• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PINANGAN (KHITBAH)

Dimas Ahmad

Academic year: 2024

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PINANGAN (KHITBAH)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

20 BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PINANGAN (KHITBAH) A. Pengertian pinangan

Kata “peminangan” berasal dari kata “pinang, meminang” (kata kerja). Meminang sinonimnya adalah melamar, yang dalam bahasa Arab disebut “khithbah”.

َ خ

َ بَ ط

َ

ََ ي–

َ خ

َ ط

َ ب

َ –

َ

َ خ

َ ط

َ ب

َا –

َ وَ

َ خَ

َ بَ ط

َ ة

1َ

Menurut terminologi, peminangan ialah seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.2

Pasal 1 bab 1 Kompilasi Hukum Islam huruf a memberi pengertian bahwa peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan seorang perempuan 3

Pinangan (Khitbah) adalah permintaan seorang laki-laki untuk menguasai seorang perempuan tertentu dari keluarganya dan bersekutu dalam urusan kebersamaan hidup. Atau dapat diartikan, seorang perempuan yang halal dinikahi secara syara’. Adapun pelaksanaannya beragam, adakalanya peminang itu sendiri yang meminta langsung kepada yang bersangkutan, atau melalui keluarga, dan atau melalui utusan seseorang yang dapat dipercaya untuk meminta orang yang dikehendaki.4

1 Sayid Sabiq Fiqh Sunnah 3, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2010, hlm. 221

2 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta : Prenada Media Group, 2008, hlm.

73-74

3 Kompilas Hukum Islam, Op Cit, hlm. 1

4 Abdul Aziz, Fiqh Munakahat, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2009, hlm. 8

(2)

Sedangkan dalam ilmu fiqh disebut khitbah, artinya permintaan.

Menurut istilah artinya pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk menikahinya, baik dilakukan oleh laki- laki itu secara langsung atau dengan perantaraan pihak yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama.5

Apabila keinginannya disetujui maka kedudukan persetujuan sama dengan janji untuk melangsungkan pernikahan, sehingga laki-laki yang mengajukan pinangan sama sekali tidak halal melakukan sesuatu terhadap perempuan yang dipinangnya, melainkan tetap menjadi perempuan asing (bukan mahram) sampai berlangsungnya akad nikah.6

Kita semua memahami bahwa meminang hanyalah jani untuk mengadakan perkawinan, bukan akad nikah yang mempunyai kekuatan hukum. Memenuhi janji untuk kawin adalah kewajiban bagi kedua belah pihak yang berjanji. Agama tidak menetapkan hukuman tertentu bagi pelanggarannya, tetapi melanggar janji adalah termasuk perbuatan tercela, pelanggaran janji adalah salah satu sifat munafik.7

B. Dasar hukum pinangan

Peminangan atau khitbah banyak disinggung dalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW, akan tetapi tidak ditemukan secara jelas perintah ataupun larangan untuk melakukan khitbah. Oleh karena itu, tidak ada

5 Djaman Nur, Fiqh munakahat, Semarang : Toha Putra, 1993, hlm. 13

6 Abu Malik Kamal, Fiqh Sunah Untuk Perempuan, Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat, 2007, hlm. 634

7 Alhamdani, Risalah Nikah, Pekalongan : Raja Murah, hlm. 20

(3)

ulama yang menghukumi khitbah sebagai sesuatu yang wajib, dengan kata lain hukum khitbah adalah mubah.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam Islam peminangan di syariatkan bagi orang yang hendak menikah. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 235 yaitu :

َ



َ



َ



َ



َ



َ

َ



َ



َ

َ



َ

َ



َ

َ



َ

َ



َ



َ



َ

َ



َ



َ

َ

َ



َ



َ



َ

َ

َ



َ



َ



َ



َ



َ



َ



َ

َ



َ

َ

َ



َ

َ

َ



َ



َ

َ



َ

َ

َ



َ



ََ

Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang perempuan- perempuan itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan Ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”8

Tidak ada dosa meminang perempuan-perempuan itu pada saat masa tunggu (iddah) mereka, dengan syarat pinangan itu disampaikan dengan sindiran, yakni tidak tegas dan terang-terangan menyebut maksud menikahinya.

Kalau tidak dosa untuk meminang dengan sindiran pada masa iddah, itu berarti dosa meminang perempuan yang perceraiannya bersifat ba’in dengan terang-terangan, dan dosa pula meminang perempuan yang

8 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op Cit, hlm. 38

(4)

perceraiannya bersifat raj’iy. Ini karena perempuan-perempuan yang dicerai raj’iy itu masih dalam status dapat dirujuk oleh suaminya sehingga meminangnya, baik sindiran apalagi terang-terangan, dapat berkesan di hati mereka yang pada gilirannya dapat berdampak negatif dalam kehidupan rumah tangga jika ternyata suaminya rujuk kepadanya.

Terhadap perempuan yang dicerai wafat suaminya dan sedang dalam masa tunggu, tidak juga diperkenankan untuk dipinang secara terang-terangan, baik secara langsung maupun tidak, karena perempuan-perempuan itu dituntut untuk berkabung, sedangkan perkawinan adalah suatu kegembiraan.9

Dan di dalam hadits :

َ ن ا

َ

َ با

َ ن

َ

َ مَ ع

َ ر

َ رَ

َ يَ ض

َ اللَ

َ

َ ع

َ ن

َ مَ ه

َ ل و ق يَ نا كَا

َ ب نلاَى ه نَ:

َ ع ي بَى ل عَ م ك ض ع بَ ع ي ب يَ ن اَملسوَهيلعَاللَىلصَُّي

َ ض ع ب

َ ل وَ,

َ ي

َ خ

َ ط

َ ب

َ

َ ل ج رلا

َ

َ ع

َ خَىَ ل

َ بَ ط

َ ة

َ خََ أ

َ هَ ي

َ حَ

َ يَىَ ت

َ ت

َ ر

َ ك

َ

َ لا

َ طاَ خ

َ ب

ََ ق

َ بَ ل

َ ه

َ وَ ا

ََ ي

َ أ

َ ذ

َ ن

ََ ل

َ ه

َ ب طا خ لاَ (

َهاور

يراخب ) Artinya :“Ibnu Umarَ r.a berkata, Rasulullah SAW melarang untuk

menjual saudara dari kalian kepada saudaranya lagi, dan seorang laki-laki tidak boleh meminang perempuan yang masih dalam peminangan orang lain, sehingga peminang sebelumnya melepasnya atau mengijinkannya”. (H.R. Bukhori).10

Atas dasar firman Allah dan hadits tersebut di atas, maka jumhur ulama berpendapat bahwa peminangan yang dilakukan sebagai langkah awal dari nikah hukumnya adalah boleh (mubah) selama tidak ada larangan syara’ untuk meminang perempuan tersebut, seperti perempuan itu sudah menjadi isteri orang lain atau telah dipinang orang lain. Karena

9 M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur’an, Jakarta : Lentera Hati 2002, hlm. 616

10 Al- Bukhari, Op Cit, hlm. 462

(5)

tujuan peminangan adalah sekedar meninjau kerelaan yang dipinang untuk dijadikan isteri, sekaligus sebagai janji untuk menikahinya.

Akibat hukum dari peminangan itu sendiri tidak berkaitan dengan hak dan kewajiban serta tidak menimbulkan keterkaitan apa pun antara keduanya. Oleh karena itu para ahli fiqh mengatakan bahwa peminangan tersebut boleh saja batalkan salah satu pihak tanpa persetujuan pihak lain.

Oleh karena itu sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 235 yang telah disebutkan dapat diketahui bahwa hukum khitbah atau atau peminangan adalah mubah, meskipun ayat tersebut menerangkan masalah diperbolehkannya meminang perempuan ketika perempuan itu dalam masa menunggu atau iddah.

Meskipun para ahli fiqh menyatakan bahwa peminangan itu hukumnya adalah mubah, tetapi ada pula ulama lain yang menyatakan bahwa khitbah nikah atau peminangan itu hukumnya wajib. Seperti Daud yang mengatakan bahwa khitbah itu wajib. Silang pendapat ini disebabkan apakah perbuatan Nabi SAW yang berkenaan dengan soal itu diartikan kepada wajib ataukah sunnah11

1. Syarat Khitbah

Dalam melakukan sesuatu seseorang itu diharuskan untuk memenuhi suatu syarat baik syarat itu diadakan sebelum maupun sesudah sesuatu itu terjadi, begitu juga dalam peminangan diharuskan adanya syarat yang harus dipenuhi, baik sesudah ataupun sebelum

11 Ibnu Rusdy, Op Cit, hlm. 3

(6)

peminangan dilakukan. Dalam hal ini syarat peminangan dibagi menjadi 2 yaitu :

a. Syarat mustahsinah

Yang dimaksud dengan syarat mustahsinah ialah syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang akan meminang seorang perempuan agar ia meneliti terlebih dahulu perempuan yang akan dipinangnya itu, sehingga akan menjamin kelangsungan hidup berumah tangga kelak. Syarat mustahsinah ini bukanlah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan, tetapi hanya berupa anjuran dan kebiasaan yang baik saja. Tanpa syarat- syarat ini dipenuhi, peminangan tetap sah.

Yang termasuk syarat-syarat mustahsinah ialah:

1) Perempuan yang dipinang itu hendaklah sejodoh, dengan laki- laki yang meminangnya, seperti sama kedudukannya dalam masyarakat, sama-sama baik bentuknya, sama dalam tingkat kekayaan, sama-sama berilmu dan sebagainya. Sesuai dengan hadits :

َ ض رَ ة ر ي ر هَ ي ب اَ ن ع

َ لا قَمّلسوَهيلعَاللَىلصَِّي بّنلاَ ن عَ ه ن عَ اللَ ي

َ ة أ ر م لاَ ح ك ن تَ:

َ ع ب ر لِ

َ كا د يَ ت ب ر تَ ن يِّدلاَ تا ذ بَ ر ف ظا فَا ه ن ي د ل وَا ه لا م ج ل وَا ه ب س ح ل وَا ه لا م لَ:

(

َهاور

يراخبلا ) Artinya : Dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi SAW, bersabda : “

Perempuan itu dinikahi karena empat perkara : karena hartanya, karena nasabnya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka

(7)

pilihlah yang beragama, mudah-mudahan engkau memperoleh penghasilan”.12

2) Perempuan yang akan dipinang itu hendaklah perempuan yang mempunyai sifat kasih sayang dan perempuan yang peranak.

3) Perempuan yang akan dipinang itu hendaklah perempuan yang jauh hubungan darah dengan laki-laki yang meminangnya.

4) Hendaklah mengetahui keadaan jasmani, budi pekerti dan sebagainya dari perempuan yang dipinang. Sebaliknya yang dipinang sendiri harus mengetahui juga keadaan yang meminangnya.13

b. Syarat lazimah

Yang dimaksud syarat lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan.14 Dengan demikian sah peminangan tergantung dengan adanya syarat-syarat lazimah, yang termasuk di dalamnya yaitu :

1) Perempuan yang dipinang tidak istri orang lain dan tidak dalam pinangan laki-laki atau apabila sedang dipinang oleh laki-laki lain, laki-laki tersebut telah melepaskan hak pinangnya.15

Berdasarkan hadits Nabi SAW:

ا م ه ن عَ اللَ ي ض رَ ر م عَ ن باَنع

َ لا قَ

َمّلسوَهيلعَاللَىّلصَ اللَ ل و س رَ لا قَ:

َ ب ط خ ي ل:َ

َ ه لَ ن ذ أ يَ و اَ ه ل ب قَ ب طا خ لاَ ك ر ت يَى ت حَ ه ي خ أَ ة ب ط خَى ل عَ ل ج رلا

َ ( هيلعَقفتم )

12 Al- Bukhari, Op Cit, hlm. 445

13 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan bintang, 2010, hlm. 34-35

14 Ibid, hlm. 33

15Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 65

(8)

Artinya: ”Dari Ibnu Umar r.a, berkata, Nabi SAW bersabda:

janganlah seseorang dari kamu meminang (perempuan) yang dipinang saudaranya, sehingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau telah mengizinkannya.” (Muttafaq Alaih)16

2) Perempuan yang dipinang tidak dalam masa iddah talak raj’i, karena yang lebih berhak menikahinya adalah mantan suaminya. Mantan suaminya boleh merujuknya kapan saja dia kehendaki dalam masa iddah itu. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:



َ



َ



َ

َ



َ

َ



َ



َ

ََ

Artinya: ”Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.” (Al-Baqarah:228)17

Dalam ayat ini dijelaskan, bahwa talak raj’iy itu hanya berlaku dua kali. Kalau talak sudah tiga kali, tidak boleh rujuk lagi dan dinamakan talak ba’in. Para ulama berpendapat bahwa seseorang yang menjatuhkan talak tiga kali sekaligus, maka talaknya dihitung jatuh tiga, tetapi ada pula ulama yang berpendapat jatuh satu.18

Pada masa itu, perempuan yang ditalak mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya. Mereka diberi taklif (beban tugas) untuk menunggu (ber-iddah) dan tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah didalam rahim

16Al-San’any, Op Cit, hlm. 113

17 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op Cit, hlm. 36

18 Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), Jilid 1, Jakarta : Departemen Agama RI, Tth, hlm. 338

(9)

mereka. Para suami diberi taklif bahwa niat mereka untuk rujuk itu haruslah niat yang baik, bukan untuk membahayakan si istri, dan bukan untuk membalas dendam. Dalam masa penahanan yang berupa iddah itu si suami diperintahkan memberikan nafkah.19

2. Hikmah Pinangan (Khitbah)

Akad nikah itu untuk selamanya dan sepanjang masa bukan untuk sementara. Salah satu dari kedua calon pasangan hendaknya tidak mendahului ikatan pernikahan yang sakral kecuali setelah diseleksi benar dan mengetahui secara jelas tradisi calon teman hidupnya, karakter, perilaku, dan akhlaknya sehingga keduanya akan dapat meletakkan hidup mulia dan tenteram, diliputi suasana cinta, puas, bahagia, dan ketenangan. Ketergesaan dalam ikatan pernikahan tidak mendatangkan akibat kecuali keburukan bagi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Inilah di antara hikmah disyariatkan pinangan (Khitbah) dalam Islam untuk mencapai tujuan yang mulia dan impian yang agung.20

Hikmah lain adalah bahwa pinangan merupakan cara untuk saling mengenal antara calon pasangan suami isteri, jalan untuk mengetahui tabiat atau akhlak dan kecenderungan dari masing-

19 Abdul Aziz Salim Basyahril, Al-Qur’an terjemahan, Jakarta : Gema Insani Pers, 2000, hlm. 293

20 Abdul Aziz, Op Cit, hlm. 9-10

(10)

masing calon pasangan, dan jalan untuk mencapai kesepakatan kedua belah pihak menuju pembentukan mahligai rumah tangga.21 C. Konsep pinangan dalam Islam

1. Melihat perempuan yang akan dipinang

Syariat Islam memperbolehkan seorang laki-laki memandang perempuan yang ingin dinikahi, bahkan dianjurkan dan disunnahkan karena pandangan terhadap terpinang merupakan bagian dari sarana keberlangsungan hidup pernikahan dan ketentraman. Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya memandang perempuan karena khitbah sebagaimana yang diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda kepada Al-Mughirah bin Syu’bah yang telah meminang seorang perempuan untuk dinikahi :”Apakah kamu telah melihatnya?” Ia menjawab :

“Belum”. Beliau bersabda :

َا م ك ن ي بَ م د ؤ يَ ن اَى ر ح اَ ه ن ا فَا ه ي ل اَ ر ظ ن ا Artinya : “Lihatlah ia, sesungguhnya penglihatan itu lebih utama untuk mempertemukan antara kalian berdua (maksudnya menjaga kasih sayang dan kesesuaian)”.22

Dan hadits dari Jabir bin Abdillah disebutkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

َ لا قَاللَ د ب عَ ن بَ ر با جَ ن ع

َمّلسوَهيلعَاللَىلصَاللَ ل و س رَ لا قَ:

َ إَ ذَ:

َ خَا

َ بَ ط

ََ ا

َ دح

َ مََ ك

َ مَ لا

َ ر

َ أَ ة

َ إََ ف

َ ن

َ

َ سا

َ ت

َ ط

َ عا

ََ ا

ََ يَ ن

َ ن

َ رَ ظ

ََ أ

َ مَىَ ل

َ يَا

َ د

َ وَ ع

َ إَ لَ هَ

َ نَى

َ حاَ ك

َ ه

َ ل ع ف ي ل فاَ

( دوادَوبأَهاور )

Artinya : Dari Jabir bin Abdullah berkata, Rasulullah SAW bersabda :

“Jika salah seorang di antara kalian meminang seorang perempuan , sekiranya ia dapat melihat sesuatu darinya

21 Burhanuddin, Fikih Nikah, Bandung : PT Syamiil Cipta Media, 2006, hlm. 17

22 Abi Abdillah Al- Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Beirut : Darul Fikri, Tth, hlm. 599

(11)

yang mampu menambah keinginan untuk menikahinya, maka hendaklah ia melihatnya”. (H.R Abu Dawud).23

Dalam hal ini beberapa ulama berbeda pendapat tentang batasan- batasan anggota tubuh yang boleh dilihat oleh laki-laki yang akan meminang :

a. Mayoritas fuqoha seperti Imam Malik, As-Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh perempuan terpinang yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua telapak tangan. Wajah tempat menghimpun segala kecantikan dan mengungkap banyak nilai-nilai kejiwaan, kesehatan, dan akhlak.

Sedangkan kedua telapak tangan dijadikan indikator kesuburan badan, gemuk, dan kurusnya. Adapun dalil mereka adalah firman Allah SWT :

َ



َ



َ

َ

َ



َ



َ

ََ

Artinya : “Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali apa yang biasa terlihat darinya.” (Q.S An-Nur : 31)24

Ibnu Abbas menafsirkan kalimat “apa yang biasa terlihat darinya”

di maksudkan wajah dan kedua telapak tangan. Mereka juga menyatakan, pandangan di sini diperbolehkan karena kondisi darurat maka hanya sekedarnya, wajah menunjukkan keindahan dan kecantikan, sedangkan kedua telapak tangan menunjukkan

23 Abi Dawud As- Sijistani, Sunan Abu Dawud, Juz 2, Beirut : Darul Ilmiyah,1996, hlm.

94

24 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op Cit, hlm. 353

(12)

kehalusan dan kelemahan tubuh seseorang. Tidak boleh memandang selain kedua anggota tubuh jika tidak ada darurat yang mendorongnya.

b. Ulama Hanbali berpendapat bahwa batas kebolehan memandang anggota tubuh perempuan terpinang sebagaimana memandang perempuan mahram, yaitu apa yang tampak pada perempuan pada umumnya di saat bekerja di rumah, seperti wajah, kedua telapak tangan, leher, kepala, kedua tumit kaki, dan semuanya. Tidak boleh memandang anggota tubuh yang pada umumnya tertutup seperti dada, punggung, dan sesamanya. Adapun alasan mereka yaitu berdasarkan perbuatan Nabi SAW tatkala memperbolehkan seorang sahabat memandang perempuan tanpa sepengetahuannya.

Diketahui bahwa beliau mengizinkan memandang segala yang tampak pada umumnya. Oleh karena itu, tidak mungkin hanya memandang wajah, kemudian diperbolehkan memandang yang lain karena sama-sama tampak seperti halnya wajah.

c. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur mazhabnya berpendapat, kadar anggota tubuh yang diperbolehkan untuk dilihat adalah wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari itu. Memandang anggota tubuh tersebut dinilai cukup bagi orang yang ingin mengetahui kondisi tubuhnya. Menyingkap dan memandang perempuan lebih dari anggota tersebut akan menimbulkan kerusakan dan maksiat yang pada umumnya diduga

(13)

maslahat. Dalam khitbah wajib dan cukup memandang anggota tubuh tersebut saja sebagaimana perempuan boleh terbuka kedua tumit, wajah, dan kedua telapak tangannya ketika dalam sholat dan haji.

d. Dawud Azh-Zhahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota tubuh perempuan terpinang yang diinginkan. Berdasarkan keumuman sabda Nabi SAW : “Lihatlah kepadanya”. Di sini Rasulullah tidak mengkhususkan suatu bagian bukan bagian tertentu dalam kebolehan melihat.

Pendapat Azh-Zhahiri telah ditolak mayoritas ulama, karena pendapat mereka menyalahi ijma’ ulama dan menyalahi prinsip tuntutan kebolehan sesuatu karena darurat diperkirakan sekadarnya. Pendapat yang kuat (Rajih), yakni bolehnya memandang wajah, kedua tangan, dan kedua tumit kaki. Baginya boleh berbincang-bincang sehingga mengetahui kelebihan yang ada pada perempuan terpinang, baik dari segi fisik, suara, pemikiran, dan segala isi hatinya agar tumbuh rasa kecintaannya.

Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas adalah bahwa laki-laki boleh melihat perempuan yang akan dinikahinya.25 Adapun waktu melihat kepada perempuan itu adalah saat menjelang

25 M Syarief, Menikahlah Engkau Akan Selamat, Semarang : Pustaka Adnan, 2006, hlm.

122

(14)

menyampaikan pinangan, bukan setelahnya, karena bila ia tidak suka setelah melihatnya, ia dapat meninggalkannya tanpa menyakitinya.26

2. Macam cara meminang

Di dalam sunnah terdapat beberapa macam cara meminang, yaitu sebagai berikut :

a. Lamaran melalui keluarga pihak perempuan

Pada dasarnya, maksud menikahi seorang perempuan harus disampaikan kepada walinya.

Urwah menuturkan bahwa Nabi SAW meminang ‘Aisyah ra. kepada Abu Bakar ra. Saat menerima pinangan tersebut, Abu Bakar ra. berkata, “Aku ini Saudaramu”. Rasulullah SAW menjelaskan:

َ ه با ت ك وَ اللَ ن ي دَ ي فَ ي خ اَ ت ن ا

ٌَل لا حَ ي لَ ي ه وَ, (

يراخبلاَهاور

)

Artinya: “Engkau adalah saudaraku dalam agama dan kitab Allah, sehingga dia (‘Aisyah) adalah halal bagiku”. (H.R Bukhari)27

Dalam riwayat Muslim di sebutkan :

َ و

َ بَ لا

َ ك

ََ يَ ر

َ س

َ تَ أ نَ ذَ

َ ه

َ أَا

َ وَ ب

َ ه

َا ( ملسمَهاور )

Artinya : “Dan anak gadis dimintai pendapatnya oleh ayahnya.” (H.R Muslim)28

Dari hadits di atas dapat di ketahui bahwa seorang gadis itu harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari orangtua (wali) nya

26 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana 2003, hlm. 86

27 Al-Bukhari, Op Cit, hlm. 442

28 Abi Husain Muslim, Shaih Muslim, Juz 9, Beirut: Darul Fikr, 1995, hlm. 175

(15)

tersebut. Karena itu pada dasarnya pinangan itu di ajukan kepada wali dari pihak perempuan yang akan di pinangnya itu.

Dalam hadits yang lain disebutkan :

َا م ه ن عَاللَ ي ض رَ ة ش ئا عَ ن ع

َ:

َ أ

َ ن

َ

َ نلا

َ ب

َ ي

َ

َ تَملسوَهيلعَاللَىلص

َ وَ ز

َ ج

َ وَاَ ه

َ يَ ه

ََ ب

َ ن

َ ت

َ سَ

َِّت

َ سَ

َ نَ ي

َ ن

َ

َ و

َ ا

َ خَ د

َ ل

َ ت

َ

َ ع

َ لَ ي

َ ه

َ وَ

َ يَ ه

ََ ب

َ ن

ََ تَ ت

َ عَ س

َ وَ

َ م

َُّك

َ ث

َ ت

َ عَ

َ ن

َ هََ د

َ ت

َ س

َ ع اَ

( يراخبلاَهاور )

Artinya : “Dari Aisyah r.a, bahwa Nabi SAW telah menikahinya ketika ia berusia enam tahun, dan Nabi menggaulinya ketika ia berumur sembilan tahun, dan ia tinggal bersama beliau selama sembilan tahun”. (H.R Bukhari)29

Hadits di atas menunjukan bahwa diperbolehkan bagi seorang ayah untuk menikahkan puterinya yang masih kecil tanpa meminta izin kepadanya. Al-Muhallab mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa seorang ayah boleh menikahkan anak gadisnya yang masih kecil meskipun ia tidak di campuri setelah itu.”30

b. Meminang dengan berbicara langsung kepada si perempuan

Dalam kitab-kitab fiqih hal ini diistilahkan dengan

“meminang perempuan dewasa langsung kepada yang bersangkutan sendiri”.

Hal ini hampir sama konteksnya dengan meminang seorang janda. Karena seorang janda dimintai persetujuannya secara terus terang tentang perkawinannya.

Memang terhadap perempuan yang masih kecil dan belum baligh, ayah atau kakeknya berhak untuk menikahkannya tanpa

29 Al-Bukhari, Op Cit, hlm. 459

30 Ayub Hasan, Fikih Keluarga, Bandung : Pustaka Al – Kausar, 2008, hlm. 69

(16)

harus meminta izin kepadanya terlebih dahulu, karena ia belum banyak memahami berbagai hal tentang pernikahan. Tetapi terhadap perempuan yang sudah baligh dan janda, maka diharuskan meminta pendapat kepadanya tentang laki-laki yang melamarnya, dan ia harus mengucapkan secara terus terang setuju atau tidak.

Jika ia dinikahkan dengan seorang laki-laki tanpa dimintai pendapatnya dan tanpa persetujuannya, maka akad nikahnya dianggap batal.31

َ ع

َ ن

َ

َ دَ ع

َِّي

َ نََ ب

َ

َ دَ ع

َِّي

َ كلاَ

َ دَ ن

َ ي

َ

َ ع

َ ن

َ بَ يََ أ

َ ه

َ لاََ ق

َ

َ:

َ لاَ ق

َ رَ

َ وَ س

َ ل

َ

َّلسوَهيلعَاللَىلصَالل

َم

َ:

َ ثلا

َِّي

َ ب

َ

َ ت

َ رَ ع

َ ب

َ

َ ع

َ ن

ََ ن

َ سَ ف

َ وَاَ ه

َ بَ لا

َ ك

َ ر

َ رَ

َ ض

َ صَاَ ها

َ م

َ هَ ت

َا ( هجامَنباَهاور )

Artinya : “Dari Adi bin Adi Al-Kindi, dari bapaknya, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Seorang janda dimintai persetujuannya secara terus terang tentang pernikahannya, sedangkan anak gadis keridhaannya adalah dengan diamnya.”

(H.R Ibnu Majah)32

Ummu Salamah berkata, “Rasulullah SAW mengutus Hathib bin Abi balta’ah kepadaku untuk melamarku buat beliau, lalu aku katakan kepadanya, “Aku mempunyai seorang anak perempuan, dan aku sangat pencemburu”. Lalu Nabi bersabda :

َ مَ أ اَا

َ بَ ن

َ هَ ت

َ فَا

َ ن

َ د

َ اللَاوَ ع

ََ

َ ا

ََ يَ ن

َ نَ يَ غ

َ ه

َ عَا

َ هَ ن

َ وَا

َ أ

َ د

َ اللَاوَ ع

ََ أ

ََ يَ ن

َ ذ

َ بَ ه

ََ ب

َ لا

َ غ

َ رَ ي

َ ةَ

( ملسمَهاور )

Artinya : “Mengenai anaknya, kita do’akan kepada Allah, semoga Dia mencukupkannya daripadanya, dan aku berdoa kepada Allah mudah-mudahan Dia menghilangkan kecemburuannya.” (H.R Muslim)33

31 Ibid hlm. 68

32Abi Abdillah Al-Qazwini, Op Cit, hlm. 602

33 Abi Husain Muslim, Shahih Muslim, Juz 3, Beirut : Darul Ilmiyah, 1995, hlm. 314

(17)

c. Orang tua si perempuan atau kerabatnya menawarkan kepada orang-orang yang mereka ridhai akhlak dan agamanya

Hal ini oleh Al-Bukhari diistilahkan dengan, “Penawaran orang akan putrinya atau saudara perempuannya kepada ahli kebaikan”.34

Dari abdullah bin Umar ra. bahwa Umar bin Khattab ra.

ketika Hafsah binti Umar menjanda dari Khunais bin Khudzafah As-Sahmi -- salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang wafat di Madinah – Umar bin Khattab berkata, “Aku datang kepada Utsman berkata, ‘Aku akan melihat urusanku’. Lalu aku berdiam selama beberapa malam, kemudian Usman datang kepadaku seraya berkata, ‘Tampak olehku bahwa pada saat-saat ini aku belum berhasrat untuk kawin’. Umar berkata, ‘Lalu aku temui Abu Bakar Ash-Shiddiq, lantas kukatakan, ‘Jika engkau mau, aku ingin mengawinkan engkau dengan Hafsah binti Umar’. Maka Abu Bakar diam saja dan tidak menjawab sedikitpun, dan aku merebutnya setelah Utsman. Maka aku berdiam selama beberapa malam, kemudian Rasulullah SAW melamarnya, lalu aku nikahkan dia dengan beliau. Setelah itu Abu Bakar menemuiku seraya berkata, ‘Engkau telah menemuiku untuk menawarkan Hafsah kepadaku, tetapi aku tidak menjawab kepadamu sedikitpun’. Umar berkata, ‘Benar’. Abu bakar berkata, ‘Tidak ada yang

34 Abu Syuqah Abdul Halim, Kebebasan Perempuan, Gema Insani Perss, 1999, hlm. 45

(18)

menghalangiku untuk menjawab tawaranmu itu, melainkan aku telah mengetahui bahwa Rasulullah SAW pernah menyebut- nyebutnya (Hafsah), maka aku tidak ingin membukakan rahasia Rasulullah SAW. Dan seandainya Rasulullah SAW meninggalkannya, niscaya aku menerimanya”.35

d. Pihak laki-laki meminang perempuan melalui pemuka masyarakat Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perntara yang dapat dipercaya Dan kata “Perantara” di sini pun dapat diartikan sebagai pemuka masyarakat yang memang kita percayai.

Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi, mengatakan bahwa seorang perempuan datang kepada Rasulullah SAW. Lalu seorang laki-laki dari sahabat beliau berdiri seraya berkata, “Wahai Raulullah, jika engkau tidak berminat kepadanya, maka kawinkanlah aku dengannya”. Maka Rasulullah SAW menjawab :

َ اَ ذ

َ ه

َ ب

ََ ف

َ ق

َ د

َ مَ لَ

َ ك

َ ت

َ هَ ك

َ بَا

َ م

َ مَا

َ ع

َ ك

َ ن ا ر ق لاَ ن مَ (

يراخبلاَهاور )

Artinya :“Pergilah, sesungguhnya aku telah mengawinkanmu dengannya, dengan ayat Al- Qur’an yang engkau hafal (dan engkau ajarkan kepadanya sebagai maskawin)”.

(H.R Bukhari dan Muslim)36

e. Pemuka masyarakat meminang untuk sebagian sahabatnya

35 Al- Bukhari, Op Cit, hlm. 454

36 Al- Bukhari, Op Cit, hlm. 456

(19)

Uqbah bin Amir mengatakan bahwa Rasulullah SAW berkata kepada seorang laki-laki :

َ أَ ت

َ ضَ ر

َ اَى

َ ن

ََ أ

َِّوَ ز

َ ج

َ ك

ََ ف

َ لا

َ ن

َ ة

َ

؟

ََ

َ لاَ ق

َ

َ:

َ عَ ن

َ م

َ وَ.

َ لاَ ق

ََ ل

َ مَ ل

َ أَ ةَ ر

َ

َ:

َ أَ ت

َ ضَ ر

َ ي

َ ن

ََ ا

َ ن

ََ أ

َ وَ ز

َ كَ ج

ََ ف

َ لا

َ نا

َ

؟

ََ

َ ق

َ لا

َ ت

َ

َ:

َ عَ ن

َ م

َ.

َ ف

َ وَ ز

َ ج

َ حََ ا

َ د

َ مَ ه

َ صَا

َ حا

َ ب

َ ه

َ ( دوادَوبأَهاور )

Artinya : “Maukah aku kawinkan engkau dengan si Fulanah?”

Dia menjawab, “Mau”. Dan beliau berkata kepada si perempuan, “Maukah aku kawinkan engkau dengan si Fulan?”. Dia menjawab, “Mau”. Lalu beliau mengawinkan mereka. Kemudian laki-laki itu mencampurinya”. (H.R Abu Daud)37

f. Perempuan menawarkan dirinya kepada laki-laki yang saleh Di dasari oleh sebuah hadits :

َ ثَ ن ع

َ با

َ ت

َ لاََ ق

َ

َ:

َ ك

َ ن

َ جَا

َ وَ ل

َ مَاَ س

َ ع

ََ ا

َ سَ ن

َ

َ نَ با

َ مَ

َ لا

َ ك

َ وَ,

َ ع

َ ن

َ هََ د

َ اَ ب

َ ن

ٌَة

ََ ل

َ ه

َ,

َ فَ ق

َ لا

ََ ا

َ سَ ن

َ

َ جَ:

َ ءا

ََ اَ ت

َ م

َ ر

َ أٌَة

ََ ا

َ ل

َى

َ نلا

َ ب

َِّي

َ ملسوَهيلعَاللَىلص

َ,

َ عَ ف

َ ر

َ ض

َ ت

ََ ن

َ سَ ف

َ ه

َ عَا

َ لَ ي

َ ه ,

َ ت لا ق ف

َ ي:َ

َ رَا

َ وَ س

َ ل

َ الل

َ,

َ ه

َ ل

ََ ل

َ ك

َ ي فَ

َ حَ

َ جا

ٌَة

َ

؟

ََ

َ فَ ق

َ لا

َ ت

َ

َ با

َ نَ ت

َ ه

َ مَ

َ أَا

َ ق

َ ل

َ حَ

َ يا

َ هَ ئ ا

َ.

َ فَ ق

َ لا

َ

َ هَ:

َ ي

َ

َ خ

َ ب

ٌَر

َ مَ

َ كَ ن

َ رَ,

َ غ

َ ب

ََ فَ ت

َ رَي

َ وَ س

َ ل

َ

َهيلعَاللَىلصَالل

َ فَملسو

َ ع

َ ر

َ ض

َ ت

ََ ن

َ سَ ف

َ ه

َ عَا

َ لَ ب

َ ه

َ ( هجامَنباَهاوز )

Artinya : ”Dari Tsabit, dia berkata: Kami duduk bersama dengan Anas bin Malik yang di sebelahnya ada salah seorang anak perempuannya. Lalu Anas berkata: Datanglah seorang perempuan kepada Nabi SAW, lalu ia berkata: “Wahai Rasulullah maukah tuan mengambil diriku?” Kemudian anak perempuan Anas menyeletuk: “Betapa tidak malunya perempuan itu!” Lalu Anas menjawab:

“Perempuan itu lebih baik dari kamu.” Ia menginginkan Rasulullah SAW karena itu ia menawarkan dirinya kepada beliau. (H.R Ibnu Majah)38

Dari hadits di atas mengemukakan bahwa seorang perempuanpun boleh meminang lelaki. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan yang memang mempunyai keinginan untuk

37Abi Dawud As- Sijistani, Op Cit, hlm 104

38 Abi Abdillah Al- Qazwini, Op Cit, hlm 645

(20)

meminang laki-laki terlebih dahulu itu tidak tercela. Apalagi jika laki-laki yang akan dipinangnya itu adalah laki-laki yag saleh.

g. Mengemukakan sindiran untuk meminang pada masa iddah (yakni iddah kematian suami dan iddah talak bain)39

Perempuan dengan kondisi ini (iddah kematian suami) tidak boleh dilamar oleh laki-laki manapun. Yang diperbolehkan hanya memberi isyarat bahwa dirinya berhasrat untuk meminangnya tanpa memberikan pernyataan langsung.

Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surat al-Baqarah ayat 235 di atas, dijelaskan bahwa tidak ada dosa baginya untuk meminang perempuan dengan sindiran. Tetapi jika laki-laki itu memang benar-benar berhasrat untuk meminangnya, maka hendaklah dia menunggu habis masa iddah perempuan tersebut.40

Begitu juga meminang pada masa iddah talak bain. Jumhur ulama pun tidak memperbolehkan kecuali dengan kalimat samaran atau sindiran. Para jumhur ulama itu adalah ulama Al-Malikiyah, As-Syafi’iyyah, dan Hanabilah dengan dalil nash Al-quran, Sunnah, dan rasio.41

39 Abu Syuqah Abdul Halim, Op Cit, hlm. 51

40 Kamal Abu Malik, Op Cit, hlm. 644

41 Abdul Aziz, Op Cit, hlm. 20

Referensi

Dokumen terkait

Dari pengertian menurut undang-undang dan pengertian menurut bahasa di atas dapat disimpulkan bahwa paten adalah merupakan hak bagi seseorang yang telah mendapat penemuan baru

Dewasa ini dalam praktek peradilan yang menerapkan pengertian melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif atau mengartikan melawan hukum dalam hukum pidana

1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam maka pada dasarnya antara pengertian perkawinan menurut hukum Islam dan menurut hukum Undang-undang tidak terdapat

Ada dua pengertian Pegawai Negeri menurut Undang-Undang Pokok Kepegawaian Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Undang-Undang No. Pegawai Negeri adalah unsur

Soemiyati dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut

17 Berdasarkan kutipan diatas penulis dapat menjelaskan bahwa pengertian pornografi menurut undang-undang No 44 tahun 2008 tentang pornografi lebih luas dari sudut

Dalam rumusan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor : 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik pasal 1 ayat (1) yang juga ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal

Berdasarkan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 26 A, adanya