Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan usaha pertambangan tanpa izin usaha pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)” sebagaimana tercantum dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum; Pengaduan adalah suatu pemberitahuan yang disertai permintaan pihak yang berkepentingan yang ditujukan kepada pejabat yang berwenang mengambil tindakan hukum terhadap seseorang yang telah mengajukan pengaduan pidana yang merugikan dirinya. Artinya, dalam proses penerimaan pengaduan masyarakat, pejabat yang berwenang dalam hal ini khususnya Polri harus dapat menentukan apakah suatu peristiwa yang dilaporkan pelapor merupakan suatu tindak pidana atau bukan.
Yang dimaksud dengan delik yang dapat didakwakan mutlak adalah delik yang dapat didakwakan yang tidak dapat dipisahkan dalam proses penuntutannya. Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana, wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan. Kewenangannya sangat terbatas dan hanya mencakup penyidikan atau pencarian dan penemuan data tentang suatu perbuatan yang diduga merupakan tindak pidana.
Istilah lain yang digunakan untuk menyebut istilah penyidikan adalah mencari kejahatan dan pelanggaran, yaitu tindakan atau perbuatan pertama aparat penegak hukum yang berwenang melakukannya, yang dilakukan setelah diketahui akan terjadi atau patut diduga akan terjadi suatu tindak pidana. . Penyidikan adalah suatu tindakan yang dapat dan harus segera dilakukan oleh penyidik apabila terjadi tindak pidana atau patut diduga adanya tindak pidana. Apabila terdapat dugaan telah dilakukannya suatu kejahatan atau pelanggaran, maka harus dilakukan upaya untuk menentukan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, apakah suatu tindak pidana benar-benar telah dilakukan dan jika demikian, siapa pelakunya.
Penyidikan merupakan kewenangan penyidik hanya untuk keperluan pengumpulan bahan-bahan, keterangan atau bahan-bahan yang berkaitan dengan tindak pidana tersebut.
Tahap Menetapkan Tersangka
Pengertian tersangka sebagaimana diatur dalam ketentuan angka 14 pasal 1 KUHAP menyatakan bahwa “tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut patut diduga. menjadi pelaku tindak pidana.” Berdasarkan pasal tersebut diketahui bahwa penetapan seseorang sebagai tersangka harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. KUHAP hanya menjelaskan kata “bukti permulaan yang cukup” dalam penjelasan Pasal 17 KUHAP. KUHAP yang menyatakan bahwa “bukti permulaan yang cukup” merupakan bukti permulaan dugaan adanya tindak pidana sesuai dengan angka 14 Pasal 1 KUHAP.
Penjelasan ini sama sekali tidak menjawab pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan bukti pada frasa 'bukti prima facie yang cukup'. “Bukti prima facie yang cukup” harus diperoleh sebelum penyidik melakukan penangkapan atau sebelum penyidik mengarahkan penyidik untuk melakukan penangkapan.12. Bukti yang cukup” adalah salah satu syarat untuk melakukan penahanan paksa terhadap seseorang berdasarkan Pasal 21(1) KUHAP. KUHAP tidak memberikan pengaturan atau penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian “bukti yang cukup”.
Dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana di Indonesia, yang dimaksud dengan “bukti yang cukup” adalah hasil penyidikan yang diterima oleh penuntut umum, yang menjadi dasar untuk menuntut pelaku tindak pidana di muka pengadilan. 13 Jadi “bukti yang cukup” hanya menentukan apakah seseorang dapat diadili atau tidak. sebelum pengadilan. Bukti permulaan yang cukup” pada rumusan Pasal 17 KUHAP apabila dikaitkan dengan ketentuan mengenai 2 (dua) alat bukti yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP mempunyai konteks yang berbeda. Dalam hal ini, makna pentingnya “bukti yang cukup” ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP.
Menurut Yahya Harahap, fungsi bukti permulaan yang cukup pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua (dua) kategori, yaitu sebagai prasyarat untuk: 15. Adapun kategori pertama, fungsi bukti awal yang cukup adalah bukti awal untuk membuktikan adanya untuk mencurigai adanya tindak pidana dan kemudian dapat ditindaklanjuti dengan memulai penyidikan. Untuk kategori kedua, fungsi bukti permulaan yang cukup tidak hanya sekedar bukti permulaan untuk mencurigai adanya suatu tindak pidana, tetapi juga bukti permulaan bahwa (dugaan) tindak pidana tersebut memang dilakukan oleh seseorang.
Padahal, berbagai peraturan perundang-undangan menyebutkan syarat bukti permulaan yang cukup untuk melaksanakan beberapa kewenangan, antara lain: 16. Pembukaan, pemeriksaan dan penyitaan surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang berkaitan dengan kasus pidana teroris yang sedang diselidiki. Penyadapan percakapan telepon atau alat komunikasi lainnya yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melaksanakan tindak pidana terorisme.
Penerapan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan Upaya Kesadaran Masyarakat
Berdasarkan ketentuan tersebut jelas bahwa segala sumber daya alam yang terdapat dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia dikuasai sepenuhnya oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sehingga pemerintah menerbitkan Undang-Undang Mineral dan Batubara untuk mengaturnya. permasalahan yang berkaitan dengan pertambangan mineral dan batubara untuk kesejahteraan rakyat atau kemakmuran. Hal di atas juga sama dengan yang tertuang dalam pertimbangan perimbangan dalam UU Minerba yang muncul. Tujuan dibentuknya Undang-Undang Mineral dan Batubara adalah sebagai berikut: menjamin efektifitas penyelenggaraan dan pengendalian kegiatan pertambangan secara efektif, efisien dan berdaya saing, menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup, menjamin ketersediaan mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri, mendukung dan mengembangkan kapasitas nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional, meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, regional dan masyarakat negara serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat; dan menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaan kegiatan pertambangan mineral dan batubara.
Pemberlakuan UU Mineral dan Batubara merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam mengatur pengusahaan pertambangan mineral dan batubara. Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara. Prinsipnya, UU Minerba secara implisit mewajibkan penambang menyediakan fasilitas peleburan dan pengolahan mulai 12 Januari 2014.
Tentu saja masyarakat tidak memahami akibat hukum dari tindakan penambangan liar yang mereka lakukan karena kurangnya pemahaman terhadap hukum, padahal sebenarnya masyarakat dapat mengelola tambang tersebut dengan mendapatkan izin pertambangan yang populer, sehingga tindakan pengelolaannya didasarkan pada hukum. UU Minerba mendefinisikan pertambangan rakyat (PR) sebagai kegiatan penambangan bahan galian, batu bara, dan batuan yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam skala kecil atau kooperatif dengan menggunakan alat sederhana/tradisional/penggalian mandiri. Secara umum UU Minerba mengatur beberapa hal terkait pertambangan rakyat, mulai dari Bab I, Bab V (Pasal 20 hingga 26), Bab VI (Pasal 35), dan Bab IX (Pasal 66 hingga 73).
Wilayah Pertambangan yang selanjutnya disebut WP adalah wilayah yang mempunyai potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat batas administratif yang merupakan bagian dari rencana tata ruang nasional; Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disebut Humas adalah usaha pertambangan bahan galian, batu bara, dan batuan yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam skala kecil atau secara gotong royong dengan menggunakan alat sederhana/tradisional untuk mencari kepentingan sendiri; WPR yang selanjutnya disebut WPR adalah bagian WP tempat dilakukannya kegiatan usaha pertambangan rakyat;
Izin Pertambangan Rakyat (IPR) adalah izin untuk melakukan kegiatan pertambangan pada wilayah pertambangan rakyat dengan luas dan penanaman modal yang terbatas; Perusahaan pertambangan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU Minerba dapat dilakukan dalam bentuk Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Izin pertambangan rakyat adalah izin untuk melakukan kegiatan pertambangan pada suatu wilayah pertambangan rakyat dengan luas dan penanaman modal yang terbatas.
Beberapa hal lain diatur dalam UU Minerba tentang HKI, yaitu mengenai hak dan kewajiban pemegang HKI termasuk pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah kabupaten/kota (dijelaskan dalam Pasal 69 hingga Pasal 73). Jelasnya, tujuan UU Minerba adalah untuk memberikan perlindungan hukum sekaligus menjamin kepastian hukum kepada masyarakat dalam pengelolaan pertambangan rakyat sehingga dalam hal terjadi kerugian.