• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV - Repository UNISBA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB IV - Repository UNISBA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

ANALISIS PEMBERLAKUAN PERMA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA

RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP TERHADAP PRAJURIT TNI

(STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 85-KPM.11-

09/AD/VII/2018 DI PENGADILAN MILITER II-09 BANDUNG)

A. Proses penegakan hukum dalam kasus tindak pidana ringan yang dilakukan oleh seorang prajurit TNI .

Penegakan hukum adalah merupakan penerapan diskresi (kebijakan) yang membuat keputusan hukum tidak secara ketat diatur oleh Undang-undang melainkan berdasarkan kebijaksanaan antara hukum dan etika, oleh karna itu pertimbangan secara nyata hanya diterapkan selektif dalam masalah penanggulangan kejahatan. 58 Penegakan hukum pada hakikatnya adalah usaha atau upaya untuk menciptakan kadilan. Proses pemenuhan rasa keadilan masyarakat melalui penegakan hukum sampai sekarang masih menampakan wajah lama, yatitu hukum dipakai sebagai alat penindas, di masa Orde Baru hukum menjadi sarana kepentingan kekuasaan, berhubungan dngan kdiktatoran yang disertai dengan sistem perkoncoan di bidang politik, ekonomi, dan lain-lain.59

Penegakan hukum dalam organisasi TNI merupakan fungsi Komando dan menjadi salah satu kewajiban komandan selaku pengambil keputusan. Hal tersebut menjadi keharusan bagi para komandan di setiap tingkat kesatuan

(2)

untuk mencermati kualitas kesadaran hukum dan disiplin para Prajurit TNI yang berada dibawah wewenang komandonya. Namun pada dasarnya proses penegakan hukum dalam kasus tindak pidana ringan yang dilakukan oleh seorang prajurit TNI di pengadilan militer sama saja dengan proses penegakan hukum di peradilan umum namun penyebutan serta lembaga atau organisasi yang ditugaskan, dalam sistem peradilan umum tahapan-tahapan yang harus dilalui diantaranya :60

1. Tahap Penyidikan oleh Kepolisian

Penyidikan terdiri dari dua proses yakni yang pertama termuat dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP, dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Tujuan Penyelidikan yaitu untuk mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan penyidikan. Dasar dilakukannya penyelidikan diantaranya polisi mengetahui sendiri, polisi mendapatkan laporan, atau polisi mendapatkan pengaduan dari masyarakat/korban (Pasal 102 ayat (1) KUHAP) tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana.

Kedua yaitu penyidikan, termuat didalam Pasal 1 angka 2 KUHAP, Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta

60 Anggota IKAPI,”Himpunan Peraturan Perundang-undangan KUHAP dan KUHP”, Fokus Media, Bandung, 2013,Hlm. 9-36

(3)

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam tahap ini dilakukan beberapa proses diantaranya pengiriman SPDP, upaya paksa, Pemeriksaan, gelar perkara, penyelesaian berkas perkara, penyerahan berkas perkara ke penuntut umum, penyerahan tersangka dan barang bukti.

2. Tahap penuntutan oleh Kejaksaan

Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim disidang pengadilan. Tugas dari seorang Jaksa Penuntut umum adalah membuat surat dakwaan terhadap tersangka, membuktikan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa (menghadirkan terdakwa, menghadirkan dua orang saksi atau lebih, menghadirkan barang bukti didalam persidangan), dan membuat surat tuntutan terhadap terdakwa.

3. Tahap Pemeriksaan di Pengadilan (Persidangan) oleh Majelis Hakim.

Urutan pemeriksaan dipengadilan diantaranya pembacaan Surat Dakwaan, eksepsi, pembuktian : Pasal 184 KUHAP, Tuntutan Pidana (Requisitoir), Nota Pembelaan (Pledoi), Replik ,Duplik, Rereplik, Reduplik, Putusan Akhir. Bentuk-bentuk putusan akhir diantaranya Putusan bebas (vrijspraak), Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging), Putusan pemidanaan (veroordeling). Setelah hakim menjatuhkan putusan akhir, terpidana masih dapat mengajukan upaya hukum diantaranya upaya hukum biasa (Verzet, Banding, Kasasi)dan upaya

(4)

hukum luar biasa (Kasasi Demi Kepentingan Hukum dan Peninjauan Kembali)

4. Tahap Pelaksanaan Putusan (eksekusi) oleh Kejaksaan dan Lembaga Pemasyarakatan

Dalam tahap ini, setelah putusan yang diterima oleh terpidana incraht maka Kejaksaan selaku eksekutor diwajibkan untuk membawa terdakwa ke lembaga pemasyarakatan jika terpidana dijatuhi hukuman penjara atau kurungan, jika terpidana dihukum mati maka kejaksaan meminta pihak kepolisian sebagai regu tembak untuk mengeksekusi terpidana.

Namun dalam sistem peradilan militer tahapannya sebagai berikut : 61 1. Tahap Penyidikan oleh ANKUM, POM, atau Oditur Militer

Diawali dengan laporan Polisi Militer (POM) haruslah memuat keterangan yang jelas tentang tempat dan waktu kejadian, uraian kejadian, akibat kejadian, indentitas pelapor dan pasal yang dilanggar. Laporan tersebut berdasarkan atas laporan dari pelapor perorangan baik secara lisan atau tertulis, pemberitahuan dari kesatuan/dinas/jawaban/instansi lebih baik dengan surat atau telepon, adanya perintah dari komando atas dengan surat atau telepon, ataupun adanya pengetahuan dari penyidik sendiri. Tindakan penangkapan dan penahan adalah kewenangan ankum yang bersangkutan, kecuali dalam hal tertangkap tangan di mana setiap orang berhak melakukan penangkapan namun tersangka tetap harus diserahkan kepada instansi TNI

61 Hasil wawancara dan Surat Edaran, Proses Penyelesaian Perkara Pidana dalam Lingkungan

Peradilan Militer, Pengadilan Militer II-09, Bandung, 2019

(5)

terdekat beserta barang bukti, selanjutnya instansi TNI tersebut menyerahkan kepada polisi militer angkatan, pada kesempatan pertama polisi angkatan membertahukan kepada ankum yang bersangkutan

2. Tahap Penuntutan oleh Oditur Militer

Dalam hal seorang tersangka melakukan tindak pidana sebagaimana diuraikan di atas, sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepada tersangka tentang hak nya mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasehat hukum. Sebelum pemeriksaan dimulai para

saksi diambil sumpahnya, untuk memperkuat keterangan di lengkapi dengan Berita Acara Pengambilan Sumpah. Penyidikan perkara juga dapat dilakukan oleh Oditur apabila panglima TNI menilai suatu perkara perlu penyidikannya dilakukan oleh Oditur, dan Panglima memerintahkan kepada Oditur Jendral TNI kemudian Oditur Jendral memerintahkan Oditur untuk membuat surat dakwaan dan surat tuntutan terhadap terdakwa.

3. Tahap Persidangan oleh Hakim Pengadilan Militer

Ada beberapa persiapan sebelum persidangan dibuka, antara lain:

A. Kepala Oditur Militer (Koatmil) berdasarkan penetapan sidang mengeluarkan surat panggilan kepada terdakwa dan para saksi dengan mencantumkan waktu dan tempat sidang, pemanggilan tersebut disampaikan kepada Ankum dengan tembusan kepada Perwira Penyerah Perkara (Papera).

(6)

B. Kepala Oditur Militer/Kepala Oditur Militer Tinggi (Koatmil/koatmilti) membuat surat perintah kepada masing-masing oditur selaku penuntut umum yang akan bersidang, selanjutnya kabag/kasi/kaurtut menyerahkan berkas parkara beserta barang bukti kepada oditur yang akan bertindak sebagai penuntut umum.

C. Apabila oditur penuntut umum akan mengubah surat dakwaan dengan maksud untuk disempurnakan, maka perubahan tersebut diserahkan ke pengadilan dalam lingkungan peradilan militer selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum sidang dimulai dan perubahan surat dakwaan dilakukan hanya 1 (satu) kali, perubahan tersebut disampaikan kepada terdakwa dan Perwira Penyerah Perkara (Papera).

D. Pemeriksaan saksi, Oditur menghadapkan saksi ke depan Majelis Hakim atas perintah dari Hakim Ketua, lalu Oditur memerintahkan kepada petugas untuk menghadapkan saksi ke persidangan kemudian Oditur mengajukan pertanyaan kepada saksi secara langsung dalam memberikan keterangan saksi tidak boleh diganggu, setelah saksi selesai memberikan keterangan, Hakim Ketua memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk menanyakan pendapat terdakwa mengenai keterangan saksi yang telah didengarnya.

E. Pemeriksaan terdakwa, pemeriksaan terdakwa dimulai setelah semua saksi selesai didengar keterangannya. Untuk itu terdakwa diperintahkan duduk di kursi pemeriksaan, namun demikian pemeriksaan terdakwa

(7)

sesungguhnya sudah dimulai sebagian pada waktu diminta pendapatnya mengenai keterangan saksi.

F. Pemeriksaan barang bukti, setelah pemeriksaan semua saksi dan terdakwa selesai, hakim ketua memperlihatkan kepada terdakwa semua barang bukti dan menanyakan kepada terdakwa apakah terdakwa mengenal benda itu dan menanyakan sangkut paut benda itu dengan perkaranya untuk mengetahui kejelasan tentang peristiwanya. Namun bila dipandang perlu, barang bukti tersebut dapat dilihatkan sebelum pemeriksaan semua saksi dan terdakwa selesai.

G. Musyawarah Majelis Hakim, setelah semua acara pemeriksaan selesai, maka hakim ketua menyatakan pemeriksaan ditutup. Kemudian menunda sidang untuk memberikan kesempatan kepada majelis hakim bermusyawarah guna mengambil keputusan. Kedelapan, pengucapan putusan pengadilan, apabila Majelis berpendapat bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan hukuman pidana, namun apabila terdakwa tidak terbukti bersalah sebagaimana didakwakan kepadanya, maka pengadilan memutus bebas dari segala dakwaan.

Setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka Panitera membuat akte putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(8)

4. Tahap Eksekusi oleh Oditur Militer

Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kecuali yang memuat pidana mati, wajib dengan segera dilaksanakan oleh oditur sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dengan cara- cara sebagai berikut:62

A. Pidana penjara dan pidana kurungan dilaksanakan dibadan-badan permasyarakatan militer apabila ditempat kedudukan Badan Pengadilan Militer (Badilmil), serta Badan oditurat Militer (Baotmil) tidak terdapat badan permasyarakatan militer, maka terpidana dikirim ke Badan Pemasyarakatan Militer (Bamasmil) terdekat.

B. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, apabila terdakwa dijatuhi pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas TNI, maka terpidana menjalani pidananya di LPU (Lembaga Pemasyarakatan Umum) tanpa menunggu keputusan pemecatan dari pejabat administrasi yang berwenang.

C. Pidana mati dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Presiden Republik Indonesia. Keempat, setelah diucapkan putusan pembebasan dari dakwaan atau diepaskan dari segala tuntutan hukum, oditur yang bertindak sebagai penuntut umum seketika itu juga membebaskan terdakwa apabila ia ada dalam tahanan.

62 Peraturan Panglima TNI, Tentang PetunjukTteknis Penyelesaian Perkara Pidana di Lingkungan

Oditurat, 2006

(9)

D. Jika terpidana dijatuhi hukuman pidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana yang satu dan pidana yang lain harus dijalani berturut-turut berkesinambungan.

Dalam tahapan diatas dapat dikatakan bahwa proses peradilan pidana yang digunakan dalam sistem peradilan pidana umum maupun sistem peradilan pidana militer pada dasarnya sama, namun hanya lembaga atau organisasi yang melaksanakan tugasnya berbeda walaupun berada didalam satu atap yaitu Mahkamah Agung.

Proses persidangan pidana acara pemeriksaan cepat diatur dalam Pasal 203 KUHAP dimana yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan pasal 205 dan yang menurut penuntut umum atau oditur militer pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. Sifat acara pemeriksaan singkat menurut Yahya Harahap yaitu pelimpahan perkara singkat dilakukan tanpa surat dakwaan, Yahya Harahap juga menjelaskan mengenai ciri dari acara pemeriksaan cepat diantaranya :63

1. Pembuktian dan penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.

Jika penuntut umum menilai dan berpendapat suatu perkara sifatnya : a. Sederhana

63 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali”, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hlm. 396

(10)

Pemeriksaan perkara tidak memerlukan persidangan yang memakan waktu lama dan kemungkinan besar dapat diputus pada hari itu juga atau mungkin dapat diputus dengan satu atau dua kali persidangan saja, yang diartikan denga “sifat perkara sederhana”.

b. Pembuktian serta Penerapan hukumnya mudah

Sebagaimana yang dimaksud dengan sifat pembuktian dan penerapan hukumnya mudah, terdakwa sendiri pada waktu pemeriksaan penyidikan telah “mengakui” sepenuhnya perbuatan tindak pidana yang dilakukan. Di samping pengakuan itu, didukung dengan alat bukti lain yang cukup membuktikan kesalahan terdakwa secara sah menurut undang-undang. Demikian juga sifat tindak pidana yang didakwakan sederhana dan mudah untuk diperiksa.

2. Ancaman maupun hukuman yang akan dijatuhkan tidak berat.

Biasanya dalam praktek peradilan, hukuman pidana yang dijatuhkan pada terdakwa dalam pemeriksaan cepat tidak melampaui tiga tahun penjara.

Apabila penuntut umum menilai dan berpendapat lain, pidana yang dijatuhkan pengadilan yang akan dijatuhkan tidak melampaui penjara, dapat menggolongkan perkara tersebut kedalam perkara singkat.

Dalam studi kasus putusan pidana militer mengenai pencurian ini Majelis Hakim dalam pertimbangannya mencantumkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP Pasal 2 poin 2 dijelaskan bahwa Apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih

(11)

dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) Ketua Pengadilan segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP.

Setelah penulis menganalisa Pasal 205 KUHAP, Pertimbangan Majelis Hakim Unsur kedua poin 6, dan Perma No.2 tahun 2012, penulis berpendapat bahwa jika barang hasil pencurian kurang dari nominal Rp.

2.500.000,- (dua juta lima ratus rupiah) ketua pengadilan diharuskan segera menetapkan hakim tunggal untuk memeriksa mengadili dan memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat, sementara dalam proses persidangan Putusan No. 85-K/PM.II-09/AD/VII/2018 di Pengadilan Militer II-09 Bandung atas nama terpidana Wahyudin dilakukan pemeriksaan acara biasa seperti halnya proses persidangan pidana diatas, hal tersebut tidak sejalan dengan Perma No. 2 tahun 2012 Pasal 2 poin 2 yang mensyaratkan Pemeriksaan Acara Cepat padahal hakim mencantumkan Perma No. 2 Tahun 2012 sebagai pertimbangan putusannya, dalam proses persidangan-pun terdakwa tidak diperiksa oleh hakim tunggal tetapi diperiksa oleh majelis hakim sehingga dapat dikatakan proses pengadilan militer dalam proses persidangan Putusan No. 85-K/PM.II- 09/AD/VII/2018 di Pengadilan Militer II-09 Bandung atas nama terpidana Wahyudin cacat formil, penulis beranggapan seperti itu dikarenakan syarat dalam pengenaan yang di juntokan dengan Perma No. 2 tahun 2012 haruslah diperiksa dengan acara pemeriksaan cepat.

(12)

Dalam proses pemeriksaan perkara cepat didalam sistem peradilan umum dan peradilan militer (Pengadilan Militer I-03 Padang) telah menganut tata cara pemeriksaan administrasi persidangan yang ditandatangani melalui ketetapan ketua Mahkamah Agung yang diataranya :64

1. Pengadilan menentukan hari tertentu dalam 7 (tujuh) hari untuk mengadili perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan.

2. Hari tersebut diberitahukan Pengadilan kepada Penyidik supaya dapat mengetahui dan mempersiapkan pelimpahan berkas perkara tindak pidana ringan.

3. Pelimpahan perkara tindak pidana ringan, dilakukan Penyidik tanpa melalui aparat Penuntut Umum.

4. Penyidik mengambil alih wewenang aparat Penuntut Umum.

5. Dalam tempo 3 (tiga) hari Penyidik menghadapkan segala sesuatu yang diperlukan ke sidang, terhitung sejak Berita Acara Pemeriksaan selesai dibuat Penyidik.

6. Jika terdakwa tidak hadir, Hakim dapat menyerahkan putusan tanpa hadirnya terdakwa;

7. Setelah Pengadilan menerima perkara dengan Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan, Hakim yang bertugas memerintahkan Panitera untuk mencatat dalam buku register.

8. Pemeriksaan perkara dengan Hakim tunggal.

64 Badan Litbang Diklat Kumdil MA RI, Tata Cara Pemeriksaan Administrasi Persidangan”

dalam buku Tata Laksana Pengawasan Peradilan, Buku IV, Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 145/KMA/SK/VIII/2007 tentang Memberlakukan Buku IV Pedoman Pelaksanaan Pengawasan di Lingkungan Badan-Badan Peradilan, Jakarta, 2007, Hlm. 140-142

(13)

9. Pemeriksaan perkara tidak dibuat BAP, karena Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik sekaligus dianggap dan dijadikan BAP Pengadilan.

10. BAP Pengadilan dibuat, jika ternyata hasil pemeriksaan sidang Pengadilan terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat Penyidik.

11. Putusan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana ringan tidak dibuat secara khusus dan tidak dicatat/ disatukan dalam BAP. Putusannya cukup berupa bentuk catatan yang berisi amar-putusan yang disiapkan/dikirim oleh Penyidik.

12. Catatan tersebut ditanda tangani oleh Hakim.

13. Catatan tersebut juga dicatat dalam buku register.

14. Pencatatan dalam buku register ditandatangani oleh Hakim dan Panitera sidang.

Namun dalam kasus tersebut tidak digunakan pedoman tersebut, dari hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis terhadap narasumber diketahui bahwa pemeriksaan cepat hanyalah dikenakan terhadap tindak pidana pelanggaran saja, namun tidak dikenakan terhadap tindak pidana kejahatan yang disyaratkan dalam Perma No. 2 tahun 2012. Dari hasil wawancara dapat diketahui pula narasumber menganggap bahwa pemeriksaan cepat yaitu 3 prinsip dasar pengadilan yaitu, sederhana, cepat dan biaya ringan, serta penyelesaian kasus tersebut dikatakan cepat jika tidak melebihi batas waktu 3 bulan sehingga penulis beranggapan bahwa penyelesaian proses perkara tindak

(14)

pidana ringan dalam kasus tersebut dinilai keliru,jika oditur militer lebih teliti terhadap kasus tersebut maka oditur militer seharusnya mengajukan proses pemeriksaan cepat, dan jika tidak dikabulkan ditingkat pertama seharusnya oditur mengajukan upaya hukum lain demi kepastian hukum yang dituju.

Dalam putusan No. 85-K/PM.II-09/AD/VII/2018 di Pengadilan Militer II-09 Bandung atas nama terpidana Wahyudin terdapat unsur koneksitas yang dilakukan terdakwa Wahyudin(militer), Saksi Nana Suryana (sipil), Saksi Kursim(sipil), Saksi Yuyu Wahyudiana(sipil), Saksi Sudirman (Sipil) yang perkaranya di pisahkan (split) telah terjadi koneksitas, dimana hal tersebut diatur didalam Pasal 89-94 Kitab Hukum Acara Pidana yang intinya yaitu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, disyaratkan didalam Pasal 89 diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali Kementerian Pertahanan dengan Persetujuan Menteri Kehakiman (Mahkamah Agung) harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer. Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memuat syarat-syarat sebagai berikut :

1. Penelitian bersama oleh Jaksa dan Oditur atas hasil penyidikan. (Pasal 90) 2. Penentuan titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum atau kepentingan militer Pasal 91) 3. Pencatatan dalam berita acara pemeriksaan pelimpahan berkas perkara baik dalam lingkung peradilan umum ke peradilan militer maupun sebaliknya oleh Jaksa Penuntut Umum atau oleh Oditur Militer (Pasal 92)

(15)

4. Penyelesaian jika terdapat perbedaan pendapat antara Jaksa dengan Oditur (Pasal 93)

5. Penentuan Majelis Hakim terdiri dari salah seorang hakim baik dari peradilan umum maupun dari peradilan militer (Pasal 94)

Sehingga dalam kasus atas nama terpidana Wahyudin(militer), Saksi Nana Suryana (sipil), Saksi Kursim(sipil), Saksi Yuyu Wahyudiana(sipil), Saksi Sudirman (Sipil) dari hasil fakta persidangan maupun keterangan saksi bahwa perkara tersebut termasuk kedalam unsur koneksitas, hal tersebut dikarenakan kepentingan yang dirugikan atas tindak pidana tersebut bukanlah kerugian militer dalam lingkup peradilan militer akan tetapi kerugian tersebut diderita oleh si pemilik kapal dalam lingkup peradilan umum, didalam putusan tersebut yang melakukan tindak pidana tersebut empat orang warga sipil dan seorang militer sehingga pantaslah jika diperiksa dan diadili oleh pengadilan umum, padahal Majelis Hakim yang ditunjuk didalam persidangan terdiri dari hakim peradilan umum dan hakim peradilan militer.

B. Kekuatan putusan terhadap seorang prajurit TNI militer dalam kasus putusan nomor 85-K/PM II-09/AD/VII/2018 di Pengadilan Militer II-09 Bandung.

Dalam putusan nomor 85-K/PM II-09/AD/VII/2018 Majelis Hakim menjatuhkan putusan yaitu memidana terdakwa dengan pidana penjara selama 4 bulan dengan masa percobaan selama 6 bulan. Dengan perintah bahwa pidana tidak perlu dijalani kecuali dikemudian hari ada putusan pengadilan yang menentukan

(16)

lain karena Terpidana melakukan kejahatan atau pelanggaran Disiplin Prajurit sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer, sebelum masa percobaan tersebut habis. Dari analisa penulis dari hasil wawancara hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut didapatkan penjelasan bahwa terpidana tidak menjalani pidananya yang selama 4 bulan, tetapi Majelis Hakim memerintahkan agar masa percobaannya saja yang dijalani, padahal seharusnya hakim lebih melihat perbuatan pencuriannya bukanlah kerugian yang diderita atas perkara tersebut. Putusan tersebut dijatuhkan terhadap terdakwa Wahyudin dikarenakan Majelis Hakim beranggapan bahwa karena kerugian dalam perkara ini diperkirakan sekitar sejumlah Rp 1.250.000 (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) atau dibawah Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) apabila dijual sehingga dikategorikan Tindak Pidana Ringan sesuai Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, sehingga Majelis Hakim bertambah yakin bahwa pidana bersyarat lebih tepat dijatuhkan kepada terdakwa dibandingkan dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Militer agar tenaga Terdakwa dapat dimanfaatkan di kesatuan dan hal ini tidak bertentangan dengan kepentingan militer.

Menurut penulis kejanggalan dalam putusan nomor 85-K/PM II- 09/AD/VII/2018 diantaranya :

1. Oditur militer tidak menuntut hukuman penjara tetapi menuntut dengan pidana kurungan selama 6 bulan, jika penulis menelaah fakta

(17)

persidangan dengan apa yang dituntut oleh oditur militer terjadi ketimpangan, dikarenakan pencurian yang dilakukan oleh terdakwa bukanlah pencurian yang dilakukan oleh sendiri melainkan dilakukan bersama-sama dengan empat orang rekan terdakwa yang diadili di peradilan umum. Tuntutan oditur militer padahal sudah sesuai dengan pasal 363 ayat 1 ke 4 dengan ancaman pidana paling lama sembilan tahun, sehingga penulis beranggapan bahwa tindak pidana yang dilakukan adalah tindak pidana murni dengan pemberatan dikarenakan pencurian lempengan besi tersebut dilakukan oleh lebih dari dua orang dan juga Perma nomor 2 tahun 2012 hanya mencantumkan tindak pidana pencuriannya saja tetapi tidak dengan tindak pidana pencurian dengan pemberatan.

2. Dalam perkara ini Oditur Militer hanya menuntut terdakwa dengan pidana kurungan selama 6 bulan, jika memang ditambah satu per tiga dikarenakan militer yang melakukan tindak pidana pencurian tersebut sehingga hakim haruslah menjatuhkan pidana 8 bulan pidana kurungan, tanpa ada catatan pidana bersyarat, jika putusan tersebut tidak dilakukan upaya hukum yang lain maka tujuan pemidanaan dari penjatuhan putusan perkara pencurian tersebut tidak menjadikan terdakwa jera dikarenakan terdakwa hanya menjalani pidana bersyarat selama 6 bulan dan dikembalikan kepada kesatuannya, tujuan pidana bagi anggota militer yang lain supaya anggota militer lain merasa takut dan tidak akan melakukan tindak pidana pencurian tidak akan tercapai, dikarenakan

(18)

sejatinya putusan pemidanaan selain memberikan efek jera terhadap terdakwa tetapi memberikan efek preventif agar orang lain tidak melakukannya juga.

3. Putusan hakim merupakan puncak klimaks dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh seorang hakim. Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut :

a. Keputusan mengenai peristiwanya, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

b. Keputusan mengenai hukumnya, apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana.

c. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.

Sehingga penulis beranggapan bahwa Majelis Hakim harus mempertimbangkan ketiga hal tersebut dikarenakan fakta persidangan yang dimuat didalam putusan atas nama terdakwa Wahyudin sudah memenuhi unsur tindak pidana pencurian. Namun sayangnya kejadian dan perkara tindak pidana ringan di Pengadilan Militer khususnya Pengadilan Militer Bandung sering terjadi, Perma hanya dijadikan acuan saja tetapi syarat formilnya tidak terpenuhi.

Apabila disinggung penjatuhan sanksi pidana yang dikenakan terhadap terdakwa Wahyudin haruslah Majelis Hakim mempertimbangkan penjatuhan

(19)

hukuman yang proporsional yang merupakan penjatuhan hukuman yang sesuai dengan tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan. Pada intinya, proporsionalitas mensyaratkan skala nilai untuk menimbang dan menilai berat ringannya pidana dikaitkan dengan tindak pidananya. Nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat serta budaya cenderung menjadi determinan dalam menentukan peringkat sanksi yang dipandang patut dan tepat dalam konteks historis tertentu.

KUHP sebenarnya sudah memuat sejumlah pedoman, seperti Pasal 14a, Pasal 63- 71, dan Pasal 30. Pasal tersebut memuat unsur yaitu: kesalahan pembuat tindak pidana, motif dan tujuan melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat tindak pidana, apakah tindak pidana dilakukan berencana, cara melakukan tindak pidana, sikap dan tindakan pelaku setelah melakukan tindak pidana, riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan korban atau keluarga korban, maaf dari korban/keluarga, dan pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Dari hasil analisa putusan dan hasil wawancara penulis berharap bahwa Oditur Militer haruslah lebih memahami dan berkordinasi dengan jaksa penuntum umum dikarenakan dalam perkara pidana atas nama terdakwa Wahyudin terdapat koneksitas dan juga terdapat unsur tindak pidana pencurian yang dilakukan bersama-sama sehinnga ancaman pidananya-pun lebih berat dari pidana pencurian biasa, termasuk majelis hakim militer haruslah memperhatikan konsekuensi yang diambil dalam amar putusan yang menentukan sistem peradilan yang akan digunakan, apakah pemeriksaan acara cepat atau pemeriksaan acara biasa.

Referensi

Dokumen terkait

Aspects of product quality there are 10 indicators included in the assessment. The first indicator of product color obtains a score of 8 with valid criteria which means that the