Sebagai lanjutan dari seri buku sebelumnya, pada kesempatan ini diterbitkan seri buku terkait perbankan dengan judul Bank Islam: Suatu Tinjauan. Sejak saat itu, pemerintah dan Bank Indonesia memberikan komitmen besar dan mengambil berbagai kebijakan untuk mengembangkan bank syariah, dan sejak saat itu bank syariah menjamur dimana-mana di musim hujan. 15 dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat umum yang tertarik untuk memahami berbagai permasalahan terkait perbankan syariah secara umum dengan bahasa yang semudah mungkin dipahami oleh masyarakat luas.
Pendahuluan
Bank syariah mempunyai dua peran utama, yaitu sebagai badan usaha (tamwil) dan sebagai lembaga sosial (maal). Sebagai manajer investasi, bank syariah menghimpun uang dari investor/nasabah berdasarkan prinsip wadi'ah yad dhamanah (titipan), mudharabah (bagi hasil) atau ijarah (sewa). Bank syariah merupakan bank yang menganut prinsip bagi hasil yang menjadi landasan utama dalam segala aktivitasnya, baik dalam penggalangan dana maupun penyaluran dana (dalam perbankan syariah penyaluran dana biasa disebut dengan pembiayaan).
Oleh karena itu, jenis penghimpunan dana dan pembiayaan bank syariah pada dasarnya juga menggunakan prinsip bagi hasil. Selain prinsip bagi hasil, bank syariah juga mempunyai alternatif untuk menghimpun dana dan memberikan pembiayaan bagi hasil yang bersifat non-profit. Dalam hal ini bank syariah melakukannya bukan dengan prinsip bunga (riba), melainkan dengan prinsip yang sesuai dengan hukum Islam, khususnya mudharabah (bagi hasil) dan wadi'ah (titipan).
Bank Islam menerima deposito berjangka (biasanya satu bulan atau lebih) dalam rekening investasi umum berdasarkan prinsip mudharabah al-muthlakah. Pembiayaan yang dilakukan bank syariah mempunyai lima bentuk utama (Khan, 1995), yaitu mudharabah dan musyarakah (dengan pola bagi hasil), murabahah dan salam (dengan pola jual beli), dan ijarah (dengan pola sewa operasi dan pembiayaan). Bentuk pembiayaan bank syariah yang utama dan utama yang disepakati para ulama adalah pembiayaan bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah.
Selain bentuk pembiayaan utama dengan prinsip bagi hasil, bank syariah mempunyai bentuk pembiayaan lain dengan prinsip jual beli, sewa operasional dan jasa (fee based services). Bentuk-bentuk pembiayaan tersebut berarti bahwa bank syariah tidak hanya berfungsi sebagai bank investasi (investment bank), tetapi juga berfungsi antara lain sebagai perusahaan dagang (merchant bank) dan perusahaan leasing, sehingga bank syariah lebih cocok disebut bank universal. (bank serba guna). Selain melakukan transaksi yang mencari keuntungan, bank syariah juga melakukan transaksi yang tidak mencari keuntungan.
Perkembangan Perbankan Syariah di Beberapa Negara
Kondisi yang sama juga terjadi pada tahun 1984, dimana perubahan tersebut tidak dibarengi dengan infrastruktur hukum dan kelembagaan. Hal ini tidak terlepas dari upaya pemerintah yaitu Presiden Omar Bashir yang saat itu berkuasa untuk menyatukan wilayah utara dan selatan agar konflik dapat ditekan (Chapra, 2000). Malaysia merupakan salah satu negara yang memelopori berdirinya bank berbasis syariah di Asia Tenggara.
Misalnya, pada tahun 1980 Kongres Ekonomi Bumiputera meminta pemerintah mendirikan bank syariah di Tanah Air. Upaya lain seperti yang dilakukan oleh Badan Pengarah Nasional pada tahun 1981 adalah melakukan peninjauan dan rekomendasi kepada pemerintah mengenai segala aspek pendirian dan penyelenggaraannya, termasuk masalah hukum, aspek keagamaan dan penyelenggaraan kepada pemerintah. Sejak saat itu berdirilah bank syariah pertama di Malaysia yaitu Bank Islam Malaysia Berhad pada bulan Juli 1983.
Pemerintah juga berperan penting dalam pengembangan bank syariah di masa depan. Salah satu upaya pemerintah untuk mendorong perkembangan perbankan syariah adalah dengan diberlakukannya kebijakan yang disebut Skema Perbankan Syariah (SPI) pada bulan Maret 1993. Dengan diterbitkannya SPI tersebut, jumlah bank syariah bertambah pesat, dari hanya tiga bank di tahun 1993. 1993. Jumlah lembaga keuangan syariah bertambah menjadi 36.
Dengan delapan bank syariah dan 1.335 counter, pangsa bank syariah di industri perbankan nasional telah mencapai 11%, relatif sangat tinggi dibandingkan pangsa pasar bank syariah di Indonesia yang hanya melebihi satu persen.
Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Selain BMI, pionir perbankan syariah lainnya antara lain Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Dana Mardhatillah dan BPR Berkah Amal Sejahtera yang didirikan pada tahun 1991 di Bandung atas prakarsa Institute for Sharia Economic Development (ISED). Sebelum tahun 1992, pemerintah belum memberikan komitmen untuk mengembangkan perbankan syariah di Indonesia, sehingga belum ada peraturan tunggal yang mengatur pengembangan perbankan syariah. Tahun 1998 merupakan tonggak sejarah bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia, ketika pemerintah memberikan komitmen penuhnya.
Dengan pesatnya perkembangan perbankan syariah di Indonesia, Bank Indonesia selanjutnya membentuk Biro Perbankan Syariah (BPS) pada tahun 2001 untuk menangani segala hal terkait perbankan syariah yang diamanatkan undang-undang. Oleh karena itu, pada akhir tahun 2003 BPS diperluas menjadi sebuah direktorat yaitu Direktorat Bank Umum Syariah (DPbS). Perkembangan perbankan syariah diawali dari pertemuan para ulama Indonesia untuk membentuk bank syariah pertama, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Sebagaimana telah dijelaskan pada subbab sebelumnya, praktis hanya ada satu bank syariah yaitu BMI yang didirikan berdasarkan rekomendasi MUI mengenai pendirian perbankan syariah. Perkembangan perbankan syariah di Indonesia selanjutnya akan diuraikan di bawah ini dengan mempertimbangkan indikator-indikator seperti (1) pengembangan jaringan kantor, (2) pengembangan aset, (3) pengembangan DPK, (4) pengembangan aset utama yang menguntungkan, (5 ) penggunaan komposisi dan sumber dana, dan (6) perkembangan fund to deposit ratio (FDR). 1) Pengembangan jaringan kantor. Jika permasalahan ini dapat diatasi, diharapkan integrasi pasar perbankan syariah internasional dapat segera terwujud.
Hal ini pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan perbankan Islam di setiap negara Muslim. Mengacu pada empat prinsip pengembangan perbankan syariah di atas, Bank Indonesia telah menyusun rencana pengembangan perbankan syariah nasional yang memiliki empat tujuan pengembangan dalam tiga tahap hingga tahun 2011 (Bank Indonesia, 2002).
Kelembagaan Perbankan Syariah di Indonesia
Unit Usaha Syariah (UUS) adalah unit usaha pada kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor pusat bagi cabang syariah dan/atau unit syariah. Sebagai satuan kerja khusus, UUS mempunyai tugas untuk 1) mengatur dan memantau seluruh aktivitas afiliasi syariah, 2) menjalankan fungsi perbendaharaan dalam rangka pengelolaan dan penempatan dana yang berasal dari afiliasi syariah, 3) menyusun laporan keuangan konsolidasi seluruh syariah afiliasi, dan 4) melaksanakan tugas penatausahaan laporan keuangan afiliasi syariah. Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) adalah bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan tidak menyediakan jasa pembayaran dalam kegiatannya.
Untuk mengefektifkan peran DSN pada lembaga keuangan syariah, telah dibentuk dewan pengawas syariah sebagai perwakilan DSN pada lembaga keuangan syariah terkait. Dewan Pengawas Syariah (DPS) merupakan dewan komisaris independen yang dibentuk oleh Dewan Syariah Nasional dan ditempatkan pada lembaga keuangan syariah yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yang tugasnya diatur oleh Dewan Syariah Nasional. Bank Indonesia telah mengambil langkah-langkah kebijakan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif, kompetitif, efisien dan prudent bagi industri perbankan syariah.
Sejak tahun 1998, seiring dengan pesatnya pertumbuhan perbankan syariah, Bank Indonesia telah memberikan berbagai alternatif kepada investor atau bank untuk beroperasi sesuai syariah. penerbitan izin untuk. Selain itu, untuk mengatasi kelebihan likuiditas yang dialami perbankan syariah, Bank Indonesia juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan. Apabila terjadi kelebihan likuiditas pada perbankan syariah maka bank syariah dapat menggunakan Sertifikat Wadi'ah Bank Indonesia (SWBI) dan apabila bank syariah mengalami kekurangan likuiditas jangka pendek dapat menggunakan Instrumen Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) melalui Investasi Antar Bank Mudharabah atau Mudharabah. Sertifikat Investasi Antar Bank (IMA).
Wujud lain dari komitmen Bank Indonesia terhadap pengembangan perbankan syariah adalah dalam bentuk kelembagaan di Bank Indonesia yang semula hanya sebagian atau tim Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, dan akhirnya berdiri sendiri pada tahun 2001 sebagai Biro Perbankan Syariah ( BPS), dan seiring dengan perkembangan perbankan syariah yang sangat pesat dengan permasalahan perbankan syariah yang semakin kompleks, pada tahun 2004 BPS ditingkatkan statusnya menjadi direktorat penuh menjadi Direktorat Perbankan Syariah (DPbS).
Penutup
Diharapkan dalam waktu dekat, perbankan syariah akan memainkan peran yang tidak kalah pentingnya dengan perbankan konvensional dalam perekonomian Indonesia. Ijarah wa iqtina : Akad penyewaan barang antara bank (muaajir) dan penyewa (mustajir) yang diikuti dengan janji bahwa hak milik atas barang yang disewakan akan beralih kepada mustajir pada waktu tertentu. Apabila bank bertindak sebagai shani' kemudian menunjuk pihak lain untuk memproduksi barang (mashnu'), maka persamaan ini disebut istishna.
Daftar Istilah
Spesifikasi dan harga barang yang dipesan disepakati di awal akad dengan pembayaran dilakukan secara bertahap sesuai kesepakatan. Mudharabe : Akad antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola (mudarib) untuk menerima penghasilan atau keuntungan. Hai : Akad penjualan barang pesanan (muslam fiih) antara pembeli (muslam) dan penjual (muslam ilaih).
Spesifikasi dan harga barang yang dipesan disepakati pada awal kontrak dan pembayaran penuh dilakukan di muka. Jika bank berperan sebagai pihak muslim kemudian memerintahkan pihak lain untuk menyuplai barang (muslam fiih), maka hal ini disebut salam paralel. Wadi'ah : Akad penitipan barang/uang antara pihak pemilik barang/uang dengan pihak yang diberi tugas.
Berdasarkan jenisnya, wadi’ah terdiri dari wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah. Kontrak penitipan barang/uang, dimana pihak yang menerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang/uang titipan tersebut dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan disebabkan oleh perbuatan atau kelalaian si penitipan. Kontrak penitipan barang/uang, dimana pihak yang menerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang/uang dapat menggunakan barang/uang titipan tersebut dan harus bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan tersebut. .
Segala keuntungan dan keuntungan yang diperoleh dari penggunaan barang/uang tersebut menjadi hak penitipan.
Daftar Pustaka
Umer (2000), Masa Depan Ekonomi: Perspektif Islam, Seri Ekonomi Islam – 21, The Islamic Foundation, Inggris. Direktorat Perbankan Syariah (2004), Asosiasi Peraturan Perbankan Syariah Indonesia Mei 1999 - Desember 2003, Direktorat Perbankan Syariah, Bank Indonesia, Jakarta. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan (2004), Booklet Perbankan Indonesia 2004, Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, Bank Indonesia, Jakarta.
Siregar, Mulya E., dan Ilyas, Nasirwan., The Experience of Indonesia in Developing Islamic Banking, paper presented at the Fifth Harvard University Forum on Islamic Finance, April 6-7, 2002.