MAKALAH
ANALISIS PERKEMBANGAN PERUSAHAAN PERORANGAN DI INDONESIA Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Perkembangan Hukum
Perdata
Disusun Oleh:
ALFI RAMADHANI 2220112025
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Yulia Mirwati, S.H., C.N., M.H
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan limpahan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Penyusunan makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Perkembangan Hukum Perdata. Selain itu tujuan dari penyusunan makalah ini juga untuk menambah wawasan tentang Perkembangan Hukum Perdata secara luas. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah Ibu Prof. Dr.
Yulia Mirwati, S.H., C.N., M.H. yang telah memberikan arahan kepada penulis agar dapat menyelesaikan makalah ini. Akhirnya, penulis menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran agar penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik.
Dengan demikian, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Padang, 27 September 2023
Penulis
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Partisipasi dan peran masyarakat diperlukan dalam pembangunan ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Salah satu bentuk partisipasi masyarakat dapat berupa pendirian perusahaan untuk menjalankan berbagai kegiatan usaha. Perusahaan dapat menjalankan kegiatan usahanya dalam sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) maupun dalam skala usaha besar pada bidang perdagangan, industri, pariwisata, jasa dan sektor lainnya. Dilihat dari bentuk hukumnya, terdapat berbagai bentuk badan usaha dalam hukum positif di Indonesia yakni perusahaan non badan hukum dan perusahaan berbadan hukum. Adapun bentuk- bentuk perusahaan non badan hukum diantaranya Usaha Dagang (UD), Perseroan Komanditer (CV), Firma dan Persekutuan Perdata, sedangkan bentuk perusahaan berbadan hukum diantaranya adalah Perseroan Terbatas (untuk selanjutnya disebut PT) dan Koperasi.1 PT diatur dalam “Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (untuk selanjutnya disebut UUPT)”.
PT umumnya lebih banyak diminati oleh para pelaku bisnis dibandingkan dengan bentuk perusahaan lainnya meskipun perusahaan dalam bentuk PT sejatinya lebih diminati oleh pelaku usaha, namun disisi lain pendiriannya justru memerlukan tahapan dan prosedur yang lebih kompleks dibandingkan dengan pendirian perusahaan non badan hukum. Hal ini kemudian berimbas pada sulitnya pelaku usaha pada sektor
1 Putu Devi Yustisia Utami, “Pengaturan Pendaftaran Badan Usaha Bukan Badan Hukum Melalui Sistem Administrasi Badan Usaha,” "Jurnal Komunikasi Hukum (JKH)" 6, no. 1 (2020): 1–19.
h.2
usaha mikro dan kecil yang memiliki modal lebih rendah untuk mencoba mendirikan perusahaan berbentuk PT.
Guna mencapai tujuan peningkatan pertumbuhan perekonomian negara dengan dukungan dari pelaku usaha, saat ini pemerintah terus berupaya mendorongkemudahan berusaha di Indonesia. Salah satu bentuk langkah yang ditempuh oleh pemerintah dalam meningkatkan iklim investasi dan kemudahan dalam kegiatan usaha adalah dengan menerbitkan “Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (untuk selanjutnya disebut UU Cipta Kerja)”. UU Cipta Kerja merupakan suatu perundang- undangan yang berbentuk Omnibus Law pertama di Indonesia, yakni suatu peraturan perundang-undangan yang substansi di dalamnya dapat melakukan perubahan atau pencabutan terhadap banyak undang-undang. Omnibus Law ini umumnya dianut oleh negara-negara dengan common law sistem.2
Adanya Omnibus Law di Indonesia diharapkan dapat mengatasi permasalahan tumpang tindih birokrasi dan peraturan di Indonesia yang tujuannya adalah untuk memberikan kemudahan pelayanan bagi masyarakat serta peningkatan jumlah investasi dari para investor. Sebagaimana konsep Omnibus Law yang dapat mengubah, menghapus, mencabut atau menetapkan peraturan baru untuk beberapa peraturan perundang-undangan, UU Cipta Kerja di Indonesia kemudian mengubah serta mencabut sebanyak 82 undangundang terkait. Adapun salah satu undang-undang yang diubah yang berkaitan dengan badan hukum perusahaan adalah UUPT.
2 Antoni Putra, “Penerapan Omnibus Law Dalam Upaya Reformasi Regulasi,” Jurnal Legislasi Indonesia 17, no. 1 (2020): 1–10.h.2
Dalam UU Cipta Kerja pada Bab VI Bagian Kelima tentang Perseroan Terbatas, yakni pada pasal 109 mengubah beberapa ketentuan pasal UUPT. Adapun hal paling prinsip dari perubahan UU PT ini adalah adanya pembaharuan konsep PT yang awalnya diatur dalam UUPT menjadi sebagaimana ketentuan pada UU Cipta Kerja. Pada Bab VI bagian kelima UU Cipta Kerja, pasal 109 angka (1) merubah ketentuan pasal 1 angka 1 UUPT mengenai definisi perseroan terbatas sehingga menjadi sebagai berikut :
“Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham atau Badan Hukum perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil”. Adapun fokus dari makalah ini yakni pada kedudukan dari organ perseroan pada perseroan perorangan serta menganalisis wewenang dan tanggung jawab dari organ perseroan perorangan berdasarkan UU Cipta Kerja dan UU PT.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yakni:
1. Bagaimana Perubahan Pengaturan Perseroan Terbatas Dalam UU Cipta Kerja?
2. Bagaimana Wewenang serta Tanggung Jawab Organ Perseroan Pada Perseroan Perorangan?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1. Perubahan Pengaturan Perseroan Terbatas Dalam UU Cipta Kerja
2. Wewenang serta Tanggung Jawab Organ Perseroan Pada Perseroan Perorangan.
BAB II PEMBAHASAN
1. Perubahan Pengaturan Perseroan Terbatas Dalam UU Cipta Kerja
UU Cipta Kerja telah mengubah secara signifikan hukum pendirian Perseroan Terbatas di Indonesia khususnya yang diatur dalam UUPT. Berdasarkan hasil penelitian penulis, berikut ini akan dikaji poin-poin penting terkait hal tersebut, yaitu:
1. pendirian Perseroan Terbatas
Ketentuan Pasal 7 UUPT telah diubah oleh Pasal 109 angka 2 UU Cipta Kerja.
Perubahan pada pasal tersebut menyatakan bahwa Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang/lebih melalui akta notaris dalam Bahasa Indonesia. Selanjutnya pengecualian terhadap ketentuan yang memberikan kewajiban bagi Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang/ lebih juga diubah dengan menambahkan Perseroan yang memenuhi kriteria untuk UMK. Hal tersebut seiring dengan semangat yang diusung untuk kemudahan berusaha khususnya bagi UMK.
Di Indonesia, definisi UMK telah diatur dalam UU UMKM. Kriteria mengenai UMK juga telah diatur menurut Pasal 6 UU UMKM. Namun ketentuan Pasal 6 UU UMKM tersebut telah diubah Pasal 87 angka 1 UU Cipta Kerja yang menyatakan bahwa kriteria UMKM dapat memuat a) modal usaha; b) omzet; c) indikator kekayaan bersih; c) hasil penjualan tahunan atau nilai investasi, insentif dan disinsentif; d) penerapan teknologi ramah lingkungan; e) kandungan lokal; d) atau jumlah tenaga kerja sesuai kriteria setiap sektor usaha. Sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria UMKM telah diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 36 PP
No 7 Tahun 2021. Pasal 35 PP No 7 Tahun 2021 tersebut mengelompokkan UMKM berdasarkan kriteria modal usaha atau hasil penjualan tahunan.
Kriteria bagi Usaha Mikro yaitu: a) memiliki modal usaha maksimal satu miliar rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan b) memiliki hasil penjualan tahunan maksimal dua miliar rupiah. Sedangkan kriteria bagi Usaha Kecil yaitu: a) rnemiliki modal usaha lebih dari satu miliar rupiah sampai maksimal lima miliar rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
dan b) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari dua miliar rupiah sampai maksimal lima belas miliar. Sedangkan Pasal 36 PP No 7 Tahun 2021 tersebut mengatur bahwa untuk kepentingan tertentu, selain kriteria modal usaha dan hasil penjualan tahunan sebagaimana dimaksud, kementerian/lembaga dapat menggunakan kriteria omzet, kekayaan bersih, nilai investasi, jumlah tenaga kerja, insentif dan disinsentif, kandungan lokal, dan/atau penerapan teknologi yang ramah lingkungan sesuai dengan kriteria tiap sektor UMK.
Permasalahan yang terjadi di UMK sekarang ini adalah realita di lapangan membuktikan bahwa tidak mudah bagi pelaku UMK mengkategorikan UMK berbasis omzet, karena UMK sebenarnya tidak tahu pasti bagaimana mendefinisikan omzet. Kondisi yang sulit untuk menentukan kriteria UMK sementara pengaturan yang ada saat ini belum cukup untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu menjadi perhatian pemerintah.
Selain itu, mendefinisikan kriteria UMK yang bersumber pada jumlah tenaga kerja juga dilematis bagi Usaha Mikro serta Kecil start-up yang omzetnya besar, namun jumlah tenaga kerjanya cuma 2 ataupun 3 orang saja. Kesimpulanya kriteria
kriteria UMK tidak dapat ketat terpaut omzet, namun terdapat pula hal-hal yang sebaiknya dicermati tentang penggabungan beberapa kriteria misalnya mencermati klasifikasi usaha yang banyak memberi dukungan terbanyak kepada perekonomian Indonesia, hal ini patut dijadikan pertimbangan dalam menanggulangi kerentanan UMK dan melaksanakan pendampingan agar dapat naik kelas menjadi Perseroan Terbatas. Penulis menilai UU Cipta Kerja dan PP No 7 Tahun 2021 juga tidak cukup, sebab pengaturan mengenai UMKM tersebar di berbagai peraturan pelaksana. Hal ini perlu menjadi pertimbangan oleh pemerintah untuk mempertimbangkan konten yang dituangkan dalam peraturan pemerintah.
2. modal Perseroan Terbatas
Pasal 32 ayat (1) UUPT sebelumnya telah mengatur bahwa modal minimal bagi Perseroan yaitu lima puluh juta rupiah. Ketentuan tersebutkemudian diubah dengan Pasal 109 angka 3 UU Cipta Kerja, yaitu Perseroan wajib memiliki modal dasar Perseroan, sedangkan besarnya modal dasar Perseroan ditentukan oleh keputusan pendiri. Terkait dengan perubahan pengaturan modal Perseroan Terbatas, maka menurut penulis hal yang menarik untuk dicermati adalah pengaturan modal minimal untuk Perseroan Terbatas yang telah dihapus dan ditentukan berdasarkan keputusan pendiri Perseroan. Hal tersebut akan semakin memudahkan bagi UMK dalam mendirikan Perseroan Terbatas, sebab selama ini UMK selalu terkendala oleh modal, meskipun UU Cipta Kerja masih mewajibkan adanya modal Perseroan. Perseroan wajib menempatkan dan menyetor secara penuh modal dasarnya paling sedikit dua puluh lima persen serta dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah (vide Pasal 4 ayat (1) PP No 8 Tahun 2021). Bukti penyetoran yang sah tersebut wajib
disampaikan secara elektronik kepada Menteri dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengisian Pernyataan Pendirian untuk Perseroan perorangan (vide Pasal 4 ayat (1) PP No 8 Tahun 2021).
3. pendirian Perseroan Terbatas perseorangan dapat dilakukan tanpa melalui akta notaris
Hal itu diatur dalam Pasal 109 angka 5 UU Cipta Kerja yang didalamnya menambahkan substansi Pasal 153A yang menyatakan bahwa Perseroan yang memenuhi kriteria UMK dapat didirikan oleh 1 (satu) orang, dan pendirian Perseroan untuk UMK hanya dibuat berdasarkan surat pernyataan pendirian dalam Bahasa Indonesia. Pasal 6 ayat (1) dan (2) PP No 8 Tahun 2021 juga menegaskan bahwa Perseroan perorangan didirikan oleh Warga Negara Indonesia berusia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun dan cakap hukum dengan mengisi Pernyataan Pendirian dalam bahasa Indonesia.
Padahal Perseroan Terbatas merupakan badan hukum yang memiliki akibat selaku subyek hukum pendukung hak dan kewajiban serta pemisahan harta kekayaan pendiri dengan Perseroan Terbatas, oleh karena itu dalam Undang-Undang sebelumnya mensyaratkan akta pendirian yang dilegalisasi oleh Notaris. Selain itu, semua dokumen Perseroan seperti Anggaran Dasar, Risalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dilegalisasi oleh Notaris. Menurut penulis, pendirian Perseroan Terbatas kriteria UMK yang hanya didirikan mengacu surat pernyataan pendirian tanpa akta otentik Notaris tidak sejalan dengan prinsip-prinsip hukum Perseroan Terbatas. Padahal akta otentik memili kekuatan hukum pembuktian yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.
Kekuatan hukum pembuktian akta otentik telah diatur dalam Pasal 1870 KUH Perdata yang pada intinya menyatakan bahwa suatu akta otentik merupakan suatu bukti yang sempurna mengenai apa yang dimuat di dalamnya. Sempurna dan mengikat, sehingga hakim harus menjadikannya sebagai dasar fakta yang sempurna dalam putusan atas penyelesaian perkara yang disengketakan (Harahap, 2008)”.
Pendirian Perseroan Terbatas hanya melalui surat pernyataan pendiri tidak dapat menjamin keabsahan dokumen serta identitas pendiri. Pasal 109 angka 5 UU Cipta Kerja hanya menyisipkan Pasal 153B yang menyatakan bahwa pernyataan pendirian memuat maksud dan tujuan, kegiatan usaha, modal dasar, dan keterangan lain berkaitan dengan pendirian Perseroan serta pernyataan pendirian hanya dengan mengisi format isian yang telah disediakan oleh Menteri kemudian didaftarkan kepada Menteri secara elektronik.
Menurut penulis, legalitas Perseroan Terbatas perseorangan akan diragukan dan beresiko, meskipun pernyataan pendirian telah didaftarkan kepada Menteri secara elektronik, namun tidak diatur mengenai pengecekan identitas pendiri sekaligus direktur dan pemegang saham Perseroan perorangan saat didaftarkan. Bahkan Pasal 6 ayat (3) PP No 8 Tahun 2021 mengatur bahwa Perseroan perorangan memperoleh status badan hukum setelah didaftarkan kepada Menteri dan mendapatkan sertifikat pendaftaran secara elektronik.
Konsekuensi terhadap Perseroan Terbatas perseorangan sebagai badan hukum, maka legalitas dokumen dan identitas pendiri harus dapat dipertanggungjawabkan sehingga tidak ada pemalsuan identitas pendiri. Oleh karena itu, menurut penulis, akta pendirian Perseroan Terbatas perseorangan yang dibuat oleh notaris secara
otentik seharusnya tetap perlu untuk menjamin legalitas Perseroan Terbatas, terkait keabsahan dokumen dan identitas pendiri, walaupun hanya untuk UMK. Pada dasarnya Notaris juga menerapkan prinsip kehati-hatian dalam mengenal para penghadap, sehingga kebenaran dokumen dan identitas pendiri dapat dipertanggungjawabkan.
2. Wewenang serta Tanggung Jawab Organ Perseroan Pada Perseroan Perorangan Sebagaimana ketentuan Permenkumham No. 21/2021, PT saat ini dapat dibedakan menjadi “Perseroan Persekutuan Modal dan Perseroan Perorangan”.
Perseroan Persekutuan Modal merupakan istilah baru yang digunakan untuk menunjukkan PT secara umum yang didirikan berdasarkan perjanjian, sedangkan Perseroan Perorangan dipergunakan bagi usaha yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil yang dapat didirikan oleh 1 (satu) orang. Baik Perseroan Persekutuan Modal maupun Perseroan Perorangan sebagai suatu badan hukum memerlukan adanya organ perseroan untuk mewakili perseroan dalam melakukan perbuatan hukum dan hubungan hukum dengan pihak ketiga. Dalam UU Cipta Kerja dan UUPT telah diatur bahwa organ perseroan terdiri dari RUPS, Direksi dan Dewa Komisaris, namun pada PP No. 8/2021 secara eksplisit pada pasal 7 ayat 92) huruf g disebutkan bahwa organ Perseroan Perorangan hanya terdiri dari Direktur sekaligus Pemegang Saham, serta tidak ada organ Komisaris. Mengingat adanya inkonsistensi mengenai ketentuan organ Perseroan Perorangan pada PP No. 8/2021 dengan ketentuan organ PT pada UU Cipta Kerja sebagai peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya, maka tulisan ini mencoba mengkaji mengenai tanggung jawab dari organ perseroan pada Perseroan Perorangan.
Sebelum mengkaji tanggung jawab dari organ perseroan perorangan, maka terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai tanggung jawab dari organ PT berdasarkan UUPT. Mengenai pengertian dari masing-masing organ PT dapat dilihat pada ketentuan pasal 109 angka (1) UU Cipta Kerja yang merubah ketentuan pasal 1 UUPT, diantaranya sebagai berikut :
RUPS ialah organ yang kewenangannya tidak diberikan baik kepada pihak direksi maupun pihaks dewan komisaris (ketentuan pasal 1 angka 4)
Direksi organ yang mempunyai kewenangan serta memiliki tanggung jawab secara penuh untuk mengurus perseroan dan mewakili perseroan untuk kepentingan perseroan itu sendiri. (ketentuan pasal 1 angka 5)
Dewan Komisaris merupakan organ berwenang mengawasi serta memberikan nasihat atau masukan kepada direksi.
Ketentuan mengenai RUPS di dalam ketentuan UUPT tercantum dalam pasal 75 sampai dengan pasal 91 UUPT. “RUPS adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi yang memiliki kewenangan residual yang tidak diberikan kepada direksi dan komisaris dan dapat mengambil keputusan”. Wewenang RUPS diwujudkan dalam bentuk jumlah suara dari pemegang saham yang dikeluarkan saat rapat. RUPS memiliki wewenang dalam hal penggunaan laba bersih, melakukan pengesahan atas laporan tahunan, serta memperoleh penjelasan dari para Direksi dan Komisaris. RUPS juga memiliki wewenang untuk melakukan pengangkatan atau memberhentikan direksi dan komisaris, penjualan asset, pemberian jaminan utang, serta rencana untuk melakukan merger, akuisis, peleburan maupun membubarkan perseroan.
Ketentuan mengenai Direksi terdapat dalam ketentuan pasal 92-107 UUPT.
“Direksi memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam melakukan pengurusan perseroan”. Adapun kewenangan Direksi adalah untuk mengatur serta menjalankan kegiatan usaha perseroan, melakukan pengelolaan atas harta kekayaan perseroan serta mewakili perseroan di dalam dan diluar pengadilan, demikian berdasarkan ketentuan UUPT. Mengenai organ PT yang terakhir adalah Dewan Komisaris, dimana diatur dalam ketentuan pasal 108-121 UUPT. Kewenangan utama Dewan Komisaris adalah
“melakukan pengawasan atas segala kebijakan pengurusan perseroan yang dilaksanakan oleh Direksi serta memberikan nasehat kepada Dewan Direksi. Dewan Direksi bertanggung jawab atas pengawasan yang berkaitan dengan kebijakan pengurusan perseroan maupun kegiatan usaha perseroan”.
Berbeda dengan organ PT persekutuan modal yang terdiri dari RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris sebagaimana diatur dalam UUPT, pada Perseroan Perorangan tidak diatur secara implisit mengenai organ perseroan perorangan baik pada UU Cipta Kerja maupun PP No. 8/2021. Justru PP No. 8/2021 pada pasal 7 ayat (2) huruf g dan pasal 8 ayat (4) huruf g menyebutkan bahwa “……. pendiri sekaligus direktur dan pemegang saham perseroan perorangan”. Berdasarkan ketentuan pasal 109 angka (5) UU Cipta Kerja yang menyisipkan 153 huruf d pada UUPT, menyatakan bahwa Direksi pada perseroan UMK termasuk didalamnya direksi Perseroan Perorangan memiliki kewenangan yang sama dengan Direksi pada umumnya yakni melaksanakan pengurusan perseroan UMK, sedangkan mengenai pemegang saham diatur dalam ketentuan pasal 153 huruf j bahwa pemegang saham pada perseroan UMK termasuk perseroan perorangan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan yang dibuat
perseroan serta tidak bertanggung jawab melebihi jumlah saham yang dimiliki. Artinya bahwa meskipun pendiri Perseroan Perorangan hanya 1 (satu) orang yang juga merangkap sebagai Direksi, namun pertanggungjawaban yang dimiliki bersifat terbatas hanya sesuai dengan saham yang dimiliki.
Ketentuan 7 ayat (2) huruf g dan pasal 8 ayat (4) huruf g dengan frase yang menyatakan bahwa organ Perseroan Perorangan yang hanya terdiri dari pemegang saham sekaligus sebagai pendiri perlu dikaji dari sudut pandang organ PT secara umum yang terdiri RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris. Frase tersebut menunjukkan bahwa organ Perseroan Perorangan sebagaimana ketentuan PT No. 8/2021 tidak sesuai dengan ketentuan organ perseroan dalam UUPT dan UU Cipta Kerja. Hal ini disebabkan oleh organ PT dalam UUPT bersifat two tier system, sedangkan organ Perseroan Perorangan bersifat one tier system, yang mana organ Direksi (direktur) perseroan merangkap sebagai pemegang saham perseroan tanpa adanya organ komisaris.3
merupakan sistem kepengurusan suatu perusahaan yang berasal dari sistem hukum Anglo Saxon. Pada One tier system selain adanya RUPS juga tetap adanya keanggotaan dewan komisaris dan direksi, dimana jabatan dewan komisaris dapat merangkap jabatan direksi sehingga disebut dengan board of director. Dilain pihak sistem hukum Eropa Continental mempergunakan Two tiers system, dimana selain adanya RUPS juga terdapat dua jabatan yang bersifat terpisah dari suatu perusahaan yakni jabatan Direksi dan Dewan Komisaris. Pada Two tiers system kekuasaan tertinggi
3 Pangesti, “Penguatan Regulasi Perseroan Terbatas Perorangan Usaha Mikro Dan Kecil Dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi Masa Pandemi Covid-19.” “Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional” 10, no. 1 (2021): 117-131, h. 119.
berada pada RUPS yang dapat melakukan pengangkatan maupun pemberhentian terhadap Direksi dan Dewan Komisaris.4
Apabila Perseroan Perorangan di Indonesia ini diikaitkan dengan One tier system yang dianut oleh negara dengan sistem Anglo Saxon, maka sebenarnya terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara keduanya. Pada negara dengan sistem Anglo Saxon yang menganut One tier system, pengurusan perusahaannya tetap mengenal adanya organ Direksi dan Dewan Komisaris, meskipun kedua organ tersebut kemudian dilakukan rangkap jabatan sebagaimana yang disebut dengan boards of director. Meski hanya dijabat oleh satu orang, tetapi One tier system pada negara yang menganut sistem Anglo Saxon tetap mengakui adanya Dewan Komisaris. Hal ini sangat berbeda dg One tier system yang dianut oleh Perseroan Perorangan di Indonesia sebagaimana ketentuan PP. No. 8/2021, dimana pemegang saham merangkap jabatan sebagai Direksi namun kemudian menghilangkan organ Dewan Komisaris secara serta merta, sehingga dengan dihilangkannya Dewan Komisaris maka menyebabkan organ Perseroan Perorangan tidak sesuai dengan organ PT pada umumnya.
Inkonsistensi norma mengenai ketentuan organ Perseroan Perorangan sebagaimana diatur dalam PP No. 8/2021 dengan peraturan diatasnya yakni UU Cipta Kerja tentu saja berimplikasi pada keberlakuan dari PP itu sendiri, dimana suatu peraturan perundang-undangan akan diakui kekuatan hukumnya dan sifatnya yang mengikat sepanjang telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi atau peraturan yang memerintahkannya. Hal ini kemudian dirasa perlu untuk melakukan
4 Ridho Alief Noviawan and Aditya Septiani, “Pengaruh Mekanisme Corporate Governance Dan Struktur Kepemilikan Terhadap Kinerja Keuangan” "(Fakultas Ekonomika dan Bisnis, 2013)".h.26.
penyesuaian norma terhadap PP mengenai Perseroan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil dengan UU yang berada di atasnya berkaitan dengan organ Perseroan Perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil atau dibuat suatu ketentuan baru dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai organ Perseroan Perorangan secara mengkhusus, sehingga terdapat pengaturan yang jelas mengenai organ PT persekutuan modal dan organ Perseroan Perorangan.
BAB III KESIMPULAN
UU Cipta Kerja telah mengubah secara signifikan pengaturan Perseroan Terbatas di Indonesia khususnya yang diatur dalam UUPT. Pertama, ketentuan wajib bagi Perseroan supaya didirikan oleh 2 (dua) orang/ lebih tidak berlaku bagi Perseroan yang memenuhi kriteria UMK. Kedua, terkait dengan perubahan pengaturan modal Perseroan Terbatas, adalah pengaturan modal minimal untuk Perseroan Terbatas telah dihapus dan ditentukan berdasarkan keputusan pendiri Perseroan. Ketiga, pendirian Perseroan Terbatas dapat dilakukan tanpa melalui akta notaris, terkait Perseroan yang memenuhi kriteria untuk UMK. Keempat, pendiri dan pemilik saham Perseroan Terbatas untuk UMK hanya orang perseroangan. Tanggung jawab pemegang saham untuk perseroan perseorangan kriteria UMK terbatas pada modal yang disetorkan tersebut berlaku mutlak. Pemegang saham Perseroan untuk UMK tidak memiliki tanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat oleh Perseroan dan tidak bertanggung jawab terhadap kerugian melebihi saham yang dimiliki. Namun dalam hal-hal tertentu keterbatasan tanggung jawab pemegang saham itu tidak berlaku dan dapat dilakukan piercing the corporate veil, sebagaimana UU Cipta Kerja menyisipkan Pasal 153J ayat (2) yang menyatakan bahwa ketentuan tanggung jawab terbatas pemegang saham perseroan perorangan kriteria UMK tidak berlaku apabila: a) belum atau tidak terpenuhinya persyaratan Perseroan sebagai badan hukum; b) baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk pemegang saham memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; c) pemegang saham tersangkut dalam perbuatan melawan hukum oleh Perseroan; atau d) pemegang saham baik langsung maupun tidak langsung secara
melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang memberikan akibat kekayaan Perseroan menjadi tidak dapat melunasi utang Perseroan.
DAFTAR PUSTAKA
Mulhadi, "Hukum Perusahaan: Bentuk-Bentuk Badan Usaha Di Indonesia (PT RajaGrafindo Persada.
Muhamad Sadi Is and M H SHI, Hukum Perusahaan Di Indonesia (Prenada Media, 2016).
Rita Nurnaningsih and Dadin Solihin, “Kedudukan Perseroan Terbatas (PT) Sebagai Bentuk Badan Hukum Perseroan Modal Ditinjau Menurut Undang-Undang PT Dan Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW),” "Jurnal Syntax Imperatif: Jurnal Ilmu Sosial Dan Pendidikan" 1.
NMLS Devi and I Made Dedy Priyanto, “Kedudukan Hukum Perseroan Terbatas Yang Belum Berstatus Badan Hukum,” "Kertha Semaya J. Ilmu Huk", 2019
Alexander Prabu et al., “Kemudahan Berusaha Dalam Cluster Omnibus Law,” "Jurnal Lex Specialis" 1
Wildan Dwi Dermawan, Benny Prawiranegara, and Dede Abdul Rozak, “Penerapan Konsep Entitas Dalam Meningkatkan Perkembangan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah,” "ISEI Accounting Review" 4, no. 1 (2020).
Zaka Firma Aditya and Muhammad Reza Winata, “Rekonstruksi Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia (Reconstruction Of The Hierarchy Of Legislation In Indonesia),” "Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan" 9, no. 1 (2018): 79–100.
Otong Syuhada, “Rekonstruksi Positivisme Dalam Hierarki Peraturan Perundang- Undangan Di Indonesia,” Journal Presumption of Law2, no. 2 (2020): 1–23.
Pangesti, “Penguatan Regulasi Perseroan Terbatas Perorangan Usaha Mikro Dan Kecil Dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi Masa Pandemi Covid-19.” “Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional” 10, no. 1 (2021): 117- 131.
Ridho Alief Noviawan and Aditya Septiani, “Pengaruh Mekanisme Corporate Governance Dan Struktur Kepemilikan Terhadap Kinerja Keuangan” "(Fakultas Ekonomika dan Bisnis, 2013).