• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "BAB III"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III PEMBAHASAN

A. Perspektif Indonesia Terhadap Terorisme Sebagai Kejahatan Internasional

Asia tenggara menjadi fokus baru masyarakat internasional dalam perang melawan terorisme pasca-serangan terorisme di Amerika Serikat pada 11 september 2001. Hal ini menyusul rangkaian serangan teroris dengan menggunakan bom berdaya ledak tinggi di Bali, Indonesia pada 12 Oktober 2002.1 Serangan ini adalah yang terbesar dalam rangkaian serangan teroris di Indonesia sepanjang 2000 sampai dengan 2005. Fakta bahwa sejumlah besar warga Negara asing turut menjadi korban dalam berbagai serangan teroris di Indonesia2 telah mengundang perhatian utama masyarakat Indonesia dalam memonitor upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia.

Perhatian ini antara lain dimanifestasikan dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB 1438 (2002) yang mengutuk sekeras – kerasnya peledakan bom di Bali pada 2002 dan menyerukan kepada semua Negara untuk bekerja sama dan memberikan dukungan dan bantuan kepada pemerintah Indonesia untuk mengadili pelaku, perencana, dan sponsor aksi terorisme tersebut.3 Sejumlah resolusi PBB lainnya juga secara tegas mewajibkan Negara – Negara, termasuk

1 “Bombings Have JI Written All over Them”, Straits Times (Singapore), 14 Oct 2002.

2 http://www.indo.com/bali121002/inmemorial.html.

3 United Nations Security Council Resolution 1438 (2002), S/Res/1438, adopted by the Security Council at its 4624th meeting, on 14 October 2002, par. 1 & 3.

(2)

Indonesia, untuk menempuh langkah – langkah yang telah ditentukan PBB dalam upaya memerangi terorisme.4

Meningkatnya perhatian masyarakat internasional terhadap permasalahan terorisme di Indonesia menimbulkan pertanyaan mengenai perspektif Indonesia sendiri, sebagai salah satu korban terbesar terorisme di Asia Tenggara, terhadap kualifikasi terorisme sebagai kejahatan internasional.

Perspektif tersebut akan dijabarkan dalam bab ini dengan mengacu pada berbagai ketentuan hukum positif dan yurisprudensi pengadilan Indonesia.

B. Perspektif Indonesia Terhadap Terorisme Sebagai Kejahatan Yang Dapat Diterima Masyarakat Internasional Sebagai Kejahatan Internasional

Dalam kurun waktu kurang dari 1 (satu) minggu sejak peristiwa peledakan bom di Bali pada 2002, pemerintah Indonesia mengundangkan peraturan pemerintah pengganti Undang–Undang (Perpu) No. 1 tahum 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Perpu ini kemudian ditetapkan menjadi Undang–Undang (UU) No. 15 tahun 2003 pada 4 April 2003. Dalam mukadimah penjelasan Perpu tersebut, pemerintah Indonesia mengakui bahwa terorisme merupakan kejahatan internasional. Pengakuan tersebut tampak dari paragraph 3 dan 4 mukadimah penjelasan Perpu :

“ terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap Negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia, serta merugikan kesejahteraan masyarakat”.

4 Security Council Resolution 1373 (2001), S/Res/1373, 28 September 2001; Security Council Resolution 1535 (2004), S/Res/1535, 26 March 2004; Security Council Resolution 1624 (2005), S/Res/1624, 14 September 2005.

(3)

Komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan meberantas terorisme sudah diwujudkan dalam berbagai konvensi international yang menegaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan yang mengancam perdamaian dan keamanan umat manusia, sehingga seluruh anggota perserikatan Bangsa – Bangsa, termasuk Indonesia, wajib mendukung dan melaksanakan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa – Bangsa yang mengutuk dan menyerukan seluruh anggota perserikatan Bangsa – Bangsa untuk mencegah dan memberantas terorisme…”

Dari ketentuan di atas, tampak jelas bahwa pemerintah Indonesia mengkualifikasi terorisme sebagai kejahatan internasional dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Kejahatan terhadap kemanusiaan sendiri didefinisikan dalam pasal 9 Undang – Undang (UU) No.

26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai :

“… salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang langsung terhadap penduduk sipil berupa :

a. Pembunuhan.

b. Pemusnahan.

c. Perbudakan.

d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang – wenang yang melanggar (asas – asas) ketentuan pokok hukum internasional.

f. Penyiksaan.

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau strerilisasi secara paksa atau bentuk – bentuk kekerasan seksual lain yang setara.

h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alas an lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.

(4)

i. Penghilangan orang secara paksa; atau j. Kejahatan apartheid.”5

Menurut pasal 7 Undang-undang ini6 beserta penjelasan pasal 104 ayat (1) No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, kejahatan terhadap kemanusiaan digolongkan sebagai “ pelanggaran hak asasi manusia yang berat”. Mukadimah penjelasan UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia menyetarakan pengertian “ pelanggaran hak asasi manusia yang berat” dengan “ kejahatan luar biasa” (extraordinary crimes). Paragraph 9 mukadimah menyatakan bahwa :

“… pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan “extraordinary crimes” dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam kitab undang – undang hukum pidana serta menimbulkan kerugian baik materil maupun imateril yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia…”7

Lebih lanjut, dalam perkara permohonan uji UU No. 16 tahun 2003 terhadap Undang – Undang Dasar (UUD) 1945 (“perkara UU No.16 tahun 2003”) yang diputus oleh mahkamah konstitusi pada 23 Juli 2004, pemerintah dan DPR menyampaikan Fundamentum petendi (keterangan pemerintah), dimana keduanya mengakui secara tegas bahwa terorisme merupakan kejahatan luar biasa dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pemerintah dan DPR menyatakan :

“… mengingat peristiwa peledakan bom di Bali pada tanggal 12 tahun 2002, yang telah menimbulkan korban yang tidak sedikit jumlahnya

5 https://referensi.elsam.or.id/2014/09/uu-nomor-26-tahun-2000-tentang-pengadilan-hak- asasi-manusia/ .

6 Ibid, Ps. 7.

7Penjelasan UU No. 26/2000, mukadimah, par. 9.

(5)

dan menimbulkan dampak yangluas di bidang sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional. Di samping itu, peristiwa tersebut telah digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity)…”

Selain itu, dalam keterangan tertulis pemerintah dan DPR yang merupakan bagian tak terpisahkan dari keterangan di atas, pemerintah yang diwakili oleh menteri kehakiman dan hak asasi manusia Indonesia, Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H. pada 2 Januari 2004 menyampaikan :

“ bahwa terorisme kini tidak lagi dipandang sebagai kejahatan biasa, tetapi telah dikategorikan sebagai “kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)”, dan bahkan dapat dikategorikan pula sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity)”

Alasannya adalah :

“ terorisme selalu menggunakan ancaman atau kekerasan serta mengakibatkan hilangnya begitu banyak nyawa tanpa memandang siapa yang akan menjadi korban, penghancuran dan pemusnahan harta benda, lingkungan hidup, sumber – sumber ekonomi, menimbulkan kegoncangan kehidupan sosial dan politik, dan bahkan pada tingkat tertentu dapat menjadi ancaman terhadap keberadaan dan kelangsungan hidup suatu bangsa dan Negara.”

Dalam awal penulisan telah diuraikan bahwa konsep “pelanggaran hak asasi manusia yang berat” dan “kejahatan luar biasa” sama dengan konsep

“kejahatan internasional”. Dengan demikian, berdasarkan pandangan pemerintah dan DPR di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa terorisme telah terbukti sebagai kejahatan yang dikualifikasi sebagai kejahatan internasional.

Walaupun demikian, pendapat ini tidak disetujui oleh 5 (lima) dari 9 (Sembilan) hakim mahkamah konstitusi yang menangani perkara UU No. 16 tahun 2003, yaitu : Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H., Prof. H.A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S., H. Achmad Rustandi, S.H., dan Soedarsono, S.H. mereka berpendapat bahwa:

(6)

“…sementara itu, yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat menurut Statuta Roma tahun 1998 adalah kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi;

sedangkan menurut pasal 7 undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat adalah hanya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan demikian, baik merujuk kepada Statuta Roma Tahun 1998, maupun undang-undang No. 39 tahun 1999 peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 belumlah dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime)… melainkan masih dapat dikategorikan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) yang sangat kejam…”

Terlepas dari pandangan kelima Hakim Mahkamah Konstitusi tersebut, pemerintah Indonesia 2 (dua) tahun kemudian kembali mengakui bahwa terorisme merupakan kejahatan internasional. Hal ini ditegaskan dalam pengesahan Internasional Convention for the Suppression of Terrorist Bombings 1997 dan Internasional Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism 1999 sebagai bagian dari ketentuan hukum positif Indonesia. Konvensi yang disebutkan lebi awal disahkan melalui Undang- Undang Nomor 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional, sedangkan konvensi yang disebutkan belakangan disahkan melalui Undang-Undang Nomor 6 tahun 2006 tentang pengelolaan barang milik negara atau daerah.

Mukadimah UU No. 5 tahun 2006 menyatakan bahwa :

“…terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap Negara karena terorisme merupakan kejahatan Internasional…”8

Sedangkan mukadimah Undang-Undang Nomor 6 tahun 2006 menyatakan bahwa :

8 Indonesia, undang-undang tentang pengesahan Internasional Convention for the Suppression of terrorist Bombings, 1997 (konvensi Internasional Pemberantasan pengeboman oleh teroris, 1997), UU No. 5 tahun 2006, LN No. 28 tahun 2006, TLN No. 4616.

(7)

“… tindak pidana terorisme merupakan kejahatan internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan dan perdamaian dunia serta kemanusiaan dan peradaban…”9

Suatu tindakan dikualifikasi sebagai kejahatan internasional dalam hukum internasional jika memenuhi setidaknya 3 (tiga) karakteristik:

1. Tindakan tersebut telah diterima secara universal oleh negara-negara sebagai kejahatan internasional. Hal ini dapat dilihat dari apakah negara-negara menerima tindakan tersebut sebagai kejahatan internasional dalam hukum perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional.

2. Pelaku tindakan tersebut dapat diadili berdasarkan yurisdiksi universal;

dan

Pelaku tindakan tersebut dapat diadili berdasarkan hukum yang berlaku surut (asas retroaktif).

9 Indonesia, undang-undang tentang pengesahan Internasional Convention for the Suppression of the financing of terrorism, 1999 (konvensi Internasional pendanaan terorisme, 1999), UU No. 6 tahun 2006, TLN No. 4617.

Referensi

Dokumen terkait

Includes material text In compiling the flow of activities in the camtasia video researchers also pay attention to the material, examples of questions and practice questions must be in