55 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Akibat yang muncul dari perluasan asas legalitas dalam Pasal 2 RUU-KUHP terhadap kepastian hukum
Asas legalitas dalam pasal 1 ayat 1 RUU KUHP maupun KUHP saat ini mengalami perluasan pandangan dengan Pasal 2 RUU KUHP. Pasal 2 ayat (1) mengatur mengenai pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat yang mengakibatkan seseorang dapat dipidana tanpa peraturan perundang-undangan yang mengatur. Menjadi permasalahan bahwa ukuran yang mana yang menjadi penentu hukum yang hidup dalam masyarakat. Maka itu Pasal 2 ayat (1) dapat menjadi pelemah kepastian hukum. Pelemahan nilai kepastian hukum dalam Pasal 2 ayat (1) RUU KUHP ini dapat ditelaah melalui isi dari hukum yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Hukum yang hidup dalam masyarakat sesungguhnya berbeda-beda dalam masyarakat suatu wilayah dengan masyarakat wilayah lainnya atau dengan masyarakat adat satu dan masyarakat adat lainnya. Sehingga dalam proses pemidanaan menggunakan hukum yang hidup dalam masyarakat akan menjadi sulit.
Dalam penggunaan hukum yang hidup dalam masyarakat seperti yang ditentukan oleh Pasal 2 Ayat 1 RUU KUHP, akan menciderai fungsi asas legalitas jika hukum yang hidup dalam masyarakat ini tidak ada dasar tertulis atau pengkodifikasian. Asas legalitas memiliki nilai-nilai yang mendukung agar terjadinya kepastian hukum, nilai-nilai tersebut adalah hukum harus dibuat secara tertulis (lex scripta), hukum harus dibuat secara jelas (lex certa), hukum tidak boleh berlaku surut (lex temporis delicti), dan pelarangan menggunakan analogi (lex stricta). Jika Pasal 2 Ayat 1 RUU KUHP diberlakukan langsung
56 dikhawatirkan akan menjadi pertentangan dengan lex scripta karena hukum yang hidup dalam masyarakat tidak selalu tertulis. Bertentangan dengan lex certa karena kejelasan dari hukum apa yang berlaku menjadi abstrak karena tidak ada ketentuan yang pasti secara tertulis dan terkodifikasi. Hukum yang hidup dalam masyarakat juga bisa bersifat retroaktif karena tidak diketahui kapan hukum tersebut mulai berlaku, hal ini bisa bertentangan dengan lex temporis delicti.
Larangan analogi juga (selain dalam nilai-nilai legalitas terdapat juga dalam Pasal 1 Ayat 2 RUU KUHP) bisa bertentangan karena Pasal 2 ayat 1 dapat menghukum seseorang tanpa ada dasar perundang-undangan sehingga bisa diserupakan dengan aturan lain yang memiliki kemiripan.
Selain itu, perluasan asas legalitas dalam Pasal 2 ayat 1 ini juga memiliki pengaruh praktis dalam kehidupan sehari-hari. Pasal 2 ayat 1 tidak mencantumkan hukum yang hidup dalam masyarakat yang seperti apa yang berlaku dalam masyarakat. Mengenai hukum yang seperti apa memang telah dijelaskan dalam bagian Penjelasan Pasal 2 ayat 1, namun bagian penjelasan menurut Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai pedoman atau bisa dibilang tafsiran yang tidak selalu harus diyakini dalam penggunaannya. Sehingga jika pasal ini diberlakukan tanpa ada pengaturan lebih lanjut, masyarakat dapat dengan bebas menafsir dan khawatirnya patokan hukum seperti apa yang dimaksud hukum yang hidup dilakukan oleh masyarakat tertentu maka akan menimbulkan ketidak pastian hukum bahkan ketidak adilan dalam masyarakat Indonesia.
Pasal 2 ayat 1 juga menimbulkan kesulitan kepada aparat penegak hukum.
Jika hal-hal permasalahan sederhana yang seharusnya bisa diselesaikan oleh masyarakat umumnya atau masyarakat adat secara langsung dilimpahkan kepada aparat penegak hukum, dikhawatirkan proses pidana terhadap berbagai kasus sederhana akan menjadi menumpuk dan lama untuk diadili. Padahal proses peradilan mensyaratkan adanya pengadilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Selain itu, seharusnya hukum pidana menjadi suatu upaya akhir dalam mengatasi permasalahan publik (ultimum remedium).
57 2. Menentukan pemberlakuan ketentuan “hukum yang hidup dalam masyarakat”
dalam Pasal 2 RUU-KUHP atau hukum tidak tertulis yang menjadi dasar pemidanaan
Hukum yang hidup dalam masyarakat bisa begitu beragam dan dapat dari berbagai sumber, maka dari itu perlu ditelaah lebih jauh hukum seperti apa yang dijadikan tolok ukur hukum yang hidup dalam masyarakat menurut RUU KUHP.
Sebenarnya Hukum yang hidup dalam masyarakat menurut Pasal 2 ayat 1 telah dijelaskan melalui Penjelasan Pasal 2 ayat 1 juga Penjelasan Buku 1 nomor 4 yang menjelaskan bahwa kategori hukum yang hidup dalam masyarakat adalah hukum adat, namun bagian penjelasan hanyalah penafsiran yang dapat atau tidak dapat dipatuhi. Secara langsung hukum yang hidup dalam masyarakat juga dicantum dalam Pasal 597 RUU KUHP untuk dijalankan, lalu sanksi yang diberikan adalah sanksi kewajiban adat sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat 1 huruf f. Maka dapat dipastikan (walaupun tidak secara konkrit) hukum yang hidup dalam masyarakat adalah hukum adat.
Pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat sebelumya sudah ada dalam Pasal 5 (3) huruf b, Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Dalam pasal ini menjelaskan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat harus dianggap sebagai perbuatan pidana meskipun perbuatan tersebut tidak ada bandinganya dalam KUHP.
Berbeda dengan Pasal 2 yang mencakup keseluruhan tempat atau daerah di Indonesia, Pasal 5 (3) huruf b Undang-Undang Darurat nomor 1 Tahun 1951 ini hanya mencakup mengenai hukum dalam pengadilan adat dan pengadilan swapraja saja. Selain itu pasal ini tidak memuat mengenai pelanggaran adat seperti apa yang dapat dijatuhi sanksi.
Ketentuan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat dapat disalah arti atau salah tafsir oleh masyarakat pada umumnya jika Pasal 2 tidak dikaitkan dengan bagian penjelasan, Pasal 597, dan Pasal 66 yang memuat sanksi pidana- nya. Karena dalam Penjelasan Pasal 2, perlu adanya kodifikasi untuk menjadikan
58 hukum adat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat. Kodifikasi yang dimaksud adalah menjadikan peraturan adat yang akan dijadikan acuan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat menjadi Peraturan Daerah sebagai hukum yang diakui hirarki nya dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang-undangan.
Kodifikasi hukum yang hidup dalam masyarakat dijelaskan melalui Penjelasan Pasal 2 RUU KUHP Tahun 2019. Sayangnya penjelasan pasal tersebut hanyalah tafsir mengenai apa yang dimaksud dalam pasal. Sementara itu menurut Lampiran I nomor 177 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, bagian penjelasan tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk membuat peraturan yang berhubungan dengan pasal tersebut. Sehingga kekuatan peraturan pengkodifikasian hukum yang hidup dalam masyarakat juga masih lemah.
B. SARAN
Setelah mengetahui perluasan asas legalitas dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana melalui pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diketahui juga terdapat kelemahan-kelemahan yang terkandung akibat perluasan asas legalitas terlebih lagi mengenai hukum yang berlaku dalam masyarakat. Saran-saran dari penulis dalam penulisan hukum ini yang berkaitan dengan permasalahan hukum yang timbul dalam skripsi ini, sebagai berikut:
1. Penulis menyarankan supaya penjelasan mengenai hukum apa yang berlaku dalam masyarakat seperti yang dicantum dalam Pasal 2 ayat 1 RUU KUHP dimuat juga mengenai apa itu hukum yang berlaku dalam masyarakat beserta pengkodifikasiannya pada ayat-ayat berikutnya dalam pasal yang sama. Hal tersebut diperlukan untuk mempermudah masyarakat pada umumnya untuk mengerti maksud dari hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal tersebut sebenarnya sudah dijelaskan melalui bagian penjelasan mengenai pasal tersebut, namun masyarakat pada umumnya yang bukan berasal dari
59 pengemban hukum lebih sering hanya melihat isi pasalnya saja. Maka alangkah lebih bijak pembentuk undang-undang menjabarkannya dalam ayat- ayat pasal 2 sehingga masyarakat umum dapat menafsirkan maksud dari hukum yang berlaku dalam masyarakat menurut RUU KUHP secara Otentik.
Selain untuk lebih memperkuat pemahaman masyarakat, penjabaran hukum yang berlaku dalam masyarakat dalam ayat-ayat di Pasal 2 RUU KUHP juga memperkuat kepastian hukum mengenai pengkodifikasian hukum adat ke dalam Peraturan Daerah.
2. Pengkodifikasian hukum yang hidup dalam masyarakat juga perlu diatur mengenai prosesnya secara khusus dalam Rancangan Undang-Undang mengenai Masyarakat Adat. Hal tersebut perlu diatur agar masyarakat adat dapat lebih sadar akan potensi hukum adat yang dapat dijadikan referensi peraturan daerah. Kodifikasi hukum yang hidup dalam masyarakat juga berfungsi agar proses pemidanaan yang telah dilakukan oleh aparatur penegak hukum berjalan dengan lancar tanpa adanya gangguan dari pihak-pihak lain bahkan menghindari pemidanaan yang dilakukan dua kali (nebis in idem) dalam kasus pidana yang sama.
60
61 DAFTAR PUSTAKA
Sumber dari Buku:
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001.
C. Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia suatu pengantar, Bandung: Refika Aditama, 2014.
E. Fernando M. Manullang, Legisme, legalitas, dan kepastian hukum. Jakarta:
Prenamedia group, 2016.
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta: Cahaya Ama Pustaka, 2016.
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Yogyakarta: Rangkang Education, 2010.
I Made Widayana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat , Bandung: Eresco, 1993.
J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material bagian umum, Bandung: Binacipta 1887.
Jaenadi Efendi dan Johnny, Metode Penelitian Hukum: Nomartif dan Empiris, Depok: Prenada Media, 2018.
Jeroen ten Voorde, Hukum Pidana Dalam Perspektif: Hukum Pidana dalam Masyarakat Pluralistik. Bali: Pustaka Larasan, 2012.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
62 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013.
P.A.F. Lamintang, “Dasar-dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana yang Berlaku di Indonesia”, Bandung: Citra Aditya, 1997.
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada:
2005.
Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab- Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padananya dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Roeslan Saleh. Hukum pidana sebagai Konfrontasi Manusia dan Manusia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1990.
Schaffmeister, Keijzer, Sutorius, Hukum Pidana, Cet. ke-3, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2011.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,Jakarta : Rajawali Press, 2003.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981.
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyrakat (Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana), Bandung: Sinar Baru, 1983.
63 Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990.
Sudarto, Suatu dilemma dalam Pemabaharuan Sistem Pidana Indonesia, Bandung:
Sinar Baru, 1983.
Tim Pengajar PIH Fakutas Hukum Unpar, Pengantar Ilmu Hukum, Universitas Katolik Parahyangan Bandung, 2015.
Tongat, Dasar-dasar hukum pidana indonesia dalam prespektif pembaharuan.
Malang: UMMpress, 2018.
Wirjono Prodjodikiro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Eresco Jakarta, 1981.
Sumber dari Jurnal:
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan Guru Besar, 1994 Universitas Dipenegoro.
Fajrimei A Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP: Position Paper Advokasi, RUU KUHP Seri 11 September 2015, ELSAM.
Hwian Christianto, Pembaharuan Makna Legalitas, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009, Universitas Indonesia.
Lucky Endrawati, Rekonstruksi Analogi Dalam Hukum Pidana Sebagai Metode Penafsiran Hukum Untuk Pembaharuan Hukum Pidana Dengan Pendekatan Aliran Progresif, Jurnal Hermeneutika Volume 2, Februari 2018, no 1. Unversitas Sultan Ageng Tirtayasa.
64 P.A.F. Lamintang, Beberapa Masalah Sekitar Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Jurnal Pro Justitia Nomor 2 Tahun VI April 1988, Bandung: Universitas Parahyangan.
R.B. Budi Prastowo, Delik Formil/Materiil, Sifat Melawan Hukum Formil / Materil dan Pertanggungjawaban Pidana dalam Tindak Pidana Korupsi Kajian Teori Hukum Pidana terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi RI Perkara Nomor 003/PUU-IV/2006, Jurnal Hukum Pro Justitia, Juli 2006, Volume 24 No.3 Universitas Parahyangan.
Sri Rahayu, Implikasi Asas Legalitas Terhadap Penegakan Hukum Dan Keadilan, Jurnal Inovatif: Jurnal ilmu Hukum Vol 7 No 3 September 2014, Universitas Jambi.
Sumber dari Internet:
Agus Sahbani, Hukum Online.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a42131b82c60/sekilas-sejarah-dan- problematika-pembahasan-rkuhp/ (diakses tanggal 2 Juli 2019 Pukul 15.22).
Aliansi Nasional Reformasi KUHP, http://reformasikuhp.org/hukum-adat-dalam- rkuhp-belum-jelas-dan-undang-ketidakpastian/ (diakses 5 November 2019, pukul.
13:23).
Hukum Online,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5746f66360762/putusan-putusan- yang-menghargai-pidana-adat/ (diakses 11 November 2019, pukul 13.28).
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, Sejarah Berdirinya Badan Pembinaan Hukum Nasional.
https://bphn.go.id/index.php/readinfo/main_history (diakses Rabu, 18 September 2019 Pukul 16.44).
65 Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia.
https://www.cnbcindonesia.com/news/20190921101315-4-101164/jokowi-minta- pengesahan-ruu-kuhp-ditunda-apa-kata-dpr (diakses 22 September 2019, 18.22) . Soviah Hasanah, Hukum Online
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt57dd96e1ea96c/sudah- dipidana-secara-adat--dapatkah-dipidana-lagi-berdasarkan-hukum-nasional/
(diakses 11 November 2019, 14.13).
Sumber dari Peraturan Perundang-undangan:
Tap MPR no. IV/MPR/1978 Tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil.
Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang- undangan.
Rancangan Undang-Undang Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana.