• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME. OLEH : Dr. I GEDE ARTHA, SH., MH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME. OLEH : Dr. I GEDE ARTHA, SH., MH."

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

OLEH :

Dr. I GEDE ARTHA, SH., MH.

PROGRAM DOKTOR (S3) ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

2017

(2)

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

1

Oleh : Dr. I Gede Artha, SH., MH.2

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Wacana sebagai komitmen dan tekad untuk pemberantasan terorisme muncul sejak tahun sejak tahun 2001, pasca serangan menara kembar World Trade Centre (WTC) di Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001. Peristiwa itu merupakan pukulan telak terhadap supremasi AS sebagai negara adidaya, dan AS meresponnya dengan slogan "War against terrorism" (perang melawan terorisme). Peristiwa pengeboman WTC dan Pentagon, serta respon AS tersebut menjadi titik awal politik dunia yang menjadikan terorisme sebagai ancaman keamanan yang sangat serius, sekaligus mengukuhkan egemoni AS sebagai satu- satunya negara adidaya (the only superpower). Hegomoni AS nampak pada respon terhadap terorisme secara umum, dan khususnya pada invasi ke Afganistan dan Irak. AS cenderung bertindak represif terhadap segala tindakan yang dianggap menganeam keamanan negaranya.3

Fenomena dan fakta itu kemudian dijadikan kebijakan politik luar negeri AS dan sekutunya dan berupaya meraih dukungan negara-negara di dunia.

Melalui presidennya, George Walker Bush (saat itu) dikenal istilah ungkapan politik "stick and carrot". Dimana setiap negara yang mengikuti agendanya akan diberikan dukungan (dana), sebaliknya bagi yang menolaknya akan diperangi.

Negara-negara di dunia dihadapkan untuk memilih salah satu dan dua opsi yang ditawarkan, "You either with its, or with them, against us (Kamu bersama kami,

1 Disampaikan dalam Seminar Fakultas Hukum Universitas Udayana diselenggarakan oleh Prodi S3 Ilmu Hukum pada tanggal 2 Agustus 2017 di Denpasar – Bali

2 Penyaji Dosen Prodi S3 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana

3 Wibowo Ari, 2012, "Hukum Pidana Terorisme: Kebijakan Formulatif Hukum Pldana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Yogyakarta; Graha Ilmu, 2012, hal. 1.

(3)

atau bersama mereka, sebagai musuh kami)." Kebijakan politik inipun kemudian disambut secara luas oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.

Suasana dan situasi sebelumnya di Pulau Dewata biasanya aman dan tentram, Bali seolah-olah tidak pernah tersentuh aroma kerusuhan, apalagi teror, walaupun isu-isu kecil sempat muncul diantaranya ancaman untuk membakar mobil-mobil yang parkir sembarangan di kawasan Kuta, namun hal itu tidak sampai terjadi.4 Pada saat itu, Menkopolkam (Susilo Bambang Yudoyono) diamanatkan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri untuk membuat kebijakan dan strategi nasional dalam penanganan terorisme. Berdasarkan Keputusan Menkopolkam No. Kep-26/Menko/Polkam/ 11/2002, dibentuklah Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT). Lembaga ini berada di bawah Menkopolkam menjalankan tugas dan rungsinya sampai terbentuknya organisasi BNPT untuk membantu Menkopolkam merumuskan kebijakan pemberantasan tindak pidana terorisme, yang meliputi aspek penangkalan, pencegahan, penanggulangan, penghentian penyelesaian dan segala tindakan hukum yang diperlukan. Menimbang bahvva terorisme telah menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, atau hilangnya kemerdekaan, serta kerugian harta benda, oleh karena itu perlu dilaksanakan langkah-langkah pemberantasan.

Peristiwa Bom Bali II yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 2005 di tiga lokasi yaitu Raja's Restaurant, Nyoman's Cafe dan Menega's Cafe telah menelan korban 22 orang meninggal dunia dan ratusan orang mengalami luka-luka.

Peristiwa tersebut bertepatan dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), yang menimbulkan pro dan kontra sehingga hal tersebut dianggap sebagai upaya pemerintah untuk mengalihkan pefhatian masyarakat terhadap kebijakan pemerintah menaikkan BBM. Meskipun dampaknya tidak sebesar peristiwa Bom Bali I tetapi kejadian tersebut semakin meneguhkan stigma asing bahwa Indonesia bukan tempat yang aman bagi pariwisata dan investasi. Hal ini terlihat dari tidak tercapainya sasaran kunjungan

4

(4)

wisata 2005 dan pertumbuhan investasi yang masih tetap bahkan cenderung menurun. Aksi teroris yang bernuansa lokal intensitasnya cenderung menurun.

Namun di daerah konflik, khususnya Poso dan Ambon aksi-aksi teroris dari upaya membenturkan kepentingan politik dan SARA antar masyarakat atau antar aparat masih sering dijumpai. Selain teror bom yang diledakkan di sejumlah tempat ibadah bertepatan dengan acara keagamaan, serta terjadinya teror individual yang bertujuan menciptakan konflik merupakan indikasi rumitnya penyelesaian masalah Poso (berlanjut hingga saat ini adanya kelompok Pimpinan Santoso yang belum tertumpas) dan Ambon tersebut. Hal yang patut dipuji, masyarakat yang selama ini terlibat dan berada di wilayah konflik Poso tidak terpengaruh rasa toleransinya, sehingga upaya teror tersebut tidak berdampak signifikan. Namun tetap menjadi agenda bagi BNPT untuk diberantas.

Keberhasilan aparat kepolisian menewaskan tokoh utama terorisme di Indonesia yang diduga terlibat serangkaian peledakan bom di Bali, Jakarta, Solo dan sejumlah tempat lainnya telah meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja kepolisian khususnya pasukan khusus antiteror dengan Sandi 88, dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme. Perhatian dunia internasional atas tewas dan tertangkapnya beberapa tokoh utama teroris Indonesia tersebut seperti Hambali, Abu Dujana, Umar Patek, Imam Samudra cukup positif, hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya komitmen internasional membantu penanganan teroris di Indonesia.

Pada tahun 2006, kesungguhan aparat keamanan untuk terus membidik titik-titik strategis bagi persembunyian teroris senantiasa ditingkatkan guna membatasi gerak kelompok teroris. Walaupun Keberhasilan aparat keamanan menewaskan gembong teroris Dr. Azhari dan Nurdin M. Top tampaknya masih terus menghadapi tantangan terkait dengan belum tertangkapnya Santoso CS dan pengungkapan jaringannya. Oleh karena itu, aparat keamanan selalu siap siaga mengantisipasi aksi balasan yang dilakukan oleh kelompok Santoso dan teman- ternannya yang sementara ini masih beraksi dan beroperasi di sekitar wilayah Poso.

(5)

Selanjutnya berbagai upaya terus dilakukan termasuk upaya memutus jaringan teroris yang melibatkan dan bersentuhan dengan lembaga pendidikan keagamaan/pesantren, untuk menghindarkan kesalah pahaman umat Islam, maka upaya pendekatan kepada tokoh-tokoh keagamaan/pesantren dilaksanakan secara hati-hati agar tidak menimbulkan kesan memojokkan agama Islam dan penganutnya. Sementara itu kerjasama penanggulangan dan pencegahan teroris secara lintas negara dilaksanakan melalui peningkatan kapasitas kelembagaan.

Aksi terorisme dalam jangka pendek seringkali berdampak cukup signifikan terhadap upaya-upaya menciptakan iklim investasi yang kondusif di dalam negeri. Oleh karena itu, kemampuan menangani dan menangkap pelaku serta mengungkap jaringan terorisme dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan mengamankan aktivitas dunia usaha, lebih mengkhusus lagi pada sektor pariwisata tak terkecuali bagi Bali.

Masyarakat beradab pada jaman modern sekarang ini tidak ada yang membenarkan aksi apapun yang tergolong terorisme, secara singkat bisa dikatakan bahwa terorisme merupakan sebuah bentuk kekerasan langsung atau tidak langsung yang dikenakan pada sasaran yang tidak sewajarnya mendapat perlakuan kekerasan tersebut dan dengan aksi tersebut dimaksudkan agar terjadi rasa takut yang luas di tengah-tengah masyarakat.

Peran pemerintah khususnya Detasmen Khusus 88 Anti Teror Kepolisian Republik Indonesia dan masyarakat untuk mencegah dan menanggulangi terorisme sudah menunjukan keberhasilan yang cukup berarti, tetapi masih banyak yang perlu dihadapi untuk menciptakan perasaan aman di masyarakat dari aksi-aksi terorisme. Tragedi ledakan bom belum lama ini di Jakarta (Bom Jalan Thamrin) dan di Solo pada Selasa, 5 Juli 2016 menunjukan bahwa aksi terorisme harus terus diwaspadai, yang bentuk gerakan dan perkembangan jaringannya terus berubah sehingga sukar untuk dilacak. Aksi mereka sulit diramal kapan akan terjadi dan dimana saja obyek sasarannya.

Sulitnya penyelesaian permasalahan terorisme ini terjadi karena masih banyak faktor yang menyebabkan terorisme dapat terus berkembang. Dari faktor

(6)

beda sampai kesenjangan sosial dan pendidikan yang membuat masyarakat lebih mudah untuk disusupi oleh jaringan-jaringan teroris. Pengaruh radikalisme terorisme dapat memiliki dampak yang signifikan, baik segi keamanan dan keresahan masyarakat maupun iklim perekonomian dan pariwisata yang menuntut adanya kewaspadaan aparat intelijen dan keamanan untuk pencegahan dan penanggulangannya secara berkesinambungan dan dilakukan secara terpadu.

Aksi terorisme masih menjadi ancaman potensial bagi stabilitas keamanan nasional, xneskipun pasca penangkapan Dr. Azhari dan sejumlah tokoh utama kelompok Jamaah Islamiyah (JI) dan kelompok-kelompok garis keras lainnya, aksi-aksi teror dari kelompok tersebut masih selalu ada. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya aksi-aksi teror selama ini baik di Indonsia maupun di luar negeri yang dapat mempengaruhi stabilitas keamanan nasional maupun internasional.

Demikian juga pelaksanaan eksekusi mati terhadap 3(tiga) terpidana kasus bom Bali (Amrozi, Ali Gufron dan Imam Samudera) yang diharapkan dapat membawa dampak/efek jera bagi para pelaku terorisme atau kelompok-kelompok garis keras lainnya, namun tidak menghapus kegiatan atau perlawanan dari mereka bahkan menimbulkan adanya reaksi balas dendam dari kelompok radikal tersebut. Ini juga dibuktikan dengan adanya peledakan bom di Hotel JW. Marriot dan Ritz Carlton yang menelan korban 9 (sembilan) orang dan puluhan luka-luka, peledakan di Solo serta tempat-tempat lainnya menunjukkan bahwa kelompok-kelompok.

teroris tersebut masih terus bekerja dan melanjutkan aksi. Terutama sekarang ini adanya kelompok Santoso di Poso serta munculnya indikasi adanya bibit-bibit pengikut ISIS di Indonesia.

Masih adanya ancaman terorisme di Indonesia juga disebabkan oleh belum adanya pemahaman yang sama bagi masyarakat dalam mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme, bahkan adanya pemahaman yang sempit dan keliru dikalangan umat beragama bahwa perang melawan terorisme dianggap memerangi Islam. Disisi lain kondisi masyarakat tradisional yang menghadapi persoalan ekonomi, politik dan sosial sangat mudah dipengaruhi atau direkrut menjadi anggota kelompok teroris dengan menggnnakan modus tipu daya kehidupan yang lebih baik bahkan adanya pemahaman sesat pemikiran picik

(7)

bahwa akan terbuka pintu sorga baginya yang mau melakukan kegiatan tersebut, dengan menyalahartikan esensi jihad baginya.

Kendala lain dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme adalah belum adanya pembinaan yang menjamin dapat mengubah pemikiran radikal menjadi moderat. Sementara itu masih lemahnya sistem pengawasan terhadap peredaran dan penjualan bebas berbagai bahan pembuat bom, menyebabkan para teroris masih leluasa melakukan perakitan bom, jika tidak terdeteksi dapat menimbulkan kekacauan di berbagai tempat. Janngan teroris yang sulit.terlacak dan memiliki akses yang luas serta ditopang oleh teknologi dan komunikasi canggih membuat permasalahan terorisme sulit untuk diselesaikan. Anggota teroris dapat memanfaatkan berbagai kemajuan teknologi global, seperti internet dan telepon seluler untuk mempermudah berkomunikasi dengan kelompoknya.

Disamping itu, para teroris juga masih leluasa untuk melakukan perjalanan dan transportasi lintas batas negara sehingga sangat sulit untuk memutus rantai jaringan terorisme global tersebut. Oleh karena itu, kualitas dan kapasitas institusi kepolisian khususnya dan aparat intelijen ditopang oleh militer perlu ditingkatkan agar dapat menghadapi tantangan teknologi aksi terorisme dan skala ancaman yang semakin meningkat. Selanjutnya kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosialyang merupakan media subur tumbuh dan berkembangnya sel-sel dan jaringan teroris, perlu menjadi perhatian utama pemerintah dengan program-program yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.

Seluruh prinsip yang terkandung dalam Konvensi ASEAN mengenai Pemberantasan Terorisme antara lain memuat : menghormati kedaulatan, kesetaraan, integritas wilayah dan identitas nasional, tidak campur tangan urusan dalam negeri, menghormati yurisdiksi kewilayahan, adanya bantuan hukum timbal balik atau Mutual Legal Assistence (MLA) dan ekstradisi, serta mengedepankan penyelesaian perselisihan secara damai. Selain itu, di dalam konvensi ASEAN ini secara khusus terdapat prinsip yang merupakan nilai tambah yang tidak dimiliki oleh Konvensi serupa yang memuat ketentuan mengenai

(8)

program rehabilitasi bagi tersangka terorisme, perlakuan yang adil dan manusiawi, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam proses penanganannya.

Peraturan perundang-undangan yang ada harus sering dievaluasi dan disempurnakan sehingga mampu menjadi media untuk meluruskan negative perception dunia terhadap negara dan agama sekaligus memulihkan nama baik Indonesia sebagai negara yang terkenal dengan nilai diversity dan hospitality-nya.

Kepada pemerintah agar terlebih dahulu mempersiapkan infrastruktur dengan baik, lebih awal agar kelak dalam rangka pelaksanaan amanah UU Terorisme tersebut dapat mendukung operasionalisasi dengan baik demi kelancaran tugas di lapangan, khususnya dalam penanganan terorisme.

Rangkaian peristiwa pengeboman yang dilakukan kelompok teroris berskala internasional dan nasional fenomena dan faktanya menampakkan dampak yang luas. Korban jiwa dan harta benda tak ternilai jumlahnya. Berbagai kalangan ilmuwan hukum khususnya menilai tindak pidana terorisme tersebut sebagai bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), dengan ukuran dan kriteria masing-masing berbeda menurut sudut pandang dan persepsi pribadi- pribadinya, seperti ada yang melihat dari aspek kuantitas/jumlah korban, dampak yang ditimbulkan, waktu pemulihan yang panjang dala merehabilitasi korbannya dan lain-lain.

Ketika melihat keadaan korban dan modus operandi yang dilakukan pelaku, para ahli hukum memandang tindak pidana terorisme layak menurut mereka dikualifisir sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan (crime against humanity), karena dilakukan dengan motif dan cara-cara di luar batas kuantitas/jumlah korban, dampak yang ditimbulkan, waktu pemulihan yang panjang dala merehabilitasi korbannya dan lain-lain.

Modus operandi terorisme belakangan ini dalam penyerangan terhadap sasarannya sudah berubah cara - cara kelompok teroris melakukan aksinya kian membabi - buta. Dahulu teroris dalam mengeksekusi korbannya dengan menaruh bom pada suatu tempat di dalam tas ransel atau kardus, pelaku dengan membawa tas dan meledakkan di tempat tertentu, sehingga dirinya menjadi korban, pelaku mengirim paket bungkusan yang didalamnya ada rangkaian bom yang siap

(9)

diledakkan pada waktu yang telah disetting sebelumnya. pelaku datang ke tempat sasaran dengan menembak orang - orang yang dituju seperti pos polisi penjagaan, tempat ibadah, tempat keramaian malam yang banyak dikunjungi wisatawan asing. Kini sasaran teroris lebih menggila dengan menembak pesawat udara yang penult penumpang komersia! - sipil menjadi sasarannya. Bahkan organisasi terorisme secara terang-lerangan menghimpun diri dalam wadah formal dan fulgar seperti ISIS (Islamic of States Iraq and Syira), dengan garang dan brutal menyerang sasaran - sasarannya diberbagai riegara. Dunia menjadi semakin tercengang dan rasa takut yang kian bertambah akan bahaya setiap saat yang mengancam kehidupan dan kenyamanan setiap orang.

Dari fenomena terorisme yang terurai diatas dari perspektif hukum menimbullkan masalah yang perlu dikaji, dikritisi serta dicarikan solusi hukumnya guna pencegahan dan pemberantasannya. Adapun masalah-masalah yang urgen untuk ditanggulangi maupun diberantas (preentif – preventif dan respesif) berupa : Kenapa radikalisme terorisme sulit untuk ditanggulangi / diberantas ? Kenapa tindakan terorisme tergolong ke dalam kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) ? Serta bagaimana strategi yang perlu diantisipasi dan dilakukan dalam pencegahan dan pemberantasan terhadap kelompok radikalisme – terorisme dari perspektif hukum khususnya di Bali ? Serta masalah – masalah lain yang terkait secara langsung dan tidak langsung dengan topik bahan dan kajian yang disajikan.

II. PEMBAHASAN

2.1. Pemahaman Esensi Radikalisme – Terorisme

Secara etimologi radikalisme berasal dari suku kata “radikal” dalam beberapa arti diberikan makna sebagai berikut : “Secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip), amat keras, menuntut perubahan dan sebagainya, maju dalam berpikir atau bertindak”. Dari kata radikal tersebut mendapat akhiran

“isme” yang biasanya diartikan sebagai “paham”, maka radikalisme menurut makna arti kata menjadi “paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau

(10)

pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, juga diartikan pula sebagai “paham atau aliran di politik, sikap ekstrim disuatu aliran politik.5

Kata atau istilah radikalisme bila dihubungkan atau dikaitkan dengan kata / istilah terorisme akan membawa konotasi dari esensi prinsip obyek yang berbeda, radikalisme secara prinsip mengandung makna sebagai suatu paham atua aliran, ada unsur politik, yang dipaksakan dengan kekerasan untuk suatu perubahan yang diinginkannya. Sedangkan teorisme mengandung arti atau makna hampir sama dengan melekat unsur – unsur dari tindak pidana itu seperti tertuang dalam rumusan delik dari Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Teorisme Pasal 6 adanya unsur : Setiap orang, dengan sengaja, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, menimbullkan teror, rasa takut, secara meluas, korban secara massal, korban hilangnya nyawa, korban harta benda, hancurnya fasilitas vital yang strategis.

Dalam Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut tidak ada dirumuskan secara legalistik formal tentang pengertian maupun batasan terorisme tersebut. Maksud pembentuk undang – undang tidak memberikan pengertian maupun batasan secara eksplisit karena luasnya lingkup terorisme itu, perspektif politik hukum mengandung tujuan agar tidak memicu konflik yang meluas ketika dikaitkan dengan anasir agama, ideologi maupun secara factual menghindari kfonlik bernuansa SARA (suku, agama, ras dan antar golongan), mengingat Indonesia pluralisme kondisinya sangat heterogen.

2.2. Sifat Karakteristik, Ciri – Ciri dari Terorisme Perspektif Doktrin dan Konsep Hukum

Sehubungan dengan kualifikasi atau penggolongan bahwa tindak pidana terorisme dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), terhadap hal ini ada beberapa pendapat atau doktrin yang mendukung statement seperti di atas diantaranya :

5 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, balai Pustaka, Jakarta, hlm. 808

(11)

- Abdul Wahid menyatakan : "Terorisme ikut ambil bagian dalam kehidupan.

... dan yang tergolong luar biasa (extra ordinary crime).6 - Nyoman Serikat Putra Jaya menyatakan :

"..,.. pemberian label pada jenis-jenis kejahatan baru atau kejahatan konvensional dengan dimensi baru, seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang. tindak pidana terorisme, ataupun pelanggaran hak asasi manusia yang berat) diberi label extra ordinary crime, yang barang tentu sarana hukum yang ada tidak memadgj untuk menanggulanginya sehingga dibutuhkan extralegal instrument''7

- Dari kalangan praktisi yakni sebagai hakim, Lilik Mulyadi menyatakan bahwa :

"Tindak pidana terorisme dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 Jo UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 Jo UU No. 16 Tahun 2003 dikategorikan sebagai tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime)8

Beberapa pendapat yang memberikan karakteristik dan sifat kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) ini menjabarkan dalam beberapa kriteria seperti dipaparkan berikut ini.

Menurut pendapat Abdul Wahid menyatakan :

Sifat dan karakteristik sebagai ciri dari tindak pidana terorisme. Sifat dari terorisme/tindak pidana terorisme nampak seperti hal-hal berikut :

- Kejahatan lintas batas negara (interboundary) - Kejahatan terorganisir (organized crimes)

- Kejahatan dilakukan dengan kekerasan (violence crimes) - Kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)

- Kejahatan beragam (varied)

- Kejahatan yang canggih (sophisticated)

- Kejahatan/tindak pidana internasional (international crime) - Memiliki jaringan luas dan sebagainya

6 Wahid Abdul. Sunardi, Imam Sidik Muhammad, 2004, Kejahatan Terorisme (Perspektif Agama, HAM dan Hukum), Refika Aditama, Bandung, hal. 2.

7Serikat Putra Jaya, Nyoman. 2008, Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum Pidana. PT.Citra Aditya Bakti Bandung, hal. 93.

8

(12)

Dari sifat kejahatan terorisme tersebut menampakkan karakteristik sebagai ciri- ciri utamanya adalah :

1. Aksi yang digunakan menggunakan cara kekerasan dan ancaman menciptakan ketakutan publik.

2. Ditujukan kepada negara, masyarakat atau individu atau kelornpok masyarakat tertentu;

3. Memerintah anggota-anggotanya dengan cara terror juga;

4. Melakukan kekerasan dengan maksud untuk rnendapat dukungan dengan cara yang sistematis dan terorganisir.9

Disamping ciri-ciri tersebut diatas terorisme dalam menjalankan aksi tindakannya tampak adanya tindakan-tindakan dengan bentuk :

- Mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.

- Serangan sasaran tanpa memandang korban dari segi ras, etnis, agama, waktu dan tempat (tempus delicti dan locus delicti)

- Aksi teror menimbulkan rasa takut berkepanjangan, dan lain-lainnya.

Tindak pidana terorisme sebagai kejahatan yang kualifikasinya khusus memiliki karakteristik atau menampakkan sifat-sifat yang khas atau khusus berbeda dengan tindak pidana umum lainnya. Hal tersebut dinyatakan oleh beberapa pendapat kalangan doktrina seperti :

Soeharto menyatakan bahwa : "Sifat dan terorisme / tindak pidana terorisme nampak dengan karakteristik seperti berikut :

a. Kejahatan lintas batas negara (interboundary) b. Kejahatan terorganisir (organized crimes)

c. Kejahatan dilakukan dengan kekerasan (violence crimes) d. Kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)

e. Kejahatan beragam (varied)

f. Kejahatan yang canggih (sophisticated)

9Abdul Wahid. Op. Cit. hal. 32

(13)

g. Kejahatan / tindak pidana internasonal . h. Memiliki jaringan mas dan sebagainya10

Sedangkan menurut pandangan dari Budi Gunawan menyatakan bahwa sebagai berikut :

Dari sifat kejahatan terorisme tersebut menampakkan karakteristik sebagai ciri- ciri utamanya adalah :

1. Aksi yang digunakan menggunakan cara kekerasan dan ancaman untuk menciptakan ketakutan publik.

2. Ditujukan kepada negara, masyarakat atau individu atau kelompok masyarakat tertenru;

3. Memerintah anggota-anggotanya dengan cara terror juga;

4. Melakukan kekerasan dengan maksud untuk mendapat dukungan dengan cara yang sistematis dan terorganisir.11

Disamping ciri-ciri tersebut di alas terorisme dalam menjalankan aksi tindakanya rnenurut A. Dwi Hendro Sunarko tampak adanya tindakan-tindakan dengan bentuk/corak karakteristik seperti:

- Mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.

- Serangan sasaran tanpa memandang korban dari segi ras. etnis, agama, waktu dan tempat (tempus delicti dan locus delicti).

- Aksi teror menimbulkan rasa takut berkepanjangan, dan lain-lainnya.12

Menurut Loudewijk F. Paulus karakteristik terorisme dikelompokkan ke dalam empat macam terdiri dari:

- Pertama, Karakteristik organisasi yang meliputi organisasi, rekrutmen. pendanaan, dan hubungan internasional.

- Kedua, Karakteristik operasi yang meliputi: perencanaan, waktu dan kolusi.

- Ketiga, Karakteristik prilaku meliputi motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan membunuh dan keinginan menyerah hidup-hidup.

10Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Cetakan Pertama, PT. Rafika Aditaina, Bandung, hal. 3.

11A. Dwi Hendro Sunarko, 2006, Terorisme Indonesia, Cetakan 1, Penerbit Pensil 324, Jakarta, hal. 47.

12

(14)

- Keempat, Karakteristik sumber daya meliputi : latihan / kemampuan, pengalaman, perorangan dibidang tehnologi, persenjataan, perlengkapan dan transportasi.13

Sedangkan menurut Oemar Senoadji karakteristik teroris itu adalah :

1. Terutama ditujukan pada soal-soal yang mengertikan untuk diarahkan pada jiwa-jiwa orang tak bersalah yang tidak punya sangkut paut dengan tujuan yang dikehendaki oleh teroris.

2. Terorisme berkehendak untuk memprovosir suatu keadaan tidak pasti apakah ditujukan pada para pejabat ataupun dengan menempatkan bom pada kediaman mereka karena posisi politiknya.14

Pandangan lain tentang karakteristik teroris diberikan oleh Hasnan Habib bahwa karakteristik teroris itu meliputi hal-hal:

1. Pengeksploitasian teror sebagai salah satu kelemahan manusia secara sistematik,

2. Penggunaan unsur pendadakan dan kejutan perencanaan setiap aksi terror, 3. Mempunyai tujuan-tujuan strategi untuk mencapai tujuan politik dan

sasaran-sasaran spesifik pada umumnya.15

Tentang karakteristik teroris tersebut. Abdul Latif mengemukakan pandangannya bahwa ada beberapa unsur sebagai spesifikasi khas seperti :

1. Mernbenarkan penggunaan kekerasan 2. Penolakan terhadap adanya moralitas

3. Penolakan terhadap berlakunya proses politik 4. Meningkatnya totaliterisme

5. Menyepelekan kemauan masyarakat beradab untuk mempertahankan diri.16

Demikian beberapa karakteristik dari tindak pidana terorisme yang dipaparkan dan beberapa kalangan teroritisi yang pada intinya menyiratkan makna bahwa terorisme apapun dalih ataupun alibi yang dilontarkan para pelakunya telap secara hukum dan aspek kehidupan lainnya adalah dilarang serta bertentangan dengan prinsip kehidupan umat manusia.

13Norma Permata Ahmad. 2006, Agama dan Terorisme, Cetakan 1, Penerbit Muhammadjyah University Press, Surakarta, hal. 32.

14 Omar Senoadji, daiam Abdul Latih : Kebijakan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisrre. (Antara Harapan dan Kenyataan), Makalah Workshop tentang Urgensi Amandemen Undang-Undang Anti Terorisme, Yogyakarta, 21-23 April 2003, hal. 9.

15 ibid

16 Ibid

(15)

2.3. Tipologi Terorisme

Adanya predikat extra ordinary crime dari kejahatan terorisme tersebut di atas seperti dipaparkan dari beberapa kalangan ahli maka akan menunjukkan adanya jenis-jenis terorisme yang dibedakan ke dalam beberapa macam, seperti dipaparkan berikut ini dalam uraian selanjutnya.

Menurut Ahwil Lutan, jenis-jenis terorisme dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Irrational Terror, yaitu aksi teror yang- dilakukan oleh orang atau kelompok yang tujuannya kurang masuk akal.

2. Criminal Terror, biasanya dilakukan oleh orang atau kelompok yang tujuannya untuk kepentingan kelompoknya.

3. Political Terror, merupakan kegiatan teror yang dilakukan oleh kelompok atau jaringan yang bertujuan politik.

4. State Terror, adalah aksi teror yang dilakukan oleh penguasa suatu negara terhadap rakyatnya untuk membentuk perilaku dan segenap lapisan masyarakat.17

Mengacu beberapa tipologi atau bentuk aksi terorisme tersebut, maka sebetulnya terdapat tiga bentuk atau tipologi kejahatan terorisme berdasarkan motif yang melatarbelakanginya ataupun tujuan yang hendak dicapai oleh para teroris yaitu :

1. Political Terrorism

Merupakan terorisme yang bersifat politik dimana perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara sistematik, menggunakan pola-pola kekerasan, intimidasi, dan ditujukan terutama untuk menumbuhkan ketakutan dalam suatu masyarakat demi mencapai tujuan- tujuan yang bersifat politik.

2. Criminal Terrorism

Terorisme yang tidak diarahkan untuk tujuan-tujuan politik tetapi dilakukan berdasarkan kepentingan suatu kelompok atau komunitas tertentu dalam memperjuangkan tujuan kelompok atau organisasinya. Kelompok yang termasuk dalam pengertian ini adalah kelompok yang bermotif idiologi, agama, aliran atau mempunyai paham-paham tertentu.

17

(16)

3. State Terrorism

Merupakan kegiatan terorisme yang disponsori oleh negara aau dilakukan atas nama negara yaitu aksi teror yang dilakukan oleh negara terhadap individu atau kelompok-kelompok masyarakat tertentu ataupun terhadap bangsa- bangsa atau negara-negara tertentu.18

Pengklasifikasian tipologi terorisme sebagaimana diuraikan di atas, dimaksudkan untuk mempertegas pemahaman kita terhadap berbagai tipikal terorisme itu sendiri. Aksi terorisme dapat dilakukan oleh siapa saja dengan berbagai corak atau motif yang beragam. Kejahatan terorisme tidaklah identik dengan kelompok yang bermotif idiologi, agama, aliran atau mempunyai motif tujuan politis yang bersifat pragmatis tertentu. Tidak dapat dimustahilkan bahwa kejahatan terorisme dapat pula dilakukan atas nama negara (state terrorism).

Terminologi terorisme masih tetap menjadi feriomena paradoksal dunia hingga sekaraag. Negara-negara Adidaya dan sekutunya selalu menggunakan terminologi ini untuk menstigmatisasikan sejumlah gerakan perlawanan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang dianggap berbahaya bagi kepentingan nasionalnya. Sementara itu, tindakan aneksasi dan agresi milker mereka terhadap sejumlah negara lemah selama ini selalu bersembunyi, di balik alasan hipokratik seperti demi kepentingan keamanan dunia atau kenyamanan dunia dan peradaban manusia. Tindakan negara-negara Super Power itu, sama sekali tidak dianggap sebagai bentuk kejahatan terorisme.

2.4. Paradigma Hukum (Pidana) Dalam Memandang Terorisme

Dalam kaitannya dengan kebijakan pemberantasan tindak pidana terorisme, ada tiga butir paradigma hukum pidana yang patut menjadi bahan pertimbangan yaitu sebagai berikut:

a. Primat Victim's Protection (VP)

Dalam hal ini kebijakan pencegahan dan pemberantasan yang diambil harus mengedepankan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan para korban tindakan teror. Problem ini menyangkut acces to justice, kompensasi, restirusi dan rehabilitas.

18 Ibid

(17)

b. Primat Due Process of Law (DPI)

Untuk pencegahan dan pemberantasan yang dimaksud harus selalu berpedoman secara teguh mengikuti prosedur hukum yang berlaku.

c. Primat Kedaulatan Negara (KN)

Perlindungan atas kedaulatan wilayah negara RI menjadi fakta penting yang mempengaruhi pemerintah dalam mengambil kebijakan legislasi terkait usaha pencegahan dan pemberantasan, Keutuhan dan kedaulatan negara di mata dunia intemasionaJ harus diutamakan di atas faktor vang lain.19

Ketiga paradigama utama di atas, tentunya harus dikendalikan pada proporsi yang sebenarnya. Pernerintah kita harus mengambil hikmah dengan terjadinya tragedi Bom Bali, dan tragedi-tragedi lainnya di Indonesia.

Demikian antara lain beberapa pandangan / pendapat dari para ahli yang memandang dan memasukkan penggolongan tindak pidana terorisme ke dalam bentuk kejahatan yang luar biasa (extra ordimary crime) dengan segala kekhususan serta dimensi yang ditimbulkannya.

Penulis dalam hubungan label kejahatan terorisme dengan sebutan kejahatan yang luar biasa (extrq ordinary crime), memiliki asumsi-asumsi pula kenapa kejahatan terorisme dimasukkan ke dalam kualiflkasi khusus dan memiliki kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan jenis kejahatan lainnya menurut penulis adalah tepat kejahatan / tindak pidana terorisme masuk dalam lingkup spesifikasi kejahatan luar biasa (extra ordimary crime) sebagai akibat fakta-fakta faktual dan fenomena-fenomena yang memandang tindak pidana terorisme mcnampakkan ciri-ciri / kriteria khusus

Menurut pendapat penulis dalam memandang terorisme perspektif hukum baik khususnya segi hukum pidana materiil maupun hukum pidana formal (hukum acar) untuk langkah pencegahan / penanggulangan (preentif – peventif) maupun langkah pemberantasan (represif) diperlukan pola penanganan terpadu (integral action) dari semua pihak. Melihat karakteristik dan sifat terorisme sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), bahkan terorisme tergolong pula sebagai kejahatan terselubung (hidden crimes) yang bersentuhan langsung dengan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity).

19

(18)

Dalam penegakan hukumnya (law enforcement) memang mesti dilakukan dengan proses hukum berkeadilan (due process of law) dengan tetap menjunjung tinggi prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Tetapi juga dengan pertimbangan kepentingan keselamatan dan ketertiban umat manusia yang lebih luas. Kebijakan penal dan non penal melalui tindakan diskusi (discretionary power) oleh penegak hukum menjadi skala prioritas karakteristik teorisme sangat exseptional dan menjadi musuh umat manusia di seluruh muka bumi.

III. LANGKAH ANTISIPATIF DAN PEMBERANTASAN TEORISME BAGI BALI

3.1. Urgennitas Kenyamanan dan Ketertiban dari Aksi Teorisme Bagi Bali Pulau Bali dengan berbagai pujian dan sanjungan oleh insan di seluruh muka bumi karena keindahan alamnya, karena kerukunan budaya yang dijiwai oleh nafas filosifi Hindu, begitu pula keramahtamahan penghuninya sehingga kenyamanan, ketentraman, kerukunan antar sesama sejak dahulu tersohor ke seluruh seantero dunia. Semua fenomena kehidupan tadi menyangkut keamanan dan ketentraman yang dahulunya bisa didapat oleh setiap orang yang menginjakkan kai di bumi seribu pura sirna dalam tahun 2002, peristiwa tersbeut membawa Bali di mata dunia menjadi monumental yang mengaketkan bercampur antara keprihatinan penduduk dunia, rasa marah terhadap para otak penggagas pengeboman, sekaligus rasa benci dan mengutuk para pelakunya.

Sektor kehidupan andalan Bali yang utama adalah pariwisata paling di depan merasakan dampak keterpurukan, apalagi belum lama berselang muncul lagi peristiwa Bom Bali II pada tanggal 1 Oktober 2005, diawali pula peristiwa Tragedi Pengeboman terhadap World Trade Centre (WTC) dan pusat pertahanan keamanan Pentagon Amerika Serikat pada 11 September 2001 membawa dampak pula yang memperpuruk lagi kunjungan para wisatawan antar benua dalam mobilitasnya lintas wisata melakukan berbagai jenis aktivitasnya. Bali khususnya secara langsung dan tidak langsung menerima dampak kerugian bila di suatu daratan benua tertentu terjadi tragedi kekacauan. Membuat manusia pecinta alam

(19)

ataupun kegiatan kehidupan lain sepreti sektor ekonomi dan pendidikan menjadi terganggu.

Lebih – lebih belakangan ini kelompok radikal yang terhimpun dalam organisasi – organisasi tertentu berkedok missi agama tertentuk, kelompook yang benci dengan simbol – simbol dunia barat secara terang – terangan melancarkan aksinya membabi – bubat dengan terus merobah strategi modus operandi dalam melancarkan serangan terhadap obyek sasarannya pelaku-pelaku inilah yang diberi nama para teroris dengan dibungkus paham terorisme.

Bagi masyarakat bali khususnya insan yang memeluk dan menganut agama Hindu dalam kehidupan sehari-harinya dilandasi oleh prinsip filosofi Tri Hita Karana dan Tatwam Asi Guna tercapainya kedamaian, ketentraman, kenyamanan, kerukunan antar dan inter pribadi antar sesama tanpa membedakan suku, ras, asal – usul, agama maupun kebangsaan, demi tercapainya kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat.

Filosofi kehidupan ajaran Tri Hita Karana mengandung esensi selalu setiap saat manusia menjaga dan melaksanakan komunikasi harmnisasi antara manusia dengan pencipta-Nya, antara manusia yang satu dengan sesamanya, antara manusia dengan lingkungannya. Maksud sasaran menjaga semua prinsip tadi guna tercapainya keharmonisan kehidupan untuk mencegah dan memberantas disharmonisasi antar sesama dan setiap struktur kehidupan, bukan untuk saling menyakiti apalagi keinginan menyiksa antar sesama umat manusia. Begitu pula ajaran filosofi hidup prinsip Tat – Wam – Asi dengan makna saja adalah bahwa antar sesama adalah sama, bukan untuk saling menyakiti atau mencelakakan orang atau mansia lain dengan dalil tertentu apalagi berkedok perjuangan umat atau ideologi tertentu yang menyesatkan dan menyengsarakan manusia lainnya.

III. LANGKAH ANTISIPATIF TERHADAP RADIKALISME TERORISME DI BALI

3.1. Konsep Pencegahan Penanganan Teorisme Secara Terpola

Guna pencegahan dan pemberantasan teorisme untuk masuk ke Bali

(20)

1. Preemtif 2. Preventif 3. Represif

1. Bentuk Preemtif

Segenap komponen keamanan di Bali baik kalangan pemerintah menyangkut penegak hukum mulai kepolisian, kejaksaan yang didukung oleh kalangan militer (Tentara Republik Indonesia / TNI AD, AU dan AL) beserta komponen pendukung keamanan lokal serta masyarakat secara terpaud dan berkelanjutan (outinitas) melakukan usaha berupa tindakan konkret dalam wujud :

a. Penanaman nilai-nilai moral keagamaan yang dilakukan dalam bentuk ceramah / sosialisasi oleh organisasi keagamaan yang terhimpun dalam forum kerukunan antar umat beragama yagn telah terbentuk di Bali, diberikan pada krama banjar / lingkungan disetiap desa di Bali.

b. Menghidupkan kembali pendidikan Pancasila di sekolah tingkat dasar hingga Sekolah Menengah Atas, erta pada lapisan masyarakat krama / penduduk yang ada di Bali dengan bentuk ceramah-ceramah atau darma wacana oleh instansi terkait seperti instansi terkait pada moment – moment keagamaan seperti dilakukan di pura – pura besar, gereja – gerjea serta masjid – masjid di seluruh Bali.

c. Pihak kejaksaan khususnya secara rutin dan cermat mengawasi aliran kepercayaan apapun dalil dan bentuknya yang muncul dan kemungkinan berkembang di Bali

d. Patut mencurigai orang-orang atau penduduk pendatang yang masuk ke Bali, dengan atribut – atribut tertentu, dalil tertentu seperti mendompleng misi agama, misi kesehatan, mis kemanusiaan, misi donatur / menyumbang, misi peduli masyarakat miskin dan lain-lain dengan mendatangi secara ketat oleh pihak keamanan, seperti kepolisian dan aparat lokal terbawah di lingkungan desa / banjar dimana kedapatan orang dimaksud.

(21)

e. Menyangkal adanya indikasi masuknya paham asing atau ideologi selain ideologi Pancasila dengan kedok misi paham seolah-olah sama dengan ideologi Pancasila.

2. Bentuk Preventif

a. Pihak keamanan terkait menjaga secara ketat dan rutin setiap saat penduduk pendatang yang akan masuk ke Bali di pintu – pintu masuk strategis seperti bandara (pelabuhan udara), pelabuhan laut atau pesisir laut yang memungkinkan kapal / perahu bisa berlabuh

b. Aparat desa terbawah melalui kerjasama dinas kependudukan mendata setiap saat penduduk atau warga baru yang bermukim di lingkungannya, dengan mengidentifikasi identitas mereka, tujuan datang / tinggal di Bali apa, pekerjaannya apa, berapa lama tinggal, serta tinggal bersama siapa.

c. Pihak kepolisian selaku garda keamanan terdepan tidak memberikan seseorang bekas / eks narapidana teroris atua pernah terlibat indikasi perbuatan / tindak pidana yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kasus terorisme biak pernah dilakukan di luar negeri (negara asing) apalagi pernah melakukannya di dalam negeri (Indonesia).

d. Aparat keamanan terpadu dibawah kendali Densus Anti Teror 88 di Daerah (Bali) bersama tokoh / pemuka agama setiap agama yang ada di Blai perlu membuat komitmen bersama untuk mengijinkan pada momen- moment keagamaan di masing-masing (pura – masjid – gereja – klenteng – mushola) aparat / petugas keamanan dimaksud memasuki tempat – tempat suci / ibadah tersebut secara bersama – sama yang dihadiri masing-masing umatnya, guna memberikan ceramah-ceramah tentang bahaya akan terorisme tersebut. Serta oleh pemuka / tokoh agama setempat ikut memberikan siraman rohani sesuai agama dan kepercayaan mereka yang berbasis kepada ajaran Ketuhanan, kebenaran, dan moral serta menjauhkan diri dari tendensi-tendensi radikalisme yang sesat dan menyesatkan umat manusia apapun agama mereka.

(22)

3. Bentuk Represif

Adapun bentuk represif dimaksudkan dalam penanganan radikalisme – teorisme sudah berupa tindakan akhir (primum remidium), karena usaha pencegahan / penanggulangan sudah tidak berhasil dilakukan. Maka ranah hukum khususnya hukum pidana (material dan hukum formil) sudah bersifat cara terakhir dalam mengatasi aksi teror yang muncul (ultimum remidium).

Bentuk pemberantasan menurut hukum khususnya hukum pidana, dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yakni usaha kebijakan hukum pidana (criminal policy) seperti :

a. Usaha penegakan hukum / pemberantasan secara penal

Dalam pemberantasan radikalisme – teorisme secara hukum pidana (hukum pidana materiil dan hukum formil / acara piadna), dalam pemberantasannya mesti ditempuh dengan cara-cara seperti berikut : 1. Penegak hukum tetap bertindak menjunjung tinggi asas legalitas dan

asas praduga tidak bersalah (presumption on innocence)

2. Penyidik (Densus 88 Anti Teror) dalam melakukan tindakan upaya paksa (penangkapan, penggeledahan, penahanan) sesuai kewenangan atributif yang diberikan oleh undang-undang dalam menjalankan tugasnya dalam memproses pelakunya tidak diskriminatif dan tetap bertindak dibawah kendali Hak Asasi Manusia (HAM).

3. Pihak kejaksaan dalam mendakwa menuntut pelaku teror selalu cermat, jelas, lengkap dan maksimal.

4. Hakim dalam memutus pelaku teror, menjatuhkan pidana maksimal sesuai yang diatur dalam undang-undang teorisme

5. Dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan persidangan bagi pelaku teorisme tidak perlu diberikan penanggulangan penahanan.

6. Bagi narapidana teorisme pihak Dep Kum Ham tidak perlu memberikan remisi ataupun bebas bersyarat

7. Presiden tidak perlu memberi grasi bagi terpidana terorisme

(23)

8. Menurut penulis pula bahwa proses peradilan bagi tersangka / terdakwa kasus terorisme cukup diproses hingga pemeriksaan di tingkat banding (Pengadilan Tinggi)

9. Dalam arti prsoes peradilan bagi terdakwa terorisme tidak diperlukan upaya hukum kasasi, Peninjauan Kembali (PK) apalagi grasi sebagai hak prerogatif presiden

b. Usaha penegakan hukum / pemberantasan secara non penal

Sebagai bentuk tindak lanjut pemberantasan terorisme secara non penal (di luar hukum pidana) dapat dilakukan dengan cara-cara antara lain :

1. Para narapidana teorisme ditempatkan khusus pada lembaga pemasyarakatan yang hanya dihuni oleh narapidana terorisme

2. Bangunan lembaga pemasyarakatan khusus narapidana terorisme tersebut ditempatkan pada lokasi terpencil yang dibatasi oleh lautan (seperti Nusa Kambangan).

3. Perlu dibaut aturan khusus adanya pelarangan bagi keluarga teroris melakukan kunjungan ke lembaga pemasyarakatan tempat narapidana ditahan

4. Bagi narapidana teroris yang telah bebas menjalani pemindanaannya diradikalisan secara ketat dibawah pengawasan aparat khusus

5. Penjualan bahan-bahan kimia untuk indikasi pembuatan senjata / bom mesti berijin secara ketat dan orang sembarangan tidak boleh mendapatkannya.

6. Di setiap agama yang diakui sah dan berada di Indonesia mesti terdaftar organisasi – organisasi keagamaan / aliran yang dipandang layak dan legal untuk diikuti / diyakini oleh masing-masing pemeluknya

7. Di setiap Desa Pekraman / Desa Adat di wilayah Bali pada setiap awig-awig tertulisanya / kesepakatan tidak tertulis dinyatakan bahwa tidak menerima penduduk pendatang sementara maupn tinggal

(24)

menetap di lingkungannya bagi bekas narapidana terorisme atau masih aktif kelompok radikal tersebut.

V. PENUTUP 4.1. Simpulan

Dari paparan atas “Strategi Penanggulangan dan Pemberantasan Radikalisme – Terorisme Perspektif Hukum di Bali”, dapat disarikan hal-hal seperti berikut :

1. Penanggulangan terhadap radikalisme – terorisme lebih sulit dibandingkan upaya pemberantasannya. Radikalisme dilakukan secara terselubung (gerakan dibawah tanah) dengan menjastifikasi paham / aliran tertentu dengan berlindung di balik kedok ideologi / agama tertentu.

2. Radikalisme – terorisme sulit ditanggulangi dan diberantas karena tergolong tindak pidana terselubung (hidden crimes) dengan aksi yang mereka lakukan tidak jelas waktu dan sasarannya

3. Tindak pidana terorisme tergolong ke dalam kualifikasi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan kejahatan kemanusiaa (crime against humanity), tanpa memandang korbannya bersalah atau tidak atau terorisme menarget siapa dan untuk siapa

4. Dalam memberantas tindak pidana terorisme perlu cara-cara luar biasa (extra ordinary power) dengan menyimpangi asas-asas kebijakan hukum umum, namun dengan tindakan kebiajkan hukum pidana (discretionary power) karena dampak tindakan terorisme selalu dilakukan dengan ancaman dan kekerasan secara tidak biadab dan telah ditetapkan terorisme sebagai musuh umat manusia

5. Bagi Bali demi keamanan dan keajegan peninggalan warisan budaya bernafaskan ajaran filosofi Hindu agar tetap lestari lingkungan budayanya serta insan penduduk yang mendiami pulau Dewata ini pencegahan / penanggulangan serta pemberantasan akan radikalisme – terorisme untuk masuk ke Bali perlu ditanggulangi dan diberantas secara terpadu dan

(25)

berkelanjutan oleh aparat terkait bersama semua komponen masyarakat Bali, agar tidak lagi terjadi peristiwa berseri pengeboman oleh teroris di Bali ini.

4.2. Saran

1. Agar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ditingkatkan statusnya menjadi Komisi Naisonal Pemberantasan Terorisme untuk lebih luasnya wewenang dan tugas yang diembannya.

2. Agar Undang – Undang Pemberantasan Teorisme Nomor 15 Tahun 2003 (ex Perppu Nomor 1 Tahun 2002) direvisi untuk lebih memperluas kewenangan aparat penegak hukum terkait dalam memberantas terorisme

3. Agar pintu-pintu masuk Bali yang strategis seperti bandara, pelabuhan laut, pesisir pantai dijaga ketat secara rutin guna menyaring penduduk pendatang untuk masuk ke Bali, dengan melibatkan aprat terkait seperti Kepolisian, TNI dan organsiasi pengamanan lokal - tradisional yang dimiliki masyarakat Bali 4. Agar aparat keamanan desa / lingkungan / desa pakraman di Bali tidak

menerima penduduk pendatang bermukim di Bali dengan tujuan dan identitas tidak jelas dan pasti

(26)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Ali Bin Husein Abu Lauz 2005, Terorisme Buah Basil Paham Pengkapiran, Cetakan Pertama, Penerbit: Pustaka Ar Rayyam, Solo.

Asy Syikh Saleh bin Fauzan, 2005, Terorisme Bukan Jihad (Upaya Meluruskan Pemahaman Yang Keliru Tentang Jihad, Cetakan Pertama, Penerbit Pustaka Ar Rayyan, Solo.

Bambang Abimanyu, 2005, Teror Bom di Indonesia, Cetakan Pertama, Penerbit Republika - Jakarta.

______, 2006, Teror Bom (Azahari-Noordin), Cetakan Pertama, Penerbit : Republika - Jakarta.

Budi Gunawan, 2006, Terorisme Mitos dan Konspirasi, Forum Media Utama, Palmerah Barat, Jakarta.

Dharma Palguna, IBM. (Editor), 2006, "Bom Teroris dan Bom Sosial" Narasi dari Balik Harmoni Bali Perspektif Korban dan Relawan, Cetakan Pertama, Penerbit Kanaivasu Press. Denpasar.

Dwi Hendro Sunarko A, 2006, Ideologi Teroris Indonesia, Cetakan Pertama, Penerbit Pensil 32.4, Jakarta.

Farouk Muhammad, 2006, Buku Putih Bom Bali Peristiwa dan Pengnngkapan, Cetakan ke-2. Penerbit Pensil 324, Jakarta.

King Faisal Sulaiman, 2007, Who is the Reall Terrorist ? Menguak Mitos Kejahatan Terorisme, El Mutera Publishing, Yogyakarta

Lilik Mulyadi, 2007, Peradilan Bom Bali, Jambatan, Jakarta

Lukman Hakim, 2004, Terorisme di Indonesia, Edisi Pertama, Penerbit : Forum Studi Islam (FSIS), Surakarta.

Manullang. AC., 2006, Terorisme dan perang In f el if en Behaupting Ohne Beweis (Dugaan Tanpa Bukti), Cetakan Kedua, Penerbit: Manna Zaitun, Jakarta.

Nasir Abas, 2007, Melawan Pemikiran Bom-Imam Samudra dan Nordin M. Top, Cetakan I, Penerbit Grafindo Khasanah Ilmu, Jakarta.

(27)

Norma Permata Ahmad, 2006, Agama dan Terorisme, Cetakan Pertama, Penerbit : Muhammadiyah University Press, Surakarta.

Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, 2003, Langkah - Langkah Penyidikan Ilmiah Kasus Bom Bali, Jakarta

Sadji Aldjari, dkk, 2004, Buku Putih Bom Bali Peristiwa dan Pengungkapan, Cetakan Pertama, Penerbit: Pensil 324, Jakarta.

Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Cetakan I/ Pertama, Penerbit: PT. Refika Aditama, Bandung.

Wahid Abdul, Sunardi. Imam Sidik Muhammad, 2004, Kejahatan Terorisme (PerspektifAgama, HAM, dan Hukum), Cetakan Pertama, Penerbit : PT.

Refika Aditama, Malarig.

Wibowo Ari, "2012, Hukum Pidana Terorisme, Kebijakan Formulatif Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta

Wahid Abdul, Sumardi, Imam Sidik Muhammad, 2004, Kejahatan Terorisme (PerspektifAgama, HAM danHukum), Refika Aditama, Bandung

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU RI No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Lembaran Negara RI Tahun 2002 No. 106, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4232

UU RI No. 16 Tahun 2003 Tentang Pemberlakuan Atas UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Terorisme Untuk Peristiwa Bom Bali, Lembaran Negara RJ Tahun 2003 No. 46, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4285

UU RJ No. 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Tentang Masalah Pidana, Lembaran Negara RJ Tahun 2006 No. 18, Lembaran Negara RI No. 4607

UU RI No. 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Lembaran Negara RJ Tahun 2003 No. 50, Tambahan Lembaran Negara RJ No. 5406.

UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, Lembaran Negara RJ Tahun 2002 No.

108, Tambahan Lembaran Negara RJ No. 4234

(28)

UU RJ No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 165, Tambahan Lembaran Negara RJ No. 3886.

UU RJ No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Lembaran Negara RI Tahun 2000 No. 208, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4026.

UU RI No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaran Negara RI Tahun 2014 No. 293, Tambahan Lembaran Negara RI No.

5602.

PP RI No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Lembaran Negara RI Tahun 1981 No. 76, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3209

PP RI No. 24 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme, Lembaran Negara RI Tahun 2002 No. 52, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4290.

PENPRES RI No. 2 Tahun 1964 Jo UU No. 5 Tahun 1969 Tentang Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.

PERPRES RI No. 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

PERPPU RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan PERPPU RI No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002, Lembaran Negara RI Tahun 2002 No. 107, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4233.

KAMUS, MAJALAH, ENSIKLOPEDIA, JURNAL, TABLOID, ARTIKEL

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997, Kamus Umum Bahasd Indbensia, Balai Pustaka, Jakarta

Joni Santoso M., 2003, Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana (Artikel Harian Tempo) dimuat pada tanggal 27 Oktober 2003, hal. 1 - 2

LCKI (Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia), 2006, Terorisme Menarget Siapa, (Jurnal Edisi I, Th ke 1 , Penerbit : LCKI, Jakarta.

(29)

CURRICULUM VITAE

Nama : Dr. I Gede Artha, SH., MH

Tempat / Tgl. Lahir : Bungaya – Karangasem, 27 Januari 1958 Alamat : Perum. Taman Mahayu II/18 Denpasar

Telp. (0361) 410 786 / HP. 081 338 331 212 Pekerjaan : PNS / Dosen FH Unud

Staf Pengajar di S1, S2, S3 dan Prog. Notariat Unud Pendidikan : S1 Jurusan Hk Pidana FH Unud Th. 1984

S2 Jurusan Hk Pidana Prog. Pascasarjana Unud S3 Jurusan Program Doktor Ilmu Hukum Univ. Brawijaya Malang Th. 2012

Jabatan : 1. Sebagai Ketua Bagian Hk Acara FH Unud (2000 – 2006)

2. Sebagai Tim Ahli Hukum Rektorat Unud (2000 – Sekarang)

3. Sebagai Ketua Kerjasama Perekaman Sidang Tipikor Kerjasama FH Unud dengan KPK

4. Sebagai Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum Unud (2012 – Sekarang)

5. Sebagai Wakil Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi FH Unud (2013 – Sekarang)

6. Sebagai Hakim Ad – Hoc Advokat Dewan Pimpinan PERADI Cabang Denpasar (Sejak 2016 sebagai 2019)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dan teori pemasaran yang telah dikaji kemudian akan dijadikan landasan untuk dapat mengetahui segala kebutuhan, keinginan dan permintaan target sasaran

Berita bahasa Aceh yang disiarkan pada Aceh TV memiliki keterkaitan terhadap komunikasi budaya dilihat dari fungsi dan peran televisi lokal dalam pemberitaannya

(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai, Kepala Kantor Pabean atas nama Menteri menerbitkan keputusan mengenai pembebasan bea masuk dan/atau

Dengan menggunakan metode SPT ( Short Processing Time) terlihat bahwa ada empat pekerjaan terlambat dengan keterlambatan maksimum sebesar 139 hari, waktu

Pendamping Desa di Desa Pugung Raharjo sudah terselenggara dengan baik, berbagai program kerja seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan

[r]

Hasil pembacaan alat kemudian dibandingkan dengan luxmeter tipe L200 pada kondisi yang mirip saat pada proses kalibrasi alat kemudian digambarkan dalam bentuk grafik

Hasil wawancara yang dilakukan pada bulan april 2017 di Puskesmas Klampis didapatkan jumlah penderita tuberkulosis paru pada tahun 2016 sebanyak 151.Salah satu