4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Apel
Buah apel berbentuk bulat hingga bulat telur, dan keras tetapi renyah. Bila buah sudah tua, warnanya ada yang merah, kuning, atau hijau. Buah apel berbiji dan sedikit keras. Tanaman Apel diduga berasal dari sekitar Israel-Palestina, kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, tanaman apel banyak terdapat di Malang dan Soe (Timor Timur Selatan) (Sunarjono, 2016).
Di wilayah Indonesia tanaman apel dapat tumbuh dengan optimal pada wilayah yang memiliki ketinggian 700 sampai dengan 1200 m dpl. Tanaman apel menghendaki daerah yang memiliki iklim cenderung kering dengan curah hujan antara 1000 mm sampai dengan 2500 mm (Kirnoprasetyo dan Yuniwati, 2017).
Tabel 2.1 Klasifikasi tanaman apel
1. Divisio Spermatophyta
2. Subdisio Angiospermae
3. Klas Dicotyledonae
4. Ordo Rosales
5. Famili Rosaceae
6. Genus Malus
7. Species Malus sylvestris
Jenis buah apel yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah: Rome Beauty, Manalagi, Anna, Princess Noble, Wanglin/Lali Jiwo, dan yang sedang dikembangkan antara lain Winter Banana, Sweet Caroline, dan Jonathan.
Kandungan gizi dalam apel beragam, dalam 100 gram buah terkandung antara lain:
Energi 58,00 kal; Karbohidrat 14,90 gram; Kalsium 6,00 mg; Fosfor 10,00 mg; Besi 1,30 mg; Serat 0,70 mg; Vitamin A 24,00 rpe dan lainnya. Ada beberapa jenis buah apel untuk konsumsi, dan ada jenis buah apel untuk produk olahan antara lain sebagai buah kaleng, manisan apel, sirup, dan jus (Subagyo dan Achmad, 2010).
Buah apel biasanya dimanfaatkan sebagai minuman sari apel (Sa’adah dan Estliasih, 2015).
5
Gambar 2.1 Apel Manalagi (Malus sylvestris)
Menurut Nuraini (2011), kulit buah apel mengandung zat fitokimia.
Fitokimia di dalam kulit apel 87% lebih banyak dibanding dengan yang terdapat pada dagingnya. Selain mengandung fitokimia, kulit apel juga banyak mengandung pektin (sejenis serat makanan yang mudah larut dalam air). Pektin bermanfaat untuk membersihkan dinding arteri pembuluh darah. Kandungan pektin yang tinggi akan mengikat logam berat seperti timah.
2.2 Pektin
Pektin adalah suatu senyawa heteropolisakarida yang secara umum terdapat pada dinding sel primer tanaman dan di tengah lamela pada jaringan tumbuhan, khususnya pada sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa (Windiarsih dkk, 2015).
Pektin merupakan suatu senyawa polisakarida kompleks yang cenderung banyak terdapat dalam dinding sel tumbuhan dan dapat ditemukan dalam berbagai jenis tanaman pangan (Dhaneswari dkk, 2015).
Gambar 2.2 Dinding sel (Hindarso, 2004)
Menurut Farmakope Indonesia Edisi V Pektin adalah produk karbohidrat yang dimurnikan, diperoleh dari ekstrak asam encer dari bagian dalam kulit buah jeruk sitrus atau apel; terutama terdiri dari asam poligalakturonat termetoksilasi
6
sebagian. Pektin mengandung tidak kurang dari 6,7% gugus metoksi (-OCH3) dan tidak kurang dari 74,0% asam galakturonat (C6H10O7), dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Hampir larut sempurna dalam 20 bagian air, membentuk cairan kental, opalesen, larutan koloidal mudah dituang dan bersifat asam terhadap lakmus; praktis tidak larut dalam etanol atau pelarut organik lain. Pektin larut dalam air lebih cepat jika permukaan dibasahi dengan etanol, dengan gliserin, atau dengan sirup simpleks, atau jika permukaan dicampur dengan 3 bagian atau lebih sukrosa.
Gambar 2.3 Struktur Pektin (Hutagalung, 2013)
Pektin memiliki berbagai manfaat dalam bidang industri makanan maupun farmasi. Pektin merupakan pangan fungsional bernilai tinggi yang berguna secara luas dalam pembentukan gel dan bahan penstabil pada sari buah, bahan pembuatan jelly, jam dan marmalade. Konsentrasi pektin berpengaruh terhaldap pembentukan gel dengan tingkat kekenyalan dan kekuatan tertentu. Pembentukan gel dari pektin dipengaruhi oleh konsentrasi pektin, persentase gula, dan pH, dimana semakin besar konsentrasi maka gel yang terbentuk semakin keras. Konsentrasi pektin 1%
telah menghasilkan kekerasan yang baik, konsentrasi gula juga tidak boleh lebih dari 65% agar terbentuknya kristal-kristal di permukaan gel dapat dicegah (Winarno, 1997).
Pektin yang diproduksi secara komersial biasanya memiliki warna pucat atau putih dengan bentuk bubuk yang dapat larut dalam air dan membentuk larutan yang kental. Pektin dalam kondisi yang memenuhi persyaratan pengolahan gel (pH rendah dan bergula tinggi) akan membentuk gel dengan segera. Selai merupakan produk tradisional yang menggunakan pektin, namun sekarang pektin telah banyak digunakan seperti penstabilan protein pada yogurt, soft drink dengan susu bahkan digunakan juga untuk peralatan medis yang kontak dengan kulit manusia (Walter, 1991). Kualitas mutu pektin berdasarkan IPPA (2002) dapat dilihat pada Tabel 2.2.
7
Tabel 2.2 Standar Mutu Pektin Berdasarkan Standar Mutu International Pectin Producers Association (IPPA)
Faktor Mutu Kandungan
Kekuatan gel
Kandungan metoksil:
• Pektin metoksil tinggi
• Pektin metoksil rendah Kadar asam galakturonat Susut Pengeringan Kadar air
Kadar abu
Derajat esterifikasi untuk:
• Pektin ester tinggi
• Pektin ester rendah Bilangan asetil
Berat Ekivalen
Min 150 grade
> 7,12%
2,5 -7,12%
Min 35%
Maks 12%
Maks 12%
Maks 10%
Min 50%
Maks 50%
0,15 - 0,45%
600 - 800 mg
Pektin secara luas berguna sebagai bahan tekstur dan pengental dalam makanan, mampu membungkus logam berat dan juga sebagai bahan tambahan produk susu terfermentasi (Hanum dkk, 2012). Menurut Muhidin (2003), dalam industri makanan, pektin sering digunakan sebagai bahan pemberi tekstur yang baik pada roti dan keju, bahan pengental dan stabilizer pada minuman sari buah, bahan pokok pembuatan gel, selai dan mamalade, bahan pengawet pada produk susu yang akan menstabilkan keasaman susu, dan sebagai pengontrol pembentukan kristal es pada pembuatan es krim dan dapat mempertahankan warna dan aroma es krim tersebut. Dalam industri farmasi, pektin sering digunakan sebagai pengemulsi bagi preparat cair dan sirup, obat diare pada bayi dan anak-anak seperti dextrimaltose, kapoec, nipektin dan intestisan, obat penawar racun logam, bahan penurun daya racun dan menaikkan daya larut obat-obatan, bahan kombinasi untuk memperpanjang kerja hormon dan antibiotika, bahan pelapis perban untuk menyerap kotoran dan jaringan yang rusak atau hancur sehingga luka tetap bersih dan cepat sembuh, dan bahan hemostatik, oral atau injeksi untuk mencegah pendarahan (Sulihono dkk, 2012). Menurut Srivastava and Rishabha (2011), mengkonsumsi pektin akan mampu mengurangi kadar kolesterol dalam darah, dimana dengan mengkonsumsi sedikitnya 6 gram pektin per hari akan mampu mengurangi kadar kolesterol dalam darah hingga 13% dalam jangka waktu 2 minggu. Standar pektin hasil berdasar fungsinya di bidang pengobatan atau farmasi
8
adalah adanya gugus metoksi dan asam galakturonat, serta harus diperhatikan susut keringnya.
2.3 Ekstraksi
Ekstraksi dari bahan padat dapat dilakukan jika bahan yang diinginkan dapat larut dalam solven pengekstraksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju ekstraksi adalah tipe persiapan sampel, waktu ekstraksi, kuantitas pelarut, suhu pelarut, dan tipe pelarut (Sulihono dkk, 2012). Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun cair dengan bantuan pelarut, sehingga pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material yang lainnya. Pektin dapat diekstrak dengan menggunakan aquades dengan kondisi panas dan dalam suasana asam (Amanatie, 2002). Untuk membuat kondisi asam dapat digunakan beberapa senyawa asam organik seperti asam sulfat, asam klorida, asam nitrat, asam asetat, dan asam sitrat (Fitriani, 2003).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Hindarso dkk (2004) untuk mengekstrak pektin, jenis asam tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perolehan pektin, meskipun asam klorida menghasilkan yield pektin yang lebih besar dibanding asam nitrat dan asam sulfat.
Ekstraksi yang dapat digunakan untuk memungut pektin dari suatu sampel antara lain yaitu soxhletasi, refluks, infusa dan dekokta. Penelitian yang dilakukan oleh Dhaneswari dkk (2015) untuk memperoleh pektin dari kulit dan buah salak menggunakan metode soxhletasi didapatkan hasil rendemen berkisar 0,003%, sedangkan metode perebusan didapatkan hasil rendemen berkisar 1,225% untuk daging buah salak dan 6,708% untuk kulit buah salak. Dari penelitian tersebut metode yang lebih tepat adalah metode perebusan karena rendemen pektin yang dihasilkan jauh lebih tinggi dibanding metode soxhletasi. Penelitian yang dilakukan oleh Subagyo dan Achmad (2010) untuk memperoleh pektin dari ampas apel dan kulit apel dengan menggunakan metode refluks adalah 13,940 % untuk ampas dan 12,897 % untuk kulit apel. Kondisi operasi optimal yang diperoleh dari penelitian tersebut yaitu: suhu ekstraksi 90oC, pH larutan untuk ampas (3,5), untuk larutan kulit pH 3, dan dalam waktu operasi 90 menit.
9
Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dekokta.
dekokta merupakan salah satu metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut air tanpa harus menggunakan peralatan laboratorium maupun industri (skala besar) sehingga penggunaannya lebih mudah dan sederhana. Dekokta dilakukan dengan menggunakan penangas air mendidih pada temperatur 90oC selama 30 menit (Tandah, 2016). Menurut Koirewoa dkk (2012), proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena selain murah dan mudah dilakukan, dengan perendaman sampel tumbuhan akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel, sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Pelarut yang mengalir ke dalam sel dapat menyebabkan protoplasma membengkak dan bahan kandungan sel akan larut sesuai dengan kelarutannya.
Ekstraksi yang dilakukan menggunakan kondisi optimum dari penelitian yang dilakukan oleh Subagyo dan Achmad (2010).