• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahan Makalah Patofis CKD

N/A
N/A
Gizi Edelweiss

Academic year: 2023

Membagikan "Bahan Makalah Patofis CKD"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

CKD A. Definisi

Chronic kidney disease atau penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan Glomerulus Filtration Rate (GFR) (Nahas, 2010). Sedangkan menurut Terry (2013) CKD merupakan suatu perubahan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel. Pada gagal ginja kronik, ginjal tidak mampu mempertahankan keseimbangan cairan sisa metabolisme sehingga menyebabkan penyakit gagal ginjal stadium akhir. Gagal ginjal yaitu ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal. Gagal ginjal biasanya dibagi menjadi 2 kategori, yaitu akut dan kronik. CKD atau gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat (biasanya berlangsung bertahun-tahun), sebaliknya gagal ginjal akut terjadi dalam beberapa hari atau minggu (Price, S.A., Wilson, 2013).

CKD atau gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer, S.C. & Bare, 2015). Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal kronis merupakan suatu penyakit perubahan fungsi ginjal yang bersifat progresif dan irreversible yang tidak dapat lagi pulih atau kembali sembuh secara total seperti sediakala. CKD adalah penyakit ginjal tahap ahir yang dapat disebabakan oleh berbagai hal dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit, yang menyebabkan uremia.

B. Epidemiologi

Menurut hasil Global Burden of Disease pada tahun 2010, penyakit CKD mendapati peringkat ke 27 di tahun 1990 dan peringkatnya naik menjadi peringkat ke 18 di tahun 2010. Di Indonesia sendiri penyakit ginjal adalah penyakit no 2 dengan pembiayaan terbesar setelah penyakit jantung berdasarkan BPJS kesehatan. Menurut data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013, populasi umur ≥ 15 tahun yang terdiagnosis CKD sebesar 0,2%.

Angka ini lebih rendah dibandingkan prevalensi CKD di Negara Negara lain, juga hasil penelitian Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2006, yang mendapatkan prevalensi CKD sebesar 12,5%. Hal ini karena Riskesdas 2013 hanya menangkap data orang yang terdiagnosis CKD sedangkan sebagian besar CKD di Indonesia baru terdiagnosis pada tahap lanjut dan akhir (Kementerian Kesehatan RI, 2017).

(2)

C. Etiologi

Etiologi CKD sangat bervariasi antara satu Negara dengan Negara lain. Diagram 1 menunjukkan penyebab gagal ginjal dari pasien yang menjalani hemodialisis di Indonesia pada tahun 2011 (Pernefri, 2011)

D. Patofisiologi

Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi structural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sclerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsinefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktifitas renin-angiotensin-aldosteron intrarenal , ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sclerosis dan progresifitas tersebut.

Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor � (TGF- �).

Pada stadium paling dini CKD, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal GFR masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada GFR sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin

(3)

serum. Sampai pada GFR sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berab badan. Sampai pada GFR dibawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolism fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperi infeksi saluran kemih infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hypervolemia, gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hypervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada GFR di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal. (Sudoyo et al., 2008)

E. Tanda dan Gejala

a. Gejala dini : Sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang, mudah tersinggung, depresi. Sakit kepala awalnya pada penyakit CKD memang tidak akan langsung terasa, namun jika terlalu sering terjadi maka akan mengganggu aktifitas. Penyebabnya adalah ketika tubuh tidak bisa mendapatkan oksigen dalam jumlah cukup akibat kekurangan sel darah merah, bahkan otak juga tidak bisa memiliki kadar oksigen dalam jumlah yang cukup. Sakit kepala akan menjadi lebih berat jika penderita juga bermasalah dengan anemia.

b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia atau mual disertai muntah, nafsu makan turun, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah. Anoreksia adalah kelainan psikis yang diderita seseorang berupa kekurangan nafsu makan mesti sebenarnya lapar dan berselera terhadap makanan. Gejala mual muntah ini biasanya ditandai dengan bau mulut yang kuat yang menjadi tidak nyaman, bahkan keinginan muntah bisa bertahan sepanjang waktu hingga sama sekali tidak bisa makan. Pada nafsu makan turun disebabkan karena penurunan nafsu makan berlebihan, ginjal yang buruk untuk menyaring semua racun menyebabkan ada banyak racun dalam tubuh. Racun telah mempengaruhi proses metabolisme dalam tubuh.

c. Manifestasi klinik menurut Smeltzer, S.C. & Bare (2015) antara lain :

hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin – angiotensin - aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).

d. Manifestasi klinik menurut Nahas (2010) adalah sebagai berikut:

(4)

1) Gangguan kardiovaskuler

Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effuse perikardiak dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema. Kondisi bengkak bisa terjadi pada bagian pergelangan kaki, tangan, wajah, dan betis. Kondisi ini disebabkan ketika tubuh tidak bisa mengeluarkan semua cairan yang menumpuk dalam tubuh, genjala ini juga sering disertai dengan beberapa tanda seperti rambut yang rontok terus menerus, berat badan yang turun meskipun terlihat lebih gemuk.

2) Gangguan pulmoner

Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels.

3) Gangguan gastrointestinal

Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.

4) Gangguan musculoskeletal

Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan), burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas).

5) Gangguan integumen kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.

6) Gangguan endokrin

7) Gangguan seksual: libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan aminore.

Gangguan metabolik glukosa, gangguan metabolik lemak dan vitamin D.

8) Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.

9) System hematologi anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.

F. Faktor Risiko

(5)

Terdapat beberapa faktor resiko terjadinya chronic kidney disease. Faktor tersebut yaitu diabetes, hipertensi, riwayat keluarga dengan penyakit ginjal, penyakit kardiovaskular, infeksi HIV, riwayat batu ginjal, usia, aktifitas fisik rendah, merokok, dan obesitas.

1)Diabetes

Diabetes dapat menyebabkan nefropati sebagai komplikasi Mikrovaskular. Diabetes nefropati merupakan glomerulopati yang paling banyak terjadi, dan merupakan penyebab pertama dari end stage renal disease atau gagal ginjal tahap akhir di USA dan Eropa (Molitch et al, 2004). Selain itu United States Renal Data System (2009) menunjukkan bahwa sekitar 50% pasien dengan gagal ginjal tahap akhir adalah penderita diabetes titik penelitian dari NHAES III, HUNT II, UK cross-sectional study dan longitudinal study menunjukkan bahwa diabetes berhubungan secara signifikan meningkatkan resiko CKD (The National Center For Chronic Conditions, 2008).

2)Hipertensi

Hipertensi merupakan penyebab kedua dari end stage renal disease atau gagal ginjal tahap akhir.

Sebagai contoh, berdasarkan United States Renal Data System (2009) sekitar 51 sampai 63%

dari seluruh pasien dengan CKD mempunyai hipertensi (Novoa at al, 2010). Pada 4 penelitian lain di Australia, Washington, US menunjukkan orang dengan hipertensi mempunyai resiko yang lebih besar untuk berkembang menjadi CKD dibandingkan orang dengan normotensi (The National Center For Chronic Conditions, 2008). Hipertensi menyebabkan glomerulo nefropati dengan menurunkan aliran darah karena hal yang menjadikan arteriolar vaskulopati, obstruksi vaskular dan penurunan densitas vaskular. Kejadian ini akan dikompensasi sehingga tidak lama akan terjadi penurunan GFR

3)Riwayat Keluarga dengan Penyakit Ginjal

Penelitian Freedman et al. (1997), Speckman et al. (2006) menunjukkan riwayat penyakit keluarga dengan CKD tingkat akhir dilaporkan oleh 20% orang dengan CKD tingkat akhir (The National Collaborating Centre for Chronic Conditions, 2008).

4)Penyakit Kardiovaskular

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Elsayed et al pada tahun 2005, orang dengan penyakit kardiovakular telah menunjukkan peningkatan resiko secara signifikan pada penurunan fungsi ginjal dibanding dengan orang tanpa penyakit kardiovaskular. (The National Collaborating Centre for Chronic Conditions, 2008). Penyakit kardiovaskular menyebabkan menurunnya aliran darah ke ginjal. Penurunan perfusi renal mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron yang menyebabkan vasokonstriksi alteriol dan meningkatkan tekanan glomerulus sehingga dapat menjadikan nefron rusak. Kerusakan nefron ini berdampak pada penurunan laju filtrasi glomerulus.

5)Infeksi HIV

(6)

Disfungsi ginjal merupakan komplikasi yang umum dari pasien yang terinfeksi HIV baik akibat kerusakan dari virus itu sendiri maupun dari keracunan obat. HIV infeksi yang berjalan dalam jangka waktu yang lama merupakan waktu untuk berkembangnya kerusakan ginjal (Biagio, et al, 2011). Hasil penelitian Biagio (2011) lebih lanjut menjelaskan kerusakan yang terjadi melalui terpajanan langsung virus menyebabkan berkembangnya HIV Associated Nephropathy (HIVAN). Selain itu, kerusakan bisa terjadi akibat lamanya terpajan dengan obat yang berpotensial bersifat nefrotoksik seperti IDV dan TDF, juga obat yang digunakan dalam penanganan profilaksis infeksi oportunistik.

6)Riwayat Batu Ginjal

Gillen et al (2005) menggunakan the Third National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III) pada populasi di USA mendapatkan data bahwa riwayat batu ginjal dapat menurunkan fungsi ginjal pada orang dengan berat badan berlebih (overweight). Penelitian Joseph J Keller, Yi-Kuang Chen dan Herng-Ching Lin (2012) menunjukkan adanya hubungan antara gagal ginjal dan batu ginjal tanpa memperhatikan lokasi batu ginjal tersebut.

7)Usia

Pada empat cross sectional study oleh Drey et al. (2003), Coresh et al. (2003), Hallan et al.

(2006), Chadban et al. (2003) menunjukkan bahwa lansia (usia di atas 65 tahun) memiliki resiko lebih besar eGFR <60ml/menit/1,73m2 dibandingkan usia muda (The National Collaborating Centre for Chronic Conditions, 2008).

8)Aktivitas Fisik

Orang dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai resiko lebih tinggi gagal ginjal tingkat akhir dibandingkan orang dengan aktivitas fisik yang tinggi. Penelitian Stengel et al (2003) membuktikan orang dengan aktivitas fisik sedang tidak signifikan mempunyai resiko gagal ginjal dibandingkan dengan orang dengan aktivitas fisik yang tinggi (The National Collaborating Centre for Chronic Conditions, 2008).

9)Merokok

Efek merokok pada penurunan fungsi ginjal telah diteliti melalui penelitian kohort dan case control study. Pada penelitian kohort oleh Orth et al. (2005) ditemukan bahwa kelompok perokok mengalami penurunan fungsi ginjal sebanyak 20% setelah 5 tahun dibandingkan dengan bukan perokok. Kejadian proteinuria meningkat pada kedua kelompok perokok dan bukan perokok, tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kedua grup (The National Collaborating Centre for Chronic Conditions, 2008). Pada penelitian kontrol kasus oleh Orth et al. (1998) menunjukkan bahwa perokok secara signifikan menunjukkan proses menjadi gagal ginjal tingkat akhir (The National Collaborating Centre for Chronic Conditions, 2008). Tiga penelitian lain yaitu Haroun, et al. (2003), Stengel et al. (2003), Retnakaran et al. (2006) juga

(7)

menunjukkan bahwa perokok secara signifikan mempunyai resiko lebih tinggi untuk mendapatkan penyakit gagal ginjal (The National Collaborating Centre for Chronic Conditions, 2008).

10)Obesitas

Penelitian kohort (Kaiser) menemukan bahwa orang dengan Body Mass Index (BMI) > 25 merupakan independen faktor untuk terjadinya gagal ginjal. Sedangkan retrospective study di Norway menemukan bahwa resiko terjadinya CKD meningkat bagi pasien prehipertensi dengan BMI > 30. Pada penelitian Evans et al. (2005) di Swedia menunjukkan Body Mass Index (BMI) tidak signifikan meningkatkan resiko terjadinya penyakit ginjal. (The National Collaborating Centre for Chronic Conditions, 2008). Gelber et al. (2005) membuktikan bahwa resiko CKD meningkat seiring peningkatan BMI ditunjukkan pada kelompok laki-laki dengan peningkatan BMI >10% daripada laki-laki dengan BMI normal (The National Collaborating Centre for Chronic Conditions, 2008).

G. Pencegahan

Beberapa saran untuk mencegah atau mengurangi perkembangan gagal ginjal:

1)Mencukupi cairan tubuh dengan minum air dalam jumlah yang cukup untuk menjaga angka keluaran urin yang baik hal ini dapat membantu mencegah batu ginjal dan infeksi saluran kemih.

2)Menjaga kebarsihan diri terutama pada saluran kemih agar tidak terjadi penyumbatan atau obstruksi. Perempuan lebih rentan terkena infeksi saluran kemih karena uretra pada perempuan lebih pendek.

3)Kendali pola makan yang baik - hindari asupan garam berlebih dan daging, hindari asupan kalsium yang tinggi dan makanan oksalat untuk pasien penderita batu ginjal.

4)Hindari penyalahgunaan obat obatan, misalnya obat penghilang rasa sakit untuk rematik dan antibiotik.

5)Cegah komplikasi dari penyakit awal, misalnya diabetes melitus, hipertensi, dll. Kadar gula darah dan tekanan darah harus dikendalikan dengan baik.

6)Lakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala. Tes urin bisa mendeteksi penyakit ginjal stadium awal. Jika pasien menderita hematuria (darah dalam urin) atau albuminuria (albumin dalam urin), maka pasien harus memeriksakan kesehatannya sesegera mungkin.

7)Lakukan pengobatan terhadap penyakit ginjal, misalnya nefritis, sesegera mungkin.

H. Penatalaksanaan

(8)

Penatalaksanaan CKD meliputi: 1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya 2.

Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid 3. Memperlambat pemburukan fungsi ginjal 4.

Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi 5. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal Perencanaan tatalaksana CKD sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada tabel berikut iniWaktu yang paling tepat untuk menerapi penyakit dasar adalah pada saat penurunan GFR belum terjadi atau pada saat fungsi ginjal belum terjadipemburukan. Pada ukuran ginjal. Apabila GFR sudah menurun sampai 20-30% dari normalnya maka terapi untuk penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat. Oleh karena itu, penting sekali untuk mngikuti dan mencatat penurunan GFR beserta kecepatan penurunannya. Karena dengan melihat hal ini dapat mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk pasien. Oleh karena itu lebih baik untuk mengetahui kondisi-kondisi komorbid ini sejak dini untuk memberikan upaya pencegahan dan terapi apabila sudah terjadi kondisi komorbid seperti gangguan keseimbangan cairan, obstruksi traktus urinarius, obat-obatan nefrotoksik, atau peningkatan aktivitas penyakit lainnya.

Selain itu terapi untuk gagal ginjal kronis lainnya adalah dengan menghambat faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal seperti hiperfiltasi glomerulus yang dpat terjadi karena nefropati, peran angiotensin II, dan hipertensi sistemik. Pembatasan asupan protein merupakan salah satu cara untuk mengurangi terjadinya hiperfiltrasi glomerulus.

Pembatasan asupan protein mulai dilakukan saat GFR ≤ 60 ml/mnt. Protein diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari, dengan 0,35-0,50 gr di antaranya merupakan protein dengan nilai biologi yang tinggi.Selama pembatasan ini harus dilakukan pemantauan yang teratur terhadap kondisi nutrisi pasien. Apabila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan.

Pembatasan asupan protein ini merupakan terapi yang penting pada penderita CKD, karena apabila konsumsi protein berlebihan dapat menyebabkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, sehingga menyebabkan gangguan klinis dan metabolic yang disebut sindrom uremik. Selain itu konsumsi protein yang berlebih dapat mengakibatkan peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus pada ginjal sehingga menyebabkan progesifitas pemburukan fungsi ginjal. Selain dengan membatasi asupan protein, terapi farmakologis seperti pemberian obat- obatan antihipertensi juga dapat menghambat terjadinya pemburukan fungsi ginjal. Obat-obatan antihipertensi terutama Penghambat Enzim Konverting Angiotensin (Ace Inhibitor) dapat mengurangi terjadinya hipertensi intraglomerulus dan sebagai antiproteinuria sehingga dapat menghambat pemburukan fungsi ginjal.

Penatalaksanaan medis pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu : a. Konservatif

1) Melakukan pemeriksaan lab darah dan urine

2) Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam. Biasanya diusahakan agar tekanan vena jugularis sedikit meningkat dan terdapat edema betis ringan. Pengawasan dilakukan melalui pemantauan berat badan, urine serta pencatatan keseimbangan cairan.

(9)

3) Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein). Diet rendah protein (20-240 gr/hr) dan tinggi kalori menghilangkan gejala anoreksia dan nausea dari uremia serta menurunkan kadar ereum.

Hindari pemasukan berlebih dari kalium dan garam.

4) Kontrol hipertensi. Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal, keseimbangan garam dan cairan diatur tersendiri tanpa tergantung pada tekanan darah. Sering diperlukan diuretik loop selain obat anti hipertensi.

5) Kontrol ketidak seimbangan elektrolit. Yang sering ditemukan adalah hiperkalemia dan asidosis berat. Untuk mencegah hiperkalemia hindari pemasukan kalium yang banyak (batasi hingga 60 mmol/hr), diuretik hemat kalium, obat-obat yang berhubungan dengan ekskresi kalium (penghambat ACE dan obat anti inflamasi nonsteroid), asidosis berat, atau kekurangangaram yang menyebabkan pelepasan kalium dari sel dan ikut dalam kaliuresis. Deteksi melalui kalium plasma dan EKG.

b. Dialysis

1) Peritoneal dialysis

Biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency. Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut adalah CAPD (Continues Ambulatori Peritonial Dialysis).

2) Hemodialisis

Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan:

a) AV fistule : menggabungkan vena dan arteri

b) Double lumen : langsung pada daerah jantung (vaskularisasi ke jantung)

Tujuannya yaitu untuk menggantikan fungsi ginjal dalam tubuh fungsi eksresi yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.

c. Operasi

a) Pengambilan batu b) Transplantasi ginjal

I. Pemeriksaan Penunjang

(10)

Di dalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka perlu pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun kolaborasi antara lain :

a. Hematologi

b. RFT (Renal Fungsi Test) (Ureum dan Kreatinin) c. LFT (Liver Fungsi Test)

d. Elektrolit (Klorida, kalium, kalsium) e. Koagulasi studi PTT, PTTK

f. BGA

1) BUN/ Kreatinin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin 10mg/dl diduga tahap akhir (rendahnya yaitu 5). Hitung darah lengkap : hematokrit menurun, HB kurang dari 7-8 g/dl.

2) SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi erritripoetin seperti azotemia.

3) AGD : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7 : 2) terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengekskresikan hidrogen dan ammonia atau hasil akhir.

4) Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan hemolisis SDM pada tahap akhir perubahan EKG tidak terjadi kalium 6,5 atau lebih besar.

g. Urine rutin

1) Urin khusus : Benda keton, analisa kristal batu 2) Volume : Kurang dari 400ml/jam, oliguri, anuria

3) Warna : Secara abnormal urine keruh, disebabkan bakteri, partikel, koloid dan fosfat.

4) Sedimen : Kotor, kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin.

5) Berat jenis : Kurang dari 1.015 (menetap pada 1,015) menunjukkan kerusakan ginjal berat.

h. EKG

Mungkin abnormal untuk menunjukkan keseimbangan elektrolit dan asam basa.

i. Endoskopi ginjal : Dilakukan secara endoskopik untuk menentukkan pelvis ginjal, pengangkatan tumor selektif

j. USG abdominal

(11)

k. CT scan abdominal l. BNO/IVP, FPA m. Renogram

RPG (Retio Pielografi) katabolisme protein bikarbonat menurun PC02 menurun Untuk menunjukkan abnormalis pelvis ginjal dan ureter.

DAFTAR PUSTAKA

(12)

Aisara, S., Azmi, S., & Yanni, M. (2018). Gambaran Klinis Penderita Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(1), 42.https://doi.org/10.25077/jka.v7i1.778

Nahas, M. E. & A. L. (2010). Chronic Kidney Disease: A Practical Guide to Understanding and Management. Oxford University Press.

National Kidney Foundation. 2015. About Chronic Kidney Disease. Diakses dari:https://www.kidney.org/kidneydisease/aboutckd.

Kementerian Kesehatan RI, 2017. “Infodatin Pusat Data Informasi Kementerian Kesehatan RI”.

Kidney, C., & Stage, D. (2013). Chronic kidney disease stages 4–5. Oxford Handbook of Renal Nursing, 2(3), 141–164. https://doi.org/10.1093/med/9780199600533.003.0006

Lina, N. (2008). Faktor-Faktor Risiko Kejadian Batu Saluran Kemih Pada Laki-Laki (Studi Kasus di RS Dr. Kariadi, RS Roemani dan RSI Sultan Agung Semarang). Jurnal Article.

Mayo Clinic (2019). Peritoneal Dialysis.

National Kidney Foundation. Peritoneal Dialysis: What You Need to Know.

National Kidney Foundation. 2015. About Chronic Kidney Disease. Diakses dari:

https://www.kidney.org/kidneydisease/aboutckd.

Nunley, K. National Kidney Foundation (2017). Protect The Skin You’re In.

Saputra, R., & Bachtiar, H. (2019). Artikel Penelitian Hubungan Batu Saluran Kemih Bagian Atas dengan Karsinoma Sel Ginjal dan Karsinoma Sel Transisional Pelvis Renalis. 8(Supplement 1), 14–20. https://www21.ha.org.hk/smartpatient/EM/MediaLibraries/EM/EMMedia/Chronic- Renal-Failure-Indonesian.pdf?ext=.pdf. Gagal Ginjal Kronis . 2016. SMAR Patien.

PERNEFRI. (2011). 7th Report of Indonesian Renal Registry. Indonesian Renal Registry.

h7ps://www.indonesianrenalregistry.org/data/INDONESIAN RENAL REGISTRY 2014.pdf Price, S.A., Wilson, L. . (2013). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi VI.

EGC.

Terry, C. L. & A. W. (2013). Keperawatan Kritis. Rapha Publishing.

Rinaldi I, Aru W Sudoyo. Anemia Hemolitik Non Autoimun. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta : Interna Publishing; 2014.hlm 2614−22.

Smeltzer, S.C. & Bare, B. . (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &

Suddarth, Edisi 8. EGC.

Referensi

Dokumen terkait

Pasien dengan gagal ginjal kronis akan mengalami kondisi hypervolemia atau peningkatan volume cairan yang berlebihan dalam tubuh, hal tersebut membuat pasien gagal ginjal kronis perlu