• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB IV"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Dalam penulisan ini penulis menggunakan obyek MV. Red Rock yang merupakan kapal general cargo yang berfungsi untuk mengangkut bermacam- macam muatan berupa barang. Barang yang diangkut biasanya container, cable drum, steel structure, u-ditch, heavy cargo. MV. Red Rock merupakan kapal yang mempunyai trayek atau route yang tidak tetap atau tramper ship, dimana route atau trayek pelayaran yang ditempuh tergantung order dari pencarter untuk memuat dari suatu pelabuhan dan membongkar muatan di pelabuhan tujuan. MV.

Red Rock merupakan kapal yang dibuat pada tahun 2000, yang merupakan salah satu armada dari perusahaan PT. Meratus Line yang beralamatkan di Jalan Aloon-Aloon Priok No.27, Perak Barat, Kecamatan Krembangan, Kota Surabaya, Jawa Timur, dengan nama panggilan kapal“ Y.E.Y.M.“.

Sesuai dengan judul yang diangkat yakni “ PENERAPAN BALLAST WATER MANAGEMENT DI ATAS KAPAL MV. RED ROCK GUNA MENCEGAH PENCEMARAN DI LAUT ” maka sebagai deskripsi data, akan dijelaskan tentang keadaan sebenarnya yang terjadi di kapal, sehingga dengan deskripsi ini penulis mengharapkan agar pembaca mampu dan bisa merasakan tentang semua hal yang terjadi selama penulis melaksanakan penulisan. Kapal MV. Red Rock memiliki rute pelayaran Ciwandan, Batam, Bintan, Gresik, Bintuni, Sorong.

Selain data-data kapal diatas, juga masih ada data-data lain yaitu:

(2)

Ship Particulars

1. Name of vessel : MV. Red Rock

2. Call sign : Y E Y M

3. Port Reg : Surabaya

4. Flag : Indonesia

5. Imo Number 9197026

6. Where Built : Jiang Dong Shipyard Wihu City/China 7. LOA (Lenght Over All) : 99,97m

8. Breadth : 18,20m

9. Max draft : 8,4m

10. Dead weight : 5350 T

11. Gross tonnage : 4447 T

12. Net tonnage : 2221 T

13. Kind of ship : General Cargo 14. Classification : BKI & RINA

Crew List (sijil anak buah kapal), yang terdiri dari 19 (Sembilan belas) orang termasuk Nakhoda.

(3)

Gambar 4.1 MV. Red Rock

(Sumber: vesselfinder.com) B. HASIL PENELITIAN

Adapun permasalahan yang terjadi diatas kapal berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan penulis saat penelitian, sehingga berkaitan dengan rumusan masalah yang dibahas.

Penerapan Ballast Water Management diatas kapal tersebut tidak berjalan dengan baik karena yang terjadi pada MV. Red Rock adalah tidak sesuai dengan aturan Ballast Water Management standart D-1 di karenakan pada aturan tersebut seharusnya dilakukan pembungan atau pengisian air ballast pada jarak 200 mil dari daratan dan setidaknya dengan kedalaman 200 meter. Tetapi pada kenyataan yang terjadi di kapal MV. Red Rock pembuangan dan pengisian air ballas dilakukan di pelabuhan. Dikarenakan mualim 1 melakukan itu apabila pada saat setelah proses memuat selesai kapal masih belum steady maka untuk

(4)

steadykannya menggunakan ballas ,atau pada saat mengangkat muatan heavy cargo yang diharuskan untuk menggunakan ballas agar menghindari kapal terbalik atau menghindari terputusnya wayer crane kapal. Kapal memiliki Ballast Water Record Book tetapi mualim 1 tidak selalu melakuan pencatatan di Ballast Water Record Book saat pembuangan dan pengambilan air ballas.

1. Penyajian Data

Mengingat pola pikir perwira kapal yang beraneka ragam, pada penelitian ini Penulis berpendapat bahwa penerapan Ballast Water Management di kapal banyak yang tidak sesuai dengan aturannya, hal ini sesuai pengamatan Penulis yang seringkali menyaksikan kejadian-kejadian dimana perwira kapal yang membuang atau mengisi ballas tidak dilaksanakan sesuai dengan peraturan. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan serta keterpaksaan perwira memlakukan itu untuk kepentingan muatan dan kestabilan kapal pada saat setelah melakukan bongkar atau memuat muatan.

Hal itu merupakan faktor lain yang berpengaruh terhadap pencemaran lingkungan di laut. Adapun analisis data dari hasil penelitian urut dari beberapa kejadian adalah:

Data 1

Kejadian pada tanggal 23 September 2019 ketika kapal melakukan kegiatan muat di Kijang, Bintan. Setelah kapal selesai melakukan kegiatan muat muatan, kapal miring 2 derajat kiri maka mualim 1 melakukan kegiatan membuang ballas tangki sebelah kiri dikarenakan tangki kanan telah penuh

(5)

semua , maka cara satu-satunya adalah membuang ballas pada tangki sebelah kiri agar kapal pada saat berangkat dengan keadaan steady.

Data 2

Kejadian pada saat tanggal 6 Desember 2019 ketika kapal telah selesai melakukan kegiatan bunker air tawar di fore peak tank, kapal mengalami Trim by ahead. Maka mualim 1 memutuskan untuk membuang ballas no.2 yaitu Ballast Double Bottom agar kapal mengalami eveen keel. Karena sebelumnya sudah di coba untuk mengisi double bottom tanki no.8 sampai penuh keadaan masih trim by ahead.

Data 3

Kejadian pada tanggal 30 April 2020 ketika kapal akan melakukan kegiatan muat muatan module atau heavy cargo dengan berat 70 ton di pelabuhan Kijang, Bintan. Captain , port captain, Chief Officer memutuskan menggunkan ballas agar kapal tidak terbalik pada saat muatan tersebut telah di letakan.

2. Analisis Data

Beberapa permasalahan tentang tindakan sesuai dengan code yang berlaku, maka hasil penelitian dapat memberikan gambaran tentang kejadian- kejadian yang penulis alami pada saat melaksanakan praktek laut diatas kapal MV. Red Rock sebagai berikut:

(6)

No Kondisi Diatas Kapal Aturan atau SOP 1 Kejadian pada tanggal 23

September 2019 ketika kapal melakukan kegiatan muat di Kijang, Bintan. Setelah kapal selesai melakukan kegiatan muat muatan, kapal miring 2 derajat kiri maka mualim 1 melakukan kegiatan membuang ballas tangki sebelah kiri dikarenakan tangki kanan telah penuh semua, maka cara satu- satunya adalah membuang ballas pada tangki sebelah kiri agar kapal pada saat berangkat dengan keadaan steady.

Ballast Water Management Convention London standart D- 1.

Mengharuskan kapal untuk menukar air pemberat mereka di laut lepas, jauh dari daerah pesisir. Idealnya, ini berarti setidaknya 200 mil laut dari daratan dan setidaknya dalam air 200 meter.

2 Kejadian pada saat tanggal 6 Desember 2019 ketika kapal telah selesai melakukan kegiatan bunker air tawar di fore peak tank, kapal mengalami Trim by ahead.

Makam mualim 1 memutuskan untuk membuang ballas no. 2 yaitu Ballast Double Bottom agar kapal mengalami eveen keel. Karena sebelumnya sudah di coba untuk mengisi Double Bottom tanki no.8 sampai penuh kedaan masih Trim By Ahead.

Ballast Water Management Convention London standart D- 1.

Mengharuskan kapal untuk menukar air pemberat mereka di laut lepas, jauh dari daerah pesisir. Idealnya, ini berarti setidaknya 200 mil laut dari daratan dan setidaknya dalam air 200 meter.

3 Kejadian pada tanggal 30 April 2020 ketika kapal akan melakukan kegiatan muat muatan module atau heavy cargo dengan berat 70 ton di pelabuhan Kijang, Bintan.

Captain, port captain, Chief Officer memutuskan menggunakan ballas agar kapal

Ballast Water Management Convention London standart D- 1.

Mengharuskan kapal untuk menukar air pemberat mereka di laut lepas, jauh dari daerah pesisir. Idealnya, ini berarti setidaknya 200 mil laut dari

(7)

tidak terbalik pada saat muatan tersebut telah di letakan.

daratan dan setidaknya dalam air 200 meter.

C. PEMBAHASAN

Dari hasil analisa data tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan awak kapal tentang Ballast Water Management masih kurang. Pelanggaran-pelanggaran tersebut biasanya terjadi pada saat para perwira melaksanakan tugas tetapi terpaksa melakukan keputusan tersebut untuk keselamatan berlayar dan tuntutan pihak pencharter kapal agar kapal pada saat berangkat dengan keadaan kapal steady.

Sesuai dengan Konvensi International tentang Ballast Water Management di London pada tahun 2004, di mana hal-hal berikut dapat diterapkan:

1. Standar D-1 mengharuskan kapal untuk menukar air pemberat mereka di laut lepas, jauh dari daerah pesisir. Idealnya, ini berarti setidaknya 200 mil laut dari daratan dan setidaknya dalam air 200 meter. Dengan melakukan ini, lebih sedikit organisme yang akan bertahan hidup sehingga kemungkinan kapal akan lebih kecil memperkenalkan spesies yang berpotensi berbahaya ketika mereka melepaskan air pemberat.

2. Standar D-2 menentukan jumlah maksimum organisme yang layak yang diizinkan habis, termasuk mikroba indikator yang ditentukan berbahaya bagi kesehatan manusia. Dari tanggal berlakunya Konvensi BWM, semua kapal harus mematuhi setidaknya standar D-1 dan semua kapal baru, dengan standar D-2. Akhirnya, semua kapal harus memenuhi standar D-2. Bagi kebanyakan kapal, ini melibatkan memasang peralatan khusus untuk mengolah air pemberat.

3. Kapal yang berukuran GT 400 atau lebih dan membawa air balas dengan kapasitas 1500 m3 atau lebih yang berlayar diperairan Indonesia maupun Internasional wajib mememenuhi ketentuan manajemen air balas.

(8)

Dari kejadian memuat muatan module atau heavy cargo yang beratnya 70 ton , steady kan kapal, membuat eveen keel kapal, dapat disimpulkan bahwa penerapan Ballast Water Management di atas kapal MV. Red Rock tidak berjalan dengan baik dan tidak sesuai dengan aturan yang sudah di tetapkan. Kapal MV.

Red Rock memiliki Ballast Water Management Plan, Ballast Water Record Book, dan sertifikat International Ballast Water Management dengan standart D- 1 namun, dikapal MV. Red Rock tidak menerapkan sesuai dengan standart D-1 yaitu yang seharusnya mengisi atau membuang air ballas dengan jarak minimal 200 NM dan kedalaman 200 meter, namu di kapal MV. Red Rock mengisi atau membuang air ballas pada saat kapal sandar atau berlabuh yang jarak dan kedalaman tidak sesuai dengan standart D-1. Beberapa alasan yang mengakibatkan Ballast Water Management tidak dapat di terapkan di kapal : 1) Faktor keselamatan crew dan buruh yang sedang bekerja di atas kapal pada

saat muat muatan besar.

2) Faktor kapal yang hanya berlayar di wilayah dalam negeri sehingga perusahaan atau crew kapal belum menerapkan.

3) Kurang pahamnya crew dan perusahaan atas penerapan Ballast Water Management.

4) Mahalnya biaya jika menggunakan Ballast Water Treatment adalah sebesar

$50.000-$200.000 yang terdiri atas biaya perencanaan, biaya pembelian alat, biaya instalasi, dan biaya lainnya.

(9)

Biaya pengadaan alat Ballast Water Treatment sangat bergantung pada tipe metode penanganan. Biaya pengadaan ini sudah termasuk kalkulasi dari biaya perencanaan, biaya pembelian alat, biaya instalasi dan biaya lainnya yang mendukung instalasi seperti pembelian bahan-bahan serta instalasi sistem terkait seperti instalasi kelistrikan dan pipa, berikut biaya dari pengadaan alat Ballast Water Treatment.

Tabel 4. 1 Biaya investasi alat Ballast Water Treatment KAPAL Direct Flow

Electrolysis

Side stream Electrolysis

UV

M.T.

Kamojang

Rp.

10.242.639.000

Rp. 8.077.509.000 Rp. 8.484.291.000

M.T Sinar Jogya

Rp.

12.501.810.000

Rp. 9.795.397.500 Rp.

10.347.615.000 M.T.

Senipah

Rp.

13.809.150.000

Rp. 10.802.025.000 Rp.

11.415.600.000 M.T.

Gunung Geulis

Rp.

16.714.350.000

Rp. 13.038.975.000 Rp.

13.788.900.000

M.T.

Galunggung Rp.

15.261.750.000

Rp. 11.920.500.000 Rp.

12.602.250.000 (Sumber : Analisis Implementasi Kebijakan Penerapan Ballast Water Treatment Pada Industri Pelayaran, Karina Nur Arumsari, 2017)

(10)

Metode alternatif penanganan Ballast Water Management : 1) Paparan panas cahaya ultraviolet

Sistem jenis ini, mensterilkan organisme di air balas secara mekanis dimana aliran air ballast yang masuk saat proses ballasting akan memalui filter dan UV modul. Modul ini dilengkapi lampu yang dapat memancarkan sinar UV sebelum akhirnya masuk ke dalam tanki ballast. Biaya operasional terbesar peralatan ini adalah penggunaan daya listrik.

Dampak Lingkungan Sinar UV:

a) Efisiensi tergantung pada kualitas atau kejernihan air b) Efektif mikroorganisme

c) Tanpa menggunakan zak aktif kimia d) Paparan sinar UV pada awak kapal 2) Direct-Flow Electrolysis

Sistem elektrolisis menggunakan proses kimiawi, proses tersebut berdasarkan elektrolisis air laut yang mengalir pada sel elektrolitik. Proses ini menghasilkan air laut, sodium hypochlorite, gas hydrogen dan hypochlorous acid.

3) Side-Stream Electrilysis

Perbedaan antara direct-flow electrolysis dengan side-stream electrilysis adalah sistem ini mengambil sedikit air ballast tadi lalu di olah menjadi disinfektan untuk memproses air ballast di tangki dan dinetralisir sebelum melakukan de-ballast, selain itu sistem yang berlangsung di metode side-

(11)

stream electrolysis ini sama dengan sistem sebelumnya yaitu direct flow electrolysis.

4) Dampak lingkungan direct-flow electrolysis dan side-stream electrilysis : a) Treatment menghasilkan zat aktif kimia,

b) Diperlikan senyawa netralisir sebelum melakukan de-ballasting, c) Efektif untuk segala jenis organisme,

d) Efisiensi tergantung pada salintas air.

Dari beberapa metode alternatif yang lebih dapat digunakan atau diterapkan di kapal yaitu dengan metode alternatif paparan panas sinar UV dikarenakan biayanya yang lebih murah dan dampak lingkungannya yang lebih kecil.

(12)

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian tentang penerapan Ballast Water Management guna mencegah pencemaran di laut di atas kapal MV. Red Rock tempat penulis melaksanakan praktek layar adalah:

1. Penerapan Ballast Water Management di MV. Red Rock telah di terapkan namun penerapannya tidak secara maksimal, disebabkan kurangnya sosialisasi dan pemahaman awak kapal tentang Ballast Water Management di kapal dan pihak pencharter kapal, mahalnya harga jika memasang Ballast Water Treatment.

2. Strategi agar penerapan Ballast Water Management dapat di terapkan di kapal adalah dengan menggunakan metode alternatif yaitu dengan paparan panas cahaya ultraviolet, penanganan kimia (Direct-Flow Electrolysis atau Side- Stream Electrilysis.

B. SARAN

Dalam hal ini penulis akan memberi saran-saran yang sekiranya dapat bermanfaat dan sebagai masukkan guna memperbaiki masalah tentang penerapan Ballast Water Management adapun saran-saran yang ingin penulis sampaikan adalah sebagai berikut:

(13)

1. Perlunya diadakan sosialisasi di atas kapal guna awak kapal memahami tentang pentingnya penerapan Ballast Water Management.

2. Pihak perusahaan seharusnya memberikan petunjuk berupa buku mengenai bagaimana penerapan Ballast Water Management yang baik di atas kapal.

3. Captain dan mualim 1 seharusnya memberikan pengarahan ke pihak pencharter akan pentingnya penerapan manajemen air ballas dan dampak buruknya jika penerapan manajemen air balas tidak di terapkan dengan baik.

4. Mengunakan metode paparan sinar UV memiliki kelebihan yaitu :

a) UV tidak mengakibatkan korosi seperti yang ditimbulkan oleh senyawa kimia yang beroksidasi,

b) Sistem UV tidak membutuhkan penyimpanan dan penanganan tambahan dari senyawa kimia,

c) Efisiensi sistem UV tidak dipengaruhi oleh salinitas air, temperatur dan memegang waktu air ballast di tankinya,

d) Organisme tidak dapat berkembangbiak setelah terpapar sinar UV,

e) Sistem UV tidak membutuhkan fase dilusi atau fase dimana air laut akan melalui proses pengenceran atau melepaskan mikroba dari substratnya sehingga memudahkan penangannya,

f) Metode UV memiliki dampak lingkungan yang lebih kecil daripada metode elektrolisis. Metode elektrolisis menghasilkan zat kimia karena sesuai standar IMO konsentrasi keluaran air ballast dengan zat kimia minimal adalah 0,2 ppm.

Referensi

Dokumen terkait

[11] Alimirzaloo V., Sadeghi M.H., Biglari F.R., “Optimization of the Forging of Aerofoil Blade Using the Finite Element Method and Fuzzy-Pareto Based Genetic Algorithm”, Journal