• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

Penyebab terjadinya perubahan iklim tersebut adalah meningkatnya komposisi material atmosfer bumi berupa gas rumah kaca (GRK), seperti uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitrogen oksida (NO2). ), ozon (O3) dan gas-gas lainnya dalam jumlah yang lebih kecil (IPCC, 2007: 5). Pandangan pertama mengatakan bahwa perubahan iklim merupakan sesuatu yang terjadi secara alami (natural driver) atau sering disebut “theogenic”. Pandangan ini berasumsi bahwa perubahan iklim terjadi karena alam (planet) sebenarnya mengalami perubahan di dalam dirinya.

Pencairan Es di Wilayah Kutub

Meski bukan satu-satunya faktor, perubahan iklim merupakan faktor penyebab kelangkaan air. 55 Berdasarkan kedua gambaran di atas, nampaknya berkurangnya lapisan es Antartika dan Greenland merupakan indikasi terjadinya pemanasan global. Menyusutnya lapisan es ini disebabkan oleh peningkatan suhu bumi yang terus meningkat, sehingga es di kutub terus mencair.

Kenaikan Muka Air Laut (Sea level Rise)

Mencairnya es menyebabkan naiknya permukaan air laut secara global sehingga menimbulkan kerentanan regional akibat banjir air laut (robber banjir), terutama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kenaikan permukaan air laut disebabkan oleh dua faktor yang berkaitan dengan pemanasan global, yaitu penambahan volume air akibat mencairnya es dan pemuaian air laut yang terus memanas. Berdasarkan proyeksi Bappena dalam Peta Jalan Sektoral Perubahan Iklim Indonesia 2009, rata-rata kenaikan muka air laut di Indonesia berkisar antara 0,6 - 0,8 cm/tahun.

Dampak Perubahan Iklim pada Wilayah Pesisir Perkotaan

Bahkan, sebagian penduduk mungkin kehilangan sumber daya dan mata pencaharian akibat paparan dampak perubahan iklim (UN Habitat. Salah satu peristiwa yang terkait dengan dampak perubahan iklim terhadap wilayah pesisir adalah penurunan permukaan tanah akibat melebihi daya dukung dan daya dukung perairan. kondisi lingkungan pesisir, dampak perubahan iklim semakin parah mengingat pada saat yang sama telah terjadi penurunan permukaan tanah yang menyebabkan meluasnya gelombang pasang surut.

Bias Jender dalam Dampak dan Kebijakan Perubahan Iklim

Perspektif Jender dalam Melihat Perubahan Iklim

Dampak kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim menyebabkan banjir rob (pengikisan) yang membanjiri sebagian besar wilayah pesisir. Babugura mengatakan, peran sosial laki-laki dan perempuan serta akses terhadap sumber daya, baik sumber daya alam, sumber daya ekonomi, sumber daya manusia, dan sumber daya sosial, akan mempengaruhi kapasitas adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim. Kurangnya kapasitas adaptasi perempuan terhadap perubahan iklim juga disebabkan oleh kurangnya partisipasi perempuan dalam perumusan kebijakan perubahan iklim.

Kondisi tersebut menjadikan perubahan iklim tidak netral gender (Dankelman, dalam Masika [ed. Rodenberg, 2009: 10). Akses terhadap aset atau sumber daya penting untuk strategi penghidupan berkelanjutan dalam menghadapi ancaman, termasuk dampak perubahan iklim. Karena perbedaan tersebut, kapasitas adaptasi perempuan dalam menghadapi perubahan iklim juga berbeda sehingga menjadikan perempuan lebih rentan (Babugura Krantz, 2001: 9; Carney, 2009: 40).

Perempuan terpapar dampak perubahan iklim dalam jangka waktu yang lebih lama, misalnya ketika menghadapi banjir rob yang masuk ke dalam rumahnya. Meskipun laki-laki memiliki pendapatan lebih tinggi... sumber daya ekonomi sangat penting dalam mengurangi risiko perubahan iklim. Kelompok laki-laki lebih mempunyai akses terhadap hal tersebut, sehingga mereka lebih mampu beradaptasi. perubahan iklim.

Selanjutnya akan diuraikan berkenaan dengan ketidaksetaraan gender dalam dampak perubahan iklim dan juga dalam kebijakan perubahan iklim.

Bias Jender dalam Dampak Perubahan Iklim

Berdasarkan ketiga variabel ketidaksetaraan gender dalam perubahan iklim, seperti terlihat pada tabel di atas, terlihat jelas bahwa perubahan iklim tidak netral gender karena adanya perbedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan, perbedaan kepemilikan aset dan sumber daya, serta perbedaan. antara pria dan wanita. dalam hal akses dan kekuasaan dalam perumusan kebijakan publik, termasuk kebijakan terkait. Melihat variabel-variabel bias gender yang disebutkan di atas, berikut ini secara umum gambaran perbedaan bentuk dampak antara laki-laki dan perempuan ketika terkena dampak perubahan iklim:

Perempuan Lebih Rentan Akibat Dampak Perubahan Iklim

Beban Ganda Perempuan Akibat Dampak Perubahan Iklim

Di masyarakat pesisir yang bergantung pada alam, perubahan cuaca ekstrem membuat banyak nelayan tidak bisa melaut dan hasil tangkapan ikan menurun. Selain bertanggung jawab membantu perekonomian keluarga, perempuan juga mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas rumah tangga ketika terpapar dampak perubahan iklim, seperti memasak, mencuci piring, memandikan anak, dan membersihkan rumah (Wulansari, 2011: 6). . Temuan lain yang diungkapkan Wong menyatakan bahwa sebagai bagian dari program mitigasi perubahan iklim di negara berkembang, masyarakat di wilayah pesisir Bangladesh diperkenalkan dengan teknologi berkelanjutan, yaitu program listrik tenaga surya skala rumah tangga (solar home system/SHS).

Salah satu teknologi tersebut adalah ketenagalistrikan dengan sistem tenaga surya skala rumah tangga (solar home system/SHS). Pada umumnya perempuan membantu suami dalam pekerjaan mengolah ikan hasil tangkapan untuk dijual, dan berhenti beraktivitas sebelum pukul 20.00 karena penerangan yang kurang terang.

Perempuan Lebih Banyak Menjadi Korban

Dari 79 korban perubahan iklim dalam MDGs, perempuan dan anak-anak merupakan korban terbesar perubahan iklim (Women on the Move. Di negara-negara Asia seperti India, Nepal, Pakistan, Bangladesh, dan Tiongkok, bencana ini paling banyak berdampak pada perempuan ( Nellemann, C., Verma, R. dan Hislop, L. Di Bangladesh, pada tahun 1991 misalnya, banjir menewaskan 71 laki-laki per 1000 korban, sementara hanya 15 laki-laki per 1000 korban.

Perubahan iklim juga mempunyai dampak yang lebih parah terhadap perempuan, terutama dari kelompok sosial rendah. Dalam setiap bencana, baik yang terkait langsung dengan perubahan iklim maupun tidak, perempuan lebih banyak menjadi korban dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 4:1. Kondisi di atas menunjukkan semakin banyak perempuan yang menjadi korban ketika terjadi bencana alam.

Secara umum faktor utama yang menyebabkan banyak perempuan menjadi korban adalah kurangnya akses terhadap informasi yang dimiliki perempuan, sedangkan norma sosial juga lebih membatasi perempuan (Skinner. Melihat ketiga aspek di atas, maka dapat dikatakan bahwa perubahan iklim bukanlah hal yang penting. netral gender Sistem dan budaya patriarki mengkonstruksi peran gender yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, sehingga menyebabkan: 1).

Perbedaan peran sosial perempuan dan laki-laki dimana laki-laki selalu dianggap sebagai “kepala keluarga”. Perempuan tidak mempunyai akses dan kendali atas pengelolaan sumber daya, dan 3).

Bias Jender dalam Kebijakan Perubahan Iklim

Padahal ketidakadilan gender dalam kebijakan-kebijakan di atas belum tentu berkaitan dengan perubahan iklim. Dalam konteks kebijakan perubahan iklim di Indonesia, secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan tersebut dirancang sebagai: (1). Aksi Inovasi. teknologi, dan partisipasi masyarakat terkait adaptasi kesehatan terhadap perubahan iklim.. dan partisipasi masyarakat terkait adaptasi kesehatan terhadap perubahan iklim.

Hal ini mengakibatkan kebijakan-kebijakan terkait adaptasi perubahan iklim belum menjawab esensi permasalahan yang dihadapi perempuan serta belum memenuhi kebutuhan dan kepentingan perempuan. Kebijakan adaptasi perubahan iklim harus bertujuan untuk meningkatkan akses, kontrol, partisipasi dan penggunaan kebijakan adaptasi perubahan iklim oleh perempuan. Kebijakan mitigasi perubahan iklim harus mengarah pada keterlibatan perempuan yang lebih besar dalam perencanaan dan pemantauan program/kegiatan yang berkaitan dengan mitigasi perubahan iklim.

Sementara bagi banyak perempuan, perubahan iklim telah menyebabkan peningkatan waktu yang dihabiskan untuk pekerjaan rumah tangga akibat krisis air. Padahal perubahan siklus hidrologi akibat perubahan iklim telah banyak menyebabkan kegagalan panen sehingga dapat menimbulkan beban ganda bagi perempuan. Pencapaian kesetaraan dan keadilan gender dalam konteks kebijakan perubahan iklim memerlukan langkah-langkah untuk mengoptimalkan pengarusutamaan gender di seluruh sektor secara terpadu (diuraikan secara terpisah pada bagian Kerangka Pengarusutamaan Gender dalam Kebijakan Perubahan Iklim di akhir bab ini).

Semakin tinggi tingkat kesadaran gender yang dimiliki seseorang, maka semakin tinggi pula kualitas kebijakan perubahan iklim yang dihasilkan.

Pengarusutamaan Jender dalam Kebijakan Perubahan Iklim

Konsepsi Kesetaraan dan Keadilan Jender Perkembangan Studi Jender

  • Jender dan Konstruksi Sosial
  • Ketidakadilan Jender dan Faktor Penyebabnya

Paradigma baru adalah Women and Development (WAD) yang menekankan pada keunikan pengetahuan, pekerjaan, tujuan dan tanggung jawab perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Istilah gender diciptakan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yang merupakan bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan merupakan konstruksi sosial dan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan melalui proses sosial. Dengan pemahaman tersebut, maka konsep gender jelas berkaitan dengan proses meyakini bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya.

Dengan pengertian tersebut, kita dapat mengatakan bahwa gender adalah pembeda antara laki-laki dan perempuan, yang pada hakikatnya mempunyai fungsi organisme yang berbeda (Hazel Reeves dan Sally Baden Marzuki Ollenburge, 2002 dalam Rochmayant dan Kurnias. Atau urusan publik dan rumah tangga dapat dikelola bersama-sama. Oleh karena itu, gender erat kaitannya dengan peran laki-laki dan perempuan menurut status, lingkungan, budaya, dan struktur sosialnya.

Berbicara mengenai gender oleh karena itu selalu mengedepankan kesetaraan dan keadilan gender, mengingat gender pada umumnya erat kaitannya dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan, baik dalam aspek sosial politik, ekonomi, dan budaya. Dalam hal ini perempuan merupakan kelompok gender yang tidak dianggap lebih penting dibandingkan laki-laki. Banyak mitos dan kepercayaan yang menjadikan kedudukan perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, dan perempuan tidak mempunyai kendali terhadap dirinya sendiri melainkan dikendalikan oleh laki-laki.

Norma nilai perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun norma nilai tersebut sangat menghakimi dan merugikan perempuan.

Kerangka Implementasi Pengarusutamaan Jender dalam Kebijakan Perubahan Iklim

  • Respon Global dan Indonesia Terhadap Pengarusutamaan Jender

Sehubungan dengan gender dan perubahan iklim, komunitas internasional juga lambat dalam memasukkan isu kesetaraan gender dalam negosiasi perubahan iklim. Konferensi COP-15 bahkan secara umum memasukkan komponen kesetaraan gender dalam perjanjian politik terkait perubahan iklim. Terdapat 17 prinsip tujuan pembangunan berkelanjutan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, salah satunya adalah kesetaraan gender (tujuan no. 5) dan perubahan iklim (tujuan no.

Dalam konteks Indonesia, terkait dengan kebijakan perubahan iklim dan kesetaraan gender, sebagai wujud implementasi Inpres No. Bappenas sebagai sektor utama perencanaan pembangunan nasional telah menyusun Dokumen Kerja Politik Inklusi Gender dalam Adaptasi Perubahan Iklim (PUG-API). Dokumen kerja tersebut menekankan bahwa aksi adaptasi perubahan iklim harus memperhatikan kebutuhan, aspirasi, potensi dan pengalaman laki-laki dan perempuan di berbagai bidang.

Rekomendasi dalam Penyusunan Program Aksi Adaptasi.. variasi dan perubahan iklim mempunyai dampak yang berbeda terhadap perempuan dan laki-laki. Dari tabel prioritas pengarusutamaan gender dalam Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) sebagaimana disebutkan di atas, terlihat bahwa aspek gender telah diintegrasikan ke dalam rencana kebijakan perubahan iklim. Sebab, aksi adaptasi perubahan iklim harus benar-benar memperhatikan kebutuhan, aspirasi, potensi dan pengalaman laki-laki dan perempuan di berbagai bidang.

Sebab, kegiatan yang menunjang penghidupan masyarakat sangat terdampak dampak perubahan iklim. Dengan pemahaman tersebut maka ketahanan terhadap perubahan iklim harus didukung oleh sistem yang kuat (Bahadur, dkk. Dengan demikian, pengarusutamaan gender dalam kebijakan perubahan iklim di suatu kota merupakan upaya untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, karena semakin tinggi tingkat kesadaran gender). dimiliki suatu kota, maka semakin tinggi pula kualitas kebijakan perubahan iklimnya.

Referensi