1
BANTUAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG TURUT SERTA DALAM MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCULIKAN ANAK
Rusiyan Rizali, Dr.Abdul Hamid,S.H.,M.H., Dr.Sudiyono.S.H.,M.H.
Ilmu Hukum, 74201, Fakultas Hukum, Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari, NPM 16810348, Ilmu Hukum, 74201, Fakultas Hukum, Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari, NIDN 1118097201, Ilmu Hukum, 74201, Fakultas Hukum, Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al
Banjari, NIK 0618041081.
E-mail :[email protected]
ABSTRAK
Perlindungan khususx yang diberikan kepadaxanak-anak yang termus dalam sistemxperadilan pidana maka ketentuan dalamxUndang-Undang Nomor 18 tahunx2003 tentang Advokad merupakanxbagian dari yang penting untukxmelihat peran yang harus dilaksanakanxdalam memberikan bantuan hukum terhadapxanak-anak yang berhadapan masalah hukum. Persyaratanxserta Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum tersebut diatur dalam Peraturan PemerintahxRepublik Indonesia Nomor 83 tahun 2008 tentangxPersyaratan dan Tata CaraxPemberian Bantuan HukumxSecara Cuma-Cuma. Bantuan hukum merupakan bentuk perlindungan hukum bagi anak-anak yang berhdapan dengan hukum dan hal ini harus benar-benarxdilakukan oleh pemerintah. Karenaxdengan mengetahui akan hak-hakxtersebut ketika tumbuk menjadi dewasaxtidak diragu-ragukan lagi untuk mengaplikasikanxdan menerapkan hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budayaiyang bertanggung jawab sesuai denganxketentuan hukum yang ditetapkan.
Dari uraian diatas diajukan rumusan masalah sebagai berikut: Apa ada hambatan-hambatan yang di hadapi dalam memberikan bantuan hukum yang diberikan negara kepada anak sebagai tindak pelaku tindak pidana dan Bagaimanakah bentuk bantuan hukum yang dapat di terapkan terhadap anak yang melakukan turut serta penculikan anak. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan permasalahan yang penulis teliti, penuis menyimpulkan: pengaturan mengenai bantuan hukumxterhadap sebagai pelaku tindak pidana tertuang dalam beberapa peraturanxperundang-undangan yang mengatur tentang hak anak yang berkonflik dengan hukum dalam hal ini sebagai pelaku tindak pidana untuk memperoleh bantuan hukum yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012xtentang Sistem PeradilanxPidana Anak jo Pasal 51 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 66 ayat (6) Undang-UndangxNomor 39 tahun 1999 dan Pasal 59 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pemberian bantuanxhukum secara cuma-cuma dilaksanakanxdengan pemenuhan persyaratanxdan tata cara pemberianxbantuan hukum, berdasarkan ketentuan dalam ayat (2) Pasal 21 Peraturan PemerintahxRepublik IndonesiaxNomor 83 Tahun 2008 mengatur tentang Persyaratan danxTata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Hambatan-hambatan dalam memberikan bantuanxhukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana adalah masih kurangnya kesadaran baik dari instasi penegak hukum, instasi pemerintah, maupun masyarakat, bahwa anak yang yang menjadi pelaku tindak pidana adalah sekaligus korban dari sistem negara.Kurangnya pemahama para aparat penegak hukum dalam memberikan hak kepada seorang anak untuk mendapatkan bantuan huku menjadi suatu factor penghambat dalam melaksanakan hak yang dimiliki oleh anak untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukumnya.
Penulis dalam hal ini menggunakan penelitian normatif yang artinya bahwa penelitian berdasarkan kaidah hukum dan asas-asas perbandingan hukum.Data yang digunakan dalam penyusunn skripsi ini adalah sekunder.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Anak, Korban
ABSTRACT
The special protection given to children who are involved in criminal justice, the provisions in Law Number 18 of 2003xconcerning Advocates are an important part pf seeing the role that must be carried out ini providing legal assistance to children overcoming problems of the legal system. Requirement and Procedures for Providing LegalxAid are regulated in GovernmentxRegulation of the Republic of IndonesiaxNumber 83 of 2008 concerning Requiments and Procedures forxProviding Free Legal Aid. Legal aid is legal protection for children in conflict, when they grow into adulthood, there is no doubtxthat there will be no doubt to apply and implement civil rights, politicalxrights, economic rights, social rights and culturalxrights that are responsible in accordance with established legal provisions.
From the description above, the following formulation is proposed: What are the obstacles faced in providing legal assistance provided by the state to children as a criminal act and What forms of legal aid can be applied to children who participate in child abduction. Based on thexresults of the research and discussion of the problem that the author examined, concludes: regulating legal aid as a criminal act is contained in several laws and regulations that regulate children’s rights in conflict with the law inthis case as a criminal act to abtain legal aid as contained in the Law-Law Number 11 of 2012xconcerning the Criminal JusticexSystem for Children in conjunction with Article 51 of Law Number 3 of 1997 concerningxJuvenile Court, article 66 paragraph (6) of Law Number 39 of 1999 and article 59 of the CriminalxProcedure Code (KUHAP).
The provision of free legal assistance is carried out with the fulfillment of the requirements and procedures for providing legal assistance, based on th provisions in paragraph (2) of article 21 of the GovernmentxRegulation of the Republic of Indonesia Number 83 of 2008 concerning Provisions on the Requirement and Procedures fo Providing Free Legal Aid. Obstacles in providing legal aid to children as a criminal act is the awareness of both
2
law enforcemen agencies, government agencies, or the community, that children who are criminalized are victims of the state system. The lack of understanding of law enforcement officials in granting a child’s right to legal assistance is an inhibiting factor in exercising children’s rights to obtain legal assistance from their legal advisors.
The writer in this case uses normative research, which means that it is based on legal principles and principles of comparative law. The data used in the preparation of this thesis in secondary.
Keywords: Legal Protection, Children, Victim
PENDAHULUAN
Anak adalah karuniaXyang terbesar bagi keluarga, agama, bangsa, damXNegara. Anak selain sebagai karuniaterbesarXia juga merupakan sebagai makhlukXTuhan Yang Mahasa Esa dan makhluk social, yangXsejak dalam kandungan sampaiXdilahirkan mempunyai hakXatas hidup dan merdekaXserta mendapat perlindunganXbaik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara.1Oleh karena itu tidak ada suatu pihak yang dapat merebut hak hidup dan merdekaXtidak dapat dihilangkan ataupunIdilenyapkan begitu saja, tetapi kitaXharus melindungi dan diperluasXhak atas hidup dan hakXmerdeka tersebut.2
Undang-UndangXNomor 18 Tahun 2003 tentangXAdvokad, merupakan bagianXyang penting untuk melihatXperan yang harus dilaksanakan olehXAdvokad dalam memberikan bantuan hukumXterhadap anak-anak yang berhadapanXdengan hukum. Mengenai persyaratan tata cara untuk memperolehXbantuan hukum tersebut diatur diatur didalam peraturan Pemerintah Republik IndonesiaXNomor 83 Tahun 2008 tentangXPersyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan HukumXSecara Cuma-Cuma.
Hak asasi bagi anakXsudah sepatutnya dibedakan dangan hak asasi yangXberlaku bagi orang dewasa.Hal iniXdikarenakan anak merupakan manusiaXyang penghidupan atasXdirinya masih bergantungXoleh orang dewasa. Baik ituXterhadap gizi, kesehatan, pendidikan, pengetahuanXagama dan keterampilan, pekerjaan, keamanan, bebasXdari rasa ketakutan, bebas dari rasa kekhawatiranImaupun kesejahteraannya.Perlakuan khusus tersebut berupa mendapatkan perlindunganihukum dalam mendapatkanihak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, maupun budaya yangXlebih baik, sehingga anak tersebutIdapat tumbuh dan berkembangIdengan baik.3
Anak- anak juga merupakan manusiaXbiasa dimana mereka jugaXdapat melakukan perbuatan yang sesuai dengan hukum dan ada kalanya melanggariketentuan hukum yangiberlaku dalam Negara, terutama jikaXperbuatan yang dilakukan tersebutXmelanggar ketertiban umum dimana perbuatanXtersebut dengan ketentuanXpidana.Anak-anak yang begitu polos kadang kalanya mudah dan terpengaruh, sehingga tidak jarang anak melakukan tindak pidana.4
Menurut Koji YamashitaXsebagaimana yang dikutip oleh ApongIHerlina dalam masalah perlindungan terhadapXanak yang berhadapan denganXhukum menjelaskan :“Anak belajarxdari cara merekaxdibesarkan, klau mereka dibesarkanXdengan kritikan maka merekaXakan belajar untuk mencari-cariXkesalahan orang lain, kalau merekaXdibesarkan dengan permusuhanXmaka mereka akanXbelajar untuk berkelahi, jika merekaXdibesarkan dengan toleransiXmaka mereka akan belajarXuntuk bersabar. Kalau mereka dibesarkanXdengan perlakuan adil makaXmereka akan berlajar untuk menghargai”.5
Anak-anak yang masuk kedalam system peradilan pidanaXIndonesia, sudah seharusnya mendapatkan suatuXperlindungan hukum dalam bentukImemberikan bantuan hukum bagiIanak- anak tersebut. SebagaimanaXpenjelasan Undang-Undang Dasar 1945 tentang system pemerintahanXNegara, angka 1, yaitu bahwaXIndonesia ialah Negara yang berdasarkanXatas hukum (rechtsaaf) tidak bredasarkan kekuasaanXbelaka (machstaaf), maka diperlukanXsuatu pelaksanaan hukumXyang benar-benar menjamin tegaknyaXHak Asas Manusia. Jaminan tegaknya Hak Asasi Manusia harus dapat dilihatXsecara jelas lewat pengaturan bantuanXhukum dalam peraturanXperundang-undangan.
Bentuk perlindungan khuusus yang diberikan kepadaIanak-anak salah satunya adalahIbila anak-anak berhadapanXdengan hukum. Ada tiga alasan pokokXmengapa terhadap anak yang melakukanIpelanggaran hukum perlu diberikanXperlindungan atau perlakuanIkhusus yaitu :
1. Alasan yang berkaitanIdengan umur anak masih muda usia;
2. Alasan yang berkaitanIdengan kebutuhan atau kepentingan anak atauIperorangan atau individu;
3. Alasan yang berkaitanIdengan perwujudan kesejahteraan anak
1Endang Sumiarni, (2006), Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Hukum Pidana, Yogyakarta:
Universitas Atmajaya, hlm.2
2Ibid
3R. Abdulsallam, (2003), Hukum Perlindungan Anak, cet 2, Jakarta, PTIK, hlm. 2
4 Apong Herlina et al, (2004) Perlindungan Terhadap Anak yang Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta:
UNICEF, hlm. 182
5Ibid
3
Ketiga alasanXinilah yang menjadikan suatuXpertimbangan dalam banyakXkasus yang berkaitan dengan pelaku tindakXpidana yang dilakukan olehXanak-anak untuk diterapkan perlindungan khususXbagi mereka, khususnya hak merekaXuntuk mendapatkan bantuanIhukum, sehingga diharapakan generasi penerusXbangsa ini dapat menjadi lebih baik denganXadanya suatu perhatian khusus dari Negara.
Pemberian pengertian dari bantuan hukum bukanlah hal yang mudah karena mengingat kompleksitasXpermasalahannya, tidak hanya yang menyangkutXhukum dan perkembangan masyarakatXakan tetapi juga keberadaanXdan program bantuan hukum ituXsendiri.6Sehingga pemberian isilah mengenai bantuan hukum tidaklah mudah karena kita harus meihat keadaan kondisi perkembangan masyarakat.
Bantuan hukumXdalam pengertian yang luas dapat di artikan sebagai upayaXuntuk membantu golonganXyang tidak mampu dalam bidangXhukum.7 Menurut Adrian Buyung Nasution, upaya ini mempunyaiItiga aspek yang salingXberkaitan. Yaitu aspek perumusan aturan-aturanXhukum, aspek pengawasan terhadapXmekanisme untuk menjaga agar aturan- aturan itu di taati dan aspek pendidikanImasyarakat agar aturan-aturan ituIdi hayati.
Semua orang mempunyai hak asasinya yang di lindungi oleh hukum, semuanya menginginkan agar hak-haknya terpenuhi, akan tetapi di dalam ketentuan Pasal 70 Undang- Undang Nomor 39XTahun 1999 tentang Hak AsasiXManusia mensyaratkan bahwa hak dan kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak danXkebebasan orang lain.
Terhadap hak-hak ini Undang-UndangXHAM memuat 15 Pasal yangXkhusus merumuskan hak-hak anak, hal ini dikarenakan pembentukan Undang-UndangImenyadari bahwa usia anak sangat rentan terhadapIpelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Selanjutnya Pasal 1 Butir 12 Undang-UndangXNomor 23 Tahun 2002, telah merumuskan hak anak sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yangXwajib dijamin, dilindungi dan terpenuhi olehXorang tua, keluarga, masyarakat, pemerintahIdan negara.
Anak-anak yang berhadapanXdengan hukum dan telah dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. SeharusnyaXpidana yang diberikan tidak makinXmenyebabkan mereka terjerumus kearahXyang lebih buruk. Anak-anak yang berstatus sebagai seorangXtersangka, terdakwa atau terpidanaIpada dasarnya juga memiliki hak-hakIyang sama dengan hak-hak yang dimilikiIoleh seorang terdakwa tersangka terpidanaXdewasa. Anak yang telah melakukanItindak pidana atau kejahatan, dalam seluruh proses pemeriksan berhak didampingiXpenasehat hukum dan memperolehXbantuan hukum.8
Prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam Beijing Rules mengenai Rule Nomor 7 dalam menangani anak nakal, yakni:9
1. Praduga tak bersalah;
2. Hak untuk diberitahukan akan tuntutan terhadapnya;
3. Hak untukItetap diam;
4. Hak untukImenghadapi atau memeriksa silang para saksi (cross examination);
5. Hak untukInaik banding terhadap otoritas yang lebih tinggi akan dijamin pada seluruh tahap proses peradilan.
Dalam perkaraXanak nakal, anak diperiksa dalamXsidang tertutup untuk umum sebagaimana diatur didalam Undang-UndangXNomor 11 Tahun 2012 tentang SistemXPeradilan Pidana Anak jo Undang-UndangXNomor 3 Tahun 1997 TentangXPeradilan Anak dan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni Pasal 153 ayat (3).
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukanXadalah penelitian kepustakaanXatau library research yang dilakukan denganXtujuan untuk memperoleh dataXsekunder yang berasal dari bahanXatau materi berupaXbuku-buku, artikel-artikel, hasil-hasilXpenelitian, dan peraturan perundang- undangan, serta pendapatXahli yang berkaitan tentangXberkaitan dengan Undang-Undang.
Untuk penelitian iniXbahan yang digunakan berupa dokumenXyaitu berupa buku- buku, artikel-artikel, hasil-hasilXpenelitian, dan peraturan perundang-undangan, serta pendapat ahli.
6Bambang Sunggono dan Aries Harianto, (2010), Bantuan Hukum dan HAM. Cet. III, Bandung, Mandar Maju, hlm. 6
7 A. Patra M. Zen dan Daniel Hutagalung, (2007),Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hlm. 105
8Eva A. Zulfa dan Nathalina N, (2004), Modul Instrumen HAM Nasional; Hak Anak, Jakarta: Departemen Hukum dan HAM, hlm. 4
9 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op.cit., hlm. 45
4
Cara Pengambilan DataPengambilan data dengan melakukanXstudi pustaka terhadap buku-buku, artikel-artikel, hasil-hasilXpenelitian, dan peraturanXperundang-undangan, serta pendapat ahli.
PEMBAHASAN
A. Apa Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi Dalam Memberikan Bantuan Hukum Yang Diberikan Negara Kepada Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Sehubungan denganXmasalah perlindungan terhadapXanak-hak anak yang berkonflik denganXhukum, dalam Pasal 40 KonvensiXHak-hak Anak dinyatakanXbahwa “Negara-negara peserta mengakui hak setiap anak yang disangka, dituduh atau dinyatakan melanggar hukum pidana, untuk diperlakukan sesuai dengan peningkatan perasaan anak atas martabat dan harga dirinya, dengan memperkuat penghargaan anak pada hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar orang lain dan mempertimbangkan usia serta keinginan untuk meningkatkan rientegrasi anak dan menciptakan anak yang berperan konstruktif dalam masyarakat”.
Dalam upaya memberikanXperlindungan terhadap kepentinganXdan hak-hak yang berhadapan denganXhukum, Pemerintah IndonesiaXtelah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undanganXterkait, anatara lain Undang-UndangXNomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor11 tahun 2012 tentang Sistem peradilan Pidana Anak dan Undang-UndangXNomor 23 Tahun 2003 TentangXPerlindungan Anak.
Masalah perlindunganXhak-hak anak yang berhadapan denganXhukum, yang terdapat dalam Pasal 3 Undang-UndangXNomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem PeradilanIPidana Anak, menentukan bahwa:
a. Setiap anak berhak diberlakukan secara manusiawi;
b. Setiap anak berhakXuntuk tidak dijadikan sasaranIpenganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhanIhukuman yang tidak manusiawi;
c. Dipisahkan dari orang dewasa;
d. Setiap anak berhak untukXtidak dirampas kebebasannya secaraXmelawan hukum;
e. Setiap anak yang dirampasIkebebasannya berhak memperoleh bantuanIhukum atau bantuan lainnyaXsecara efektif dalam setiap tahapan upayaXhukum yang berlaku;
f. Tidak ditangkap;
g. Tidak dipublikasi identitasnya;
h. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terhadap anak yang berhadapan dengan hukum,Undang-UndangXNomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem PeradilanXPidana Anak, menggunakan istilah “anak nakal”. Sehubungan dengan perlindunganXterhadap anak nakal, maka menurutXundang-undang ini tidak selalu anak pelaku tindakXpidana harus mendapat hukuman penjara.
Bahwa tindakan yangXdapat dijatuhkan kepada anakInakal, berupa pengembalianIkepada orang tua, wali/orangXtua asuh atau menyerahkannyaXkepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaanXdan latihan kerja. Sepengetahuan penulis hakim selalu memberi hukuman penjara terhadap anak yang melakukan tindak pidana, sehingga perlindunganIterhadap anak untuk tumbuh dan berkembang secara wajar menjadi angan-angan walaupun peraturan perundang-undangan telah mengaturnya.Jadi dalam kondisi yang demikian pemerintah harus konsisten dengan political will nya yaitu memberikan perlindungan terhadapXanak yang berhadapan denganIhukum atau yang melakukan tindak pidana sesuaidengan ketentuan Undang- Undang yang berlakuXdengan menitik beratkan bukan hukuman penjara, tetapi pembinaan.10
Selanjutnya berdasarkanXketentuan yang terdapat dalamXUndang-Undang tahun 2014 tentang perubahanXUndang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentangXPerlindungan Anak ada beberapa pasal berhubunganXdengan masalah perlindungan anakXyang berhadapan dengan hukum, yaitu:
1. Pasal 1 angka 2, yang menentukanXbahwa prlindungan anak adalahIsegala kegiatan untuk menjaminXdan melindungi anak dan hak-haknyaXagar dapat hidup, tumbuh, berkembangXdan berpartisipasi secara optimalXsesuai dengan harkat dan martabatXkemanusiaan, serta mendapat perlindunganXdari kekerasan danIdiskriminasi.
10 Barda Nawawi Arief, (2006), Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak Peradilan Anak di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, hlm. 26
5
2. Pasal 1 angka 15, menentukaXbahwa perlindungan khusu adalah perlindungan anak yang diberikanXkepada anak dalam kondisi darurat, anak ayng berhadapanXdengan hukum.
3. Pasal 2, menentukanXbahwa penyelenggaraXperlindungan anak berdasarkan Pancasila danXberlandaskan Undang-Undang 1945 serta prinsip-prinsipIdasar Konvensi Hak-hak Ank meliputi:
a. Non Diskriminasi;
b. Kepentingan yangIterbaik bagi anak;
c. HakIuntuk hidup, kelangsunganIhidup dan perkembangan;
d. Penghargaan terhadapIpendapat anak.
Dalam Pasal 59 Undang-UndangItahun 2014 tentang perubahanIUndang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang PerlindunganXAnak, dinyatakanXbahwa: “Pemerintah danXLembaga negara lainnya wajibXmemberikan perlindungan khusus kepada anakXdalam situasi darurat, anak yang berhadapanXdengan hukum, anak dalam kelompokXminoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasiXsecara ekonomi danXatau seksual, anak yangXdiperdagangkan, anak yang menjadi korbanXpenyalahgunaan narkotika, alcohol, psikotropika danXzat adiktif lainnya, anak korbanIpenculikan, penjualanXdan perdagangan, anak korbanIkekerasan fisik danXatau mental, anak yang menyandangXcacat, dan anak korban perlakuanXsalah dan penelantaran Perlindungan khusus terhadapXanak yang berhadapan dengan hukumXdilaksanakan melalui:11
1. Perlakuan atas anak secaraImanusiawi sesaui dengan martabatXdan hak-hak anak;
2. Penyediaan petugas pendampingan sejak dini;
3. Penyedia sarana dan prasaranaIkhusus.
Hambatan-hambatan dalam memberikan bantuanXhukum terhadap anak sebagai tindak pidana adalah masih kurangnya kesadaran baik dari penegak hukum, pemerintah, maupun masyarakat, bahwa anak yang menjadi pelaku tindak pidana adalah sekaligus korban dari sistem negara.Kurangnya pemahaman para aparat penegak hukum dalam memberikan hak kepada seorang anak untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukumnya.
Para aparat penegak hukum masih mempunyai pola pikir bahwa hadirnya penasehat hukum hanya akan menghambat proses pemeriksaan baik di Kepolisian, Kejaksaan maupun di Pengadilan, sehingga kadang anak tersebut harus mendatangani surat pertnyataan yang isinya tidak perlu didampingi sampai tingkat pengadilan.
Selain dari faktor anggaran juga menghambat terlaksananya pemberian bantuan hukum, dalam beberapa kasus ditangani baik itu oleh Yayasan Prayuwana dan LBH Perlindungan Anak kebamyakan kasus yang ditangani biaya operasional berasal dari uang mereka sendiri.
Adanya PeraturanXPemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentangXPersyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan HukumXsecara Cuma-Cuma tidak dibarengi dengan anggaran yang dikeluarkan Pemerintah guna memberikan bantuanXhukum secara Cuma-Cuma kepada pencari keadilan yangXtidak mampu. Sehigga dalam beberapa kasus yang dilimpahkan baik itu oleh KPAI sebagai suatu Komisi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang kepada beberapa yayasan dan lembaga tidak dapat berjalan dengan optimal karena anggaran yang dimilikinya terbatas, kemudian persepsi masyarakat dalam hal ini keluarga pelaku yang menganggap bahwa anak yang menjadi pelaku tindakXpidana sebagai suatu tindakan yang sangat memalukan (aib keluarga) sehingga mereka malu untuk meminta bantuan hukum kepada lembaga pemerintah maupun yayasan atau lembaga bantuan hukum.
Masa penahanan anak saat berada dikepolisian untuk keperluan penyedikan sebagaimana dimaksud Menurut Undang-UndangXNomor 11 tahun 2012 tentang sistemXPeradilan Pidana Anak pasal 32 palingXlama 7 (tujuh) hari dan apabila ada permintaanXPenyidik dapat diperpanjang oleh PenuntutXUmum paling lamaI8 (delapan) hari. PenahananIanak dilaksanakan di LPAS dalam halItidak terdapat LPA, penahanan dapatIdilakukan di LPSK setempat.
Menurut Undang-UndangXNomor 11 tahun 2012 tentang system Peradilan PidanaXAnak pasal 34 ayat (1), (2) dan (3)dalam hal penahananXdilakukan untuk kepentinganXpenuntutan, Penuntut Umum dapatXmelakukan penahanan paling lama 5 ( lima ) hari. (2) JangkaXwaktu penahanan sebagaimanaXdimaksud diatas atas permintaan PenuntutXUmum dapat diperpanjang oleh Hakim PengadilanXNegeri paling lama 5 (lima) hari. (3) Dalan halXjangka waktu sebagaimanaXdimaksud pada ayat (2) telahIberakhir makaIanak wajib dikeluarkanIdemi hukum.
Dengan demikianIhendaknya dalam memberikan ancamanIhukuman kepada anak perlu tindak
11 Endang Sumarni, Op.cit, hlm. 39
6
pidana, selain itu dilihatXdari seberapa berat jenis ancamanXsanksi, hal lain yang tak tidakIkalah pentingnya diperhatikanXadalah perlakuan penanganan anak, serta sarana danXprasarana yang dapat mendukungXberjalannya proses peradilan anak yangXdidasarkan kepada filosofi memberikanIyang baik bagi anak.
Menurut Undang-Undang NomorX11 Tahun 2012Itentang Sistem PeradilanIPidana Anak apabila anak berkonflik denganXhukum yang telahIberumur 12 (dua belas) tahun, tetapiXbelum berumur 18 (delapan belas)Xtahun yang didugaImelakukan tindakXpidana, dari system peradilan anak mengutamakan keadilanXRestoratif, yaitu penyelesaian perkaraXtindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluargaXpelaku / korban, dan pihak lain yangXterkait untuk bersama-sama mencariXpenyelesaian yang adil dengan menekankanXpemulihan kembali pada keadaan semula (dikembalikan kepada orang tua), dan bukan pembalasan.
B. Bentuk Bantuan Hukum Yang Dapat Diterapkan Terhadap Anak Yang Turut Serta Dalam Melakukan Tindak Pidana Penculikan Anak
Salah satu syaratIuntuk negara hukum adalah adanyaIjaminan atas hak-hak asasi.
Jaminan ini harusXterbaca dan tertafsirkan dari konstitusiXyang berlaku dalam suatu negara.
Bantuan hukumXterhadap korban tindak pidana walaupun sudah diatur dalam perundangan- undangan di Indonesia namun pelaksanaannya belum dilaksanakan secara maksimal.Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KitabXUndang-Undang Hukum AcaraIPidana (KUHAP) mengatur mengenaiXbantuan hukum sebatas diberikan padaXtersangka atau terdakwa. Sehingga, secara yuridis orang yang menderita suatu tindakXpidana belum mendapat pellindungan hukum.
Padahal, pelaku tindak pidanaXdan korban tindakXpidana mempunyai hak yang sama, yaitu keduanya berhak mendapat perlindunganXhukum.
Hal yang mendasari pikiranXtersebut adalah bahwa sesungguhnyaXkalau berbicara mengenai Hak Asasi Manusia (HAM), maka kita berbicaraXmengenai Hak Asasi Manusia (HAM) setiap warganegara tanpa kecuali sebagaimanaXyang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-UndangXDasar 1945 yang menyatakan bahwaXsetiap warganegara itu sama kedudukan dan derajatnya di depanXhukum. “Kedudukan dalam hukum” tersebut meliputiXbidang-bidang hukumXprivat dan hukum publik dan bahwaXsetiap warganegara berhak mendapatiperlindungan dengan mempergunakanXkedua kelompok hukum tersebut.Selanjutnya pasal inilah yang biasanya menjadi dasar bagi korban tindak pidana umtuk mendapat bantuan hukum.12
Di Indonesia sendiri pemberian bantuan hukum terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana mengacu pada beberapa peraturan Perundang-undangan yakniXUndang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SistemiPeradilan Anak, Pasal 66 ayat (6) Undang-UndangiNomor 39 Tahun 1999 tentangXHak Asasi Manusia, Pasal 59 Kitab Undang-UndangXHukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 59 Undang-UndangXtahun 2014 tentang perubahanXUndang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentangXPerlindungan Anak.
Pengaturan mengenai pmberian bantuan hukum yang tertuang dalam beberapaIperaturan Perundang-undangan seharusnya sudah dapat memberikan jaminan bagi anak yang menjadi pelaku tindak pidana untuk memperoleh haknya guna mendapatkanIbantuan hukum.13
Pemberian bantuanXhukum ini terkait denganXUndang-Undang Advokad, dimana Advokat wajib memberikanXbantuan hukum cuma-cumaXkepada pencari keadilan yang tidak mampu. Pemberian bantuanXhukum oleh Advokad ini selaras dengan ketentuan Prinsip-prinsip Dasar tentang Peranan Penasehat Hukum atau Pembela yang disetujui oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke Delapan mengenai pencegahan kejahatanXdan Perlakuan Pelaku Pelanggaran Hukum.
Penulis berpendapat demikian karena memberikan bantuan hukum kepada anak dalam rangka merealisasikan dari perlindungan anak yang bertujuan untukImenjamin terpenuhnya hak- hak anak agar tetap hidup, tumbuh, berkembangIdan berpartisipasi secara optimal sesuaiIdengan harkat dan martabatIkemanusiaan, serta mendapatIperlindungan dari kekuasaan dan diskriminasi demi terwujudnyaXanak Indonesia yang berkualitas, yang telah digariskam dalam Pasal 3 dan 4 Undang-UndangItahun 2014 tentang perubahanIUndang-UndangINomor 23 Tahun 2002 tentang PerlindunganXAnak, selain itu pula memuat ketentuan Pasal 16 Undang-UndangXtahun 2014 tentang perubahan Undang-UndangiNomor 23 Tahun 2002 tentang PerlindunganiAnak berbunyi:
setiap anak berhakXmemperoleh perlindungan dari sasaranXpenganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukumanXyang tidakImanusiawi ayat 1, penangkapan, pemaksaan atau tindak pidana
12 Adami Chazawi, (2002), Pelajaran Hukum Pidana Bagian I: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 10
13 A. Patra M Zen dan Daniel Hutagalung, Op.cit, hlm. 9
7
penjara anak hanyaXdilakukan apabila sesuai dengan hukumXyang berlaku dan hanya dapat dilakukanXsebagai upaya terakhir.
Di Indonesia sendiri pemberian bantuan hukumXterhadapXanak yang menjadiXpelaku tindak pidana mengacu pada beberapa peraturan Perundang-undangan yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, Pasal 66 ayat (6) Undang-UndangiNomor 39 TahunX1999 tentang Hak AsasiXManusia, Pasal 59 KitabIUndang-UndangXHukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 59 Undang-UndangXtahun 2014 tentang perubahanXUndang-Undang Nomor 23 TahunX2002 tentang Perlindungan Anak.
Selain dari faktor anggaran juga menghambat terlaksananya pemberian bantuan hukum, dalam beberapa kasus ditangani baik itu oleh Yayasan Prayuwana dan LBH Perlindungan Anak kebamyakan kasus yang ditangani biaya operasional berasal dari uang mereka sendiri. Adanya Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentangXPersyaratan dan Tata CaraXPemberian Bantuan HukumXsecara Cuma-Cuma tidak dibarengi dengan anggaran yang dikeluarkan Pemerintah guna memberikanIbantuan hukum secara Cuma-CumaIkepada pencari keadilanIyang tidak mampu.
Sehigga dalam beberapa kasus yang dilimpahkan baik itu oleh KPAI sebagai suatu Komisi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang kepada beberapa yayasan dan lembaga tidak dapat berjalan dengan optimal karena anggaran yang dimilikinya terbatas, kemudian persepsi masyarakat dalam hal ini keluarga pelaku yang menganggap bahwa anak yang menjadi pelaku tindak pidana sebagai suatu tindakan yang sangat memalukan (aib keluarga) sehingga mereka malu untuk meminta bantuan hukum kepada lembaga pemerintah maupun yayasan atau lembaga bantuan hukum
Pengaturan mengenai pmberian bantuan hukum yang tertuang dalam beberapa peraturan Perundang-undangan seharusnya sudah dapat memberikan jaminan bagi anak yang menjadi pelaku tindak pidana untuk memperoleh haknya guna mendapatkan bantuan hukum14.
Pemberian bantuanXhukum iniXterkait denganXUndang-Undang Advokad, dimana Advokat wajibImemberikanXbantuan hukumIcuma-cumaXkepada pencari keadilan yangXtidak mampu. PemberianXbantuanIhukum oleh Advokad ini selaras dengan ketentuan Prinsip-prinsip Dasar tentang Peranan Penasehat Hukum atau Pembela yang disetujui oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke Delapan mengenai pencegahan kejahatan dan Perlakuan Pelaku Pelanggaran Hukum.
Dengan dikeluarkannya PeraturanIPemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara PemberianIBantuan Hukum secaraICuma-Cuma.Diharapkan para pencari keadilan khususnya anak-anak yang berkonflik dengan hukum, bisa mendapatkan hukum secara cuma- cuma dari penasehat umum sebagaimana hak yang dimilikinya berdasarkan perundang-undangan dalam membantu anak menjalani hukum yang terbaik untuk anak dan untuk membantu dalam tumbuh dan berkembang anak.
Pengacara yang melakukan pembelaan kepada para terdakwa memang merupakan suatu bentuk bantuan hukum yang diberikan kepada para terdakwa, akan tetapi pemberian bantuan hukum yang diberikan kepada para terdakwa tersebut tidak diberikan secara cuma-cuma, karena pengacara tersebut meminta biaya-biaya seperti uang transportasi dan berkas-berkas kepada terdakwa. Padahal konsep bantuan hukum seyogyanya adalah memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada para pencari keadilan.
Masih banyaknya anak-anak yang masuk dalam sistem peradilan pidana yang tidak didampingi oleh Penasehat Hukum merupakan suatu pelanggaran akan hak-hak mereka yakni hak untuk mendapatkan penasehat hukum dimana merupakan hak yang diberikan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan dan merupakan hak yang telah ditentukan didalam Beijing Rules. Penandatangan surat pernyataan tidak didampingi penasehat hukum hingga tingkat pengadilan merupakan suatu pelanggaran hak mereka, apalagi penandatangan surat pernyataan tidak didampingi penasehat hukum tersebut dilakukan atas dasar pemaksaan ataupun dilakukan dengan iming-iming akan diberikan dengan hukuman yang ringan jika anak yang masuk dalam sistem peradilan pidana tersebut menandatangani surat pernyataan tersebut.
Ketidakberadaan penasehat hukum dalam mendampingi anak-anak yang masuk dalam sistem peradilan pidana (berkonflik dengan hukum) dapat menyebabkan pelanggaran hak-hak anak yang lain, yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Selain itu ketidakberadaan penasehat hukum dalam mendampingi anak-anak tersebut dapat pula berakibat pengenaan peraturan yang tidak sesuai dengan peraturan yang tidak berlaku pada anak tersebut.
14 A. Patra M Zen dan Daniel Hutagalung, Op.cit, hlm. 9
8
Ketersediaan penasehat hukum dalam memberikan bantuan hukum khususnya bagi anak yang berkonflik dengan hukum, pemerintah hendaknya menjamin ketersediaan dana yang cukup dan sumber-sumber lainnya untuk pelayanan hukum kepada para pencari keadilan yang tidak mampu. Terkait dengan hal tersebut harus ada upaya dari pemerintah dan orgnanisasi advokad untuk mencari solusi mengenai permasalahan dana dalam memberikan bantuan hukum bagi anak yang masuk dalam sistem peradilan pidana.
Adanya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagaimana diamanatkan dalamUndang-Undang tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan yang mempunyai fungsi utama untuk melakukan sosialisasi Undang- Undang Perlindungan Anak, melakukan pengawasan terhadap penyelenggara perlindungan hak anak di Indonesia kurang memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan hak-hak anak khususnya dalam melindungi anak untuk mendapatkan haknya memperoleh bantuan hukum.
Meskipun dengan melihat pada fungsi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah untuk meningkatkan perlindungan anak di Indonesia dalam memenuhi hak mereka sebagai anak sebagaimana di amanatkan oleh Undang-Undang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pasal 3 dan 4 Undang-UndangItahun 2014 tentang perubahanIUndang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentangXPerlindungan Anak, selain itu pula memuat ketentuan Pasal 16 Undang- Undang tahunX2014 tentang perubahan Undang-UndangXNomor 23 Tahun 2002Xtentang Perlindungan Anak berbunyi: setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaanIatau penjatuhan hukuman yangItidak manusiawi ayat 1, penangkapan, pemaksaan atauItindak pidana penjara anak hanyaIdilakukan apabila sesuai denganIhukum yang berlaku danIhanya dapat dilakukan sebagaiIupaya terakhir.
Pemberian bantuanIhukum ini terkait denganXUndang-Undang Advokad, dimana Advokat wajib memberikanXbantuan hukum cuma-cumaXkepada pencari keadilan yang tidak mampu. PemberianXbantuan hukum oleh Advokad ini selaras dengan ketentuan Prinsip-prinsip Dasar tentang Peranan Penasehat Hukum atau Pembela yang disetujui oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke Delapan mengenai pencegahan kejahatan dan Perlakuan Pelaku Pelanggaran Hukum.
Masih banyaknya anak-anak yang masuk dalam sistem peradilan pidana yang tidak didampingi oleh Penasehat Hukum merupakan suatu pelanggaran akan hak-hak mereka yakni hak untuk mendapatkan penasehat hukum dimana merupakan hak yang diberikan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan dan merupakan hak yang telah ditentukan didalam Beijing Rules. Penandatangan surat pernyataan tidak didampingi penasehat hukum hingga tingkat pengadilan merupakan suatu pelanggaran hak mereka, apalagi penandatangan surat pernyataan tidak didampingi penasehat hukum tersebut dilakukan atas dasar pemaksaan ataupun dilakukan dengan iming-iming akan diberikan dengan hukuman yang ringan jika anak yang masuk dalam sistem peradilan pidana tersebut menandatangani surat pernyataan tersebut.
Ketidakberadaan penasehat hukum dalam mendampingi anak-anak yang masuk dalam sistem peradilan pidana (berkonflik dengan hukum) dapat menyebabkan pelanggaran hak-hak anak yang lain, yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Selain itu ketidakberadaan penasehat hukum dalam mendampingi anak-anak tersebut dapat pula berakibat pengenaan peraturan yang tidak sesuai dengan peraturan yang tidak berlaku pada anak tersebut.Ketersediaan penasehat hukum dalam memberikan bantuan hukum khususnya bagi anak yang berkonflik dengan hukum, pemerintah hendaknya menjamin ketersediaan dana yang cukup dan sumber-sumber lainnya untuk pelayanan hukum kepada para pencari keadilan yang tidak mampu. Terkait dengan hal tersebut harus ada upaya dari pemerintah dan orgnanisasi advokad untuk mencari solusi mengenai permasalahan dana dalam memberikan bantuan hukum bagi anak yang masuk dalam sistem peradilan pidana.
Perlindungan terhadap hak yang diberikan kepada anak yang menajadi pelaku tidak pidana yang diawasi oleh pihak Komisi Pelindungan Anak Indonesia (KPAI) kepada para terdakwa penculikan tersebut belum dapat berjalan dengan optimal.Menurut terdakwa Firmando Aziz peran Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ketika mereka diproses di Kepolisian, memang telah turun tangan melalui ibu Giwo yang pada saat itu menjabat di KPAI yang langsung turun tangan sendiri untuk membantu mereka dengan memberikan dorongan dari dalam.Dorongan yang diberikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tersebut tidak memberikan kepada mereka hak untuk mendapatkan bantuan hukum berupa penasehat hukum.Sehingga terhadap hal ini hak seorang anak untuk mendapatkan bantuan hukum tidak terlaksana dengan baik.Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sendiri dalam memberikan hak bantuan hukum berupa penasehat hukum kepada para terdakwa, Komisi Perlindungan Anak.
9
Indonesia (KPAI) harus bekerja sama dengan lembag-lembaga lainnya (khususnya dalam memberikan litigasi kepada para terdakwa). Kerjasama yang digalangkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan lembaga-lembaga lainnya tidak disertai dengan anggaran dana dalam pelimpaham kasus dari KPAI kepada lembaga lainnya. Sehingga kadang terkendala dengan biaya-biaya akomdasi dari para pemberi bantuan hukum itu sendiri.
Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma kepada para pencari keadilan yang tidak mampu merupakan suatu hal yang wajib dilaksanakan oleh Advokad dalam menjalani profesinya. Pemberian bantuanhukum secara cuma-cuma ini dilaksanakan dengan pemenuhan persyaratan dan tata cara pemberi bantuan hukum. Berdasarkan ketentuan dalam ayat 2 Pasal 21 tersebut maka Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2008 mengatur tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantua Hukum Secara Cuma-Cuma.
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut, memberikan pengertian tentang maksud dari pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma. Yakni sebagaimana terdapat Pasal 1 butir 3 yang menyatakan: “Bantuan hukum secara cuma-cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran atau honorarium, meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan para pencari keadilan yang tidak mampu”.
PENUTUP 1. Kesimpulan
a. Hambatan-hambatan dalam memberikan bantuan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana adalah masih kurangnya kesadaran baik dari instasi penegak hukum, instasi pemerintah, maupun masyarakat, bahwa anak yang menjadi pelaku tindak pidana adalah sekaligus korban dari system Negara. Permainan aparat penegak hukum dalam memberikan hak kepada seorang anak untuk mendapatkan bantuan hukum menjadi suatu faktor penghambat dalam pelaksanaan hak yang dimiliki anak untuk mendapatkan bantuan hukum dari pensihat hukumnya. Para aparat penegak hukum masih mempunyai pola pikir bahwa hadirnya penasihat hukum hanya akan menghambat proses pemeriksaan di Kepolisian, Kejaksaan, maupun di Pengadilan, sehingga kadang anak tersebut mendataangani surat pernyataan yang isinya tidak perlu di damping sampai tingkat pengadilan.
b. Bentuk bantuan hukum yang dapat diterapkan terhadap anak yang melakukan turut serta penculikan anak adalah pemberian hukum yang secara cuma-cuma ini dilaksanakan dengan pemenuhan syarat dan tata cara pemberianXbantuan hukum. Bentuk BantuanIHukum belum dapat diimplementasikanIdengan baik karena adanya penyimpangan-penyimpanganIdalam prakteknya. Faktor strukturIhukum yang menghambatXyakni, faktok penegak hukum dari segi internal dan eksternal yangXjuga meliputi sarana dan prasarana. Faktor penegakIhukum dari segi internal yang menghambatXseperti, kurangnya integritas, moralitas, idealisme dan profesional advokad. Faktor penegak hukumXdari segi eksternal dan saranaXfasilitas menghambat sepertiXTidak ada Lembaga BantuanXHukum, kurangnya pendanaan atau anggaranIdari pemerintah.
2. Saran
Meskipun peneliti menginginkanIkesempurnaan dalam penyusunanIjurnal ini akan tetapi padaIkenyataannya masih banyakIkekurangan yang perlu peneliti perbaiki. Hal ini dikarenakan masihIminimnyaIpengetahuan peneliti.Oleh karena itu kritikIdan saran yang membangunFdari paraFpembaca sangat peneliti harapkanFsebagai bahanIevaluasi untuk kedepannya.
A. Referensi Buku:
Adami Chazawi, (2002), Pelajaran Hukum Pidana Bagian I: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada;
Apong Herlina et al, (2004) Perlindungan Terhadap Anak yang Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta: UNICEF;
A.Patra M Zen dan Daniel Hutagalung , (2007), Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia;
Barda Nawawi Arief, (2006), Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak Peradilan Anak di Indonesia, Bandung: Mandar Maju;
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, (2010), Bantuan Hukum dan HAM. Cet. III, Bandung, Mandar Maju;
10
Endang Sumiarni, (2006), Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Hukum Pidana, Yogyakarta: Universitas Atmajaya;
Eva A. Zulfa dan Nathalina N, (2004), Modul Instrumen HAM Nasional; Hak Anak, Jakarta:
Departemen Hukum dan HAM
R. Abdulsallam, (2003), Hukum Perlindungan Anak, cet 2, Jakarta, PTIK