektif mengekstraksi rhodamin B dari minyak cabai. Analisis kualitatif cepat rhodamin B dapat dilakukan secara langsung dengan mengamati sinyal fluoresensi yang muncul dari ekstrak minyak cabai.

Selain itu, Prabowo (2012) melakukan penelitian tentang sensor kimia bentuk stik menggunakan reagen Zn(CNS)2 untuk mendeteksi rhodamin B dalam sampel makanan. Prinsip kerja dari sensor kimia (test kit) adalah terjadinya perubahan warna yang signifikan pada larutan dari merah menjadi ungu. Perubahan warna ini disebabkan karena terbentuknya senyawa kompleks Zn-tiosianat-rhodamin. Metode tersebut telah dikembangkan oleh Izzati (2018) yaitu scanometri sensor untuk rhodamin B berbasis Zn(CNS)2

pada sampel saus tomat.

(5)

10

Andayani, dkk (2013) menyatakan kemasan Rhodamin B Test Kit terdiri dari dua larutan preaksi atau reagen yaitu reagen A yang berisi larutan pereaksi SbCl5 (StibiumClorida) dalam HCl 5 N dan reagen B yang berisi larutan pereaksi toluene (Metil Benzena). Suatu bahan makanan yang positif mengandung Rhodamin B ditandai dengan tidak menghilangnya warna merah larutan saat penambahan reagen A yang dilakukan dengan pengocokan kuat.

Warna merah kembali muncul dengan intensitas warna yang semakin menguat hingga menjadi warna ungu kemerahan saat penambahan reagen B.

Prasetya (2016) telah mengembangkan uji kualitatif rhodamin B dengan reagent HCl pekat, H2SO4 pekat, NaOH 10% dan (NH4OH 10%).

Prosedur yang dilakukan setelah sampel diencerkan, diambil ± 20 ml kemudian ditambahkan larutan HCl 10% ± 0,5 ml sampai kondisi asam.

Selanjutnya, ditambahkan benang wool (±20 cm) dan dipanaskan sampai mendidih selama 20 menit. Benang wol diambil dan dicuci sampai bersih dan dipotong menjadi 4 bagian. Tiap potongan ditetesi NaOH 10%, HCl pekat, H2SO4 pekat dan NH4OH 10%. Apabila mengandung rhodamin B maka warna akan berubah menjadi jingga (HCl pekat), kuning (H2SO4 pekat), biru (NaOH 10%) dan biru (NH4OH 10%).

BPOM Republik Indonesia juga telah mengembangkan metode uji cepat rhodamin B dengan prinsip pembentukan warna ungu lembayung dari senyawa kompleks antara rhodamin B dengan garam antimon yang larut dalam pelarut organik. Selain itu, Mahdi (2013) mengembangkan reagent kit bernama Colour Main Reagent (CMR) untuk deteksi rhodamin. Prosedurnya yaitu sampel ditambahkan 3- 5 tetes ammonia, petroleum 3- 5 mL dan dikocok selama 3- 5 menit. Selanjutnya ditambahkan kit uji zat warna (CMR) sebanyak 2- 3 mL. timbulnya warna pada bagian bawah tabung reaksi (fraksi air) menunjukkan sampel positif rhodamin B.

FSSA India (2012) juga mengembangkan deteksi cepat rhodamin B pada bubuk cabe. prosedur yang digunakan yaitu mengambil ¼ sendok bubuk cabai di tabung reaksi. Tambahkan 3 ml air suling di dalamnya dan 10 tetes karbon tetraklorida. Goyangkan tabung dengan keras untuk mencampur

(6)

11

isinya. Warna merah akan hilang akibat goyangan. Jika warna merah muncul kembali dengan penambahan satu tetes HCL menunjukkan adanya Rhodamin.

2.4 Reaksi Rhodamin B dengan Reagent secara Kolorimetri

Pewarna makanan diklasifikasikan sebagai pewarna asam, basa atau netral, juga dapat dibedakan atas pewarna yang larut air mapun larut minyak.

Prinsip uji rhodamin B secara kolorimetri berdasarkan metode ekstraksi cair- cair dan terbentuknya perubahan warna yang khas dari reaksi rhodamin B dengan pelarut yang digunakan. Ekstraksi cair-cair adalah pemisahan komponen kimia diantara dua fasa pelarut yang tidak saling bercampur, dimana sebagian komponen larut dalam fase pertama dan sebagian larut dalam fasa kedua sesuai dengan tingkat kepolarannya dengan perbandingan konsentrasi yang tetap. Perpindahan molekul zat terlarut karena perbedaan kelarutan di dalam kedua jenis pelarut menyebabkan pemisahan kimia terjadi secara alami dalam kedua pelarut cair-cair. (Aviani, 2014).

Sejumlah pewarna, seperti pewarna rhodamin, pewarna azo, dan lain lain dikenal mampu diubah warnanya setelah bersentuhan dengan basa.

Pewarna laser organik seperti rhodamin B memiliki struktur yang berbeda drastis pada media asam dan media basa. Rhodamin B terdapat dalam dua bentuk tergantung pada keasaman dan polaritas dari pelarut. Bentuk rhodamin B basa adalah tidak bewarna dan tidak memiliki fluoresensi yang terdeteksi.

Namun, dengan adanya asam atau dalam kondisi asam, bentuk tidak bewarna ini mengalami transformasi menjadi pewarna rhodamin bewarna yang stabil dan sangat berfluoresensi (Kajzar,dkk, 1999)

Gambar 2.2 Struktur trannsformasi rhodamin B basa menjadi rhodamin B

(7)

12 2.5 Kromatografi Kertas

Kromatografi kertas merupakan kromatografi partisi, yang termasuk dalam kromatografi cair-cair. Biasanya yang berperan sebagai fase diam adalah air yang membentuk kompleks dengan serat selulosa pada kertas, sedangkan sebagai fase gerak adalah pelarut organik atau campuran pelarut.

Prinsip dari kromatografi kertas adalah pemisahan komponen campuran yang didasarkan pada perbedaan migrasi masing-masing komponen yang terpisah pada fasa diam dibawah pengaruh pergerakan fasa gerak. Komponen yang mudah tertahan pada fasa diam akan tertinggal sedangkan komponen yang mudah larut dalam fasa gerak akan bergerak lebih cepat.

Pemisahan kromatografi kertas umumnya dihentikan sebelum semua fasa gerak melewati seluruh permukaan fasa diam. Kemudian dihitung nilai Rf sampel dari noda-noda kromatogram yang dihasilkan. Nilai Rf (Faktor retardasi) adalah rasio jarak tempuh suatu komponen pada kromatogram dengan jarak tempuh eluen. Faktor yang menentukan harga Rf diantaranya adalah pelarut, suhu, ukuran dari bejana, kertas yang digunakan, serta sifat dari campuran.

Proses pemisahan menggunakan kromatografi kertas berdasarkan polaritas dari sampel, fasa diam dan eluen. Azizahwati (2007) dalam penelitiannya memilih eluen berdasarkan kemampuan eluen untuk menghasilkan pemisahan, lamanya waktu elusi, kestabilan eluen, dan mudahnya penyediaan eluen. Selain itu, pemilihan eluen didasarkan pada prinsip like dissolve like. Fasa gerak ini kemudian dimasukkan dalam chamber tertutup untuk dilakukan penjenuhan sebelum digunakan untuk mengelusi. Fungsi penjenuhan eluen adalah menyamakan tekanan uap pada seluruh bagian bejana. Jika belum jenuh, maka pada saat pengembangan akan membentuk garis lengkung pada kertas kromatografi karena pergerakan fasa gerak yang tidak sama. Hal ini akan menghasilkan kromatogram yang mengekor dan berpengaruh terhadap nilai Rf.

(8)

13 2.6 Image J dan Pencitraan Digital

Kolorimetri merupakan suatu teknik analisis kuantitatif untuk sampel berwarna, yang digunakan untuk menentukan konsentrasi suatu zat berdasarkan intensitas cahaya warna larutan dibanding warna larutan standarnya. Telah dikembangkan sistem alternatif berbasis kolorimetri yang murah, mudah, dan cepat dengan memanfaatkan desktop scanner dan teknik pengolahan dan pengukuran citra menggunakan ImageJ. Kelebihan pengukuran dengan metode pencitraan digital yaitu jumlah bahan yang digunakan untuk penelitian menjadi lebih sedikit dan lebih hemat.

Nilai intensitas cahaya warna yang dihasilkan kemudian dikonversi terhadap persamaan Lamber-Beer untuk menentukan absorbansi. Prinsip kerjanya yaitu apabila berkas cahaya pada panjang gelombang tertentu melewati suatu larutan/sampel maka akan ada sebagian cahaya yang diserap.

Besarnya intensitas cahaya yang diserap berbanding lurus dengan nilai konsentrasi larutan tersebut. Kadar Rhodamin akan ditentukan berdasarkan intensitas serapan dari sampel pada tiga daerah panjang gelombang, yaitu Biru, Hijau dan Merah. Nilai serapan maksimum pada daerah panjang gelombang yang terpilih akan dikonversi menjadi nilai kadar Rhodamin (Hidayat, 2016).

Image J adalah sebuah program yang diciptakan untuk memproses data gambar multidimensi dengan fokus ke dalam bidang pencitraan ilmiah.

Program ImageJ dibuat oleh National Institutes of Health merupakan program analisis untuk optik. Program Image J digunakan untuk penentuan RGB dengan didasarkan pada hasil perhitungan nilai yang mewakili dari tiga warna primer red, green dan blue. Pemilihan red, green dan blue karena warna cahaya yang dapat menghasilkan spectrum.

Referensi

Dokumen terkait

Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih membutuhkan kemoterapi atau radiasi

Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi merupakan penjelasan yang berasal dari data yang diperoleh dengan menggunakan berbagai macam cara untuk menemukan suatu populasi atau

Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi merupakan penjelasan yang berasal dari data yang diperoleh dengan menggunakan berbagai macam cara untuk menemukan suatu populasi atau

Menurut Andrew Rollings dan Ernest Adams 2007, game online lebih tepatnya disebut sebagai sebuah teknologi dibandingkan sebagai sebuah genre atau jenis permainan, sebuah mekanisme untuk

Pencemaran makanan dapat terjadi bila air yang digunakan untuk pencucian dan pembersihan bukan air bersih atau air minum, tanah yang melekat pada bahan pangan tidak secara sempurna

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah d Bertanggung jawab Responsible Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah

Kemudaian menurut Permenkes RI Tahun 2010, Kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan kuku,epidermis, bibir, rambut dan organ kelamin

Aktivitas fisik yang dilakukan dengan tepat, teratur, dan terukur dapat memberikan peningkatan pengeluaran energi yang cukup besar untuk menjaga atau menurunkan berat badan secara