Sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber penelitian berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.7. Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan, naskah resmi atau berita acara pembuatan peraturan perundang-undangan, keputusan hakim dan kompilasi Pasal 30 sampai dengan 38 Hukum Islam Bab V. Berbicara dengan semangat keadilan, serta cita-cita hukum yang terkandung dalam undang-undang tersebut. maqasid al-syariah yang membawa manfaat, inilah hakikat norma hukum yang diterapkan. Hakikat hukum dapat berubah karena adanya perubahan zaman, wilayah dan keadaan.
Wujud dari diskriminasi normatif berupa tindakan yang membedakan aturan hukum yang berlaku pada pihak yang berbeda. Perbuatan tersebut sudah mengandung diskriminasi normatif, seolah-olah hakim mengamalkan dua aturan hukum yang berbeda dalam peristiwa dan usaha yang sama. Penegakan hukum atau yang populer disebut dengan penegakan hukum merupakan ujung tombak terciptanya ketertiban hukum yang baik dalam masyarakat.
Friedman menyatakan bahwa penyelenggaraan hukum (struktur, hakikat dan budaya hukum masyarakat) merupakan ujung tombak terciptanya tatanan hukum yang baik dalam masyarakat. Senada, Sudjono Dirdjosisworo mengatakan, implementasi undang-undang yang baik dan konsisten tidak bisa diukur hanya dari banyaknya peraturan tertulis yang dikeluarkan, dan luasnya bidang kehidupan yang diatur juga penting. Untuk memahami nilai kepastian hukum, yang perlu diperhatikan adalah bahwa nilai tersebut mempunyai kaitan yang erat dengan perangkat hukum positif dan peran negara dalam aktualisasinya dalam hukum positif.15.
Aturan hukum yang dapat menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang lahir dan mencerminkan budaya masyarakat.
Tinjauan Konseptual .1 Analisis
Kepastian hukum adalah pelaksanaan undang-undang sesuai dengan ketentuannya, sehingga masyarakat dapat menjamin terlaksananya undang-undang tersebut. Otto menunjukkan kepastian hukum dapat tercapai jika isi undang-undang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Keputusan BANI sebagai salah satu badan arbitrase Indonesia hanya dapat dibatalkan apabila terdapat keadaan yang luar biasa.
Merujuk pada Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU APSA”), suatu putusan arbitrase dapat dibatalkan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur berikut. 2.3.2.1.1 surat-surat atau dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam pemeriksaan setelah putusan diucapkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; 2.3.2.1.3 keputusan diambil akibat penipuan yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam penyidikan sengketa18.
Dalam hal terdapat permohonan pembatalan suatu putusan arbitrase, Undang-Undang Arbitrase membatasi jenis putusan yang dapat diajukan banding ke Mahkamah Agung. Banding hanya dapat dilakukan apabila majelis hakim membatalkan putusan arbitrase yang menjadi pokok permohonan pembatalan tersebut. Memberitahukan kepada para pihak yang berkepentingan bahwa putusan arbitrase telah didaftarkan merupakan hal yang wajib dilakukan oleh arbiter atau kuasanya.
Permohonan pembatalan putusan arbitrase biasanya diajukan oleh pihak-pihak yang kalah dalam perkara arbitrase. Tentunya permohonan pembatalan tersebut harus diajukan berdasarkan alasan-alasan yang dibatasi dalam Pasal 70 UU No. Namun ada kalanya keputusan permohonan pembatalan tidak sesuai dengan harapan pemohon.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (4) UU Arbitrase, putusan mengenai permohonan pembatalan putusan arbitrase dapat diajukan banding ke Mahkamah Agung. Sesuai dengan hukum acara yang berlaku, untuk dapat meyakinkan hakim akan kebenaran dalil-dalil yang diajukan lawan 8 Dalam QS al-Maidah/5:49:.
ن ۡحا
وىا
Peradilan Agama adalah istilah resmi (literatur) untuk salah satu dari empat bidang Peradilan Agama atau Badan Peradilan Hukum di Indonesia. Dalam hal ini peradilan agama hanya mempunyai kewenangan dalam bidang perdata tertentu, tidak dalam bidang pidana dan juga hanya diperuntukkan bagi umat Islam di Indonesia saja, dalam perkara perdata Islam tertentu tidak mencakup seluruh perkara perdata Islam.21 Lingkungan Peradilan Agama ada dari Pengadilan Agama sebagai Pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada bagian 2 menyatakan: “peradilan agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi orang-orang yang mencari keadilan dan beragama Islam sehubungan dengan perkara-perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam hukum yang diundangkannya.”
Ungkapan “perkara-perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini” terdapat pada Pasal 49 yang berbunyi: Peradilan Agama mempunyai tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus, dan memutus perkara. Tidak hanya UUD 1945, Pasal 1 ayat (1) 3, Pasal 24, ayat 22 Konstitusi
22 Almasshabur, “Pengembangan Landasan Hukum Peradilan Agama Islam di Indonesia”, GuruPPKN.com, https://guruppkn.com/perkembangan-dasar-Hukum-peradilan-agama-islam (2 Januari 2019). Peradilan Agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi umat Islam pencari keadilan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan pertama atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan perubahan kedua atas undang-undang no. 50 Tahun 2009. Mahar merupakan salah satu bagian perselisihan yang berkaitan dengan bidang perkawinan yang tidak diatur secara tegas dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mengatur tentang kewenangan mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang: Perkawinan, Warisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, dan Zakat. Penyelesaian perselisihan mengenai hak milik, dalam hal ini mahar atau perselisihan lainnya dalam perkara yang berada di wilayah hukum Peradilan Agama. Proses persidangan perkara di pengadilan agama mengenai sengketa harta benda yang masih terdapat sengketa harta benda atau perselisihan lainnya antar non-Muslim ditunda sampai ada keputusan diambil oleh pengadilan umum.
Sebagaimana diatur dalam undang-undang no. 7 Tahun 1989 yang diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan lainnya dengan UU No. 50 Tahun 2009. Pokok sengketa (mas kawin), bilamana terjadi perselisihan mengenai hak milik atau perselisihan lain di antara umat Islam, maka pengadilan agama dapat bersama-sama memutus hal-hal yang menjadi kewenangan pengadilan agama, sebagaimana lanjutan Pasal 49 ayat (2): Apabila terjadi perselisihan mengenai hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang subjek hukumnya adalah pokok perselisihan antara orang-orang yang beragama Islam. Perkara tersebut diputus oleh pengadilan agama bersamaan dengan perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. Tidak ada lagi alasan bagi para pihak untuk membuang-buang waktu, sehingga perkara ini diselesaikan secara perlahan-lahan sehingga salah satu pihak merasa dirugikan dan diuntungkan, kecuali jika badan hukum lain tidak mengajukan hal itu ke pengadilan.Pada umumnya badan hukum yang sedang beracara di pengadilan agama dapat memberikan bukti bahwa pokok sengketanya juga sedang diperiksa di pengadilan umum, maka putusan pengadilan agama dapat ditahan.
اُ٘تاَءَٗ
Pasal ini tentunya memberikan jalan keluar terhadap permasalahan yang timbul berkenaan dengan mahar, yaitu sengketa harta benda atau permasalahan perdata lainnya yang berkaitan dengan pokok sengketa. Selanjutnya penggugat mengajukan gugatan mahar (berupa rumah) kepada tergugat karena tergugat telah mengambil kembali mahar yang diberikan selama perkawinan. Pengadilan dapat menangguhkan putusannya apabila ayah tersangka mengajukan pokok sengketa yang sama ke Pengadilan.
ءآَسِّْىٱ
Namun setelah ditentukan syarat-syarat pembayarannya, tidak menutup kemungkinan bagi suami istri yang saling mencintai dan rukun serta menjadi suami istri dalam rumah tangga, dapat mengembalikan mahar tersebut kepada suaminya untuk saling menguntungkan dan dinikmati, karena harta tersebut. telah menjadi miliknya.
للَٱ ۦِِٔب
هاَجِّريِّى
بيِصَّ
اُ٘بَسَت ۡمٱ
بَسَت ۡمٱ
للَٱ
Sebelum kami menjelaskan perceraian berdasarkan KHI pasal 116, terlebih dahulu kami akan menjelaskan pengertian perceraian menurut hukum Islam. Secara umum perceraian adalah berakhirnya suatu hubungan atau perkawinan antara seorang laki-laki atau perempuan (suami dan istri). Talak dalam pengertian ini adalah hilangnya tali silaturahmi atau pembatasan gerak seseorang dengan kata-kata khusus, sedangkan pengertiannya adalah putusnya ikatan perkawinan sehingga tidak halal lagi suami istri bercampur.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami dan istri demi membangun rumah tangga. Perceraian berdasarkan Pasal 114 KHI yaitu putusnya suatu perkawinan yang disebabkan oleh perceraian, yang dapat terjadi karena perceraian, atau berdasarkan perkara perceraian, namun lebih lanjut dalam Pasal 116 KHI dijelaskan beberapa sebab atau alasan terjadinya perceraian, seperti: . diajukan ke pengadilan untuk diproses dan ditindaklanjuti. 2.3.5.2.1 Salah satu pihak melakukan perzinahan atau menjadi pemabuk, pecandu narkoba, penjudi, dan lain-lain yang sulit disembuhkan.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lainnya selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal-hal lain di luar kemampuannya. Salah satu pihak menderita cacat fisik atau sakit yang mengakibatkan tidak mampu menunaikan kewajibannya sebagai suami istri. Antara suami istri terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada lagi harapan untuk hidup rukun dalam keluarga lagi.32.
Islam telah menggariskan pelbagai bentuk perceraian yang diharuskan seperti yang dibincangkan dalam kitab-kitab fiqh. Menurut istilah syarak, cerai bermaksud pembubaran akad nikah atau nikah dengan menggunakan perkataan cerai atau perkataan lain yang mempunyai maksud yang sama. Perceraian adalah tindakan yang dituntut oleh Islam sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan konflik rumah tangga.
ي طىٱ
حيِرْسَت
Contohnya, suami melafazkan talak atau cerai pertama kali dengan melafazkan talak tiga kali atau menceraikan isterinya yang haid atau nifas atau menceraikan isteri dalam keadaan suci dan pernah bersamanya. Talaq bid'i dengan tiga lafaz cerai dalam satu masa adalah haram dikahwini sebelum wanita itu berkahwin dengan lelaki lain. 34; Apabila kamu menceraikan isteri-isteri kamu (tiga kali), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sehingga dia berkahwin dengan lelaki lain (Baqarah/2:230).
إَفاََٖق يَط
وِحَتۥَُٔى
حاَُْج
Bagan Kerangka Pikir