Model evaluasi CIPP terdiri dari 4 jenis evaluasi yaitu evaluasi konteks, evaluasi data, evaluasi proses dan evaluasi produk. Struktur masyarakat hukum adat terdiri atas (1) masyarakat adat yang susunannya berdasarkan asas keturunan (asas genealogis) dan (2) susunan yang bersifat teritorial.
Masyarakat Pesisir Aceh
Masyarakat hukum jenis ini mencakup beberapa desa, namun masing-masing desa masih merupakan satu kesatuan yang mandiri. Landasan terbentuknya masyarakat hukum jenis ini adalah adanya kepentingan bersama desa di berbagai daerah. Berdasarkan 4 tipe komunitas yang diuraikan oleh Redfield (1941) yaitu town, city, farming village, dan tribal village, maka komunitas pesisir di Indonesia pada umumnya berada pada situasi antara desa adat dan desa pertanian (Satria, 2015).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa ciri-ciri masyarakat pesisir yang menunjukkan tipe komunitasnya adalah: (1) mempunyai identitas yang khas, (2) jumlah penduduknya relatif sedikit sehingga cenderung saling mengenal, (3) seragam dengan masyarakat pesisir. diferensiasi terbatas. , dan (4) kebutuhan hidup mereka terbatas sehingga tidak terlalu bergantung pada pasar luar. Kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir Aceh Besar juga ditemukan serupa dengan masyarakat pesisir lainnya di Indonesia, yaitu masih menggunakan alat tangkap sederhana karena sulitnya memperoleh permodalan, tingkat perekonomian yang belum stabil, dan rendahnya tingkat pendidikan. tingginya tingkat religiusitas yang tercermin dari larangan menangkap ikan pada hari Jumat sehubungan dengan kewajiban menunaikan shalat Jumat bagi laki-laki (Mauliza dan Wirianto, 2021). Upaya pengelolaan pesisir oleh masyarakat lokal di Aceh telah dilakukan sejak lama, apalagi dengan adanya lembaga adat Panglima Laot yang bertugas menegakkan hukum Adat Laot, dimana undang-undang ini mengatur berbagai hal termasuk pemanfaatan sumber daya alam. ikan, perlindungan lingkungan. , penyelesaian konflik antar nelayan terkait aktivitas penangkapan ikan di laut, hingga penanganan permasalahan hukum ringan (perkelahian, hutang) antar anggota masyarakat yang menjadi kewenangan masing-masing Panglima Lao (Abdullah, Tripa dan Muttaqin, 2006).
Lembaga Adat di Indonesia dengan Peran Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
- Sasi
- Awig-awig
- Lembaga Pengelolaan Hutan Nagari Sirukam
- Lembaga Adat Kampung Kuta
- Lembaga Adat Ulu Sobe Du’u Eko Nggela Ndeki
Pengelolaan adat ini juga didukung oleh struktur organisasi LPHN yang mempunyai beberapa departemen yaitu Departemen Patroli dan Keamanan Hutan, Departemen Pembangunan Ekonomi, Departemen Pelestarian Lingkungan Hidup dan Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia. Lembaga adat Kampung Kuta telah mempunyai dasar hukum pendiriannya melalui Peraturan No. 06 Desa Karangpaningal Tahun 2019 tentang Kepedulian Desa Terhadap Hutan Adat Masyarakat Desa Kampung Kuta. Peran lembaga adat ini adalah merencanakan, menciptakan, menyampaikan dan melaksanakan pesan-pesan yang bersumber dari nilai-nilai yang diwariskan secara turun temurun melalui istilah “pamali”.
Keempat peran pelestarian lingkungan hidup berbasis nilai kearifan lokal tersebut dilakukan oleh kuncen, tetua, dan tokoh adat. Masyarakat Desa Aelipo sebagian besar bergantung pada ketersediaan sumber daya yang ada di kawasan Cagar Alam Ndeta Kelikima untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, penting bagi lembaga adat tersebut untuk terlibat dalam upaya pengelolaan Cagar Alam Ndeta Kelikima, mengingat masyarakat sekitar cagar alam masih menghormati dan mengikuti aturan adat, khususnya mengenai pembagian hak ulayat/tanah garapan. per masyarakat.
Aspek Hukum Peran Masyarakat Adat dalam Pencegahan Tindak Pidana Perikanan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam konteks pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan dikenal istilah Kelompok Pemantau Masyarakat (POKMASWAS) yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), nelayan, petambak ikan, masyarakat maritim. dan aktivis lingkungan. (Marlina dan Riza, 2013). Cikal bakal POKMASWAS terinspirasi dari keberhasilan Panglima Laot di Aceh dalam menangani kasus 57 kapal nelayan asal Thailand yang menangkap ikan secara ilegal di perairan Aceh pada tahun 2000, sehingga lembaga adat ini dijadikan model pemantauan kelautan dan perikanan berbasis masyarakat. sumber daya di tingkat nasional (Abdullah, Tripa dan Muttaqin, 2006).
Di Indonesia, tingkat partisipasi masyarakat dalam proyek-proyek pengelolaan wilayah pesisir pemerintah hanya pada tahap informasional dan konsultatif, sehingga partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan pengelolaan wilayah pesisir pada kenyataannya merupakan partisipasi semu (Satria, 2009). Hal ini juga tercermin dari pembatasan kewenangan POKMASWAS yang diatur dalam Kepmen KP No. 58/Men/2001 tentang sistem pengawasan berbasis masyarakat, yaitu hanya sebatas memberikan informasi apabila terjadi tindak pidana penangkapan ikan kepada pejabat yang secara resmi mempunyai kewenangan ( Kementerian Otoritas Maritim). Bisnis dan Perikanan, 2001).
Budaya Hukum Masyarakat
Lembaga Adat Panglima Laot
Sejarah dan Perkembangan Panglima Laot
Kemudian pada masa kemerdekaan hingga saat ini, peran dan fungsi Panglima Laot kembali berubah. Peran Panglima Laot saat ini setidaknya mencakup 4 hal, yaitu (1) mengatur wilayah penangkapan ikan dan alat penangkapan ikan yang digunakan, (2) mengatur pelaksanaan adat laot, (3) mengatur masalah syahbandar khususnya administrasi nelayan, dan (4 ) kekuasaan atas permasalahan sosial, termasuk perselisihan antar nelayan mengenai hasil tangkapan di laut (Abdullah, Tripa, & Muttaqin, 2006). Periode tahun 1999 hingga tahun 2000 menjadi masa kebangkitan Panglima Laot, dimana kesadaran akan pentingnya menghidupkan kembali lembaga ini mulai muncul dan juga mendapat dukungan dari pihak-pihak terkait seperti akademisi bidang hukum adat dan hukum internasional serta lembaga-lembaga pemerintah terkait sehingga yang pada akhirnya menghasilkan beberapa keputusan penting untuk membangun lembaga tradisional ini menjadi lembaga yang tetap tradisional muatannya namun memiliki sistem pengelolaan yang modern.
Produk hukum adat lain yang dihasilkan dari konferensi tersebut adalah diadopsinya hukum adat Laos tertulis yang berlaku di seluruh wilayah Aceh tingkat II (Daud, 2014). Secara hukum formal, pada tahun 1977 tercatat dikeluarkan peraturan daerah oleh Bupati Aceh Besar, yaitu Keputusan Bupati Aceh Besar Nomor 1 Tahun 1977 tentang Susunan Organisasi Pemerintahan di Daerah Pedesaan Aceh Besar. , yang telah memberikan pengakuan terhadap keberadaan Panglima Laot sebagai lembaga adat di samping lembaga adat lainnya, meskipun fungsi dan kedudukannya belum dijelaskan secara rinci (Daud, 2014). Peraturan turunan dari UUPA tentang Panglima Laot sebagai lembaga adat resmi yang diakui pemerintah adalah Qanun Aceh nomor 9 tahun 2008 tentang pemajuan kehidupan dan adat istiadat adat dan Qanun nomor 10 tahun 2008 tentang lembaga adat.
Kedudukan Panglima Laot dalam Masyarakat Pesisir Aceh
Untuk ekosistem laut, satuan terkecil wilayah bersama disebut lhok, dengan pimpinan tertinggi adalah Panglima Laot Lhok. Seorang Panglima Laot dalam kedudukan sebagai pimpinan tertinggi perkumpulan Adat Laot adalah orang yang menonjol di kalangan para nelayan, mempunyai pengetahuan lebih banyak tentang seluk beluk laut serta mempunyai pengalaman sebagai penangan laot dan tentunya menguasai dan memahami ketentuan-ketentuan laot. hukum adat secara keseluruhan. Kedudukan Panglima Laot bukan merupakan bagian dari pemerintahan desa, melainkan merupakan persekutuan masyarakat hukum adat tersendiri, dengan kepala desa tidak turut serta dalam lembaga Adat Laot yang dipimpin oleh Panglima Laot.
Dahulu fungsi Panglima Laot bersifat turun-temurun, namun saat ini fungsi Panglima Laot terbuka bagi semua orang, asalkan memenuhi persyaratan tertentu (Daud, 2014). Berdasarkan keputusan musyawarah tahun 2017 tentang aturan kelembagaan Adat Laot Aceh, syarat seseorang untuk terpilih menjadi Panglima Laot adalah: beragama Islam; memahami hukum adat laut; bisa membaca dan menulis; adil, jujur, dan bijaksana; memiliki dedikasi dan kepedulian terhadap nelayan; berusia minimal 35 tahun atau disesuaikan; dan berlokasi di wilayah kerja Lhok (Tim Penunjukan, 2017). Abdullah, Tripa dan Muttaqin (2006) menambahkan bahwa peran mediator, yaitu menyampaikan aspirasi nelayan kepada pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dan sebaliknya menyampaikan program pemerintah kepada masyarakat pesisir, juga dipenuhi oleh PanglimaLaot.
Lembaga Adat Panglima Laot sebagai Organisasi
Konferensi Hukom Adat Lao/Panglima Laotse-Aceh pada tanggal 6-7 Juni 2000 menghasilkan beberapa keputusan penting, antara lain pembentukan struktur organisasi Panglima Lao yang secara hierarki terdiri dari Panglima Lao Provinsi, Panglima Lao Kabupaten/Kota dan Panglima Lao Lhok. Abdullah, Tripa dan Muttaqin, 2006). Dalam keputusan-keputusan yang ditinjau juga dijelaskan bahwa pada setiap tingkatan Panglima Lao juga terdapat struktur organisasi yang secara umum terdiri dari Dewan Penasehat, Ketua (Panglima Lao), Wakil Ketua, Bendahara, Sekretaris dan anggota dimana hal ini memberikan ciri modern pada Panglima Laos. institusi kebiasaan ini. Perencanaan strategis Institut Hukum Adat Laos pada tahun 2005 menetapkan visi dan misi lembaga ini.
Visi lembaga adat ini adalah untuk secara mandiri mendukung hukum laut dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat nelayan/pesisir di Aceh. Misi lembaga adat ini terdiri dari tiga hal: (1) mewujudkan dan melestarikan hukum masyarakat Laos (2) memberdayakan lembaga Panglima Laot di tingkat lhok, kabupaten/kota, dan provinsi, (3) mengembangkan kualitas hidup masyarakat nelayan (ekonomi, pendidikan, kesehatan, sarana dan prasarana serta kenyamanan hidup) (Bustamam, Abdullah dan Muttaqin, 2005). Perdebatan aturan kelembagaan Adat Laot Aceh pada tahun 2017 mengubah proses pengangkatan pengurus dalam organisasi Panglima Laot, sehingga Panglima Laot terpilih mempunyai prioritas untuk memilih dan menentukan orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan yang ada dalam organisasi adat tersebut (Tim Distributor, 2017).
Destructive Fishing .1 Pengertian
Kerugian ekologis akibat praktek destructive fishing
Terumbu karang merupakan endapan besar kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia, yang hidup bersimbiosis dengan algazooxanthellae (Latuconsina, 2020). Penangkapan ikan yang berlebihan dan destruktif merupakan ancaman terbesar bagi keberlangsungan ekosistem terumbu karang di Indonesia, dimana ancaman jenis ini berada pada tingkat kritis di wilayah perairan Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Aceh Jaya (Burkeet al., 2012). Sebagai salah satu unsur pembentuk ekosistem perairan, ketidakseimbangan ekosistem akibat rusaknya terumbu karang akan menimbulkan kerugian ekologi dan ekonomi, sehingga penting untuk menjaga kelestarian terumbu karang dalam keadaan sehat dan memenuhi fungsi ekologisnya (Latuconsina, 2020) .
Fungsi bioekologis yang dilakukan oleh ekosistem terumbu karang adalah: (1) fungsi fisik: sebagai pelindung pantai terhadap gelombang laut, (2) fungsi ekologis: sebagai pemasok unsur hara yang diperlukan biota perairan, dimana perpindahan energi terjadi melalui mekanisme jaring makanan dengan tingkat trofik yang berbeda-beda, dan (3) fungsi biologis yaitu habitat mencari makanan (feeding ground), tempat pemijahan (spawning ground), dan aktivitas biologis lainnya berbagai biota laut. Ekosistem terumbu karang dalam hal ini merupakan ekosistem yang sensitif terhadap beberapa hal seperti aliran air tawar yang berlebihan sehingga dapat mengganggu salinitas, sedimentasi, suhu ekstrim, polusi, kerusakan fisik terumbu karang dan kelebihan aliran nutrisi. Dahuri dkk., 2001). Salah satu faktor lingkungan yang membatasi terumbu karang adalah intensitas cahaya yang diterima sehingga idealnya terumbu karang hanya dapat tumbuh pada kedalaman 10-15 m (Latuconsina, 2020).
Kerugian ekonomi akibat praktek destructive fishing
Penggunaan ABPI Kompresor sebagai Praktek Destructive Fishing dan Bahaya Terhadap Kesehatan Penggunanya
Sedangkan di Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara, penyelam dengan kompresor telah merusak terumbu karang dengan cara mengikisnya saat proses penangkapan cumi-cumi (Budiyanto et al., 2019). Dengan menggunakan kompresor seperti ABPI, nelayan penyelam juga dapat bertahan lebih lama di perairan sehingga produktivitasnya tinggi dan mempercepat terjadinya overfishing (Indra et al., 2019). Studi lain melaporkan bahwa perikanan lobster di pantai barat dan timur Aceh ditemukan mengalami penangkapan ikan berlebihan masing-masing sejak tahun 2008 dan 2011 (Damora et al., 2021).
Lobster secara alami mempunyai habitat di terumbu karang dan perairan pantai yang mempunyai bebatuan (Setyanto, Rachman dan Yulianto, 2019), sehingga stabilitas ekosistem terumbu karang yang mengalami penangkapan berlebih akan terganggu (Latuconsina, 2020). Risiko kesehatan ini umumnya terjadi pada nelayan tradisional yang kurang memiliki pengetahuan dasar mengenai teknik penyelaman yang aman, sehingga rentan terkena penyakit dekompresi dan barotrauma (Salma et al., 2021). Penyakit dekompresi adalah penyakit yang disebabkan oleh penyelam yang naik terlalu cepat ke permukaan sehingga menimbulkan gelembung gas nitrogen dalam darah sehingga merusak pembuluh darah, otot, tulang, otak, dll.