• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "BAB III"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Hukum Tentang Pelaksanaan Peradilan In Absentia di Indonesia

Sistem peradilan pidana pada dasarnya merupakan suatu proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana mulai dari tahap penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian, tahap penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, sampai pada pemeriksaan di depan sidang pengadilan oleh hakim untuk memutuskan terbukti atau tidaknya seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, hingga sampai pada pembinaan seseorang jika terbukti bersalah di Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini merupakan suatu sistem dalam penyelesaian kasus atau perkara tindak pidana. Keterkaitan antara masing-masing lembaga penegak hokum bertujuan untuk menegakan hukum pidana baik artian formil maupun materiil.

Penegakan hukum pidana tidak hanya dimaksudkan untuk memproses penyelesaian kejahatan yang cepat, berbiaya murah dan transparan, akan tetapi juga memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia serta memberikan jaminan keseimbangan antara kepentingan hukum dan kepentingan terdakwa. Oleh karena itu, penegak hukum selalu mendasari tindakan atau perbuatannya pada aturan hukum yang berlaku sebagai konsekwensi dari penetapan Negara Indonesia sebagai Negara hukum.

Hukum menjadi instrumen menguji seluruh tindakan dimaksud serta menjadi

(2)

instrumen perlindungan terhadap hak dan kewajiban kepentingan seluruh warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk proses pemeriksaan terdakwa dalam proses persidangan.

Soedikno Mertokusumo mengatakan bahwa hukum berfungsi sebagai pelindung kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindung, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, dapat pula terjadi ketika pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum terjadi ketika subjek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan atau karena melanggar hak-hak subjek hukum lain.1 Hukum mengatur bagaimana proses penegakan hukum terhadap seseorang yang di duga melakukan tindak pidana mulai dari tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan persidangan pengadilan. Seluruh proses dimaksud diatur oleh aturan hukum serta harus dilaksanakan menurut aturan hukum yang berlaku.

Pada umumnya, proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana didasarkan pada UU No. 8 Tahun 1981 sebagai ketentuan hukum formil yang mengatur tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan persidangan pengadilan kepada seseorang yang di duga melakukan tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum materil kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang tertentu sebagaimana ketentuan Pasal 284 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 bahwa dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan

1 Soerjaono Soekanto, Penegakan Hukum, 1983, Bina Cipta, Bandung, Hal 143.

(3)

ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang- undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pengaturan dalam ketentuan dimaksud UU No. 8 Tahun 1981 menjadi dasar dilakukannya penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai pada pemeriksaan di pengadilan. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan peradilan In Absentia, penulis menelusuri pengaturan dalam UU No. 8 Tahun 1981 apakah terdapat ketentuan yang menjadi dasar dilakukan peradilan In Absentia dimaksud terhadap pelaku tindak pidana

Namun menurut penulis bahwa tidak terdapat satu pasal dalam UU No. 8 Tahun 1981 yang mengatur tentang peradilan In Absentia terhadap pelaku tindak pidana. Akan tetapi hanya terdapat ketentuan dalam UU No. 8 Tahun 1981 yang mengatur mengenai peradilan In Absentia terhadap pelanggaran lalu lintas. Artinya bahwa pengaturan dalam UU No. 8 Tahun 1981 hanya berlaku bagi pelanggaran lalu lintas, tidak berlaku bagi tindak pidana pada umumnya.

Oleh karena itu, penulis sengaja menyebutkan beberapa pasal yang mengatur mengenai pemeriksaan terdakwa di pengadilan tanpa hadirnya terdakwa, namun ketentuan dimaksud tidak dapat menjadi dasar untuk dikatakan sebagai proses peradilan In Absentia terhadap pelaku tindak pidana, seperti Pasal 154 ayat (5) UU No. 8 Tahun 1981 mengatur bahwa jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir

(4)

pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan.

Hal ini menunjukan bahwa apabila terdakwa dugaan tindak pidana lebih dari satu orang dan semuanya tidak hadir pada waktu pemeriksaan dipengadilan maka proses pemeriksaan dapat dilakukan, namun menurut penulis bahwa ketentuan ini tidak dapat dikatakan sebagai proses peradilan In Absentia, karena ada kehadiran terdakwa lain dalam persidangan untuk kepentingan pemeriksaan pada waktu itu. Artinya terdapat terdakwa lain yang hadir dalam proses pemeriksaan pada pengadilan.

Terdakwa yang tidak hadir pada persidangan dimaksud, pada persidangan yang berikutnya hakim ketua sidang memerintahkan penuntut umum untuk menghadirkan terdakwa yang tidak hadir pada persidangan sebelumnya untuk dihadirkan dan bahkan dapat dilakukan upaya paksa. Hal tersebut diatur dalam Pasal 154 ayat (6) UU No. 8 Tahun 1981 yang mengatakan bahwa hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya. Dalam hal terdakwa setelah diupayakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dihadirkan dengan baik, maka terdakwa dapat dihadirkan dengan paksa. Kehadiran terdakwa di sidang merupakan kewajiban dari terdakwa, bukan merupakan haknya, jadi terdakwa harus hadir di sidang pengadilan.

Pengaturan dalam 154 ayat (6) UU No. 8 Tahun 1981 tidak dapat dikatagorikan sebagai peradilan In Absentia. Menurut Abdul Rahman Saleh,

(5)

bahwa peradilan In Absentia merupakan peradilan dimana terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, sehingga pengadilan melaksanakan pemeriksaan pengadilan tanpa kehadiran terdakwa.2

Selain itu, dalam ketentuan pasal 196 ayat (2) UU No. 6 Tahun 1981 mengatur bahwa dalam hal terdapat lebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada.

Namun setelah diucapkan putusan tersebut berlaku baik bagi terdakwa yang hadir maupun yang tidak hadir. Hal ini bermaksud melindungi kepentingan terdakwa yang hadir dan menjamin kepastian hukum secara keseluruhan.

Dengan pemberitahuan ini dimaksudkan supaya terdakwa mengetahui haknya.

Berdasarkan pengaturan dimaksud maka ketidakhadiran terdakwa dimaksud dalam ketentuan tersebut bukan dalam proses pemeriksanaan namun dalam proses pembacaan putusan, meskipun pembacaan putusan merupakan bagian dari pemeriksaan terdakwa di pengadilan tetapi terdapat terdakwa lain yang hadir dalam proses pembacaan putusan itu, sehingga terdapat terdakwa lain terwakili. Pengaturan dalam ketentuan dimaksud memiliki hubungan dengan pengaturan dalam ketentuan pasal 154 ayat (5) UU No. 8 Tahun 1981 bahwa jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan.

2 Abdul Rahman Saleh, Bukan Kampong Maling, Bukan Desa Ustazd, Jakarta:kompas media nusantara,2008, hal 208

(6)

Selanjutnya ketentuan Pasal 176 UU No. 8 Tahun 1981 mengatur bahwa

(1) Jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu tidak diindahkan ia memerintahkan supaya terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang, kemudian pemeriksaan perkara pada waktu itu dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa.

(2) Dalam hal terdakwa secara terus menerus bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang mengusahakan upaya sedemikian rupa sehingga putusan tetap dapat dijatuhkan dengan hadirnya terdakwa.

Menurut penulis bahwa ketidakhadiran terdakwa sebagaimana dimaksud dalam pengaturan diatas karena dikeluarkan oleh hakim sebagai akibat menunjukan etika yang tidak baik dalam persidangan, bukan ketidakhadiran sebelum pemeriksaan perkara.

Dalam ketentuan pasal 214 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 mengatur bahwa :

1. Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan.

2. Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera disampaikan kepada terpidana.

Ketentuan dimaksud merupakan pengaturan mengenai Acara Pemeriksaan Cepat dalam tindak pidana ringan dan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan, sesuai ketentuan dimaksud maka jika terdakwa atau kuasanya tidak hadir dipersidangan maka pemeriksaan perkara dapat dilakukan.

Perkara yang diperiksa menurut acara pemeriksana tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga

(7)

bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan.3

Dalam ketentuan Pasal 213 UU No. 8 Tahun 1981 mengatur bahwa Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang. Selanjutnya ketentuan pasal Pasal 214 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 mengatur bahwa

(1) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan.

(2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera disampaikan kepada terpidana.

Hal ini berbeda dengan pemeriksaan menurut acara biasa yang mewajibkan terdakwa harus hadir dalam persidangan meskipun telah memberikan kuasa. Pada pemeriksaan menurut acara pemeriksaan perkara tindak pidana ringan dan pelanggaran lalu lintas jalan, terdakwa boleh diwakilkan dalam pelaksanaan persidangan. Oleh karena itu, dalam UU No. 8 Tahun 1981 tidak mengatur secara jelas mengenai pelaksanaan peradilan In Absentia terhdap terdakwa tindak pidana, kecuali terhadap pemeriksaan perkara tindak pidana ringan dan Pelanggaran Lalu Lintas Jalan yang dilakukan dengan pemeriksaan acara Cepat sebagaimana diatur dalam

Namun apabila berdasar pada pengaturan dalam Pasal 38 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 yang mengatur bahwa dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.

3 Pasal 205 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981

(8)

Sesuai penjelasan ketentuan pasal 38 ayat (1) dijelaskan bahwa ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan Negara sehingga tanpa kehadiran terdakwapun, perkara dapat diperiksa dan diputuskan oleh hakim. Hal ini menunjukan bahwa UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 menghendaki pelaksanan peradilan In Absentia yang bertujuan untuk menyelamatkan kekayaan Negara.

Selanjutnya dalam Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, mengatur bahwa dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.

Dalam penjelasan Pasal 79 ayat (1) dijelaskan bahwa Ketentuan ini dimaksudkan agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dalam pelaksanaan peradilannya dapat berjalan dengan lancar, maka jika terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara tersebut tetap diperiksa tanpa kehadiran terdakwa.

Sesuai pengaturan sebagaimana sebutkan menjadi dasar untuk dilakukan peradilan In Absentia, namun dapat dikatakan bahwa UU No. 8 Tahun 1981 tidak mengatur secara jelas mengenai pelaksanaan peradilan dimaksud kecuali terhadap perkara tindak pidana ringan dan pelanggaran lalu lintas yang diperiksa dengan acara cepat namun pelaksanaan dimaksud diatur

(9)

dalam 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU No 20 Tahun 2001 maupun UU No. 8 Tahun 2010. Itu berarti tujuan dari kedua UU dimaksud lebih menekankan pada menyelamatkan kekayaan Negara. Dengan demikian pelaksanaan peradilan In Absentia dapat dilakukan dalam pemeriksaan terdakwa di pengadilan dalam rangka menegakan hukum terkait dengan perbuatan yang dilakukan oleh seorang terdakwa namun dikhususkan terhadap perkara pelanggaran lalu lintas, dan perkara Tindak pidana korupsi.

B. Pemeriksaan Terdakwa Tindak pidana korupsi pada peradilan In Absentia Dalam Kaitannya dengan HAM.

Setiap terdakwa haruslah diperiksa dan didengar keterangannya serta diberi kesempatan untuk membela diri di muka persidangan dalam rangka memutuskan terbukti atau tidak terbukti dugaan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hal ini merupakan hak dari terdakwa termasuk terdakwa tindak pidana korupsi. Kehadiran terdakwa dalam persidangan tentunya dapat memberikan keterangan terkait dengan peristiwa pidana yang terjadi sehingga membuat hakim lebih memahami atau menyakinkan hakim untuk memutuskan perkara dimaksud. Kehadiran terdakwa dalam rangka membuat terang perkara dimaksud, serta melakukan pembelaan terhadap dirinya terkait tuduhan yang didakwakan padanya.

Kedudukan terdakwa yang diperhadapkan dengan alat Negara dalam hal ini penuntut umum tidak berimbang antara individu (termasuk pelaku tindak pidana korupsi) karena ketika berstatus sebagai terdakwa maka

(10)

terdakwa tidak mewakili jabatan tetapi mewakili individu meskipun ketika melakukan tindak pidana berkedudukan dalam jabatan.

Hak terdakwa untuk diperiksa dan didengar keterangannya serta diberi kesempatan untuk membela diri di muka persidangan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mempunyai kedudukan serta perlakuan yang sama di depan hukum sebagaimana dijamin secara konstitusional dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Demikian juga dalam Pasal 3 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dalam semangat di depan hukum. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 mengatur bahwa setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlakukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Berdasarkan pada pengaturan dimaksud maka terdakwa termasuk terdakwa tindak pidana korupsi mempunyai hak untuk memberikan keterangan dipengadilan serta melakukan pembelaan terhadap kasus atau perkaranya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diakui secara

(11)

hokum mengenai perlakuan yang sama dihadapan hukum karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah. Atas dasar di maksud maka terdakwa termasuk terdakwa tindak pidana korupsi wajib hadir dipengadilan pada waktu pemeriksaan perkaranya.

Hak-hak terdakwa juga dijamin dalam ketentuan UU No. 8 Tahun 1981, yang penulis sebutkan berikut ini:

1. Pasal 50 ayat 3, mengatur bahwa terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.

2. Pasal 51B, mengatur bahwa terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yaang didakwakan kepadanya.

3. Pasal 52 mengatur bahwa dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.

4. Pasal 53 ayat 1 mengatur bahwa dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177.

5. Pasal 53 ayat 2 mengatur bahwa dalam hal tersangka atau terdakwa bisu atau tuli diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178.

6. Pasal 54 mengatur bahwa Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.

7. Pasal 55 mengatur bahwa Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.

8. Pasal 56 ayat 1 mengatur bahwa Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang

(12)

diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.

9. Pasal 56 ayat 2 mengatur bahwa Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.

10. Pasal 57 ayat 1 mengatur bahwa Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.

11. Pasal 57 ayat 2 mengatur bahwa tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi proses perkaranya.

12. Pasal 58 mengatur bahwa Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak.

13. Pasal 59 “Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.

14. Pasal 60 mengatur bahwa Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapat jaminan bagi penangguhan penanganan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum.

15. Pasal 61 mengatur bahwa Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan.

16. Pasal 62 ayat 1 mengatur bahwa Tersangka atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat hukumnya, dan

(13)

menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis menulis.

17. Pasal 62 ayat 2 mengatur bahwa Surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya atau sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu disalahgunakan.

18. Pasal 62 ayat 3 mengatur bahwa Dalam hal surat untuk tersangka atau terdakwa itu ditilik atau diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara, hal itu diberitahukan kepada tersangka atau terdakwa dan surat tersebut dikirim kembali kepada pengirimnya setelah dibubuhi cap yang berbunyi “telah ditilik”.

19. Pasal 63 mengatur bahwa Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan.

20. Pasal 64 mengatur bahwa Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.

21. Pasal 65 mengatur bahwa Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.

22. Pasal 66 mengatur bahwa Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.

23. Pasal 67 mengatur bahwa Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.

24. Pasal 68 mengatur bahwa Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95 dan selanjutnya.

Selain pengaturan dalam UU No. 8 Tahun 1981 sebagaimana telah penulis sebutkan diatas, pengakuan terhadap hak terdakwa juga diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, diantaranya sebagai berikut :

(14)

1. Pasal 8 ayat 1 “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

2. Pasal 9 ayat 1 “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

3. Pasal 12 ayat 1 “Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan kehadiran terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain.

4. Pasal 12 ayat 2 “Dalam hal terdakwa tidak hadir, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.

5. Pasal 56 ayat 1 “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.

Selain itu, hak-hak terdakwa juga diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagai berikut :

1. Pasal 37 ayat 1 “Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

2. Pasal 38 ayat 4 “Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 3. Pasal 38 ayat 7 “Setiap orang yang berkepentingan dapat

mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

Berdasarkan pengaturan dalam ketentuan sebagaimana dimaksud maka salah satu hak terdakwa adalah diperiksa dan didengar keterangannya membela diri di muka persidangan. Hak dimaksud merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mempunyai kedudukan serta perlakuan yang sama di depan hukum yang tidak boleh diabaikan dalam proses penegakan hukum

(15)

termasuk dalam proses pemeriksaan di pengadilan. Namun dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Hak terdakwa untuk diperiksa dan didengar keterangannya membela diri di muka persidangan merupakan hak asasi manusia generasi pertama yang lahir antara abad 17 dan 18. Hak asasi manusia Generasi pertama memuat hak-hak kebebasan dan demokratis klasik, yang meliputi hak orang atas hidup, keutuhan jasmani, dan perkembangan bebas, lalu, sebagai implikasinya, hak atas perlindungan terhadap penahanan sewenang-wenang, atas jaminan hukum, atas kesamaan di hadapan hukum, hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi, larangan perbudakan, hak atas kebebasan suara hati, berpikir dan beragama, hak untuk bergerak bebas, atas kebebasan berpendapat dan kebebasan pers, atas kebebasan berkumpul dan berserikat, atas milik pribadi, hak memilih pekerjaan dan kawin atau tidak kawin dengan bebas, dan hak berusaha.

Oleh karena itu, agar tidak terjadinya pelanggaran hak terdakwa dalam memberikan keterangan serta melakukan pembelaan di depan persidangan yang merupakan bagian dari hak asasi manusia sehingga dalam rangka pemeriksaan di pengadilan dilakukan pemberitahuan atau pemanggilan kepada terdakwa untuk hadir dalam proses pemeriksaan dan apabila terdakwa tidak hadir maka proses pemeriksaan tidak dapat dilakukan.

Ketentuan Pasal 145 dan Pasal 146 UU No. 8 Tahun 1981 mengatur bahwa : Pasal 145

(16)

(1) Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir.

(2) Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir.

(3) Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara.

(4) Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun oleh orang lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan.

(5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya.

Pasal 146

(1) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang memuat tanggal, hari, serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.

(2) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada saksi yang memuat tanggal, hari serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.

Pemanggilan terdakwa pada prinsipnya agar terdakwa hadir dipengadilan untuk memberikan keterangan serta melakukan pembelaan diri terhadap dugaan tindak pidana yang di dakwakan padanya. Oleh karena itu, terdakwa wajib hadir dan apabila terdakwa tidak hadir, hakim

(17)

memerintahkan penuntut umum untuk hadirkan terdakwa dan bahkan dapat dilakukan tindakan paksa.

Marwan Effendy mengatakan bahwa secara yuridis hadirnya terdakwa sangat penting karena merupakan hak atau kesempatan terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana.4 Pada prinsipnya terdakwa wajib hadir dalam proses persidangan untuk memberikan keterangan terkait peristiwa pidana yang terjadi serta melakukan pembelaan terhadap dirinya merupakan pelaksanaan asas pemeriksaan langsung, yang pemeriksaan dilakukan harus menghadapkan terdakwa didepan sidang pengadilan, termasuk pula menghadapkan seluruh saksi-saksi yang ditunjuk. Langsung artinya hakim dan terdakwa ataupun para saksi berada dalam sidang yang tidak dibatasi. Asas ini termuat di dalam Pasal 154 dan Pasal 155 UU No. 8 Tahun 1981, meskipun terdapat pengecualian dalam perkara pelanggaran lalu lintas. Asas ini berbeda dengan perdata di mana tergugat dapat diwakilkan oleh kuasanya dalam proses pemeriksaan oleh hakim dipengadilan.

Bahkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1981 pada angka 3 menyebutkan bahwa dalam hal perkara yang diajukan oleh Jaksa, terdakwanya sejak semula tidak hadir dan sejak semula tidak ada jaminan bahwa terdakwa dapat dihadapkan dipersidangan, perkara demikian dinyatakan tidak dapat diterima.

4 Marwan Effendy, Peradilan In Absentia Dan Koneksitas, 2010, Timpani Publsing, Jakarta, Hal. 3

(18)

Penerapan Surat Edaran Mahkamah Agung dimaksud terlihat pada Putusan Pengadilan Negeri Sobolga Nomor 262/Pid.B/2014/PN Sbg dalam perkara BEYHAKKI SIMANULLANG, yang dalam dasar menimbang putusan disebutkan bahwa pada sidang pertama yang telah ditetapkan yaitu pada hari Selasa tanggal 26 Agustus 2014, Penuntut Umum tidak dapat menghadirkan Terdakwa, kemudian sidang ditunda dan dibuka kembali pada hari Selasa tanggal 9 September 2014, kembali Penuntut Umum juga tidak dapat menghadirkan Terdakwa, begitu juga persidangan tanggal 16 September 2014, 23 September 2014, 30 September 2014, 7 Oktober 2014, 21 Oktober 2014, 4 November 2014, 18 November 2014, 25 November 2014, dan seterusnya (19 kali Persidangan), sebagaimana lengkapnya dalam Berita Acara Persidangan, Terdakwa tetap tidak hadir dimuka persidangan tanpa alasan yang sah. Oleh karena itu menimbang, bahwa berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 1981 Perihal Terdakwa dari semula tidak dapat dihadapkan di persidangan, pada angka 3 menyatakan Dalam hal perkara yang diajukan oleh Jaksa, Terdakwanya sejak semula tidak hadir dan sejak semula tidak ada jaminan bahwa Terdakwa dapat dihadapkan di persidangan, perkara demikian dinyatakan tidak dapat diterima. Dengan demikian amar putusnya menyatakan Penuntutan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima, dan Membebankan biaya perkara kepada negara.

Demikian juga putusan pengadilan Negeri Sibolga dalam Putusan No.216/PID.B/2014/PN.SBG terhadap perkara MARTINI ZENDRATO ALS

(19)

MAMAK JEPRI. Dalam dasar menimbang di sebutkan bahwa pada persidangan yang telah ditentukan tersebut, Penuntut Umum tidak juga menghadirkan terdakwa untuk membacakan surat dakwaan, pembuktian dan Penuntutan atas diri terdakwa, demikian pula selanjutnya setelah beberapa kali penundaan persidangan yaitu tanggal 04 AGUSTUS 2014, 11 AGUSTUS 2014 dan 18 AGUSTUS 2014, Penuntut Umum tidak juga menghadirkan terdakwa tanpa alasan yang sah dan jelas. Oleh karena itu, SEMA Nomor 6 Tahun 1992 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, serta dihubungkan dengan ketidak seriusan Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan untuk penyelesaian perkara ini, sudah cukup membuktikan bahwa tidak ada lagi jaminan Penuntut Umum akan menghadirkan terdakwa kepersidangan untuk pemeriksaan kasus yang berkaitan dengan terdakwa tersebut serta menurut SEMA Nomor 1 Tahun 1981 tentang apabila terdakwanya dari semula tidak dapat dihadapkan atau diajukan oleh Jaksa ke persidangan, maka cukup beralasan untuk menyatakan penuntutan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima. Maka dalam amar putusan menyatakan Penuntutan Jaksa Penuntut Umum atas diri terdakwa MARTINI ZENDRATO ALS MAMAK JEPRI tersebut diatas, TIDAK DAPAT DITERIMA, Membebankan biaya perkara kepada Negara.

Dengan demikian berdasarkan pada pengaturan dalam UU No. 8 Tahun 1981 serta SEMA Nomor 1 Tahun 1981 maka terhadap perkara yang terdakwanya tidak dapat dihadirkan di pengadilan maka perkara tersebut tidak dapat diperiksa dan diputuskan, kecuali perkara tindak pidana ringan

(20)

dan pelanggaran lalu lintas. Hal ini sangat berbeda dengan pengaturan dalam Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 yang mengatur bahwa dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya. Dalam penjelasan Pasal 38 Ayat (1) dijelaskan bahwa ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan negara sehingga tanpa kehadiran terdakwapun, perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim.

Pengaturan dalam ketentuan dimaksud pada prinsipnya menghendaki apabila terdakwa tidak hadir dalam persidangan maka pemeriksaan perkara dapat dilakukan tanpa kehadiran terdakwa. Tujuan utama dari pengaturan ini hanya untuk menyelamatkan kekayaan Negara namun mengabaikan hak terdakwa yang dijamin secara hukum sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Hak asasi manusia tidak boleh diabaikan atau dilanggar oleh siapa pun termasuk dalam proses penegakan hukum. Hak terdakwa tindak pidana korupsi pada persidangan pada prinsipnya memberikan keterangan terkait dengan perkara tindak pidana korupsi yang diduga kepadanya sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 bahwa :

1. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

2. Dalam hal terdakwa dapat dibuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.

3. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang Seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta

(21)

benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.

4. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat buktu yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

5. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat 92), dan 93) dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Dengan demikian pengaturan dalam ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 dianggap merugikan hak terdakwa untuk memberikan keterangan serta melakukan pembelaan terhadap dirinya. Hal ini dianggap melanggar hak asasi manusia, bahkan melanggar asas pengadilan memeriksa perkara pidana dengan kehadiran terdakwa, asas ini mewajibkan terdakwa hadir dalam persidangan, guna memeriksa secara terang dan jelas, sehingga perkara dapat diputus dengan kehadiran terdakwa sebagaimana dianut dalam UU No. 8 Tahun 1981 sebagai hukum formil yang mengatur mekanisme dan cara pemeriksaan pelaku tindak pidana pada umumnya kecuali perkara tindak pidana ringan dan pelanggaran lalu lintas yang dilakukan pemeriksaan perkara menggunakan acara pemeriksaan cepat, berbeda dengan pemeriksaan tindak pidana korupsi yang menggunakan acara pemeriksaan biasa.

Referensi

Dokumen terkait

Dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa tindak pidana narkotika putusan nomor 1434/Pid.Sus/2018/PN.Mks adalah berdasarkan

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 6 enam bulan terhadap pelaku tindak pidana pemberian