• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAGIAN II: PENGUASAAN TANAH

N/A
N/A
shintiya

Academic year: 2023

Membagikan " BAGIAN II: PENGUASAAN TANAH"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Nama: Shintiya Permata Puteri NIM:8111421312

No Absen:30

Rombel 5 Hari Selasa Jam 17.00

Resume Reforma Agraria BAGIAN II PENGUASAAN TANAH 5.Penguasaan dan Kelembagaan

Penguasaan Tanah Tradisional dan Pelapisan Masyarakat Desa

Ciri umum struktur dasar pertanian Jawa yaitu satuan usaha taninya kecil yaitu 0,63 ha dan jumlah petani kecil yaitu 8,8 juta sedangkan proporsi usaha tani 2 ha hanya 4,7% dan yang melebihi 5 ha hanya 0,46%. Ciri lain yaitu ada bentuk status pemilikan tanah baik secara hukum formal maupun adat.Dalam hukum adat konsep atas hak tanah berbeda dengan hukum formal barat. Istilah hak eigendom( hak milik mutlak), hak perorangan turun-temurun (erfelijk individueel bezit), hak komunal (comunal bezit), hak ulaya (beschikkingrecht) baru dikenal setelah ada UU Agraria Kolonial 1870. Penerapan lembaga tanah secara adat dan penggunaan istilah masih diterapkan walaupun setelah ada UUPA 1960.

Penguasaan tanah secara adat di Jawa yaitu:

1. Tanah Yasan yaitu tanah dari perolehan pembukaan hutan/ tanah liar untuk digarap.

Seseorang yang membuka dianggap nenek moyang.” Yoso” berarti membangun sendiri bukan membeli). Konsep Yasa tidak mengenal hak menjual, menggadaikan dan menyewakan di dalamnya karena hal ini baru dikenal setelah ada kolonial.Tanah Yasan merupakan hak milik sesuai UUPA 1960

2. Tanah Gogolan yaitu tanah pertanian milik masyarakat desa yang dibagi” ke petani inti secara giliran/ tetap. Istilah lainnya petani cuma memiliki hak garap dan tidak berhak menjual atau memindahtangankannya.Setelah diundangkan UUPA 1960, tanah ini diberikan hak milik pada pemegang hak pakai terakhir.

3. Tanah Titisara( Tanah Kas Desa/Bondo Desa) yaitu tanah pertanian milik desa yang secara berkala disewakan dengan dilelang dan hasilnya dipergunakan untuk keperluan desa dan pembangunan.Tanah ini tetap diakui sesuai UUPA 1960.

4. Tanah Bengkok yaitu tanah pertanian milik desa untuk para pamog desa (kepala desa/lurah) sebagai gaji dalam jabatannya. Jika jabatan telah selesai, tanah dikembalikan dan diserahkan ke pejabat yang baru. Di Jawa tidak semua desa ada tanah bengkok.Akhir abad 19 menyatakan 35 desa tidak memiliki tanah bengkok dan menggaji pamong desa dengan pancen (padi) dan tanah ini tetap diakui sesuai UUPA 1960.

Dalam hubungan ini, ciri lain desa Jawa terkait tanah yaitu adanya lapisan yang didasarkan atas perbedaan hak atas tanah dan kewajiban yang menyertainya, Lapisan” ini yaitu:

1. Lapisan Penduduk Inti(Kuli kenceng)

Yaitu mereka yang nenek moyangnya merupakan pemukim pertama didaerah itu atau pembuka tanah disitu.Mereka memiliki tanah yasan dan memiliki rumah dan pekarangan sendiri sehingga mereka diberikan hak menggarap tanah gogolan yang

(2)

disertai kewajiban “kerja bakti” untuk melakukan pekerjaan desa tanpa upah seperti ronda, perbaiki saluran dan jalan desa dll.

2. Lapisan kedua (kuli Kendo)

Yaitu mereka yang mempunyai rumah dan pekarangan sendiri tapi tidak punya sawah. Ini merupakan calon kuli kenceng ( lapisan pertama)

3. Lapisan Ketiga ( Magersari)

Yaitu mereka yang tidak memiliki tanah, pekarangan tetapi punya rumah yang didirikan diatas pekarangan orang lain.Mereka bekerja sebagai buruh tani/penyakap

4. Lapisan terbawah

Yaitu mereka yang sama sekali tidak punya apa” kecuali tenaga dan mereka mondok /tinggal di rumah orang lain dan menjadi buruh tani di tuannya sebagai pemilik sawah.Mereka tidak diupah hanya diberi makan dan tempat tinggal.

Setelah Indonesia merdeka, adanya UUPA 1960 mengatur kembali pertanahan di Indonesia termasuk hak hukum atas tanah. Adapun Distribusi Penguasaan Tanah yang khususnya disoroti dalam penelitian ini terkait distribusi kepemilikan sawah yang hasilnya sangat timpang.Di Jawa, 6 dari 13 desa indeks gininya diatas 0,80.Di semua desa, 30% atau lebih rumah tangga tidak memiliki tanah dan kurang dari 20% rumah tangga memiliki separuh dari luas sawah milik yang ada yang mencolok yaitu desa wargabinangun,mariuk,balida,kebanggan,rowosari dan sukosari.Dari kenyataan data penguasaan tanah, ilmuwan menghubungkannya dengan diferensiasi kelas antara kelompok pemilik tanah dan kelompok tuna-kisma.

Tingkat ketunakismaan dari segi kepemilikan ,rumah tangga tanpa tanah sawah di desa penelitian cukup besar terutama di Jawa yaitu lebih dari 50%, 8 dari 12 desa adalah tunakisma.Dalam hal mereka yang bukan pemilik dan tidak memiliki tanah garapan disebut tinakisma mutlak yang berjumlah lebih dari 20% sekitar 10 dari 12 desa di jawa bahkan 71 desa diantara tunakisma mutlak melebihi 40. Dalam 10 tahun terakhir, tunakisma justrun menurun di Sulawesi Selatan dengan sebab di luar jawa pelaksanaan land reform lebih belakangan (1974 masih redistribusi tanah) sehingga masih sedikit pemerataan dan sebab kedua yaitu sebagian tunakisma transmigrasi ke Malaysia (Sibah).Kepemilikan Tanah mencerminkan struktur lapisan di desa” jawa.Adapun menurut data yang telah tersedia, di Jawa Barat tidak ada lapisan masyarakat gundul( hanya punya sawah saja)/ lapisan magersari (hanya punya rumah saja).Di Jawa Barat tidak memiliki keduanya dan hanya punya tenaga sendiri yang relatif jauh lebih tinggi dari tempat lain.

Tingkat Penyakapan ( Tenancy Rates), Penyajapan atau penyewaan identik dengan sebelum Perang dunia kedua (sensus 1905) kepemilikan tanah yang luas belum tentu usaha taninya luas karena banyak disakapkan atau disewakan (termasuk sewa- menyewa).Tunakisma yang masuk dalam penyakapan relatif kecil karena pemilik tanah sendiri masuk ke pasar penyakapan.Dari tabel 5.6 dijelaskan proporsi tunakisma tanah garapan di 9 dari 15 desa penelitian lebih ebsar daripada proporsi pemilik tanh yang juga penyewa, Sesuai tabel 5.5, meskipun tunakisma dengan tanah garapan lebih besar tapi tanah garapannya berskala kecil. Pada Tabel 5.6 pemmilik tanah menggarap sendiri tanah besar dikarenakan adanya teknologi sehingga lebih suka menggarap sendiri tanahnya dibanding menyewakannya ke tunakisma, hal ini berdampak pada kesempatan tunakisma mendapat tanah garapan makin terbatas.Hal ini disimpulka penyakapan ini membuat struktur penguasaan tanah semakin timpang.

(3)

Sedangkan bandingannya dengan kepemilikan tanah dan tingkat kemiskinan. Dari beberapa tabel disimpulkan pemilik tanah luas yang memiliki keterjangkauan ke sumber non pertanian. Dalam tabel 5.7., rumah tangga desa yang diteliti dibawah kemiskinan sekitar 40%, bahkan 50%. Pada lapisan strata kepemilikan tanah terdapat proporsi keluarga miskin yang lebih besar.Tunakisma dalam menguasai tanah dengan penyakapan dan pemilik bukan penggarap tetapi pemilikian tanah menjadi faktor penentu tingkat hidup di pedesaan.

Adapun cara pengaturan penguasaan atau pengusahaan tanah di desa teliti dapat dilakukan dengan beberapa sistem:

1. Sistem Gogolan

Nama lain sistem ini yaitu norowito,playangan,pekulen,kesikepan. Sejak berlaku UUPA 1960, tanah gogolan tidak diakui lagi dan hak tanahnya diberikan ke penggarap terakhir dengan status hak milik.Beberapa desa tetapi masih menjalankan sistem gogolan ini dengan persyaratan berbeda. Desa penelitian di Jawa yang dulu

mempunyai tanah grogolan yaitu wargabinangun,

cirebon,rowosari,kendal,kebanggan,banyumas,ngawi ,geneng,janti dan sidoarjo.Rowosari lah yang secara tuntas mengubah tanah gogogolan menjadi hak milik.Adapun di 4 desa lainnya, aturan grogolan masih berjalan seperti di Wargabinangun terkait sumbangan anggaran desa, tiap petani wajib membayar pajak berupa padi.Di Geneng, kewajiban kerja bagi desa diprioritaskan ke petani pemilik tanah pekulen.

Di Kebanggan, luas tanah pekulem serta pemegang haknya masih tetap dipakai sebagai referensi peraturan terkait penguasaan tanah termasuk giliran penggunaan tanah antara padi dan tebu. Cara peraturan tanah di Kebanggan disebut juga dengan tanah klumpukan.Sedangkan di Janti, sistem gogolan berjalan hampir tidak berubah kecuali status petani secara hukum sebagai pemilik yang berhubungan dengan penggiliran tanah tebu dan padi didaerah pabrik gula yang disebut glebagan.Di Janti berlaku sistem gogolan bergilir yaitu tanah dan lokasi pemiliknya turut bergilir (letak tanah seseorang dapat berpindah), tanah bekas tebu yang menjadi garapan tani dibagi lagi pemiliknya secara undian. Prinsip dalam penggiliran ini yaitu luas tetap sama dan kualitasnya tetap sama dengan hak semula.Dahulu dibatasi hanya 1 luas tanah gogolam, setelah adanya UUPA, status hukum pemegang tanah gogolan menjadikan kebebasan untuk melakukan jual beli sehingga petani dapat mempunyai lebih dari 1 tanah gogolan dengan luas yang sama.

2. Sistem Gadai

Sistem gadai disini merupakan suatu sistem dengan menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang tunai, dengan ketentuan penjual tetap berhak atas pengembalian tanah dengan menebusnya kembali. Pembayarannya juga dapat dengan sekian kuintal gabah, sekian gram emas perhiasan maupun sekian ekor sapi atau kerbau. Jika pemilik belum dapat menebus, maka hak penguasaan tanhnya masih di pemegang gadai.Pengembalian tanah dilakukan jika tanaman yg ditanam telah dipanen. Hal ini dianggap sangat merugikan oleh pemerintah sehingga dilarang sesuai UU 56 Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian pasal 7.

Sistem Gadai dilakukan 4 desa saja di desa penelitian yaitu Sentul, Mariuk, Jati dan Sukaambit. Di Sentul dan Sukaambit gadai dilakukan ke petani tanah sempit ke petani kaya karena kebutuhan yang besar dan mendesak dan di Sentul tanah dengan produktivitas rendah dan hanya dapat ditanami padi setahun sekali menjadi alasan

(4)

tanah harus digadaikan bukan di sewakan. Sedangkan di Mariuk dan Jati tanah digadakan ke petani kaya dan petani kaya dengan maksud mencukupi kebutuhan membeli sawah jika sudah membeli sawah maka hasilnya untuk menebus tanah yang digadai. Di desa penelitian di Jawa Tengah, ada 2 desa yang melakukan sistem gadai yaitu banggan dan Wanarata untuk keperluan selamatan atau nduwe gawe untuk mengawinkan anak dan biasanya merupakan petani bertanah sempit.Kebanyakan petani ini melepas atau menjual sama sekali tanah miliknya karena tidak mampu membayar. Sedangkan di Jawa Timur ada desa Sukosari yang melakukan sistem gadai tetapi dengan perbedaan penggadai atau pemilik tanah boleh bekerja sebagai buruh tani sedangkan malah sistem sewa yang mengharuskan pemilik melepaskan hak dan tidak ada hubungan kerja.

Sedangkan petani di desa penelitian Sulawesi Selatan lebih banyak menggunakan sistem gadai dibandingkan di Jawa.Hal ini dikarenakan di sana tidak ada sistem sewa menyewa sehingga misalnya petani butuh uang untuk naik haji, selamatab, biaya sekolah dan lainnya harus menggadaikan tanahnya, cara lainnya dengan kredit BRI tetapi hal ini tidak bisa dilakukan karena tanah mereka belum disertifikasi sehingga tidak bisa diagunkan di BRI.

3. Sistem Sewa

Sistem sewa merupakan suatu sistem dengan penyerahan sementara hak penguasaan tanah kepada orang lain sesuai perjanjian yang dibuat bersama oleh pemilik dan penyewa.Ada 6 macam istilah sewa desa penelitian di Jawa yaitu motong,kontrak,sewa tahunan, setoran( harga sewa dibayar setelah panen), jual oyodan dan jual potongan (dibayar sebelum penyewa menggarap tanah sewaannya).Harga sewa tanah yang dibayar setelah panen di Jati,Sukaambit,Balida dan Kebanggan yang besarnya disepakati sebelum penyewa mulai menggarap dan berubah setiap musim. Di dalam sistem gadaim si pelepas uang tidak akan menderita rugi karena uang yang dilepaskan akan kembali tanpa menanggung risiko merugi.

Sedangkan di sistem sewa kemungkikan penyewa akan ruhi besar khususnya di Wanarata yang risiko gagal panen tinggi khususnya pada musim kemarau.

4. Sistem Bagi Hasil

Sistem bagi hasil merupakan penyerahan sementara hak atas tanah kepada orang lain untuk diusahakan dengan perjanjian si penggarap akan menanggung beban tenaga kerja secara keseluruhan dan menerima sebagian hasil tanahnya.Pemilik tanah turut menanggung resiko kegagalan sedangkan dlaam sistem sewa tidak.Pembagian hasil yang diterima disepakati bersama di awal sebelum mulai dilakukan penggarapan.Mertelu ini di temui di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh keluarga sendiri dari pemilik tanah dengan pembagian diimbangi dengan tambahan beban bagi penyakap yaitu pembayaran pajak Ipeda (iuran pembangunan daerah) yang bertentangan dengan UU Perjanjian Bagi Hasil.

Di Jawa Barat sistem bagi bagi ahsil juga dilakukan antarkeluarga atau orang lain yang sudah dianggap keluarga seperti di Sentul, Sukaambit dan Balida hal ini dilakukan dengan maksud mendidik anak yang sudah berumahtangga agar kemudian hari dapat berdiri sendiri atau untuk menolong antarsaudara terkait kegiatan ekonomi.

Dalam UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil tujuan sistem bagi hasil adalah mengatur hak dan kewajiban masing” pemilik dan penggarap atas dasar keadilan dan menjamin kedudukannya dalam hukum sehingga tidak terjadi suatu keraguan yang menimbulkan perselisihan.Kewajiban dan hak ini ditentukan secara

(5)

bersama dan tertulis dan disaksikan pejabat di desa dengan hak penggarap yaitu 50%

dari hasil beraih dan tanah tegalan 67% dari hasil bersih.

5. Kasus Tanah Klumpukan di Desa Kebanggan

Tiga dari enam desa di Jawa Tengah dan Jawa Timur wajib menanam tebu yaitu sepertiga dari seluruh luas sawah desa harus ditanami tebu secara bergiliran.

Pengaturan giliran lokasi sawah yang ditanami tebuh ditentukan pabrik gula dengan pertimbangan kesuburan tanag, jarak angkut dari sawah ke jalan ke pabrik dan keamanan tanaman.Salah satu desa dari 3 desa terkait wajib tanam tebu yang memiliki cara mengatur giliran berbeda yaitu Kebanggan dibandingkan Geneng dan Janti.Perbedaan ini karena kebanggan kesuburan tanahnya tidak merata dan kesulitan menyediakan air untuk tanaman,sedangkan pabrik hanya menyewa yang seblaiknya.Solusi permasalahan ini dengan mengumpulkan tanah klumpukan oleh panitia yang diketuai kepala desa dengan luas tanah 19,539 ha atau 14,08% dari luas sawah seluruh desa dari tanah milik dan tanah bengkok.Dengan berhasilnya tanah klumpukan maka kegelisahan petani terkait kerusakan tanah karena tebu tidak perlu dipikirkan lagi.

Adapun terkait kelembagaan hubungan kerja dan perubahannya yaitu sebagai berikut:

1. Sistem Pengupahan

Ada dua sistem pembayaran upah di Jawa dan Sulawesi Selatan terkait butuh tani yaitu upah borongan dan upah harian.Upah borongan didasarkan pada satuan hasil kerja sedangkan upah harian pada jumlah hari buruh tani bekerja.Kelebihan upah borongan yaitu cepat selesai karena terikat waktu tapi kemungkinan pekerjaan yang dihasilkan buruh sangat besar. Sedangkan hasil kerja upah harian akan lebih sesuai kehendak majikan sedangkan pekerjaannya akan lambat.

2. Sistem Upah Borongan

Pekerjaan dengan sistem upah ini yaitu panen, mengolah tanah dan tanam.Permasalahan tani memilik arti tersendiri bagi masyarakat tani maka masalah panen dipisahkan dengan sistem borongan meskipun cara upahnya termasuk ke dalam sistem borongan

3. Sistem Upah Harian

Di desa penelitian di Jawa pekerjaan yang diupah sistem upah ahrian yaitu mengolah tanah, tanam, menyiang dan memelihara tanaman.Di Sentulm 81% buruh dikerjakan dengan upah harian yang merupakan peralihan dari tenaga kerja sambatan atau gotong royong.Di desa penelitian di Sulawesi belum ada sistem upah harian karena dilakukan dengan sistem tukar tenaga kerja atau mapparele yang dilakukan oleh pria dengan melakukan panen di sawah sendiri atau orang lain untuk mendapat bawon atau saro sebagai imbalan.

4. Ceblokan/Kedokan

Cebolak di desa penelitian Jawa dan Sulawesi Selatan terdapat di 5 desa yaitu 3 Jawa Barat dan 1 Jawa Tengah dan 1 Jawa Timur.Sistem ceblokan berkaitan dengan lembaga kerukunan desa.Di kehidupan masyarakat desa di masa lampau, panen hasil tanah secara adat diwajibkan diberikan sebagiannya ke tetangga dan harus dilakukan pembalasan agar tetap seimbang senang jika dibalas. Jika tetangga tidak memiliki sesuatu lain yang digunakan untuk membalas, maka mereka menyumbangkan

(6)

tenaganya untuk panen.Sistem ceblokan di desa penelitian berkembang ditandai dengan bertambangnya jumlah penduudk dan penguasaan yanah pertanian yang pincang sehingga akan merubah arti sistem cebloka. Bagi yang tidak memiliki tanah, maka sistem ceblokan adalah jaminan akan adanya pekerjaan pada panen dan bagi yang memiliki tanah sistem ceblokan yaitu penjamin kebutuhannya akan tenaga kerja pada waktu mengolah tanah dan tanam tanpa mengeluarkan biaya tunai.

5. Sambatan,Tukar tenaga dan Gotong Royong

Sambatan adalah pertolongan seseorang yang berupa pekerjaan di sawah dalam usaha tani padi kepada orang lain atas permintaan.Permintaan pertolongan ke orang lain selain di sawah juga dimasukkan kategoru sambatan.Petani yang menyambat orang lain harus menyediakan roko, makan dan minum yang tergantung luas pekerjaan yang disambatkan atau lama pekerjaan diselesaikan.Kegiatan sambatan ini di desa penelitian terjadi di Sentul,Wargabinangun dan desa penelitian di Sulawesi Selatan.Adapun yang lainnya sambatan hanya dilakukan di luar sektor pertanian seperti membuat rumah, selamatan atau mempunyai kerja dan membuat pagar halaman.

6. Panen dan Perubahan Bawon

Perubahan cara panen dalam usaha tani padi dimulai dengan masuknya bibit padi jenis unggul sejak 1969, awalnya ditolak petani tetapi berangsur” menerima dan 10 tahun kemudian tidak ada lagi yang menolak.Sebab penolakan menurut petani yaitu rasa nasi tidak enak, batang tanaman pendek, belum yakin hasil tinggi, gabah mudah rontok dari tangkai, umur bibit dalam persemaian pendek , kalau dicabut putus, panen harus dengan sabit dan harus ada alat merontokkan gabah serta harus disediakan karung untuk pengangkutan gabah hasil panen ke rumah pemilik sawah.

Perubahan cara panen ini membawa pengaruh ke perubahan besar bawon yang diterima pemanen. Bawon semakin rendah pada M 1980/81 karena hasil perhitungan petani setelah menanam padi jenis unggul baru membutuhkan biaya meningkat karena pembelian sarana produksi dan tambahan biaya kerja.Sehingga hal ini berdampak pada bagian butuh panen yang berkurang.Buruh panen desa penelitian menolak secara besar”an penurunan bawon kecuali Sukosari yang tetap 20% setelah penggantian jenis baru karena buruh panen bukan hanya kerja saat panen tetapi juga ikut menanam dan menyiang.

Adapun kesimpulan dari pembahasan diats, bahwa daerah pedesaan terutama jawa terjadi diferensiasi kelas dapat diatasi dengan penelitian ini. Proses pemusatan penguasaan tanah sedang berjalan dan tingkat ketunakismaan bertambah antara 4-37% selama 10 tahun terakhir.Struktur pemilikan tanah sangat timbang sehingga kesempatan tunakisma memperoleh tanah garapan menjadi semakin terbatas.Pada strata kepemilikan tanah sempit dan tunakisma proporsi keluarga miskin lebih besar sehingga pemilikan tanah ini berpengaruh pada tingkat hidup di pedesaan.Setelah UUPA dan UUPBH berjalan, sistem gadai menggadai menurut UU 56 Tahun 1960 yang dilarang masih dilakukan, sistem gogolan berubah dalam status kepemilikan formal

(7)

sesuai UUPA 1960 tetapi kebiasaan yang menyertainya masih berjalan dan sistem bagi hasil belum sesuai UUPBH.

Implikasi yang dapat diambil terkait masalah reforma agraria jika dikesampingkan maka kebijakan pemerintah perlu diarahkan ke program yang sasarannya ditujukan bagi pemilik tanah sempit dan tunakisma untuk mendapat pendapatannya dan menciptakan kesempatan kerja non pertanian.Untuk itu di desa penelitian tempat penyluhan pertanian perlu digalakkan penyuluhan teknologi penannaman palawija.

Referensi

Dokumen terkait

3.1 Direct Method Table 3-1: Numerical comparisons of errors and orders by linear and quadratic interpolation in Example 3.1.5... Table 3-2: Numerical comparisons of errors and orders

Quarter 4 Statement – December 2021 Fund Facts Fund Start Date June 5, 1993 Unit price upon offering SAR1,000 Fund size SAR 336,956,145 Fund type Open Ended Fund Currency SAR Risk