• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DITINJAU DARI HUKUM PIDANA DAN DAN HUKUM PIDANA ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DITINJAU DARI HUKUM PIDANA DAN DAN HUKUM PIDANA ISLAM"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh:

MUHAMAD RIZQY AFWAN FANANI NIM: S20184017

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER

FAKULTAS SYARIAH

DESEMBER 2022

(2)

i

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh

gelar Sarjana Hukum (S.H) Fakultas Syariah

Program Studi Hukum Pidana Islam

Oleh:

Muhamad Rizqy Afwan Fanani NIM: S20184017

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER

FAKULTAS SYARIAH

DESEMBER 2022

(3)

ii SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember Untuk memnuhi salah satu persyaratan memperoleh

gelar Sarjana Hukum (S.H) Fakultas Syariah

Program Studi Hukum Pidana Islam

Oleh:

Muhamad Rizqy Afwan Fanani Nim: S20184017

Disetujui Pembimbing

Helmi Zaki Mardiansyah, M.H.

NIP: 20160395

(4)

iii SKRIPSI

Telah diuji dan diterima untuk memnuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H)

Fakultas Syariah

Program Studi Hukum Pidana Islam

Hari: Rabu

Tanggal: 28 Desember 2022 Tim Penguji

Ketua Sekretaris

Dr. Abdul Wahab, M.H.I NIP.198401122015031003

Muhammad Aenur Rosyid, S.H.I., M.H.

NIP.198805122019031004 Anggota:

1. Dr. Muhammad Faisol, S.S., M.Ag. ( ) 2. Helmi Zaki Mardiansyah, M.H. ( )

Menyetujui, Dekan Fakultas Syariah

Prof. Dr. Muhammad Noor Harisudin, M.Fil.I.

NIP. 19780925 200501 1 002

(5)

iv

ىٰرْخُا َرْزِّو ٌةَرِزاَو ُرِزَت َلََو ْوَلَّو ٌءْيَش ُهْنِم ْلَمْحُي َلَ اَهِلْمِح ىٰلِا ٌةَلَقْ ثُم ُعْدَت ْنِاَو ۗ

ىٰبْرُ ق اَذ َناَك ُرِذْنُ ت اَمَّنِا ۗ

َةوٰلَّصلا اوُماَقَاَو ِبْيَغْلاِب ْمُهَّ بَر َنْوَشْخَي َنْيِذَّلا هِسْفَ نِل ىّٰكَزَ تَ ي اَمَّنِاَف ىّٰكَزَ ت ْنَمَو ۗ

ۗ ىَلِاَو ۗ ِهّٰللا ُرْ يِصَمْلا ٨١

Artinya: “Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, jika seseorang yang (dibebani) dosa yang berat lalu memanggil orang

lain untuk memikul bebannya itu tidak akan dipikulkan sedikitpun meskipun itu kerabatnya” Q.S. Al-Fathir: 18

1Disampaikan dalam Dialog dengan Rektor Universitas Gajah Mada dan Pimpinan PTN/S Se Propinsi DIY dengan tema “Perkembangan Situasi Aktual Politik, Hukum, dan Keamanan

(6)

v

1. Dengan rasa hormat serta bangga kepada kedua orang tua saya, Ayahanda (Alm) H. Muhamad Mudhofar dan Ibunda Hj. Umu Nasibah. Khususnya untuk ibunda yang telah merawat saya semenjak kecil hingga tumbuh berkembang hingga sekarang. Saya dedikasikan hasil skripsi ini sebagai balasan atas apa yang sudah diberikan terutama dukungan kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini menjadi Langkah awal untuk selalu memberikan yang terbaik kepada semua orang.

2. Seluruh keluaga besar yang selalu memberikan dukungan baik berupa materiil maupun non materiil dalam proses selama saya menempuh masa pendidikan dari awal memulai pendidikan formal hingga masuk ke bangku perkuliahan.

3. Seluruh Guru dari kecil hingga seluruh Dosen di Universitas Islam Negeri KH.

Ahmad Siddiq Jember. Skripsi ini saya persembahkan sebagai rasa terima kasih saya atas ilmu-ilmu yang sudah diajarkan kepada saya

4. Dosen Pembimbing Skripsi saya, Bapak Helmi Zaki Mardiansyah, M.H. yang telah membimbing dan mengarahkan dalam proses pengerjaan Skripsi ini.

5. Seluruh Teman-teman saya yang turut membantu memberikan dukungan untuk proses pengerjaan Skripsi ini.

6. Yang terakhir, Skripsi ini saya persembahkan untuk diri saya sendiri. saya berterima kasih atas usaha untuk menyelesaikan Skripsi ini. Semoga Skripsi ini dapat membawa kemanfaatan untuk banyak orang.

(7)

vi

“Pertanggungjawaban Pidana Korporasi terhadap Tindak Pidana Pendanaan Terorisme ditinjau dari Hukum Pidana dan Hukum Pidana Islam” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana dapat diselesaikan dengan lancar.

Keberhasilan yang diperoleh oleh penulis tidak lain karena mendapatkan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Rektor Universitas Islam Negeri Kiai Haji Ahmad Siddiq Jember, Bapak Prof. Dr. H. Babun Suharto, S.E., MM.

2. Bapak Dekan Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Kiai Haji Ahmad Siddiq Jember Bapak Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I.

3. Bapak Dosen Pembimbing Skripsi Helmi Zaki Mardiansyah, M.H. yang telah memberikan arahan terhadap kepenulisan skripsi ini.

4. Seluruh Pengajar Fakultas Syariah UIN KHAS yang telah memberikan pengetahuan khususnya di bidang Hukum dan Hukum Islam.

Dalam kepenulisan Skripsi Ini tidak luput dari kekurangan maupun kesalahan, sehingga kritik maupun saran yang membangun tentunya akan diterima dengan baik yang akan membuat skripsi ini jauh lebih baik.

(8)

vii Pidana Islam

Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Korporasi, Tindak Pidana Pendanaan Terorisme

Terorisme menjadi salah satu bentuk kejahatan luar biasa yang biasa yang dikenal dengan sebutan extra ordinary crime. Pelaku pendanaan terorisme bisa dari berbagai pihak. Ada kemungkinan pendanaan terorisme dilakukan secara individual dan juga bisa melalui lembaga korporasi. Dalam konteks hukum pidana yang berlaku di Indonesia, korporasi sebenarnya bukan termasuk dalam kategori subjek hukum pidana. Begitupun juga dalam hukum pidana Islam yang tidak mengenal istilah korporasi sebagai subjek hukum.

Fokus utama dalam penelitian ini adalah: 1) Apakah bentuk Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pendanaan terorisme?

2) Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pendanaan terorisme ditinjau dari Hukum Pidana Islam? Tujuan dalam penelitian ini adalah: 1) Untuk menganalisis bagaimana pertanggungjawaban pidana terkait dengan tindak pidana pendanaan terorisme yang melibatkan korporasi di Indonesia. 2) Untuk menganilisis terkait dengan bagaimana bentuk pertangggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana pendanaan terorisme ditinjau hukum pidana Islam.

Dalam metode penelitian, menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual dan perbandingan yang mempunyai relevansi dengan judul penelitian ini. Teknik analisisnya menggunakan studi kepustakaan.

Dalam Penelitian ini, dapat disimpulkan 2 kesimpulan yaitu: 1) Bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pendanaan terorisme merujuk pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak pidana Pendanaan Terorisme. Korporasi dibebani pidana pokok yaitu denda paling banyak Rp. 100.000.000.000 (seratus miliar rupiah). 2) Bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pendanaan terorisme jika ditinjau dari hukum pidana Islam adalah Ta‟zir. Hukuman Ta‟zir diberikan hanya kepada pengurus atau yang bertanggung jawab saja. hal ini disebabkan karena mukallaf yang menjadi salah satu syarat pertanggungjawaban pidana hanyalah dimiliki oleh manusia saja, karena sebuah korporasi secara eskplisit tidak memiliki akal apalagi kehendak dalam berbuat sesuatu hingga tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban hukum.

(9)

viii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Penelitian ... 10

C. Tujuan Penulisan ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Definisi Istilah ... 12

F. Sistematika Penelitian Skripsi ... 15

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN A. Penelitian Terdahulu ... 15

B. Kerangka Konseptual ... 21

1. Konsep Pertanggungjawaban Pidana ... 21

2. Konsep Korporasi ... 25

3. Konsep Tindak Pidana ... 27

4. Konsep Pendanaan Terorisme ... 32

(10)

ix

A. Jenis Penelitian ... 40

B. Pendekatan penelitian ... 41

C. Sumber Bahan Hukum ... 42

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 43

E. Teknik Analisis Bahan Hukum ... 44

F. Keabsahan Bahan Hukum... 47

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS A. Analisis Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Pendanaan Terorisme Perspektif Hukum Pidana ... 47

1. Perkembangan Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana di Indonesia ... 48

2. Tindak Pidana yang dapat dilakukan oleh Korporasi ... 54

3. Tindak Pidana Pendanaan Terorisme ... 64

4. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Pendanaan Terorisme ... 74

B. Analisis Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Pendanaan Terorisme Perspektif Hukum Pidana Islam... 79

1. Kedudukan Korporasi dalam Hukum Islam ... 79

(11)

x

Tindak Pidana Pendaan Terorisme ... 97 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 112 B. Saran ... 114 DAFTAR PUSTAKA ... 115 Lampiran

(12)

1

Hingga saat ini, salah satu bentuk kejahatan yang tidak kunjung selesai diperbincangkan adalah kejahatan terorisme. Terorisme menjadi salah satu bentuk kejahatan luar biasa yang biasa yang dikenal dengan sebutan extra ordinary crime. Ini artinya terorisme merupakan kejahatan yang membutuhkan penanganan secara ekstra. Aksi terorisme sudah menjadi permasalahan tingkat global dan menyebar ke berbagai negara-negara di Dunia. Sama seperti yang terjadi di negara lainnya, terorisme di Indonesia juga memiliki dasar untuk melakukan aksi teror dan jaringan yang sangat kuat dalam melancarkan aksi terornya. Hingga saat ini kasus tindak pidana terorisme masih merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap ketahanan sipil baik skala nasional maupun internasional.

Jika ditinjau dari definisinya maka akan ada banyak pendapat terkait definsi terorisme. Menurut Badan Intelejen Amerika Serikat, terorisme didefinisikan sebagai suatu tindakan kekerasan apapun atau Tindakan berupa pemaksaan oleh seseorang pelaku dengan tujuan selain apa yang diperbolehkan oleh hukum perang tanpa menghiraukan apa motivasi melakukan hal tersebut.

Definisi dari Badan Intelejen Pertahanan Amerika ini di kritik oleh Bassioni, seorang Ahli di bidang hukum internasional. Menurut Bassioni terorisme merupakan tindakan dengan kekerasan yang dilarang secara internasional dan didasari motivasi ideologi yang bertujuan untuk menciptakan rasa teror pada

(13)

sebagian atau seluruh masyarakat dalam rangka mendapatkan kekuatan atau propaganda atau kerugian terlepas pelaku bersalah atau tidak.2

Sedangkan dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 atas perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, terorisme didefinisikan sebagai kegiatan yang menggunakan segala bentuk kekerasan atau juga bisa berupa ancaman kekerasan yang memunculkan suasana teror atau rasa takut secara umum yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.3

Indonesia baru memiliki peraturan perundangan-undangan yang khusus mengatur terorisme pada tahun 2002. Hal ini adalah akibat dari insiden bom bunuh diri di Pulau Bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002. Insiden bom bunuh diri ini memberikan dampak yang luar biasa pada Indonesia bahkan Internasional. Indonesia pada saat itu dicap sebagai salah satu kawasan yang rawan terhadap teror dan memberi kesan memberikan dampak bahaya dan akan mematikan bagi siapa saja yang ingin berkunjung. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme adalah salah satu peraturan yang

2Ismatu Ropi,Memahami Terorisme Sejarah,Konsep, dan Model(Jakarta: Kencana,2016), 3.

3Pratama santoso,Pengantar Dasar Kajian Terorisme Abad 21:Menjaga Stabilisasi Keamanan Negara(Sleman: DeePublish,2020), 6.

(14)

diterbitkan dalam keadaan darurat. Hal tersebut adalah sebagai salah satu bentuk respon dari insiden meledakanya bom bunuh diri yang berlokasi di Pulau Bali. Setelah disahkan, kemudian Undang-Undang ini diberlakukan surut (retroaktif).4

Selain peristiwa bom bunuh diri di Pulau Bali yang menggemparkan Dunia Internasional, Negara Indonesia juga menjadi tempat bagi peristiwa teror yang terjadi diantaranya peristiwa pertama bom bunuh diri yang dilakukan di Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Calton tepat pada Tanggal 5 Agustus 2003.

Peristiwa teror yang kedua dialami oleh Presiden ke 6 Republik Indonesia yaitu Susilo Bambang Yudhoyono yang menjadi sasaran penembakan. Dan peristiwa yang terakhir viral di Indonesia adalah kasus bom bunuh diri yang dilakukan di beberapa Gereja dan Kantor Polisi di Kota Surabaya. Dari serentetan kasus teror yang terjadi, pasti sudah banyak korban yang jatuh akibat dari aksi teror tersebut. Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terorisme merupakan ancaman yang besar terhadap kemanusiaan.

Banyaknya kasus terorisme yang ada di Negara Indonesia pada Tahun 2000an keatas mengakibatkan Negara Indonesia menjadi salah satu negara yang riskan terhadap aksi terorisme. Padahal dana yang diperlukan oleh teroris juga begitu besar, bahkan hingga puluhan sampai ratusan juta. Para teroris memerlukan dana yang cukup besar ditujukan kepada berbagai macam kebutuhan mereka seperti biaya hidup, tempat tinggal yang tersembunyi, pelatihan militer, dan berbagai macam senjata yang akan mereka gunakan

4Ari Wibowo,Hukum Pidana Terorisme(Yogyakarta: Graha Ilmu,2012), 4.

(15)

untuk melancarkan aksi mereka dalam menjalankan teror. Contoh dari biaya yang digunakan teroris dalam menjalankan aksinya seperti bom bali 1 yang menelan biaya hampir 120 juta dan bom bali 2 yang menghabiskan biaya hampir 80 juta. Biaya tersebut hanya digunakan oleh pelaku hanya untuk mempersiapkan bahan bahan saja. Biaya lainnya seperti pelatihan teroris yang ada di Propinsi Nangro Aceh Darussalam membutuhkan dana hingga 750 juta.

Sedangkan untuk pelatihan teroris yang ada di Kota Poso menelan biaya hingga 8 miliar rupiah. Hal ini lah yang membuktikan bahwa pendanaan menjadi peran penting dalam menjalankan aksi terorisme.5

Sebagaimana bentuk kepedulian Negara-Negara di Dunia termasuk diantaranya Indonesia dalam usaha dalam bentuk preventif dan mengatasi kasus tindak pidana pendanaan terorisme salah satunya dengan cara mengesahkan International Convention for the Suppression off the financing of terrorism,1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme ,1999). Yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006. Dengan disahkannya Undang-Undang tersebut, maka dinilai perlu adanya penguatan terutama di Perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana pendanaan terorisme. Oleh sebab itu di rasa perlu untuk membentuk Undang- Undang yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.6

5Yuliana Putri, “Journal of International relations”Peran Rekomendasi Financial Action Task Force(FATF) Dalam Pendanaan Terorisme di Indonesia, Vol.1, no.2(2015): 90.

6Djoko Sarwoko, Pendanaan Terorisme dalam Pergeseran Politik Hukum Pencegahan dan Pemberantasannya di Indonesia (Yogyakarta: Genta Pubishing,2018), 7.

(16)

Pendanaan merupakan bagian penting bagi teroris dalam menjalankan aksi terornya, sehingga usaha menanggulangi aksi terorisme ini harus diikuti juga dengan usaha dalam pencegahan dan pemberantasan terhadapan sumber dana yang akan dijadikan modal dalam menjalankan aksi. Hal tersebut yang menjadi latar belakang di terbitkannya Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2013, lembaran negara Republik Indonesia tahun 2013 Nomor 50, tambahan lembara negara Republik Indonesia Nomor 5406.

(Yang selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme).

Peraturan ini menjadi salah satu ciptaan Pemerintah Indonesia untuk menyikapi soal perkara aksi teroris yang berfokus pada bentuk preventif dan penanganan kasus tindak pidana pendanaan terorisme.

Usaha penanganan tindak pidana terorisme yang salah satunya dengan cara follow the suspect yaitu dengan menghukum pelaku terorisme ternyata tidak cukup optimal dalam pencegahan serta pemberantasan tindak pidana terorisme. Usaha lain yang diupayakan oleh pemerintah dalam melakukan pencegahan dana pemberantasan tindak terorisme adalah salah satunya dengan menggunakan pendekatan follow the money yang bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta Penyedia Jasa Keuangan yang berguna deteksi awal terkait dengan adanya aliran dana yang digunakan atau dicurigai akan digunakan sembagai sumber dana untuk aksi teror. Hal tersebut dikarenakan aksi teroris yang melakukan teror mustahil

(17)

dapat dilakukan tanpa adanya yang berperan sebagai penyumbang dana untuk aksi teror tersebut.

Pendekatan follow the money bertujuan agar aktivitas teroris tidak bisa menjalankan rencana untuk melakukan aksi teror itu sendiri. Perubahan fokus pendekatan berfungsi untuk menumpas tindak pidana teroris tersebut disebabkan karena banyaknya fenomena yang ditemukan saat dilakukan penyelidikan terorisme ditemukan adanya sumber aliran dana yang cukup banyak yang dikirim dari rekening anonym atau tidak dikenal atau dikirimkan oleh beberapa pihak yang dicurigai sebagai penyokong utama aksi teror yang terjadi. Berdasarkan pendapat dari Bill Tupman, seorang ahli tentang kriminologi dari Australia, menyebutkan bahwa setelah tragedi teror yang terjadi Gedung World Trade Centre di Amerika, telah diamankan jutaan uang US Dollars. Oleh sebab itu, banyak pakar lain yang menyebutkan bahwa yang menjadi fokus terkait dengan pencegahan aksi terorisme dimulai tentang bagaimana cara untuk memotong aliran aliran dana tersebut.7

Faktanya, data perkembangan jumlah Laporan Transaksi keuangan Mencurigakan (LTKM) yang didapat oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait dugaan tindak pidana pendanaan terorisme pada Bulan September berjumlah 32 laporan, pada Bulan Oktober 51 laporan, pada Bulan November 59 laporan dan Bulan Desember berjumlah 60 laporan. Pada periode total penjumlahan dari Bulan Januari Tahun 2003 sampai dengan Bulan Desember Tahun 2018 sebesar 864 laporan. Jumlah hasil analisis

7Randy Pradityo,”Jurnal RechtsVinding,” Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Vol.5, no.1, (April 2016): 19.

(18)

yang disampaikan oleh PPATK kepada penyidik periode Bulan Januari s.d Bulan Desember 2018 sebesar 138 laporan yang berhubungan dengan dugaan pendanaan terorisme/tindak pidana terorisme berdasarkan 4.616 laporan.8

Merupakan sesuatu yang penting untuk memerangi terhadap pendanaan terorisme yang telah berkembang dengan banyaknya aksi teror di beberapa negara di dunia. Walaupun aksi yang diberlakukan guna mencegah aksi pendanaan terorisme memiliki persamaan dengan pemberantasan pencucian uang. Tetep saja perlu di garis bawahi bahwa aksi pendanaan terorisme juga dapat bersumber dari sesuatu tindakan yang diperbolehkan.

Pelaku pendanaan terorisme bisa dari berbagai pihak. Ada kemungkinan pendanaan terorisme dilakukan secara individual dan juga bisa melalui Lembaga korporasi.

Dalam konteks subjek hukum pidana yang berlaku di Indonesia, korporasi sebenarnya bukan termasuk dalam kategori subjek hukum pidana.

Hal ini didasari pada ketentuan yang terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht) pada pasal 59 yang berbunyi “Suatu Strafbaarfeit hanya dapat diwujudkan oleh manusia dan fiksi tentang badan hukum tidak berlaku di bidang hukum pidana”. Hal tersebut karena Belanda pada saat itu masih menerima asas “Societas delinquere non potes” yang artinya badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana.

Alasan dibentuknya Peraturan Perundang-undangan yang membahas terkait dengan pendanaan terorisme dan terlebih lagi memasukan korporasi

8 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan,Bulletin Statistik : Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme, Vol.103, (Septrember 2018): 11.

(19)

sebagai subjek hukum yang dapat dikenai hukuman bukan hanya karena adanya keresahan terhadap meningkatnya ancaman bom tau bentuk teror lainnya yang kerap terjadi di Indonesia. Hal tersebut melainkan juga ditujukan untuk memberikan kepastian hukum dalam suatu hukum positif yang berguna untuk mengatur upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme di Indonesia khususnya yang dilakukan oleh korporasi.

Dalam Agama Islam, istilah yang menjelaskan tentang terorisme dalam Fiqih Jinayah sangatlah bervariasi, istilah tersebur dianataranya al- hirabah yang berarti perampokan, al-bagyu yang berarti pemberontakan serta Quththa„ Al-thariq yang berarti pembegalan. Abd al-Hayy al-Farmawi menjelaskan bahwa istilah istilah yang mempunyai kesamaan makna dengan kata terorisme yaitu 80 kali disebutkan dalam Al-Qur‟an antara lain al- thughyan, yang berarti kesewenang-wenangan atau melampaui batas dijelaskan dalam QS. Al-Hud ayat 112, Al-Zhulm yang berarti kedzaliman dijelaskan dalam QS. Al-Furqan ayat 19, serta Al-I‟tida‟ yang berarti melampaui batas dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 190.9

Dalam kajian Fiqih Jinayah, tindak pidana terorisme termasuk dalam kategori sebagai salah satu tindak pidana berat. Hal tersebut disamakan dengan tindak pidana hirabah atau tindakan yang mengakibatkan kekacauan. Hirabah bisa didefinisikan sebagai suatu tindak pidana kejahatan atau pengerusakan yang menggunakan alat berupa senjata yang diperbuat oleh manusia dengan cara terbuka baik dimana saja dan kapan saja, baik pelakunya individual

9 Abd al-Hayy al-Farmāwī, “Jurnal Studi Al-Qur‟an,” Islam Melawan Terorisme:

Interview, Vol.1, no.1(Januari 2008): 90.

(20)

maupun berkelompok tanpa berpikir siapa yang menjadi korban dan disertai dengan tindakan kekerasan.10 Hirabah mempunyai ciri ciri yaitu menciptakan rasa takut atau tidak aman oleh berbagai pihak, yang kedua adalah merusak segala sesuatu yang ada dalam tatanan bermasyarakat, dan yang ketiga dilakukan tanpa adanya aturan.

Rasulullah SAW melaknat pelaku hirabah tidak pantas mengaku sebagai seseorang yang beragama Islam. Dalil yang terdapat pada Al-Qur‟an terkait dengan perkara hirabah dijelaskan dalam Q.S. Al-Maidah 5: 33.11

ِض ْرَ ْلْا ىِف َن ْوَع ْسٌَ َو ٗهَل ْوُس َر َو َ هّاللّ َن ْوُبِراَحٌُ َنٌِْذَّلا ا ُؤ ٰۤهزَج اَمَّنِا ْوَا ا ْْٓوُلَّتَقٌُّ ْنَا اًداَسَف

ِف ٌي ْزِخ ْمُهَل َكِل هذ ِۗ ِض ْرَ ْلْا َنِم ا ْوَفْنٌُ ْوَا ٍف َلَِخ ْنِّم ْمُهُلُج ْرَا َو ْمِهٌِْدٌَْا َعَّطَقُت ْوَا ا ْْٓوُبَّلَصٌُ

اٌَْنُّدلا ى

ٌمٌْ ِظَع ٌباَذَع ِة َرِخه ْلْا ىِف ْمُهَل َو

Artinya : “Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-nya dan membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamanya”

Imam Al-Syafi‟i menjelaskan terkait hirabah yang dikutip dalam buku Ahmad Hanafi tidak memberikan definisi perampokan saja terhadap hirabah, tetapi juga memberikan penjelasan mengenai sanksi beserta spesifikasinya.

Contoh kasus Korporasi yang melakukan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme adalah Lembaga Amil Zakat Abdurrahman Bin Auf. Dilansir dari website berita online Detik.Com. LAZ ABA dicabut izin nya oleh Kementrian Agama (Kemenag) Dki Jakarta setelah dilakukan monitoring dan evaluasi dari Kemenag beserta Badan Nasional Penanggulangan Teorisme. Hal ini adalah

10 Abdur Rahmad, Tindak Pidana dalam Syariat Islam (Jakarta: Rineka Cipta,1992), 67.

11 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan (Bandung: Syaamil,2005) Hal 90.

(21)

buntut dari ditangkapnya DRS dan S selaku Ketua dan Sekretaris LAZ ABA yang merupakan Anggota dari Jamaah Islamiyah yang merupakan kelompok terorisme. Polisi menyita 780 Kotak amal yang digunakan sebagai modus kejahatan yaitu menggalang dana dari masyarakat umum. Selain itu polisi juga menyita seluruh aset dan rekening milik LAZ ABA. Polisi juga menutup kantor cabang LAZ ABA di beberapa kota di Indonesia.12

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut terkait dengan tindak pidana pendaan terorisme dalam penelitian skripsi dengan judul Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Tindak Pidana Pendanaan terorisme ditinjau dalam Hukum Pidana dan Hukum Pidana Islam.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, pokok yang menjadi fokus permasalahan yang menjadi dasar penulis adalah sebagai berikut:

1. Apakah bentuk Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pendanaan terorisme?

2. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pendanaan terorisme ditinjau dari Hukum Pidana Islam?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan fokus penelitian yang ditulis di atas, maka tujuan dari penulisan proposal skripsi ini adalah sebagai berikut:

12 ” Kemenag Pastikan Yayasan Amal yang Himpun Dana Teroris di Lampung Ilegal,”

Detik.Com, diakses pada 10 November 2022, https://news.detik.com./berita/Kemenag-pastikan- yayasan-amal-yang-himpun-dana-teroris-di-lampung-ilegal/1 .

(22)

1. Untuk menganalisis bagaimana pertanggungjawaban pidana terkait dengan tindak pidana pendanaan terorisme yang melibatkan korporasi di Indonesia.

2. Untuk menganalisis terkait dengan bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana pendanaan terorisme ditinjau hukum pidana Islam.

D. Manfaat Penelitian

Dari penulisan penelitian ini diharapkan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat diantaranya:

1. Manfaat teoritis

Dari penulisan penelitian ini diharapkan memberikan sesuatu yang bermanfaat dalam kajian hukum di Indonesia terlebih khusus hukum pidana dan hukum pidana Islam yang berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme. Hal ini mengingat kasus terorisme tidak kunjung selesai dan pasti berkembang setiap waktunya.

2. Manfaat praktis a. Bagi penulis

Sebagai bahan untuk memotivasi pengembangan kompetensi dalam keilmuan hukum, baik hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam terutama di bidang tindak pidana pendanaan terorisme.

b. Bagi almamater

Sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam penyusunan materi khususnya dalam hukum pidana yang berfokus pada pencegahan terorisme di dalam lingkup kampus.

(23)

c. Bagi masyarakat

Sebagai media informasi yang akurat untuk masyarakat dalam menanggapi kasus tindak pidana pendanaan terorisme.

E. Definisi Istilah

1. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana atau yang bisa disebut juga dengan istilah criminal liability bisa didefinisikan sebagai perkara yang dipertanggungjawabkan secara pidana kepada seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan pidana atau tindak pidana.

Sedangkan menurut Roscoe Pound, pertanggungjawaban pidana bisa diartikan yaitu kewajiban yang mengharuskan melakukan pembalasan yang diterima kepada pelaku dari seseorang korban atau yang telah dirugikan.13

2. Korporasi

Definisi korporasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah badan usaha yang memiliki kapasitas besar atau beberapa gabungan dari perusahaan yang diurus dan dijalankan sebagai suatu perusahaan yang lebih besar.14 Yan Pramadya memberikan definsi terkait dengan korporasi yaitu suatu kumpulan dari beberapa individu yang merupakan badan hukum.

Korporasi yang dijelaskan adalah perkumpulan yang oleh hukum dianggap

13 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana (Bandung: Mandar Maju,2000) 67.

14 Https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Korporasi

(24)

sebagai manusia sebagai pelaksana hak dan kewajiban menggugat atau digugat dalam pengadilan.15

3. Tindak Pidana

Tindak pidana terdiri dari dua Bahasa yaitu “tindak” dan „pidana”.

Kata tindak dalam kamus Besar Bahasa Indonesia berarti Langkah atau pebuatan. Sedangkan pidana dalam KBBI diartikan sebagai kejahatan atau kriminal. Tindak Pidana bisa di definisikan sebagai suatu Tindakan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana.16

Menurut Moeljatno Tindak pidana bisa didefinisikan sebagai tindakan yang telah dilarang oleh peraturan hukum, dan disertai pula dengan ancaman berupa pidana bagi siapa saja yang melanggar peraturan tersebut.17 4. Pendanaan Terorisme

Pendanaan bisa didefinsikan sebagai tentang bagaimana cara memperoleh dana yang diperlukan baik dijadikan modal utama maupun dijadikan dana tambahan untuk mengerjakan suatu kegiatan atau program dari sebuah organisasi. Terorisme bisa di definisikan suatu kegiatan yang menggunakan segala bentuk kekerasan yang ditujukan untuk memunculkan rasa takut dalam suasana tidak kondusif dan dapat mengakibatkan jatuhnya korban yang berjumlah banyak serta mengakibatkan kerusakan yang terjadi pada objek vital di dalam sarana umum dengan motif tertentu seperti ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

15 Arif, Bunga Rampai Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya Bakti,2000), 56.

16 Adam Chazaqi, Pelajaran Hukum Pidana (Yogyakarta: Liberty,2007), 75.

17 Ismu Gunaidi dan Joaendi Efendi, Hukum Pidana (Jakarta: Kencana,2014), 40.

(25)

5. Hukum Pidana

Hukum pidana berdasarkan penjelasan dari Satochid Kartanegara bisa diartikan sebagai kumpulan dari peraturan peraturan yang menjadi bagian dari hukum positif yang berisi terkait larangan larangan dan kewajiban dan diberikan oleh penguasa atau negara yang memiliki kewenangan untuk menentukan peraturan pidana dan jika dilanggar, maka timbul hak dari negara untuk melakukan pelaksanaan hukuman.18

6. Hukum Pidana Islam

Hukum Pidana Islam dikenal dengan istilah fiqih jinayah. Fiqih memiliki definisi kumpulan dari beberapa peraturan Agama Islam yang mempunyai sifat praktis dan bersumber dari kumpulan dalil yang Shahih.19 Sedangkan Jinayah memiliki definisi seluruh perilaku yang dilarang dan memiliki unsur mudharat(keburukan) terhadap jiwa maupun selain jiwa dan wajib dikenakan dengan hukuman berupa qishas atau dikenakan denda.20 Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa fiqih jinayah adalah seluruh peraturan hukum pidana yang dilakukan oleh seorang mukallaf akibat dari adanya kumpulan dalil dalam Al-Qur‟an dan Hadits.

F. Sistematika Peneletian Skripsi

Dalam kepenulisan penelitian ini, penulis membagi pembahasan menjadi 5 (lima) bab. Pada setiap bab terdiri atas beberapa sub-bab yang

18 Takdir, Mengenal Hukum Pidana (Surabaya: Laskar Perubahan,2013), 7.

19 Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Ad Dar Kuwaitiyah, Cet VIII,1986, 11

20Muhamad Nurul, Tindak Pidana di Indonesia dalam Perspektif Fiqih Jinayah (Jakarta:

Badan Litbang dan Diklat Departemen Negara RI, Cet II,2009), 82.

20 Ali Zainudin, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika,2009), 5.

(26)

bertujuan untuk menjelaskan secara efektif dan sistematis. Penjelasan dari pembagian bab dari penulisan ini yaitu:

Bab I (Pendahuluan)

Pada Bab I berisi terkait dengan uraian dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dari penelitian, manfaat dari penelitian. Adapun terkait dengan manfaat dari penelitian terbagi menjadi dua sub-bab yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis. Pada akhir dari bab I ditutup dengan definisi istilah yang terkait dengan judul penelitian.

Bab II (Tinjauan Pustaka)

Pada Bab II berisi terkait dengan tinjauan Pustaka yang terbagi lagi menjadi dua sub-bab pembahasan yaitu penelitian terdahulu dan kajian teori. Penelitian terdahulu adalah salah satu refrensi yang digunakan oleh penulis untuk melakukan penelitian yang berupa karya tulis ilmiah yang diambil dari skripsi.

Adapun kajian teori adalah pembahasan terkait dengan topik penelitian yaitu pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana pendanaan terorisme ditinjau dari hukum pidana dan fiqih jinayah.

Bab III (Metode Penelitian)

Pada Bab III berisi terkait dengan metode penelitian yang terbagi menjadi jenis penelitian, pendekatan penelitian, Teknik pengumpulan bahan hukum, Teknik anaisis bahan hukum, keabsahan bahan hukum.

Bab IV (Pembahasan)

Pada Bab IV berisi terkait dengan pembahasan penelitian yang terdapat pada rumusan masalah yang telah dipilih oleh penulis.

(27)

Bab V (Kesimpulan)

Pada Bab V berisi terkait dengan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis. Selain itu pada bab V juga memuat saran dan kritik terhadap hasil penelitian skripsi.

(28)

17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Dalam sub-bab penelitian terdahulu, penulis menemukan ada beberapa karya tulis ilmiah berupa skripsi yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan yang akan digunakan sebagai bahan refrensi untuk melakukan penelitian.

Dengan adanya beberapa rujukan ini, penulis berharap akan merasa terbantu dalam melakukan penelitian ini dan mempermudah dalam menambah pengetahuan terkait dengan penelitian yang penulis buat. Penulis memuat beberapa karya tulis ilmiah terdahulu yang berupa skripsi sebagai tambahan yang penulis rasa memiliki korelasi dengan topik yang sedang dibahas oleh penulis dalam melaksanakan penelitian ini. Berikut beberapa rujukan yang penulis dapat, antara lain:

1. Mokhamad Makhsyar Hadi, skripsi yang terbit pada tahun 2009 dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Terorisme”21. Secara umum skripsi Makhsyar Hadi ini membahas terkait bagaimana peraturang yang berlaku mengatur tentang tindak pidana terorisme, hukuman yang akan diterima oleh pelaku terorisme dan bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana kepada pelaku terorisme.

Pada skripsi ini, makhsyar Hadi menggunakan kasus Bom Bali 1 sebagai contoh kasus.

21 Mokhamad Masykhar Hadi,”Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Terorisme” (Skripsi, Universitas Diponegoro,2009)

(29)

Berikut terkait dengan persamaan dan perbedaan yang dilakukan oleh Makhsyar hadi dengan penulis tentang kepenulisan penelitian, yaitu :

a) Persamaannya adalah sama sama membahas terkait tentang isu terorisme dan sama sama dilihat dari perspektif dari hukum pidana di Indonesia b) Perbedaannya adalah Makhsyar Hadi hanya berfokus pada tindak pidana

terorisme. Dalam artian, penulis terdahulu hanya berfokus pada aksi pada saat aksi teror dilakukan dan setelah aksi teror dilakukan. Sedangkan penulis lebih berfokus pada pendanaan aksi terorisme dimana jauh sebelum aksi teror dilakukan atau masih dalam tahap perencanaan.

2. Wandy Setiawan, skripsi yang terbit pada tahun 2017 dengan judul

“tinjauan hukum tindak pidana terhadap pendanaan terorisme”.22 Dalam skripsinya, Wandy Setiawan membahas terkait syarat syarat baik formil maupun materiil yang harus dipenuhi oleh pelaku tindak pendanaan terorisme agar dapat dikenakan pasal pendanaan terorisme dan bentuk pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pendanaan terorisme berupa ganti rugi dan penjara. Secara umum Wandy Setiawan membahas terkait dengan tindak pidana pendanaan terorisme berdasatrkan perspektif dari hukum pidana yang ada di indonesia.

Berikut terkait dengan persamaan dan perbedaan yang dilakukan oleh Wandy Setiawan dengan penulis tentang kepenulisan penelitian, yaitu:

22 Wandy Setiawan, “Tinjauan hukum Tindak Pidana terhadap Pendanaan Terorisme”

(Skripsi,Universitas Muhammadiyah Sukabumi,2017)

(30)

a) Persamaan terletak pada sama sama membahas terkait dengan tindak pidana tentang pendanaan terorisme yang ditinjau dari hukum pidana yang berlaku Indonesia

b) Perbedaannya adalah Wandy Setiawan berfokus pada tindak pidana tentang pendanaan terorisme hanya ditinjau dari hukum pidana yang berlaku di Indonesia saja. Sedangkan penulis juga meneliti dari sudut pandang Fiqih Jinayah.

3. Muhammad Muad, Skripsi yang terbit pada tahun 2012 dengan judul

“Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Terorisme: Studi Komparasi Hukum Pidana Islam dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”.23 Dalam skripsinya Muhamad Muad membahas terkait perbedaan subjek tindak pidana terorisme dalam perspektif hukum pidana yang ada di Indonesia dan Hukum Islam berbeda. Dalam perspektif Hukum Islam, subjek hukum tindak pidana terorisme hanya manusia. Sedangkan dalam perspektif Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia subjek hukum dalam tindak pidana terorisme merupakan manusia dan korporasi. Selain itu, Muhammad Muad juga membahas terkait pertanggungjawaban pidana kepada pelaku tindak pidana terorisme baik dalam tinjauan hukum pidana di Indonesia maupun dalam tinjauan Hukum Pidana Islam.

Berikut terkait dengan persamaan dan perbedaan yang dilakukan oleh Muhamad Muad dengan penulis tentang kepenulisan penelitian, yaitu:

23 Muhammad Muad, “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Terorisme : Studi Komparasi Hukum Pidana Islam dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”.(Skripsi,UIN Sunan Kalijaga, 2012)

(31)

a) Persamaannya adalah sama sama membahas terkait dengan tindak pidana terorisme ditinjau dari hukum pidana yang berlaku di Indonesia dan Hukum Pidana Islam.

b) Perbedaanya adalah Muhammad Muad berfokus pada tindak pidana terorisme. Sedangkan penulis berfokus tentang tindak pidana pendanaan terorisme.

4. Nada Yasmin, Skripsi yang terbit pada tahun 2020 dengan judul “Perbuatan I‟dal (persiapan) dalam tinjauan hukum pidana positif dan fiqih jinayah”24. Dalam skripsinya, Nada Yasmin membahas terkait I‟dal atau persiapan terhadap tindak pidana terorisme, selain itu juga membahas terkait tentang sudut pandang Tindakan I‟dal atau persiapan tindak pidana terorisme ditinjau dari hukum pidana dan fiqih jinayah. Motif pelaku yang melakukan I‟dal atau persiapan tindak pidana terorisme juga dibahas oleh Nada Yasmin dalam skripsinya.

Adapun persamaan dan perbedaaan penelitian yang dilakukan oleh Nada Yasmin dengan penulis adalah:

a) Persamaannya adalah sama sama membahas terkait tindak pidana terorisme ditinjau dari hukum pidana positif di Indonesia dan Fiqih Jinayah. Selain itu, persamaan lainnya terletak pada pembahasan yang terkait hal-hal yang dilakukan oleh teroris sebelum melakukan aksi terornya. Pendanaan teroris adalah salah satu bentuk persiapan yang dilakukan oleh pelaku sebelum melakukan aksi terornya.

24 Nada Yasmin, “Perbuatan I‟dal (persiapan) dalam tinjauan hukum pidana positif dan fiqih jinayah”(Skripsi,UIN Syarif Hidayatullah,2020)

(32)

b) Perbedaanya adalah nada Yasmin berfokus hanya kepada i‟dal (persiapan) terorisme baik secara fisik maupun non fisik saja. Sedangkan penulis lebih berfokus kepada pendanaan terorisme dan bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi yang telah melakukan tindakan pendanaan terhadap terorisme.

B. Kerangka Konseptual

1. Pertanggungjawaban Pidana

Definsi Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana jika dilihat dari istilah asing disebut juga sebagai “Criminal Responsibility” atau “Criminal Liability”. Diksi Pertanggungjawaban pidana bisa diartikan juga sebagai suatu bentuk perbuatan tidak terpuji yang dilakukan oleh seseorang yang harus mempertanggung jawabkan atas perbuatannya. Dengan mempertanggung jawabkan atas perbuatan yang tidak terpuji kepada pelakunya maka pelaku dapat dipidana.25

Adapun penjelasan dari beberap tokoh terkait dengan pertanggungjawaban pidana adalah sebagai berikut :

1) Van Hamel memberikan penjelasan definisi terkait dengan pertanggungjawaban pidana adalah situasi psikologi yang normal yang memahami 3 kemampuan yaitu mengerti apa yang diperbuat, mengerti tindakannya salah, dan mengerti menentukan perilakunya.26

25Sianruri dan Kanter, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya (Jakarta:

Sinar Grafika,2002), 78.

26Eddy Hiarij, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Yogyakarta: Atma Pustaka,2018), 121.

(33)

2) Pompe memberikan penjelasan definisi terkait dengan pertanggungjawaban pidana adalah kemampuan berpikir yang dimiliki oleh pelaku yang mampu memahami pikirannya dan mampu menentukan kehendaknya, serta dapat memahami apa yang dia perbuat dan akibat yang diterima ketika melakukan perbuatan tersebut.27

Berdasasarkan uraian dari pendapat dari para ahli tentang pertanggungjawaban pidana maka dapat disimpulkan pertanggungjawaban pidana berbeda dengan perbuatan pidana. Perbuatan pidana hanya berfokus pada perilaku yang dilarang dan ancaman akan dijatuhi pidana, tergantung perilaku tersebut ada unsur kesalahan atau tidak. Hal ini dikarenakan, di dalam asas pertanggungjawaban pidana adalah “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”28

Pertanggungjawaban pidana memfokuskan kepada memberikan pemidanaan kepada pelaku yang sudah melakukan tindak pidana dan terpenuhi semua unsur-unsur. Seseorang akan bertanggung jawab atas apa yang diperbuat jika terbukti melawan hukum dan tidak ada alasan untuk dibenarkan. Dilihat dari perspektif kemampuan bertanggung jawab, maka yang dimintai pertanggungjawaban pidana adalah yang mampu dan dapat dipertanggung jawabkan.

27 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Depok: Raja Grafindo,2010), 90.

28 Hasbullah Sjawi, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Prenanda Media,2015), 15.

(34)

a. Syarat dari Pertanggungjawaban Pidana

Pelaku yang melakukan tindak pidana tidak akan dimintai pertanggungjawabanya jika pelaku tidak melakukan perbuatan yang melanggar pidana dan perbuatan pidana tersebut harus melawan hukum.

Orang hanya akan dihukum jika terbukti dan meyakinkan melakukan kesalahan.

Adapun syarat terkait pelaku yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana Menurut J.E.Jonkers, diantara lain:

1) Kemungkinan untuk menentukan kehendaknya terhadap suatu perbuatan.

2) Mengetahui maksud yang sebenarnya dari perbuatan yang dilakukan.

3) Keinsyafan yang berarti mengetahui bahwa hal itu dilarang dalam masyarakat.29

Sudarto menjelaskan lebih detail yang menyatakan agar seseorang dapat memiliki aspek pertanggungjawaban pidana, artinya pelaku dapat dipidana, adaapun beberapa syarat yang harus terpenuhi, antara lain :

1) Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.

2) Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.

3) Adanya pelaku yang mampu untuk bertanggungjawab 4) Tidak ada alasan pemaaf.

29Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Ondonesia dalam Perspektif Pembaruan (Malang:

UMM Pers,2009), 142.

(35)

b. Teori Pertanggungjawaban

Dalam teori pertanggungjawaban, dalam kamus hukum terdapat istilah yaitu liability dan responsibility. Istilah Liability adalah salah satu diksi dalam hukum yang merujuk pada tanggung jawaban yang termasuk didalamnya berupa kerugian, tindakan jahat, biaya, serta kondisi yang melaksanakan peraturan. Responsibility adalah sesuatu yang mampu dipertanggungjawabkan yang didasari oleh kewajiban dan termasuk pula putusan, keterampilan, kewajiban bertanggung jawab atas undang- undang yang sedang berlaku.

Tanggung jawab merupakan cerminan yang rekat dengan perilaku manusia. Apabila seorang manusia mengambil sebuah keputusan, maka sudah menjadi tanggung jawabnya atas apa yang ambil dari keputusa tersebut. Keputusan tersebut dianggap karena kecakapan intelektualnya.30 Tanggung jawab dalam istilah hukum ialah tanggung jawab yang memiliki hubungan dengan hak dan kewajiban bukan yang berhubungan dengan gejolak jiwa atau dibawah alam sadar

Hakikatnya pertangggungjawaban pidana adalah salah satu cara yang dibuat oleh hukum pidana untuk menindak lanjuti atas kesalahan dari suatu peraturan tertentu. Subjek dari pertanggungjawaban pidana adalah subjek dari tindak pidana karena yang mampu

mempertanggungjawabkan tindak pidana tidak lain adalah pelaku tindak pidana.

30 Ridwan, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa,2006), 256.

(36)

2. Korporasi

a. Definisi Korporasi

Secara Bahasa, korporasi diambil dari beberapa Bahasa di eropa.

Dari Bahasa belanda korporasi diambil dari kata corpotatie. Dari Bahasa Inggris corporation. Dari Bahasa jerman korporation. Sama dengan yang lainnya yang berakhiran “tio” maka “corporation” sama dengan kata benda yang berasal dari kata kerja “corporare” yang banyak digunakan oleh orang abad pertengahan atau sesudahnya.31

Kata Corporare berasal dari kata corpus yang jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia mempunyai artian Badan, bisa juga diartikan sebagai memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian corporation itu bisa diartikan sebagai hasil dari pekerjaan yang membadankan, membadankan disini berbeda konteksnya dengan kata badan yang dimiliki oleh seseorang. Yang dimaksud badan disini adalah badan yang diperoleh karena perbuatan dari manusia sebagai lawan terhadap badan yang dimiliki oleh manusia yang terjadi secara alamiah.

Menurut Satjipto Raharjo, korporasi bisa didefinisikan sebagai suatu bahan hasil ciptaan hukum. badan yang diciptakanya itu terdiri dari

“corpus” yaitu struktur fisiknya dan dan selanjutnya kebagian dalam hukum memasukan “animus” yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena itu, badan hukum tersebut juga merupakan

31Soetan Malikul Adil, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Hukum Pidana (Jakarta: Kencana Pranendamedia Group,2013), 25.

(37)

ciptaan dari hukum kecuali penciptanya, kematiannya dari badan hukum itu juga akan ditentukan oleh hukum.32

Menurut Loebby Loqman, dalam diskusi dengan para sarjana menjelaskan definisi dari korporasi menjadi dua pendapat. Pendapat pertama menjelaskan definisi dari korporasi adalah kumpulan dagang yang berbadan hukum. Jadi bisa disimpulkan bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana yaitu korporasi yang telah berbadan hukum. Adapun pendapat yang kedua adalah mengartikan korporasi secara luas yaitu korporasi dapat dipertanggungjawabkan pidananya yang tidak harus berbadan hukum, dalam hal ini setiap kumpulan manusia, baik yang sedang menjalin hubungan dari suatu usaha dagang maupun usaha lainnya, dapat dipertanggungjawabakan secara pidana.33

b. Korporasi sebagai subjek Hukum Pidana

Adapun subjek hukum pidana korporasi di Indonesia mulai dikenal sejak tahun 1951 yang terdapat dalam Undang-Undang Penimbunan Barang. Setelah itu sudah mulai dikenal secara luas dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi pada pasal 15 ayat 1, Pasal 49 Undang-Undang No.9 Tahun 1976, Undang-Undang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Psikotropika, dan Undang-Undang

32Satjipto Raharjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya (Yogyakarta: Genta Publishing,2009), 13.

33Loebby Loqman, Kapita Selekta Tindak Pidana di Bidang Perekonomian (Jakarta:

Datacom,2002), 32.

(38)

Tindak Pidana Narkotika. Dengan demikian, korporasi dapat dijadsubjek hukum pidana di Indonesia hanya ditemukan diluar Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang menjadi pelengkap saja. hal itu dikarenakan didalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang ada di Indonesia hanya menganut subjek hukum secara umum yaitu manusia (natuurlijke person).34

Berdasarkan pendapat dari Hans Kelsen hubungan dari korporasi yang menjadi subjek hukum adalah sebagai berikut:

1) Korporasi sebagai manusia yang bertinfak melakukan tindakan hukum seperti transaksi hukum contohnya penandatanganan kontrak.

Korporasi melakukan tindakan kepada orang lain yang berarti memenuhi kewajiban atas hukum dan jika tidak melakukannya maka disebut dengan pelanggaran hukum.

2) Korporasi merupakan subjek dari kewajiban dan hak hukum karena hukum memberikan kepadanya.35

3. Tindak Pidana

a. Definisi Tindak Pidana

Menurut R. Soesilo mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu tindakan yang dilarang atau diperbolehkan oleh suatu perundang undangan dimana ketika dilakukan oleh manusia atau diabaikan maka manusia tersebut akan diancam dengan hukuman. Sedangkan menurut

34Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana (Jakarta: Prenademadia Group, 2012), 13.

35Hans Kelsen, Teori Hukum Muni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif (Bandung:

Nusamedia,2007), 198.

(39)

Moeljanto mendifinisikan peristiwa pidana sebagai suatu rentetan perilaku yang dilakukan individu yang melanggar peraturan perundang undangan dimana akan dijatuhi sebuah tindakan penghukuman.36 Sedangkan simons memberikan definisi terkait tindakan pidana adalah perilaku yang bertentangan dengan hukum terkait dengan kesalahan dari seseorang yang dirasa mencukupi untuk bertangggung jawab. Kesalahan yang dimaksud adalah dolus dan culpulate.

Para perancang Undang-Undang menggunakan istilah

“Straafbaarfeit” yang dikenal secara umum dengan istilah tindak pidana.

Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana tidak menjelaskan secara detail mengenai maksud yang jelas dengan istilah “Straafbaarfeit”.

Istilah “Feit” sendiri dalam Bahasa Belanda berarti bagian dari suatu kenyataan. Sedangkan istilah “Straaf baar” beerarti dapat diartikan sebagai bagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum. Oleh karena itu, diketahui bahwa yang dapat dijatuhi hukuman adalah manusia bukan kenyataan atau perbuatan.37

Tindak pidana menjadi salah satu pengertian yuridis. Tidak ada yang bisa mendefinisikan arti spesifik dari tindak pidana secara jelas dan pasti, termasuk juga dengan para sarjana. Sebagai gambaran umum, secara yuridis, tindak pidana diartikan sebagai “perilaku yang dilarang oleh Peraturan Perundang-undangan dan akibat dari perilaku tersebut akan dikenai sanksi berupa pidana.

36 Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta,2002), 62.

37 Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia (Bandung: Pustaka Setia,2000), 45.

(40)

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menurut pandangan dari Lamintang, bahwa setiap tindak pidana secara umum dijelaskan unsur-unsurnya didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP) yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur Subjektif bisa diartikan sebagai unsur yang terdapat pada pelaku atau segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaku. Sedangkan unsur objektif adalah unsur yang terdapat pada kondisi dimana pelaku melakukan tindakannya.38

Sedangkan Sudarto berpendapat terkait dengan unsur pidana hendaknya dibedakan dengan unsur-unsur pidana sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Unsur pidana penjabarannya lebih luas dari pada unsur-unsur pidana. Contohnya unsur tindak pidana dari pencurian yang ada dalam pasal 362 KUHP.39

Adapun contoh dari unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut:

1) Kesengajaan atau kealpaan

2) Maksud dari suatu percobaan (Pasal 52 ayat 1 KUHP) 3) Merencanakan terlebih dahulu (Pasal 340 KUHP) 4) Perasaan takut (Pasal 338 KUHP)

Adapun contoh dari unsur unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut:

1) Melanggar hukum

38 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bogor: Citra Aditya Bakti,1984), 50.

39 Sudarto, Hukum Pidana Jilid I (Semarang: Yayasan Sudarto,1999), 56.

(41)

2) Kausalitas yaitu relasi anatara tindakan sebagai penyebab kejadian itu terjadi.40

Sedangkan menurut Simons, unsur-unsur dari tindak pidana adalah sebagai berikut:

1) Perilaku dari individu manusia.

2) Melawan hukum.

3) Diancam dengan hukuman pidana.

4) Melakukan dengan kesalahan.

5) Oleh orang yang dapat bertanggung jawab.41 c. Teori Pemidanaan

Pemberian pidana dapat dipahami sebagai pemberian hukuman dalam rangkamemperbaiki pelaku tindak pidana, bisa juga diartikan sebagai balas dendam dari alat negara kepada pelaku secara legal formal.

Terdapat banyak teori yang membahas terkaiat dengan tujuan dan hakikat dari pemidanaan. Teori-teori ini diantaranya:

1) Teori Absolut

Berdasarkan teori absolut, setiap tindak yang berupa kejahatan harus disertai pula dengan dengan pidana. Seseorang dijatuhi pidana karena dia telah melakukan tindakan pidana, dan negara berhak untuk menjatuhkan hukuman berupa pidana karena telah melanggar hak dan kepentingan hukum baik secara individual maupun kelompok dalam artian masyarakat atau negara yang sudah dilindungi.

40Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia (Tangerang: Refika Aditama,2008), 200.

41Sudarto, Hukum Pidana Jilid I, 36

(42)

Berdasarkan teori ini dapat disimpulkan bahwa jika ada seseorang yang telah melakukan tindak pidana, maka harus mendapatkan hukuman yang bersifat menganiaya. Sehingga penjatuhan hukum pidana berupa balas dendam atas perbuatan yang sudah dilakukan tersebut.

2) Teori Relatif

Berdasarkan teori relatif suatu tindak pidana tidak harus diikuti dengan pidana dan teori ini memandang bahwa kurang relevan jika penjatuhan pidana hanya dilakukan atas dasar balas dendam. Teori ini berpendapat bahwa penjatuhan pidana harus memiliki sifat yang memberikan kegunaan baik kepada pelaku maupun kepada masyarakat.42

Teori ini memandang bahwa pemberian pidana harus memiliki beberapa sifat, diantaranya:

a) Bersifat Edukasi.

b) Bersifat Preventif.

c) Bersifat Membinasakan.

3) Teori Gabungan

Teori gabungan ini menempatkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan ketertiban masyarakat. Kedua asas tersebut yang menjadi dasar pemberian pidana. Teori gabungan dibagi menjadi dua pandangan, yaitu:

42Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka,2001), 156.

(43)

a) Teori gabungan yang berfokus kepada pembalasan, namun pembalasan yang dimaksud dilarang melampui batas yang wajib dipertahankan dari ketertiban masyarakat.

b) Teori gabungan yang berfokus pada perlindungan ketertiban masyarakat, namun derita yang didapat oleh pelaku tidak boleh lebih berat dari pada perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.

Thomas Aquino berpendapat bahwa yang menjadi rujukan dari pidana adalah kesejahteraan umum. Untuk diberikannya pidana maka harus ada kesalahan pada individual yang melakukan kesalahan yang diperbuat secara suka rela. Pidana ini yang bersifat pembalasan.

Namun pembalasan bukan merupakan tujuan dari pidana karena tujuan pidana adalah pertahanan dan perlindungan ketertiban di masyarakat.

Teori-teori pemidanaan yang berkembang mengikuti dinamika perkembangan masyarakat akibat reaksi yang muncul karena berkembangnya kejahatan yang ada dalah kehidupan bermasyarakat dari waktu ke waktu.

4. Pendanaan Terorisme

a) Definisi Pendanaan Terorisme

Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme pada Pasal 1 angka (1) dijelaskan yang dimaksud dengan pendanaan terorisme adalah segala perbuatan dalam ranga mengumpulkan,

(44)

menyediakan, memberikan, atau meminjamkan dana, baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk melakukan kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris. Secara sistem bekerjanya, tidak ada perbedaan berarti antara pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme dengan anti pencucian uang. Perbedaannya hanya terletak pada sumber dana dari pendanaan kegiatan terorisme bisa saja berasal dari uang yang bersih atau bukan dari hasil kejahatan.43

Adapun terkait dengan jenis sumber pendanaan terorisme yaitu berupa harta kekayaan yang diperoleh oleh pelaku baik secara individu maupun korporasi tidak langsung digunakan untuk pendanaan kegiatan terorisme. Hal ini dikarenakan adanya rasa takut akan dilacak sebagai tindakan pencucian uang. Sumber dana yang akan digunakan sebagai pendanaan terorisme biasanya akan diberikan dalam bentuk yang berbeda beda yang diperoleh dari dalam maupun luar negeri. Biasanya, dana tersebut adalah hasil sumbangan dari anggota kelompok organisasi yang terindikasi melakukan pendaan kepada aktivitas terorisme.

Pendanaan terorisme banyak dilakukan dengan berbagai macam cara. Salah satu caranya adalah dengan melalui penyedia jasa keuangan yang sah. Besar kemungkinan pelaku menggunakan penyedia jasa keuangan yang sah untuk melakukan tindakan pencucian uang agar menghindari indikasi dari petugas melakukan kegiatan kegiatan yang

43 Erman Rajagukguk, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundering) Peraturan Perundang-Undangan (Jakarta: Fakultas Hukum UI,2004), 72.

(45)

mencurigakan. Tujuannya adalah untuk menghasilkan stigma bahwa uang yang dikelola seolah olah berasal dari usaha yang tidak berasal dari kegiatan yang sah.

b) Pemidanaan terhadap Tindak Pidana Pendanaan Teorisme

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Pemidanaan terhadap tindak pidana pendanaan terorisme tercantum didalam Bab III tentang tindak pidana terorisme terdapat pada Pasal 4 sampai 8 yang berbunyi:

Pasal 4

Setiap orang yang dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan dana, baik secara langsung dengan maksud untuk digunakan seluruhnya atau sebagia untuk melakukan tindak pidana terorisme, organisasi teroris, di pidana karena melakukan tindak pidana pendanaan terorisme, dengan pidana penjara paling lama 15(lima belas) tahun penjara dan pidana denda paling banyak satu miliar rupiah (Rp.1.000.000.000.000,-)

Pasal 5

Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan atau pembantu untuk melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada Pasal 4.

Pasal 6

Setiap orang yang dengan sengaja merencanakan, mengorganisasikan, atau menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam poin 1, dipidana karena melakukan tindak pidana pendanaan terorisme, dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling lama 20(dua puluh) tahun.

Pasal 7

(46)

Dalam hal terpidana tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan 5 (poin 1 dan 2), pidana denda diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.

Pasal 8

1) Dalam hal tindak pendanaan terorisme sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 sampai 6 (poin 1 sampai 3) merupakan korporasi, maka pidana dijatuhkan terhadap korporasi atau personil pengendali korporasi.

2) Pidana dijatuhkan terhadap korporasi, jika tindak pidana pendaan terorisme :

a) Dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi.

b) Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi.

c) Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah dalam korporasi.

d) Dilakukan oleh personil pengendali korporasi dengan maksud memberi manfaat bagi korporasi .

3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus dan/atau personil pengurus koperasi di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor

4) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda paling banyak Rp.100.000.000.000.(seratus miliar rupiah).

5) Selain pidana denda sebagaimana yang dimaksud pada ayat 4, korporasi juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa :

a) pembekuan Sebagian atau seluruh kegiatan korporasi.

b) Pencabutan izin usaha dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang.

c) Pembubaran korporasi

d) Perampasan aset untuk negara.

e) Pengambilan korporasi oleh negara f) Pengumuman putusan pengadilan.

6) Dalam hal korporasi tidak mampu membayar pidan denda sebagaimana yang dimaksud pada ayat 4, pidana denda diganti dengan perampasan harta kekayaan milik korporasi dan/atau pengurus korporasi yang berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme yang nilainya sama dengan putusan pidana yang dijatuhkan.

7) Dalam hal penjualan harta kekayaan milik korporasi yang dirampas sebagaimana yang dimaksud pada ayat 6 tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap

(47)

pengurus korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.

5. Hukum Pidana

a. Definisi Hukum Pidana

Hukum pidana bisa didefinisikan sebagai suatu peraturan hukum/perundang-undangan untuk dipatuhi dan berisi terkait dengan ancaman yang berupa sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh subjek hukum tersebut. Banyak pendapat terkait dengan hukum pidana memiliki tempat tersendiri dalam sistem hukum. Hal ini dikarenakan hukum pidana tidak menempatkan norma tersendiri, tapi memperkuat norma dibidang lain dengan menetapkan ancaman sanksi atas pelanggaran norma tersebut.44

Adapun definsi hukum pidana yang di sampaikan oleh beberapa tokoh hukum diantaranya:

1) Mezger berpendapat tentang definisi hukum pidana yaitu kumpulan dari aturan hukum yang mengikat pada suatu tindak perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.45

2) Moeljatno berpendapat tentang definisi hukum pidana yaitu Sebagian dari kesuluruhan hukum yang berlaku disuatu daerah yang mengadakan dasar aturan untuk menentukan perbuatan yang dilarang

44 Ali Zaidan, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika,2015), 3.

45Sudarto, Hukum Pidana (Malang: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat,1990), 6.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Muladi, tindak pidana terorisme, tergolong kejahatan hati nurani (Crime against conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh

dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, perkara pendanaan terorisme di jatuhkan pidana dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Hasil penelitian yang ditemukan; sanksi bagi pelaku tindak pidana terorisme menurut Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme terdapat pada Pasal

bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa ( ordinary crimes ) melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa ( extra- ordinary crimes ).. Dalam

Menariknya adalah apakah pada pelaku kejahatan terorisme dan pelaku tindak pidana yang adalah anggota NII dapat bertanggung jawab pidana, apakah terdapat dasar

melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan dapat dilakukan apabila pada perbuatan pelaku

Berdasarkan contoh kasus di atas, skala kegiatan dan uang pendanaan yang besar untuk merekrut, mengadakan pelatihan, mengadakan aksi dan tindakan terorisme lainnya

Korupsi dalam perspektif hukum dianggap sebagai suatu kejahatan yang luar biasa extra ordinary crime sebab dapat mendatangkan dampak yang luar biasa, lebih lanjut fenomena kejahatan