10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kawasan Permukiman
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan, bahwa permukiman ialah bagian dari lingkungan hunian yang mempunyai fasilitas dan utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan lainnya. Maka didapatkan definisi dari perumahan dan permukiman pada undang-undang ini ialah kesatuan sistem penyekenggaraan dan pembinaan kualitas terhadap dan permukiman serta peran masyarakat. Menurut Kuswartoyo (2005) dalam Setiawan dkk. (2017) bahwa permukiman ialah sebagai perpaduan perumahan dan kehidupan masyarakat yang menempatinya, hal ini berarti permukiman ialah perpaduan antara masyarakat dan lingkungannya. Dalam Setiawan dkk. (2017) menambahkan bahwa terdapat unsur-unsur permukiman yaitu alam (nature), lindungan (shell), jejaring (network), manusia (man), dan masyarakat (society).
Menurut Rindarjono (2012) dalam Alfiani (2016), perkembangan permukiman terdapat berbagai aspek adaptasi manusia terhadap lingkungannya untuk menyesuaikan dengan kebutuhan hidupnya menyangkut pola, bentuk, lokasi, maupun terhadap perubahan di dalamnya. Dalam unsur-unsur permukiman sebelumnya, disepakati oleh Soetomo (2009) dalam Wulandari (2017) bahwa permukiman terdiri dari isi (content) yakni masyarakat dan rumah mereka meliputi elemen alam dan buatan manusia (the container). Teori tersebut merupakan teori Doxiadis pada tahun 1968 oleh Constantinos A. Doxiadis, dalam pengertiannya bahwa permukiman tidak hanya digambarkan dalam tiga dimensi, melainkan empat dimensi yang terdapat unsur manusia yang hidup dan selalu berubah karakter serta budayanya dalam suatu periode (Santosa, 2016). Dalam teori Doxiadis (1968) dalam Santosa (2016) dan Wilandari (2017), terdapat empat unsur dasar permukiman antara lain sebagai berikut:
1. Alam (nature) sebagai lingkungan terdiri dari elemen biotik dan abiotic.
2. Bangunan (shells) berupa bangunan Gedung yang mencapai skala permukiman.
3. Sarana Prasarana (network) yang meliputi fasilitas dan utilitas umum.
4. Manusia (man) sebagai makhluk individu. Masyarakat (society) atau kumpulan manusia dan segala hubungannya dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik.
11 Melihat dari berbagai persepsi terhadap perumahan dan permukiman yang telah dipaparkan sebelumnya, maka pengertian perumahan akan dibatasi pada makna permukiman itu sendiri.
Dari beberapa pendapat tersebut terdapat keberagaman dalam pengertian permukiman yang ditunjukkan pada tabel 2.1 berikut.
Tabel 2. 1 Dikusi Teori Permukiman No Sumber
Pustaka Teori Permukiman Indikator
1.
UU Nomor 1 Tahun 2011
Bagian dari lingkungan hunian yang mempunyai fasilitas dan utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan lainnya.
- Sarana Prasarana - Lingkungan
Alam
2. Setiawan dkk. (2017)
Perpaduan perumahan dan kehidupan masyarakat yang menempatinya, hal ini berarti permukiman ialah perpaduan antara masyarakat dan lingkungannya.
- Masyarakat - Lingkungan
Alam - Bangunan - Sarana
Prasarana
3.
Rindarjono (2012) dalam Alfiani (2016)
Perkembangan permukiman terdapat berbagai aspek adaptasi manusia terhadap lingkungannya untuk menyesuaikan dengan kebutuhan hidupnya menyangkut pola, bentuk, lokasi, maupun terhadap perubahan di dalamnya.
- Masyarakat - Lingkungan
Alam
4. Wilandari (2017)
Permukiman terdiri dari isi (content) yaitu manusia dan tempat fisik manusia tinggal meliputi elemen alam dan buatan manusia (the container).
- Masyarakat - Lingkungan
Alam - Bangunan - Sarana
Prasarana
5 Santosa (2016)
Permukiman tidak hanya digambarkan dalam tiga dimensi, melainkan empat dimensi yang terdapat unsur manusia yang hidup dan selalu berubah karakter serta budayanya dalam suatu periode.
- Masyarakat - Lingkungan
Alam - Bangunan - Sarana
Prasarana Sumber: Hasil Pustaka, 2021
Dari diskusi teori diatas oleh beberapa sumber pustaka memiliki beberapa persamaan dalam definisi permukiman, yaitu dapat dikatakan bahwa permukiman merupakan lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari perpaduan antara perumahan yang mempunyai fasilitas dan utilitas, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasasn perkotaan atau kawasan perdesaan. Tabel diatas menyatakan bahwa dari beberapa ahli sepakat bahwa permukiman dapat diartikan pula pola perpaduan antara manusia dengan masyarakatnya, alam dan unsur buatan. Hal tersebut didapatkan beberapa indikator dari diskusi teori yakni bangunan, sarana prasarana, lingkungan alam, dan masyarakat.
12 2.2 Kualitas Permukiman
Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 dalam Buku Panduan Penyusunan Rencana Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Perkotaan (RP2KPKP) bahwa peningkatan kualitas terhadap permukiman dilihat dari beberapa kriteria, adapun kriteria permukiman berdasarkan undang-undang tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ketidakteraturan dan kepadatan bangunan yang tinggi yang mengakibatkan penurunan kualitas permukiman, serta sarana, prasarana, dan utilitas;
2. Ketidaklengkapan sarana, prasarana, dan utilitas umum;
3. Pembangunan rumah, perumahan, dan permukiman yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Dalam kebijakan tersebut, yang dimaksud dengan prasarana adalah jalan, drainase, sanitase, dan air minum. Yang dimaksud dengan utilitas umum adalah jaringan listrik. Sedangkan, yang dimaksud dengan sarana adalah rumah ibadah dan ruang terbuka hijau (RTH). Menurut Soeki (1993) dalam Alfiani (2016) bahwa istilah permukiman juga didefinisikan sebagai kumpulan permukiman yang memiliki ciri-ciri fisik sebagai berikut:
1. Tingginya tingkat kepadatan penduduk;
2. Kepadatan bangunan;
3. Tata letak bangunan;
4. Kualitas sanitasi buruk.
Dalam penelitian lainnya oleh Rofiana (2015) menyatakan terdapat beberapa kriteria permukiman dibagi ke beberapa aspek yaitu:
1. Kondisi Kependudukan; menggambarkan tingkat kepadatan penduduk yang berada di kawasan permukiman.
2. Kondisi Bangunan; menggambarkan kualitas bangunan yang akan dijadikan tempat tinggal yaitu didasarkan pada tingkat kepadatan bangunan dan tata letak bangunan.
3. Kondisi Sarana dan Prasarana; kebutuhan akan fasilitas umum dasar yang ada pada kawasan permukiman sehingga penilaian yang dilakukan adalah kelayakan dan jumlahnya telah memenuhi syarat atau tidak
4. Kondisi Sosial Ekonomi; menggambarkan tingkat ekonomi, tingkat kesehatan, tingkat pendidikan, interaksi sosial, dan kelompok sosial.
13 Selain itu, pada penelitian Kustiwan dan Ramadhan (2019) dalam menentukan strategi peningkatan kualitas permukiman digunakan beberapa indikator dalam melihat karakteristik kualitas permukiman antara lain sebagai berikut:
1. Bangunan; terkait tata letak bangunan dan kepadatan bangunan.
2. Aksesibilitas; terkait tingkat aksesibilitas serta kualitas dan kondisi jalan.
3. Sanitasi; terkait akses terhadap air bersih, tingkat kecukupan air bersih, akses terhadap MCK, kualitas dan kondisi MCK, ketersediaan tempat sampah, ketersediaan saluran drainase, kapasitas saluran drainase, dan kualitas saluran drainase.
4. Sarana dan Prasarana; terkait akses terhadap sarana kesehatan, akses terhadap sarana pendidikan, serta ketersediaan sarana dan prasarana pemadam kebakaran.
Dari beberapa sumber diatas terdapat beberapa persamaan dan perbedaan, namun kriteria kualitas permukiman telah dirumuskan dalam kebijakan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 2 Tahun 2016. Kriteria permukiman merupakan kriteria yang digunakan untuk menentukan kondisi kualitas permukiman. Kriteria permukiman ditinjau dari:
1. Bangunan; Kriteria ini mencakup ketidakaturan bangunan dan tingkat kepadatan bangunan.
2. Jalan Lingkungan; Kriteria ini terdiri dari ruas jalan lingkungan permukiman dan kondisi permukaan jalan lingkungan.
3. Penyediaan Air Minum; Kriteria ini mencakup ketidaktersediaan akses aman air minum; dan tidak terpenuhinya kebutuhan air minum setiap individu sesuai standar yang berlaku (tidak berbau, tidak berwarna, dan tidak berasa).
4. Drainase Lingkungan; Kriteria ini mencakup drainase lingkungan yang tidak mampu mengalirkan limpasan air hujan sehingga menimbulkan genangan; ketidaktersediaan drainase; tidak terhubungnya dengan sistem drainase perkotaan; serta kualitas konstruksi drainase lingkungan buruk.
5. Pengelolaan Air Limbah; Kriteria ini mencakup ketidaktersediaan fasilitas MCK.
6. Pengelolaan Persampahan; Kriteria ini mencakup tidak terawatnya TPS persampahan.
7. Proteksi Kebakaran; Kriteria ini mencakup ketidaktersediaan sarana dan prasarana proteksi kebakaran.
Melihat teori dari beberapa sumber yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat dilihat keberagaman dalam pembahasan kualitas permukiman yang ditunjukkan pada tabel 2.2 berikut.
14 Tabel 2. 2 Diskusi Teori Kualitas Permukiman
No Sumber Pustaka Indikator Variabel
1. UU Nomor 1 Tahun 2011
Bangunan Tata Letak Bangunan Kepadatan Bangunan Sarana Prasarana
Ketidaklengkapan Sarana, Prasarana, dan Utilitas Umum
Penurunan Kualitas Sarana, Prasaran, dan Utilitas Umum
2. Alfiani (2016)
Masyarakat Kepadatan Penduduk Bangunan Kepadatan Bangunan Tata Letak Bangunan Sarana Prasarana Jaringan Sanitasi
3. Rofiana (2015)
Bangunan Tata Letak Bangunan Kepadatan Bangunan
Sarana Prasarana
Jaringan Air Bersih Jaringan Sanitasi Jaringan Persampahan Jaringan Drainase Jaringan Jalan
Lingkungan Alam Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Masyarakat
Kepadatan Penduduk Tingkat Ekonomi Tingkat Kesehatan Tingkat Pendidikan Interaksi Sosial Kelompok Sosial
4.
Kustiwan dan Ramadhan (2019)
Bangunan Keteraturan Bangunan Tata Letak Bangunan
Sarana Prasarana
Jaringan Air Bersih Jaringan Sanitasi Jaringan Persampahan Jaringan Drainase Jaringan Jalan Proteksi Kebakaran
Lingkungan Alam Ruang Terbuka Hijau (RTH)
5.
PERMEN PUPR Nomor 2 Tahun 2016
Bangunan Tata Letak Bangunan Kepadatan Bangunan
Sarana Prasarana
Jaringan Jalan Jaringan Air Bersih Jaringan Drainase Jaringan Sanitasi Jaringan Persampahan Proteksi Kebakaran Sumber: Hasil Pustaka, 2020
Berdasarkan tabulasi diatas dapat disimpulkan bahwa kriteria kualitas permukiman telah ditinjau dari beberapa variabel seperti Bangunan, Sarana Prasarana, Lingkungan Alam, Masyarakat serta kriteria permukiman yang disesuaikan dengan kebijakan tiap indikator.
15 2.3 Branding Kota
Menurut Aaker (2014) dalam Mantiri (2018), branding merupakan sebuah makna untuk memberikan prinsip sebuah brand, dimana memiliki manfaat fungsional dan manfaat emosional. Sedangkan pemahaman branding kota menurut Simon Anholt dalam Putra (2016) merupakan strategi suatu kota untuk meningkatkan kedudukan (positioning) dan dapat dikenal secara luas. Terdapat beberapa strategi dalam dalam melakukan branding kota antara lain sebagai berikut.
1. Pemasaran citra (image marketing); keunikan dan kebaikan citra pada kawasan.
2. Pemasaran atraksi/daya atraksi (attraction marketing); atraksi atau keindahan alam, kawasan, lanskap, serta bangunan pada kawasan.
3. Pemasaran prasarana (infrastructure marketing); fasilitas sebagai daya tarik lingkungan kehidupan dan lingkungan bisnis pada kawasan.
4. Pemasaran penduduk (people marketing); terdiri dari kualitas sumber daya manusia pada kawasan.
Beberapa hal diatas disepakati oleh Zulakarnaen (2017), bahwa pemberian branding pada sebuah kawasan atau kota merupakan studi terkait ukuran dampak sebuah produk yang diperdagangkan antar wilayah pada suatu periode atau dekade tertentu. Branding tersebut dilakukan sebagai upaya dalam meningkatkan citra. Hal tersebut dilakukan terdapat komponen-komponen yang perlu dibentuk dalam sebuah kota. Menurut Padison dalam Hidayat (2014) menyatakan bahwa branding kota merupakan metode kompetitif dalam mencapai keunggulan untuk pembangunan dan peningkatan berbagai sektor dalam suatu kota. Dengan adanya branding kota akan berdampak positif kepada masyarakat kota tersebut. Langkah- langkah proses strategi branding kota menurut Andrea Insch dalam Lestari (2016) antara lain sebagai berikut.
1. Identity; proses identifikasi potensi dan identitas suatu kota;
2. Objective; penentuan tujuan secara jelas;
3. Communication; proses komunikasi baik dengan semua pihak yang memiliki kepentingan;
4. Coherence; proses implementasi yang terintegrasi dengan baik.
Melihat teori dari beberapa sumber yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat dilihat keberagaman dalam pembahasan branding kota yang ditunjukkan pada tabel 2.3 berikut.
Tabel 2. 3 Dikusi Teori Branding Kota
16 No Sumber
Pustaka Teori Branding Kota Indikator
Branding Kota
1.
Simon Anholt dalam Putra (2016)
Terdapat beberapa strategi dalam dalam melakukan branding kota antara lain sebagai berikut:
1. Pemasaran citra (image marketing);
2. Pemasaran atraksi/daya atraksi (attraction marketing);
3. Pemasaran prasarana (infrastructure marketing);
4. Pemasaran penduduk (people marketing).
1. Kehadiran;
2. Tempat;
3. Potensi;
4. Orang;
5. Optimisme;
6. Prasyarat.
2. Zulakarnaen (2017)
Branding Kota sebuah studi terkait ukuran dampak sebuah produk yang diperdagangkan antar wilayah pada suatu periode atau dekade tertentu. Branding tersebut dilakukan sebagai upaya dalam meningkatkan citra, namun dalam melakukan branding sebuah kawasan lebih susah dibandingkan personal atau product branding.
1. Potensi;
2. Prasyarat.
3. Padison dalam Hidayat (2014)
Branding Kota ialah metode kompetitif dalam mencapai keunggulan untuk pembangunan dan peningkatan berbagai sektor dalam suatu kota
1. Kehadiran;
2. Potensi;
3. Orang;
4. Prasyarat.
4.
Andrea Insch dalam Lestari (2016)
Terdapat empat langkah proses strategi Branding Kota antara lain sebagai berikut:
1. Identity; proses identifikasi potensi dan identitas suatu kota;
2. Objective; penentuan tujuan secara jelas;
3. Communication; proses komunikasi baik dengan semua pihak yang memiliki kepentingan;
4. Coherence; proses implementasi yang terintegrasi dengan baik.
1. Kehadiran;
2. Tempat;
3. Orang;
4. Prasyarat.
Sumber: Hasil Pustaka, 2021
Berdasarkan tabulasi diatas dapat disimpulkan bahwa branding kota merupakan salah satu strategi dalam pembangunan dan pengembangan wilayah atau kota untuk memiliki kedudukan (positioning) dapat dikenal secara luas. Dalam penelitian ini, branding kota ditafsirkan pada kawasan permukiman tersebut. Selain itu juga terdapat strategi dalam proses branding kota dimana dari kedua ahli memiliki strategi yang berbeda, jika pada Simon Anholt terdapat pemasaran citra, pemasaran atraksi, pemasarana prasarana, dan pemasaran penduduk.
Sedangkan menurut Andrea Insch strateginya ialah identify, objective, communication, dan coherence.
2.3.1 Hexagonal City Branding
Dalam penelitian Fauzan (2016) menyatakan bahwa City Branding memiliki potensi untuk merubah persepsi seseorang terhadap suatu kawasan guna melihat perbedaan potensi suatu kawasan terhadap kawasan lainnya. Menurut Simon Anholt dalam penelitian Luthfi (2018) bahwa sebuah kota diperlukan suatu kegiatan, bangunan, ciri khas dalam menemukan
17 identitasnya sehingga mudah untuk dikenali oleh masyarakat. Pada beberapa kota tidak memiliki beberapa aspek pembangunan kota seperti sosial, ekonomi, politik, serta budaya yang kuat untuk membentuk suatu citra kota agar lebih terkenal walaupun kota tersebut merupakan ibukota suatu kawasan. Masyarakat perlu membedakan mana yang merupakan kebijakan yang bertujuan untuk branding, atau karena kota tersebut mempunyai keunikan sendiri karena ciri khasnya berdasarkan potensi yang dimiliki.
Dalam tulisan perusahaan riset pasar Ipsos (2020), menyatakan bahwa terdapat komponen pengukuran atau penilaian aspek branding kota dengan pendekatan Branding Hexagon untuk mengukur ukuran efektivitas city branding tersebut, dimana terdapat enam aspek dalam pengukuran efektivitas city branding. Berikut merupakan definisi teori dari Simon Anholt dalam gambar 2.1 dibawah ini.
Gambar 2. 1 The City Brand Hexagon Sumber: Ipsos, 2021
Berdasarkan gambar diatas, maka dapat dijelaskan penjelasan menurut Simon Anholt terkait komponen Hexagonal City Branding sebagai berikut.
1. Presence (kehadiran); menjelaskan terkait status dan kedudukan kota diketahui oleh warga sekitar.
2. Place (tempat); mengukur persepsi masyarakat tentang aspek fisik setiap kota dalam kaitannya dengan kebersihan lingkungan dan seberapa menarik bangunan serta tamannya.
3. Potential (potensial); mengukur kesempatan ekonomi dan pendidikan yang ditawarkan kepada masyarakat.
4. People (orang); menilai penduduk kota bersifat ramah dan bersahabat, apakah menurut responden akan mudah bagi mereka untuk menemukan dan menyesuaikan diri dengan komunitas yang memiliki kesamaan bahasa dan budaya.
18 5. Pulse (optimisme); menganalisa suatu kota dalam memperlihatkan nuansa gaya hidup urban, hal tersebut ditunjukkan dengan masyarakat dapat menemukan hal – hal yang menarik seperti ruang publik pada kawasan. Masyarakat baik sebagai pengunjung atau sebagai penduduk kota tersebut merasa akan nyaman dalam periode jangka pendek dan jangka panjang.
6. Prerequisite (prasyarat); memaparkan potensi publik terhadap dasar suatu kota dalam persepsi seseorang kualitas fasilitas umum.
Berdasarkan penjelasan teori City Branding dari Anholt diatas, teori masih menjelaskan dalam lingkup suatu kota. Teori belum memenuhi kebutuhan peneliti hingga lingkup kawasan, khususnya kawasan permukiman. Oleh karena itu, untuk mencapai kebutuhan penelitian maka diperlukan tinjauan lebih lanjut terkait komponen Hexagonal City Branding dalam perspektif permukiman. Komponen Hexagonal City Branding dalam perspektif permukiman dijelaskan sebagai berikut.
A. Presence (Kehadiran)
Presence atau Kehadiran dalam teori Hexagonal City Branding oleh Simon Anholt dalam Ipsos (2020) menjelaskan terkait status dan kedudukan kota diketahui oleh warga sekitar. Dari pernyataan tersebut jika dilihat dari sisi kebutuhan penelitian, maka Presence atau Kehadiran menjelaskan terkait status dan kedudukan kawasan penelitian dan seberapa jauh kawasan penelitian tersebut diketahui oleh warga kota. Dengan kata lain, mengukur kedudukan kawasan penelitian terhadap masyarakat diluar kawasan penelitian.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Balikpapan Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan Tahun 2012-2032, bahwa Kecamatan Balikpapan Kota memiliki fungsi kawasan sebagai Pusat Pemerintahan, Pusat Perdagangan dan Jasa Skala Kota, Pusat Pelayanan Kesehatan Skala Kota, dan Pusat Pelayanan Pendidikan Skala Kota.
B. Place (Tempat)
Place atau Tempat dalam teori Hexagonal City Branding oleh Simon Anholt dalam Ipsos (2020) menjelaskan terkait pengukuran persepsi masyarakat tentang aspek fisik setiap kota dalam kaitannya dengan kebersihan lingkungan dan seberapa menarik bangunan serta tamannya. Dari pernyataan tersebut jika dilihat dari sisi kebutuhan penelitian, maka Place atau Tempat menjelaskan terkait pengukuran persepsi masyarakat tentang aspek fisik pada kawasan permukiman suatu kota. Berdasarkan penafsiran sebelumnya terdapat pengukuran persepsi masyarakat terkait aspek fisik permukiman, dalam penelitian Cesarin dan Ginting (2015). Penelitian tersebut membahas terkait
19 persepsi masyarakat terhadap permukiman dimana terdapat tiga kategori persepsi yakni lingkungan, visual, dan perilaku warga. Untuk perilaku warga lebih tepat dibahas dalam aspek People atau Orang pada bahasan komponen selanjutnya.
Dua kategori berikut memiliki variabel penentu didalamnya, penelitian lainnya terkait persepsi masyarakat terhadap permukiman oleh Alfiani (2016) sepakat terhadap kategori dan kata kunci dari Cesarin dan Ginting (2015). Kategori dan kata kunci persepsi masyarakat terhadap permukiman antara lain sebagai berikut.
1. Lingkungan; kurangnya ruang terbuka hijau dan kebersihan pada kawasan.
2. Visual; terdapat landmark atau bangunan yang menjadi identitas pada kawasan.
C. Potential (Potensi)
Potential atau Potensi dalam teori Hexagonal City Branding oleh Simon Anholt dalam Ipsos (2020) menjelaskan terkait pengukuran kesempatan ekonomi dan pendidikan yang ditawarkan kepada masyarakat. Dari pernyataan tersebut jika dilihat dari sisi kebutuhan penelitian, maka Potential atau Potensi menjelaskan terkait pengukuran kesempatan ekonomi dan pendidikan bagi masyarakat setempat di lingkungan kawasan permukiman tersebut. Kesempatan ekonomi yang dimaksud terkait pengukuran peluang ekonomi dalam seberapa mudah mencari pekerjaan pada kawasan penelitian. Sedangkan kesempatan pendidikan yang dimaksud terkait pengukuran peluang mendapatkan pendidikan yang baik pada kawasan penelitian.
D. People (Orang)
Poeple atau Orang dalam teori Hexagonal City Branding oleh Simon Anholt dalam Ipsos (2020) menjelaskan menilai apakah penduduk kota akan ramah dan bersahabat, apakah menurut responden akan mudah bagi mereka untuk menemukan dan menyesuaikan diri dengan komunitas yang memiliki kesamaan bahasa dan budaya, dan apakah mereka akan merasa aman. Dari pernyataan tersebut jika dilihat dari sisi kebutuhan penelitian, maka People atau Orang menjelaskan terkait perilaku masyarakat kawasan setempat seperti keramahtamahan dari masyarakatnya. Dalam penelitian Prawiranata dkk. (2016) menyatakan bahwa keramahtamahan memiliki hubungan yang signifikan terhadap kualitas pelayanan yang diberikan. Dari pernyataan tersebut, maka keramahtamahan masyarakat dapat diukur berdasarkan kualitas pelayanan dari instansi lingkup kawasan permukiman yakni Rukun Tetangga (RT), dimana kualitas pelayanan akan berpengaruh signifikan terhadap kepuasan dari masyarakat terhadap pelayanan dari RT tersebut.
E. Pulse (Optimisme)
20 Pulse atau Optimisme dalam teori Hexagonal City Branding oleh Simon Anholt dalam Ipsos (2020 menganalisa suatu kota dalam memperlihatkan nuansa gaya hidup urban, hal tersebut ditunjukkan dengan masyarakat dapat menemukan hal – hal yang menarik seperti ruang publik pada kawasan. Masyarakat baik sebagai pengunjung atau sebagai penduduk kota tersebut merasa akan nyaman dalam periode jangka pendek dan jangka panjang. Dari pernyataan tersebut jika dilihat dari sisi kebutuhan penelitian, maka Pulse atau Optimisme menjelaskan terkait persepsi seseorang terhadap kawasan dalam menentukan apakah terdapat hal-hal menarik yang dapat digunakan untuk mengisi waktu luang dan seberapa menarik kawasan untuk dikunjungi.
F. Prerequisite (Prasyarat)
Prerequisite atau Prasyarat dalam teori Hexagonal City Branding oleh Simon Anholt dalam Ipsos (2020) memaparkan potensi publik terhadap dasar suatu kota dalam persepsi seseorang terkait kualitas fasilitas umum. Dari pernyataan tersebut jika dilihat dari sisi kebutuhan penelitian, maka Prerequisite atau Prasyarat menjelaskan terkait kepuasan terhadap fasilitas umum dan keterjangkauan terhadap fasilitas umum.
Melihat teori dari beberapa sumber yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat dilihat keberagaman dalam pembahasan Hexagonal City Branding yang ditunjukkan pada tabel 2.4 berikut.
Tabel 2. 4 Diskusi Teori Hexagonal City Branding
No Sumber Pustaka Indikator Variabel
1.
Simon Anholt dalam Ipsos (2020) dan RTRW Balikpapan (2012)
Presence atau Kehadiran Fungsi Kawasan
2.
Simon Anholt dalam Ipsos (2020); Cesarin dan Ginting (2015);
dan Alfiani (2016)
Place atau Tempat
Ruang Terbuka Hijau (RTH) Tumpukan Sampah
Landmark Kawasan 3. Simon Anholt dalam
Ipsos (2020) Potential atau Potensi Kesempatan Ekonomi Kesempatan Pendidikan 4.
Prawiranata dkk. (2016) dan Simon Anholt
dalam Ipsos (2020) People atau Orang Keramahtamahan Masyarakat 5. Simon Anholt dalam
Ipsos (2020) Pulse atau Optimisme Intensitas Berkunjung 6. Simon Anholt dalam
Ipsos (2020)
Prerequisite atau Prasyarat
Kepuasan Terhadap Fasilitas Umum Keterjangkauan Fasilitas Umum Sumber: Penulis, 2021
21 2.4 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu menjadi salah satu acuan penulis dalam melakukan penelitian, sehingga penulis dapat memperkaya teori dalam mengkaji penelitian ini. Penulis mengangkat beberapa penelitian sebagai referensi dalam memperkaya bahan kajian pada penelitian ini.
Berikut merupakan penelitian terdahulu berupa jurnal terkait dengan penlitian yang dilakukan penulis. Terdapat beberapa penelitian serupa terkait bahasan Kualitas Permukiman dan Hexagonal City Branding pada tabel 2.5 sebagai berikut.
22 Tabel 2. 5 Penelitian Terdahulu
Judul Variabel Metode Hasil Implikasi dengan Penelitian
Arahan Peningkatan Kualitas Lingkungan Kawasan Permukiman Kumuh Berat di Kelurahan Ciketingudik dan Sumurbatu Kota Bekasi (Wilandari, 2017)
- Kemampuan Pemerintah dalam Menyediakan Hunian Layak Huni;
- Tingkat Pendapatan;
- Jenis Pekerjaan Informal;
- Laju Pertumbuhan;
- Status Kependudukan;
- Kepadatan Penduduk;
- Tingkat Pendidikan;
- Jaringan Air Bersih;
- Sanitasi Lingkungan;
- Fasilitas Persampahan;
- Saluran Drainase;
- Jaringan Jalan;
- Ruang Terbuka;
- Keterbatasan Lahan Permukiman;
- Bahaya Banjir;
- Bahaya Longsor;
- Jarak TPA Terhadap Permukiman;
- Jarak TPA Terhadap Badan Air;
- Kawasan Lindung;
- Bau;
- Transportasi Sampah.
Menganalisis variabel penyebab kekumuhan (Metode Analisis Delphi), Menganalisis prioritas variabel penyebab kekuuhan untuk peningkatan kualitas lingkungan (Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)), dan Menentukan arahan peningkatan kualitas lingkungan permukman kumuh (Metode Deskriptif Kualitatif).
Terdapat hasil analisis antar kriteria (faktor), Hasil analisis antar variabel, lalu Arahan Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman Kumuh. Analisis Arahan menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan tabulasi variabel, kondisi eksistin, kebijakan, best practice, dan arahan setiap faktor.
Dimana dihasilkan 14 faktor yang berpengaruh dalam peningkatan kualitas dengan 36 arahan.
Perbedaan terhadap penelitian ini ialah pada metode analisisnya, dimana pada penelitian ini menentukan arahan dari permukiman kumuh. Sedangkan penelitian penulis, mencari pengaruh dari pendekatan City Branding terhadap kualitas permukiman. Namun untuk variabel pada penelitian ini memiliki beberapa kesamaan pada penelitian penulis terkait kualitas permukiman.
Strategi Peningkatan Kualitas Lingkungan Kampung-Kota dalam Rangka Pembangunan
- Kepadatan Penduduk;
- Kepadatan Bangunan;
- Status Kekumuhan Kawasan;
- Status Lahan;
- Kesesusaian dengan Rencana Tata Ruang;
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah pada sasran pertama melakukan identifikasi pola sebaran permukiman kumuh dengan pendekatan spasial (Teknik Overlay Data Spasial); Kedua yakni identifikasi karakteristik fisik-
Didapatkan strategi peningkatan kualitas lingkungan pada kawasan permukiman kumuh yang diteliti.
Terdapat aspek-aspek yang menjadi pokok strategi yakni, Perumahan Bangunan Rumah, Status Lahan, Kelembagaan dan Regulasi
Perbedaan pada penelitian ini ialah dari tujuan, pada penelitian ini mencari strategi peningkatan kualitas lingkungan permukiman kumuh. Jika teridentifikasi dari tujuan telah berbeda, maka metode dan hasil juga berbeda.
23
Judul Variabel Metode Hasil Implikasi dengan Penelitian
Kota yang Inklusif dan Berkelanjutan:
Pembelajaran dari Kasus Kota Bandung
(Kustiwan dan Ramadhan, 2019)
- Indikator Nilai
Keberlanjutan Aspek Fisik;
- Indikator Nilai Keberlanjutan Aspek Sosial-Ekonomi.
lingkungan serta karakteristik sosial-ekonomi dengan pendekatan kuantitatif (Statistik Deskriptif, Teknik Skoring); Ketiga perumusan strategi dengan pendekatan kualitatif (Analisis Isi dan Analisi SWOT).
Pemerintah, Pembiayaan, dan Peran Komunitas. Terdapat 16 strategi yang dihasilkan dengan terbagi tiga zona (Pusat Kota, Dalam Kota, dan Pinggiran Kota).
Namun keseluruhan, penelitian ini memiliki kesamaan dalam variabel terkait peningkatan kualitas permukiman. Teknik meninjau peneliti dan penulis memiliki kemiripan dalam meninjau sebuah kebijakan.
Pengaruh City Branding Pada City Image dan Keputusan Berkunjung Wisatawan Ke Kabupaten Purwakarta (Indriani dan Kuswoyo, 2017)
- City Branding (Hexagonal City Branding);
- City Image;
- Keputusan Berkunjung.
Mencari keterhubungan antara variabel dan pengujian hipotesis dan fenomena penelitian. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu regresi dengan mediasi/intervening. Untuk menguji pengaruh variabel intervening maka digunakan metode analisis jalur (Path Analysis). Peneliti menggunakan analisis tersebut untuk menaksir penggunaan analisis regresi yang memiliki hubungan kasualitas antar variabel (model kausal) yang telah ditetapkan sebelumnya.
Hasil yang didapatkan dari penelitian ini ialah bahwa variabel dependen (X) memiliki pengaruh terhadap variabel independent (Y1) dan (Y2). Antara variabel independent juga dapat dilihat keterpengaruhannya. Selain itu antara (X) dan (Y1) memiliki pengaruh terhadap (Y2), begitu juga antara (X) dan (Y2) terhadap (Y1).
Perbedaan yang terlihat dari penelitian ini ialah, penelitian ini mencari pengaruh antara satu variabel dependen dan dua variabel independen. Maka dari itu, penulis menggunakan analisis jalur untuk menjawab hipotesa yang ada. Perbedaan dengan penelitian yang dikerjakan peneliti terdapat pada variabel independen. Penulis meneliti pengaruh dari pendekatan city branding terhadap peningkatan kualitas permukiman.
Sumber: Hasil Pustaka, 2021
24 2.5 Sintesa Tinjauan Pustaka
Berikut adalah sintesa dari tinjauan pustaka yang akan digunakan dalam penelitian ini dengan menganalisis indikator dan variabel yang pendekatan Hexagonal City Branding terhadap Peningkatan Kualitas Permukiman Kecamatan Balikpapan Kota Balikpapan pada tabel 2.6.
Tabel 2. 6 Sintesa Tinjauan Pustaka Tinjauan
Pustaka Sumber Indikator Variabel
Kawasan Permukiman
UU Nomor 1 Tahun 2011; Santosa (2016);
Setiawan dkk. (2017); dan Wilandari (2017) Sarana Prasarana
- UU Nomor 1 Tahun 2011; Alfiani (2016);
Santosa (2016); Setiawan dkk. (2017); dan Wilandari (2017)
Lingkungan Alam Alfiani (2016); Santosa (2016); dan Wilandari
(2017)
Masyarakat Santosa (2016); Wilandari (2017); dan
Setiawan dkk. (2017)
Bangunan
Kualitas Permukiman
UU Nomor 1 Tahun 2011; Alfiani (2016);
Rofiana (2015); Kustiwan dan Ramadhan (2019); PERMEN PUPR Nomor 2 Tahun 2016
Bangunan
Tata Letak Bangunan Kepadatan Bangunan
UU Nomor 1 Tahun 2011; Alfiani (2016);
Rofiana (2015); Kustiwan dan Ramadhan (2019); PERMEN PUPR Nomor 2 Tahun 2016
Sarana Prasarana
Jaringan Air Bersih Jaringan Sanitasi Jaringan Persampahan Genangan
Lebar Jaringan Jalan Perkerasan Jaringan Jalan
Proteksi Kebakaran Rofiana (2015); Kustiwan dan Ramadhan
(2019) Lingkungan Alam Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Alfiani (2016) dan Rofiana (2015) Masyarakat
Kepadatan Penduduk Tingkat Ekonomi Tingkat Kesehatan Tingkat Pendidikan Interaksi Sosial Kelompok Sosial
Branding Kota
Padison dalam Hidayat (2014); Andrea Insch dalam Lestari (2016); dan Simon Anholt dalam
Putra (2016)
Presence atau Kehadiran
- Andrea Insch dalam Lestari (2016) dan Simon
Anholt dalam Putra (2016); Place atau Tempat Padison dalam Hidayat (2014); Simon Anholt
dalam Putra (2016); dan Zulkarnaen (2017)
Potential atau Potensi Padison dalam Hidayat (2014); Andrea Insch
dalam Lestari (2016); dan Simon Anholt dalam Putra (2016)
People atau Orang Andrea Insch dalam Lestari (2016) Pulse atau
Optimisme
25 Tinjauan
Pustaka Sumber Indikator Variabel
Padison dalam Hidayat (2014); Andrea Insch dalam Lestari (2016); Simon Anholt dalam
Putra (2016); dan Zulkarnaen (2017)
Prerequisite atau Prasyarat
Hexagonal City Branding
Simon Anholt dalam Ipsos (2020) dan RTRW Balikpapan (2012)
Presence atau
Kehadiran Fungsi Kawasan Simon Anholt dalam Ipsos (2020); Cesarin dan
Ginting (2015); dan Alfiani (2016) Place atau Tempat
Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Tumpukan Sampah Landmark
Simon Anholt dalam Ipsos (2020) Potential atau Potensi
Kesempatan Ekonomi Kesempatan
Pendidikan Simon Anholt dalam Ipsos (2020) dan
Prawiranata dkk (2016) People atau Orang Keramahtamahan Masyarakat
Simon Anholt dalam Ipsos (2020)
Pulse atau
Optimisme Intensitas Berkunjung Prerequisite atau
Prasyarat
Kepuasan Terhadap Fasilitas Umum Keterjangkauan Fasilitas Umum Sumber: Analisa Penulis, 2021