• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Adapun pada Bab II tinjauan pustaka terdiri dari teori-teori dasar yang digunakan dalam penelitian yang meliputi perubahan iklim, kerentanan, mitigasi perubahan iklim, penelitian terdahulu, dan sintesa teori

2.1 Perubahan Iklim

Perubahan iklim adalah fenomena yang terjadi secara global yang ditandai dengan adanya peningkatan suhu, perubahan jumlah dan distribusi hujan (Purwanto, et al., 2012). Berdasarkan Bappenas dalam laporan Indonesia Climate Change Sektoral Roadmad –ICCSR (Bappeda, 2018; dalam Dewi, et al., 2019) telah mengklasifikasikan fenomena perubahan iklim:

a. Suhu udara permukaan

b. Peningkatan suhu permukaan air c. Kenaikan permukaan air laut d. Perubahan curah hujan e. Cuaca ekstrem

Bagi perencana perubahan iklim ini merupakan salah satu bentuk ketidakpastian, sehingga isu perubahan iklim ini menjadi fokus utama bagi semua pihak (Zandvoort, et al., 2018; dalam Fekri, 2018).

Perubahan iklim mengancam kehidupan masyarakat karena memberikan dampak kepada sumber nafkah, kesehatan, ketahanan pangan, dan air (UNDP, 2007;

dalam Fekri, 2018). Yang mana hal tersebut juga diungkapkan oleh Nandini &

Narendra (2011) bahwa perubahan iklim menyebabkan berubahnya pola kehidupan masyarakat, serta berkurangnya beberapa sumber air yang berasal dari mata air di kawasan hutan, serta ancaman ketahanan pangan bagi masyarakat. Selain itu, perubahan iklim menimbulkan dampak negatif pada sumber daya pertanian, sumber daya air, kesehatan manusia, penipisan lapisan ozon, vegetasi dan tanah (Okoli, 2014; dalam Fekri, 2018). Perubahan iklim juga berimplikasi pada meningkatnya

(2)

suhu udara yang memicu kenaikan volume dan muka air laut (Wijayanti, 2013).

Sehingga, dapat dikatakan bahwa perubahan iklim adalah suatu peristiwa yang ditandai dengan adanya perubahan pada suhu, curah hujan dan terjadinya cuaca ektrem serta menimbulkan dampak yang dapat mengancam dan merugikan masyarakat.

2.1.1 Dampak Perubahan Iklim

Perubahan iklim secara langsung sangat berdampak kepada manusia, oleh karena itu perubahan iklim merupakan isu yang menjadi fokus utama bagi semua pihak saat ini (Mustangin, 2017: dalam Fekri, 2018). Dampak perubahan iklim berimplikasi terhadap meningkatnya suhu udara sehingga meningkatkan proses pencairan es atau gletser di kutub, yang memicu kenaikan volume dan muka air laut (Wijayanti, 2013). Dampak perubahan iklim yang dapat dirasakan antara lain pergantian musim yang tidak teratur, adanya bencana ekologis seperti banjir dan kekeringan yang menimbulkan dampak kerugian yang nyata (Ahmad, 2007; dalam Nandini & Narendra, 2011).

Oleh karena itu, dapat dikatakan perubahan iklim ini sangat mengancam kehidupan masyarakat karena berdampak kepada sumber nafkah, kesehatan, ketahanan pangan, dan air (UNDP, 2007; dalam Fekri, 2018). Salah satu diantaranya ialah perubahan pola kehidupan masyarakat. Pola kehidupan masyarakat mengalami perubahan, berkurangnya beberapa sumber air yang berasal dari mata air di kawasan hutan, serta ancaman ketahanan pangan bagi masyarakat (Nandini & Narendra, 2011). Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa perubahan iklim ini menjadi isu penting karena dapat merubah dan mengancam pola kehidupan masyarakat akibat dari dampak yang ditimbulkan seperti terjadi bencana terkait iklim, ancaman terhadap sumber nafkah, air dan juga ketahanan pangan.

2.1.2 Penyebab Perubahan Iklim

Perubahan iklim terjadi karena semakin meningkatnya gas rumah kaca sehingga meningkatkan temperatur udara (Diposaptono, et al., 2009; dalam Ramadhan, et al., 2015). Peningkatan gas emisi rumah kaca disebabkan oleh

(3)

10 revolusi industri. Revolusi industri dianggap sebagai penyebab peningkatan gas emisi rumah kaca akibat kontribusi aktivitas antropogenik seperti aktivitas industri maupun kegiatan pendukungnya (Dewi, et al., 2019). Aktifitas industri tersebut antara lain seperti penggunaan bahan bakar fosil oleh sektor industri, transportasi, adanya kegiatan alih guna lahan dan kegiatan penggundulan hutan (Purwanto, et al., 2012).

Hal tersebut dibuktikan oleh jumlah gas yang dihasilkan dari kegiatan- kegiatan tersebut, seperti dalam Dewi, et al., (2019) menyatakan bahwa jumlah dari konsumsi energi listrik yang mencapai 782160,27 ton CO2/tahun atau setara dengan 65% karbondioksida kategori penggunaan energi dan menjadi salah satu kontribusi emisi terbesar bagi pemanasan global. Gas lainnya yang ikut menjadi penyumbang pemanasan global dapat ditemukan dalam bentuk CO2 yang biasanya dihasilkan dari bahan bakar fosil, serta CFCs, HFCs, dan PFCs yang dihasilkan dari gas buangan kendaraan dan industri (Ginoga, 2007; dalam Nandini & Narendra, 2011). Namun, pada kenyataannya bukan hanya kegiatan industri saja yang menghasilkan gas rumah kaca, tumpukan sampah perkotaan, peternakan, pertanian, perubahan tata guna lahan, konversi hutan, dan sebagainya bisa menjadi sumber penghasil gas rumah kaca yang memicu pemanasan global. Semakin tinggi timbunan sampah tanpa adanya pengolahan maka akan semakin menimbulkan emisi gas metana yang semakin besar (Wijayanti, 2013).

Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dijabarkan maka dapat ditabulasikan sebagai berikut

Tabel 2. 1 Komparasi Penyebab Perubahan Iklim

No Sumber Teori Penyebab Perubahan Iklim

1 Dewi, et al., 2019 1. Aktifitas industri

2. Penggunaan energi listik

2 Ginoga, 2007 1. Bahan bakar fosil

2. Gas buangan kendaraan 3. Aktifitas industri

3 Wijayanti, 2013 1. Tumpukan sampah

2. Peternakan 3. Pertanian

4. Perubahan tata guna lahan 5. Konversi hutan

*) Hasil Pustaka, 2020

(4)

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa penyebab perubahan iklim yang diutarakan Dewi, et al., (2019) memiliki kesamaan dengan pendapat Ginoga (2007) dimana penyebab perubahan iklim yaitu bersumber dari adanya aktifitas industri dan penggunaan energi. Lalu hasil dari pendapat tersebut, dilengkapi dengan pendapat Wijayanti (2013) yang mengungkapkan beberapa penyebab perubahan iklim yang bersumber dari kegiatan non-industri. Dengan demikian, perubahan iklim disebabkan dari peningkatan jumlah gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan sebagai berikut:

a. Aktifitas industri b. Penggunaan energi c. Tumpukan sampah d. Kegiatan peternakan e. Kegiatan pertanian f. Perubahan tata guna lahan g. Konversi hutan

2.2 Kerentanan

Kerentanan adalah derajat kemampuan suatu sistem untuk bereaksi terhadap peristiwa yang berbahaya (Usamah, et al., 2014; dalam Danianti & Sariffuddin, 2015). Dikatakan berbahaya karena sebuah sistem tersebut berpotensi untuk dirusak oleh tekanan dari luar (UNEP, 2009; dalam Hidayati & Setyono, 2015). Hal tersebut dijelaskan pula oleh IPCC (2007) dalam Pujiono & Setyowati (2015) bahwa kerentanan adalah suatu kondisi dimana alam dan sistem sosial rawan terhadap kerusakan akibat perubahan iklim. Begitupula yang dijelaskan oleh BAKORNAS PB (2007) dalam Danianti & Sariffuddin (2015) bahwa kerentanan merupakan suatu kondisi masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya. Namun, kerentanan tidak hanya terjadi karena keterpaparan suatu bahaya, akan tetapi juga dapat dipengaruhi oleh sensitivitas serta ketahanan yang timbul dari kejadian yang telah terjadi (Turner, et al., 2003; dalam Robianto &

Mussadun, 2020).

Menurut UNEP (2009) dalam Hidayati & Setyono (2015), kerentanan juga didefinisikan sebagai fungsi keterpaparan, sensitivitas terhadap dampak dan

(5)

12 kemampuan atau ketidakmampuan untuk menanggulangi atau beradaptasi.

Kerentanan dapat berubah tergantung pada perubahan adaptasi, karakter ancaman, keterpaparan terhadap ancaman, sensitivitas, dan kapasitas untuk merespon atau usaha pemulihan yang memberikan hasil lebih cepat (IPCC, 2001a; dalam Hastanti

& Purwanto (2020). Tingkat kerentanan suatu sistem dapat diukur. Penilaian kerentanan ini bermanfaat sebagai alat untuk memahami masalah dan faktor penyebab kerentanan, sebagai dasar penetapan prioritas kegiatan, sebagai alat untuk pengukuran risiko dan alat untuk pemberdayaan dan mobilisasi kelompok masyarakat yang rentan (Benson dkk, 2007; dalam Pujiono & Setyowati, 2015).

Penilaian tingkat kerentanan juga sangat penting karena menjadi tolak ukur pencapaian kota tangguh (Danianti & Sariffuddin, 2015).

Berdasarkan pendapat para pakar mengenai pengertian kerentanan yang telah dijabarkan, maka hasil tersebut dapat ditabulasikan sebagai berikut

Tabel 2. 2 Diskusi Teori Kerentanan

No Pakar Definisi Kerentanan

1 Usamah, et al., 2014 Kemampuan untuk dapat bereaksi dengan peristiwa berbahaya.

2 IPCC, 2007 Suatu kondisi dimana alam dan

sistem sosial rawan terhadap kerusakan akibat perubahan iklim.

3 UNEP, 2009 Fungsi keterpaparan, sensitivitas terhadap dampak dan kemampuan atau ketidakmampuan untuk menanggulangi atau beradaptasi.

4 BAKORNAS PB, 2007 Suatu kondisi masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya

*) Hasil Pustaka, 2020

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa Usamah, et al., (2014) dan BAKORNAS PB (2007) sama-sama mendefinisikan bahwa kerentanan adalah suatu kemampuan dalam menghadapi ancaman bahaya, kemudian maksud tersebut diperjelas kembali oleh IPCC (2007) bahwa peristiwa berbahaya yang dimaksud ialah kerusakan akibat perubahan iklim. Dengan demikian, kerentanan secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan untuk menghadapi ancaman bahaya akibat

(6)

perubahan iklim yang dapat dinilai dari keterpaparan, sensitivitas dan kemampuan adaptasi.

2.2.1 Jenis Kerentanan

Kerentanan merupakan upaya mengidentifikasi dampak akibat danri bencana seperti jatuhnya korban jiwa, kerugian ekonomi, kerusakan sarana prasarana, analisis kerentanan ditekankan pada kondisi sosial, ekonomi, dan kondisi lingkungan (fisik) kawasan (Diposaptono, et al., 2009; dalam Widodo & Hizbaron, 2017). Kerentanan dapat dijelaskan pula sebagai kondisi-kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang bisa meningkatkan rawannya sebuah komunitas terhadap bahaya (Setyaningrum, 2014; dalam Choirunisa & Giyarsih, 2016). Kerentanan memiliki faktor yang berbeda berdasarkan jenisnya, jenis kerentanan terdiri dari kerentanan fisik, kerentanan ekonomi, kerentanan sosial dan kerentanan lingkungan (Bakornas PB, 2007; dalam Hapsoro & Buchori (2015). Jenis-jenis kerentanan juga dijelaskan oleh Lisditya (2012) dalam Haris, et al. (2017) adalah sebagai berikut:

1. Kerentanan Fisik merupakan potensi dari dampak fisik dari lingkungan dan populasi, terdiri dari konstruksi dan umur bangunan, komposisi infrastruktur jalan, fasilitas public.

2. Kerentanan Ekonomi yaitu dampak potensial yang berpengaruh terhadap asset ekonomi dan proses ekonomi seperti gangguan usaha, kemiskinan meningkat dan kehilangan pekerjaan

3. Kerentanan Sosial merupakan dampak yang timbul dari kejadian pada suatu kelompok seperti rumah tangga, orang tua tunggal, wanita hamil atau menyusui, penyandang cacat, anak-anak dan lansia

4. Kerentanan Lingkungan. Dampak potensial dari kejadian terhadap lingkungan meliputi air, tanah, udara, tumbuhan dan binatang.

Namun berdasarkan (Widodo & Hizbaron, 2017) kerentanan dapat dibagi menjadi tiga yaitu kerentanan fisik, sosial, dan lingkungan. Sedangkan menurut Hasim & Yasin (2018) Kerentanan dikelompokkan menjadi lima kategori yaitu kerentanan fisik, kerentanan ekonomi, kerentanan sosial, kerentanan lingkungan, kerentanan kelembagaan. Berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan, bahwa

(7)

14 terdapat beberapa jenis kerentanan yaitu kerentanan fisik, kerentanan ekonomi, kerentanan sosial, kerentanan lingkungan dan kerentanan kelembagaan.

2.2.2 Faktor Kerentanan

Tingkat kerentanan pada masyarakat dipengaruhi oleh faktor akses terhadap sumber daya alam dan diversitas sumber pendapatan (Wahyono, 2016; dalam Hastanti & Purwanto (2020). Tingkat kerentanan suatu wilayah menjadi lebih tinggi, hal ini juga dipengaruhi oleh letak dan ukuran geografis yang berbeda sehingga dapat menimbulkan kerusakan yang lebih parah dari daerah lainnya (Sjo, 2017;

dalam Robianto & Mussadun, 2020) seperti wilayah pesisir yang memiliki kerentanan karena wilayah tersebut menerima ancaman terhadap kenaikan muka air laut cukup besar (Wijayanti, 2013).

Kemudian, besarnya ancaman bencana terhadap suatu wilayah juga menyebabkan wilayah tersebut rentan terhadap perubahan iklim (Wijayanti, 2013). Kondisi Indonesia sendiri yang merupakan negara kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau kecil dan besar menyebabkan Indonesia menjadi rentan terhadap terjadinya perubahan iklim. Pulau kecil memiliki tingkat kerentanan lebih besar dibandingkan dengan pulau besar hal ini disebabkan karena dampak perubahan iklim akan langsung dirasakan oleh pulau-pulau kecil seperti kenaikan muka air laut yang dapat memicu tenggelamnya pulau-pulau kecil serta hilangnya ekosistem di pulau-pulau kecil (Nandini & Narendra, 2011). Analisa tingkat kerentanan juga didasarkan pada tiga indikator yaitu keterpaparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptasi (Hastanti & Purwanto, 2020).

A. Keterpaparan

Keterpaparan merupakan keadaan masyarakat, mata pencaharian, ekosistem, jasa, fungsi lingkungan, sosial, ekonomi, budaya, sumber daya, infrastruktur pada suatu wilayah yang terkena dampak negative akibat bencana (Setiyaningsih, 2016;

dalam (Hastanti & Purwanto, 2020)). Keterpaparan juga dapat berupa bahaya seperti kekeringan, konflik atau fluktuasi harga ekstrim, dan juga sosial-ekonomi dasar, kelembagaan dan kondisi fisik alam (UNEP, 2009; dalam Hidayati &

Setyono, 2015). Adapun keterpaparan yang disebabkan oleh perubahan iklim dapat

(8)

dianalisa dengan perubahan iklim dan dampaknya pada jangka panjang termasuk frekuensi dan besarannya (Robianto & Mussadun, 2020).

Parameter untuk mengukur tingkat keterpaparan dapat berupa jumlah bangunan dan KK terdampak bencana, kepadatan penduduk, dan kondisi tutupan lahan (Tarumingkeng, et al., 2017). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Turner, et al., (2003) dalam Robianto & Mussadun (2020), dimana komponen keterpaparan dapat diukur berdasarkan individu, rumah tangga, serta flora dan fauna serta ekosistem yang ada dikawasan tersebut. Namun berdasarkan Boer, et al. (2013) dalam Danianti & Sariffuddin (2015) menyatakan bahwa tingkat keterpaparan dapat diidentifikasi dengan data topografi atau kemiringan, besar peluang infrastruktur, permukiman dan sumber kehidupan dari lokasi bencana seperti pantai (rob), tebing (longsor) dan cekungan (banjir).

Berdasarkan hasil uraian oleh pakar yang telah dijabarkan, maka dapat ditabulasikan sebagai berikut

(9)

16 Tabel 2. 3 Komparasi Teori terkait Indikator Keterpaparan

No Indikator Keterpaparan Setyaningsih

(2016) UNEP (2009) Robianto &

Mussadun (2020)

Tarumingkeng, et al. (2017)

Turner, et al.

(2003)

1 Keadaan masyarakat   

2 Mata Pencaharian 

3 Kondisi ekosistem/fisik alam    

4 Jasa 

5 Fungsi lingkungan 

6 Kondisi sosial  

7 Kondisi ekonomi  

8 Kondisi budaya 

9 Sumberdaya 

10 Infrastruktur 

11 Frekuensi dan besarnya bencana   

12 Kelembagaan 

13 Flora dan fauna 

*) Hasil Pustaka, 2020

(10)

Berdasarkan hasil tabulasi di atas dapat dikatakan bahwa indikator keterpaparan dapat berasal dari berbagai aspek antara lain demografi, tata guna lahan, mata pencaharian, kesejahteraan, infrastruktur, sumber daya dan kelembagaan. Namun, dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa terdapat beberapa teori yang memiliki kesamaan pada penentuan indikator. Indikator yang memiliki kesamaan yaitu indikator keadaan masyarakat, kondisi ekosistem/fisik alam, kondisi sosial, kondisi ekonomi, dan frekuensi serta besarnya bencana. Pada pedoman kajian risiko iklim juga menyebutkan bahwa komponen keterpaparan sangat tergantung dari fungsi geografis berdasarkan variasi iklim yang dapat menyebabkan bencana.

B. Sensitivitas

Besarnya dampak yang dihasilkan dari suatu gangguan juga bukan hanya karena besarnya keterpaparan suatu wilayah, namun juga karena sensitivitas unit spesifik yang terpapar seperti ekosistem, sumber air, pulau, rumah tangga, desa, kota, atau negara (UNEP, 2009; dalam Hidayati & Setyono (2015). Sensitivitas sendiri adalah tingkat kepekaan suatu sistem seperti kondisi lingkungan, sosial ekonomi, yang dipengaruhi oleh tekanan atau gangguan baik itu tekanan positif maupun negative (Liu, et al., 2013; dalam Hastanti & Purwanto (2020). Sensitivitas terdiri dari dua bagian yaitu, kondisi sensitivitas masyarakat yang mencakup modal sosial seperti populasi, struktur ekonomi, kelembagaan yang ada di masyarakat dan kondisi sensitivitas lingkungan yang mencakup kondisi air, tanah, cuaca (Turner, et al., 2003; dalam Robianto & Mussadun, 2020).

Parameter yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat sensitivitas antara lain mata pencaharian, kondisi masyarakat, dan status kepemilikan asset (Tarumingkeng, et al., 2017). Dalam panduan kajian adaptasi ICCTF, kondisi bangunan masuk ke dalam aspek sensitivitas. Bangunan nonpermanen, bangunan dengan lantai tanah, kondisi toilet mempengaruhi keamanan dalam bermukim.

Tingkat kepadatan penduduk juga berperan dalam menentukan tingkat sensitivitas masyarakat (Vorosmarty, 2000; dalam Riviwanto & Dwiyanti, 2019). Namun, menurut Boer, et al. (2013) dalam Danianti & Sariffuddin (2015) tingkat sensitivitas dapat diidentifikasi dengan data seperti akses masyarakat terhadap air bersih, serta laju produksi sampah dan kemampuan pengelolaannya. Selain itu, indikator lainnya yang dapat mengukur tingkat sensitivitas terdiri dari jumlah penduduk usia non-

(11)

18 produktif, pekerja pertanian, sumber penggunaan air keluarga, dan tingkat kemiskinan (Setiyaningsih, 2016; dalam Hastanti & Purwanto, 2020).

Berdasarkan hasil uraian oleh pakar yang telah dijabarkan, maka dapat ditabulasikan sebagai berikut

(12)

19 Tabel 2. 4 Komparasi Teori terkait Indikator Sensitivitas

No Indikator

Sensitivitas UNEP

(2009) Liu, et al.

(2013) Turner, et

al. (2003) Tarumingkeng,

et al. (2017) Vorosmarty

(2000) Boer, et al.

(2013) Setyaningsih (2014)

1 Kondisi ekosistem  

2 Sumberdaya air    

3 Jumlah penduduk    

4 Kondisi lingkungan 

5 Kondisi sosial ekonomi

   

6 Kelembagaan 

7 Laju produksi sampah

 8 Kemampuan

pengelolaan sampah

*) Hasil Pustaka, 2020

(13)

20 Komponen sensitivitas sendiri dapat diartikan dengan sejauh mana suatu wilayah dipengaruhi oleh bencana akibat perubahan iklim yang dampaknya dapat secara langsung maupun tidak langsung dirasakan oleh masyarakat. Sehingga berdasarkan hasil tabulasi di atas dapat dikatakan bahwa indikator tingkat sensitivitas lebih banyak berasal dari kondisi ekosistem, sumberdaya air, jumlah penduduk, dan kondisi sosial ekonomi.

C. Kapasitas Adaptif

Kapasitas adaptif adalah kemampuan untuk menghadapi keterpaparan dan perubahan iklim dengan memanfaatkan sumberdaya sosial dan ekonomi, teknologi, akses informasi terkait dengan perubahan iklim untuk mengurangi potensi kerusakan (Purifyningtyas & Wijaya, 2016; dalam Hastanti & Purwanto, 2020). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Boer, et al. (2013) dalam Danianti & Sariffuddin (2015) dimana kapasitas adaptif adalah sebuah kemampuan suatu wilayah atau masyarakat untuk beradaptasi dengan dampak yang timbul dari perubahan iklim.

Kapasitas adaptif pada masyarakat ditentukan oleh beberapa faktor antara ain sumber daya ekonomi, teknologi, informasi dan keterampilan, infrastruktur, tersedianya lembaga yang kuat dan terorganisasi, serta pemerataan akses menuju sumber daya (Hastanti & Purwanto, 2020).

Parameter yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kapasitas adaptasi antara lain, kondisi perekonomian, tingkat pendidikan, ketersediaan aspek fisik permukiman dan kondisi sungai (Tarumingkeng, et al., 2017). Indikator tingkat pendidikan juga disebutkan oleh Polsky dan Yarnal (2007) dalam Robianto &

Mussadun (2020) dimana komponen kapasitas adaptasi antara lain akses informasi seperti tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, rencana tanggap darurat, program konservasi hingga program kesehatan. Tingkat pendapatan dalam hal ini terkait pula dengan kemampuan untuk menabung sebagai modal kesiapsiagaan (Hastanti

& Purwanto, 2020). Namun, kemampuan untuk menabung dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, dengan asumsi dimana semakin banyak anggota keluarga maka semakin besar biaya hidup, sehingga pendapatan digunakan untuk memenugi kebutuhan lain diluar tabungan (Priyadi & Hidayat, 2016). Tingkat kapasiatas adaptif ini tergantung pada proses pembelajaran dari kerentanan yang dialami dalam mengembangkan strategi untuk menghadapi perubahan di masa yang akan

(14)

datang (Welsh dkk, 2013; dalam Hastanti & Purwanto (2020). Hal tersebut didukung oleh pendapat Macchi, et al. (2011) dalam Wahyono (2016) dimana kapasitas adaptasi dapat meningkat jika masyarakat memiliki modal sosial, modal kapital, modal sumber daya, dan modal sumber daya manusia karena hal tersebut akan mendorong masyarakat bertindak mengatasi kerentanan, contohnya seperti dengan adanya penganekaragaman mata pencaharian.

Berdasarkan hasil uraian oleh pakar yang telah dijabarkan, maka dapat ditabulasikan sebagai berikut

(15)

22 Tabel 2. 5 Komparasi Teori terkait Indikator Kapasitas Adaptif

No Indikator Kapasitas Adaptif Hastanti & Purwanto

(2020) Tarumingkeng, et al.

(2017) Polsky dan Yarnal (2007)

1 Kondisi ekonomi   

2 Teknologi 

3 Informasi dan keterampilan  

4 Infrastruktur  

5 Kelembagaan 

6 Akses sumber daya 

7 Tingkat pendidikan  

8 Program konservasi dan kesehatan 

*) Hasil Pustaka, 2020

(16)

Kapasitas adaptif dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menghadapi atau beradaptasi terhadap perubahan iklim dengan mengurangi potensi kerusakan melalui pemanfaatan sumber daya yang ada. Sehingga, berdasarkan hasil tabulasi di atas dapat dilihat bahwa indikator dari kapasitas adaptif berupa kemampuan dari masyarakat dan juga ketersediaan sumber daya seperti kondisi ekonomi, informasi atau keterampilan/akses untuk mendapatkan informasi, ketersediaan infrastruktur dan tingkat pendidikan.

2.3 Mitigasi Perubahan Iklim

Ketahanan iklim kota merupakan suatu kondisi dimana kota mampu mengembangkan kapasitas dalam menyerap dampak perubahan iklim dan menekan sistem sosial, ekonomi dan infrastruktur sehingga dapat mempertahankan fungsi dasar, struktur, sistem, dan identitas kota. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan ketahanan kota antara lain keberhasilan dalam penurunan emisi gas rumah kaca, dukungan infrastruktur perkotaan dalam tindakan mitigasi, social agent atau stakeholder yang terlibat, serta institusi yang mengatur tindakan mitigasi tersebut (Wijayanti, 2013). Hal ini juga didukung oleh pendapat Krisbandono (2013) dalam Harjadi (2016), dimana komitmen yang kuat baik dari stakeholder, pemerintah, swasta, maupun masyarakat menjadi faktor utama penentu keberhasilan inisiatif mitigasi dan adaptasi.

Mitigasi terhadap perubahan iklim adalah upaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim dengan cara memperlambat atau menahan emisi gas rumah (Klein dan Huq, 2007: dalam Wijayanti (2013). Purwanto, et al. (2012) juga mengeluarkan pendapat yang sama bahwa upaya mitigasi diperlukan karena untuk mengantisipasi apabila laju perubahan iklim melebihi kemampuan beradaptasi, sehingga mitigasi merupakan upaya yang dilakukan untuk mengurangi sumber maupun peningkatan penyerapan gas rumah kaca, agar proses pembangunan tidak terhambat dan tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai. Upaya mitigasi terhadap perubahan iklim juga perlu dilakukan karena memiliki perngaruh besar terhadap keberhasilan pengelolaan sumber daya alam hayati (Purwanto, et al., 2012). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ketahanan kota terhadap perubahan iklim dapat diwujudkan jika kota mampu menyerap dampak perubahan iklim serta mempertahankan kondisi

(17)

24 kotanya. Salah satu cara selain dengan adanya komitmen pemerintahan dan adanya dukungan infrastruktur, yaitu dengan melakukan mitigasi perubahan iklim.

2.4 Sintesa Teori

Hasil sintesa teori dari teori-teori yang telah dijelaskan dapat menjadi dasar penentuan dalam memilih variabel yang sesuai dengan perhitungan tingkat kerentanan iklim. Sintesa teori ditabulasikan dalam tabel sebagai berikut

Tabel 2. 6 Sintesa Teori

No Aspek Indikator Variabel

1 Keterpaparan Fisik Frekuensi bencana Keberadaan bangunan Luas jenis tutupan lahan terbangun

Sosial, Kelembagaan Tingkat kepadatan penduduk

Ekonomi Mata pencaharian

2 Sensitivitas Fisik Akses ke sumber air Suhu

Curah hujan

Sosial, Kelembagaan Tingkat kepadatan penduduk Penduduk usia non-produktif Ekonomi Rumah tangga dengan bangunan

non-permanen

Rumah tangga yang memiliki akses listrik

Rumah tangga tanpa toilet pribadi Mata Pencaharian

Tingkat kemiskinan 3 Kapasitas

Adaptif Fisik Akses telekomunikasi

Fasilitas kesehatan Fasilitas perdagangan Sosial, Kelembagaan Sumber informasi

Tenaga kesehatan Tingkat pendidikan Ekonomi Tingkat pendapatan

*) Hasil sintesa pustaka, 2020

(18)

2.5 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu terkait pemetaan terhadap kerentanan baik itu kerentanan terhadap bencana maupun kerentanan iklim telah dilakukan oleh beberapa orang.

Penelitian terdahulu yang pertama melakukan perhitungan kerentanan iklim dengan menggunakan 3 (tiga variabel) yaitu curah hujan, kelembaban, dan suhu udara.

Variabel yang digunakan dalam perhitungan dibagi menjadi beberapa kelas.

Pengkelasan ini akan digunakan penulis sebagai acuan dalam melakukan pengkelasan variabel.

Adapun dalam penelitian terdahulu yang kedua yaitu meneliti tentang faktor- faktor kerentanan namun hanya berfokus pada kelurahan di wilayah pesisir. Faktor- faktor yang digunakan terbagi menjadi tiga aspek yaitu keterpaparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptif. Faktor yang didapatkan kemudian diolah menggunakan analisis kerentanan yang terdiri dari Standarisasi, Mean, Pengkelasan, Penyajian data spasial, Penilaian kerentanan iklim, Deskriptif komparatif. Dari analisis terhadap faktor, maka didapatkan strategi mitigasi dan adaptasi. Pembagian faktor dan penggunaan teknik analisis kerentanan tersebut akan digunakan penulis sebagai acuan dalam penelitian ini. Adapun detail penjabaran penelitian terdahulu akan dijelaskan pada tabel berikut

(19)

26 Tabel 2. 7 Penelitian Terdahulu

Penulis Judul Data Metode Hasil Kegunaan

Penelitian Harjadi (2016) Tingkat Kerentanan

Iklim di Taman Nasional Bali Barat

- Curah hujan - Kelembaban - Suhu udara

Analisis dengan

software ILWIS Tingkat kerentanan berdasarkan kelas distribusi

Dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan kelas kerentanan iklim di Kota Balikpapan Fauziah (2014) Kajian Kerentanan

Iklim: Sebuah Penilaian Kembali di Wilayah Pesisir Kota Semarang

- Dampak biofisik dan sosio-ekonomi variabilitas iklim - Indeks keamanan bermukim

- Sosial-demografi - Penghidupan

- Tingkat

pendidikan dan pengetahuan

- Kelembagaan

- Strategi

penghidupan

- Teknologi adaptasi

Standarisasi, Mean, Pengkelasan, Penyajian data spasial, Penilaian kerentanan iklim, Deskriptif

komparatif

Tingkat kerentanan iklim yang ditentukan oleh

eksposure/keterpaparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptif

Metode analisis dapat menjadi acuan dalam menentukan strategi mitigasi kerentanan iklim di Kota Balikpapan

Robianto &

Mussadun (2020) Kerentanan Kawasan

Permukiman Rawan Banjir Kmapung Kolam Kelurahan Tanjungpinang

Data beradasarkan komponen

keterpaparan, sensitivitas,

kapasitas adaptif yang dibagi ke

Analisis tingkat kerentanan dengan pendekatan

keterpaparan, sensitivitas,

kapasitas adaptif

Tingkat kerentana masyarakat di kawasan banjir

Teknik analisis dengan sistem skoring dan pembobotan pada masing-masing variabel serta

(20)

27

Penulis Judul Data Metode Hasil Kegunaan

Penelitian Barat

Tanjungpinang

dalam tiga aspek yaitu aspek fisik;

sosial, budaya, kelembagaan; dan aspek ekonomi

yang dilakukan dengan Weighted and Scoring Analisys

tipologi indeks kerentanan dapat dijadikan acuan dalam menentukan tingkat kerentanan iklim di Kota Balikpapan.

*) Penulis, 2020

Referensi

Dokumen terkait

단위 : 천 원 Uint: thousand yen 미맥류 기타곡류 육류 어패류 소채과실 장류1 주류담배 기호품2 기타 가공식3 합계 Rice and barley Other cereals Meat Fishes Vegetables and fruits Soy sauce Liquors, tobacco, etc.. Note