• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berbagai faktor dapat menyebabkan rawat berulang pada pasien hemodialisis

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Berbagai faktor dapat menyebabkan rawat berulang pada pasien hemodialisis"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Journal Scientific Solutem Vol.1 No.1–Mei–Oktober 2018 p-ISSN : 2620-7702 e-ISSN : 2621-136X journal homepage: http://ejurnal.akperbinainsan.ac.id Analisis Faktor Yang Menyebabkan Rawat Inap Berulang

Pada Pasien Hemodialisis Rahma Hidayati

Akademi Keperawatan Bina Insan Jakarta e-mail : [email protected]

Abstrak

Latar belakang : Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti bagi penderita gagal ginjal terminal. Terapi ini dapat mempertahankan fungsi homeostasis tubuh dan memperpanjang kehidupan pasien meskipun fungsi ginjal normal telah hilang atau berkurang. Meskipun demikian ada beberapa hal yang harus dipatuhi pasien agar tidak terjadi penurunan kesehatan yang menyebabkan mereka harus dirawat berulang kali di rumah sakit. Berbagai faktor dapat menyebabkan rawat berulang pada pasien hemodialisis.

Tujuan penelitian : Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian rawat inap berulang pasien hemodialisis. Metode penelitian : penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan desain Cross Sectional. Data penelitian bersumber dari data sekunder 41 responden, yang didapat dengan metode total sampling. Analisis hasil penelitian menggunakan Chi-Square dengan α =0,05. Hasil : didapatkan hubungan yang bermakna antara rawat berulang dengan pendidikan (p=0,043), kelebihan cairan (p=0,032) , tekanan darah (p=0,048) dan adekuasi dialisis (p=0,025). Kesimpulan : Prediktor utama penyebab rawat berulang pasien hemodialysis adalah tidak adekuatnya dialisis yang mereka jalani Kata kunci : Rawat berulang, gagal ginjal terminal, hemodialisis

Abstract

Background : Hemodialysis is one of replacement therapyfor a patient with a terminal renal failure. This Theraphy can maintain the body homeostasis function and extend the patient’s life althought the normal renal function has vanished or lessen. There are many factors that may caused to the rehospitalisation of hamodialysis patient. Aim : The purpose of this research was to identify the factors associated with the rehospitalization of haemodialysis patients. Methods : This research was a retrospective study using a cross sectional design. The data were based on a secondary data of 41 respondents, derived from a total sampling method. The analysis of the data using a Chi-Square atα= 0,05. Result : found a significant relationship between rehospitalisation and education (p=0,043), fluid excess (p=0,032), blood pressure (p=0,048) and dialysis adequacy (p=0,025).

Conclusions:This research concluded that dialysis adequacy was the main predictor of rehospitalization of the hemodialysis patient.

Keys words : Rehospitalization, end state renal disease, haemodialysis

Pendahuluan

Hemodialisis merupakan salah satu suatu proses penggantian ginjal modern bagi pasien gagal ginjal terminal yang membutuhkan terapi permanen

untuk memperpanjang hidup dan mencegah kematian.(Smeltzer & Bare, 2008). Kualitas hidup, morbiditas dan mortalitas pasien yang menjalani hemodialisis sangat dipengaruhi oleh

(2)

kepatuhan mereka terhadap pembatasan cairan, konsumsi diet, penggunaan obat secara teratur serta kedisiplinan menjalani hemodialisis 2-3 kali dalam seminggu (USRD, 2009; Kim & Evangelista, 2010).

Perubahan gaya hidup terencana berkaitan dengan terapi dialisis ini sering menjadi hal yang sulit bagi pasien dan keluarga terutama pada tahun-tahun awal mereka menjalani dialysis (O’Collaghan, 2009; Smeltzer& Bare, 2008). Kegagalan adaptasi ini menjadi salah satu penyebab timbulnya masalah kesehatan, memperburuk prognosis penyakit dan menjadi salah satu prediktor rawat berulang di rumah sakit (Kim &

Evangelista, 2010 ; Jencks, Williams, &

Coleman, 2009).

Masuknya kembali pasien hemodialisis ke ruang perawatan pasca rawat inap sebelumnya, dikategorikan sebagai kejadian rawat berulang. Sebagian besar alasan pasien menjalani perawatan adalah gangguan pernafasan dan penurunan kesadaran (Wahyudi, 2012). Menurut data, rata-rata pasien menjalani perawatan selama12-14 hari dalam setahun (Brophy, Gregory, Mathius & Tracy, 2010 ; USRDS, 2012).

Penelitian lain menyebutkan bahwa pasien gagal ginjal terminal yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU), memiliki tingkat kelangsungan hidup yang rendah (Manish, Miller, Komenda &

Reslerova, 2010). Insiden rawat berulang pada pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis mencapai 36 % dari total pasien rawat berulang dengan kelompok terbanyak adalah yang berusia 20-44 tahun (USDR,2011).

Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pasien hemodialisis harus mendapatkan perawatan di rumah sakit adalah anemia (Chan, Lazarus, Wingard

& Hakim, 2009 ; Tamhane, John, Rabeea,

& Michael, 2008), hipertensi pulmonal (Yigla et al.,2009), kelebihan cairan (Arneson, Liu, Qiu, Gilbertson, Foley &

Collins, 2010) dan hiperkalemia (Charytan

& Goldfarb, 2000).

Faktor penting lainnya yang berhubungan dengan morbiditas pasien adalah adekuasi dialisis.

Ketidakadekuatan dialisis akan menyebabkan tidak optimalnya bersihan urea yang berdampak pada gangguan sistemik, peningkatan kerusakan fungsi ginjal, penurunan kualitas hidup dan peningkatan morbiditas-mortalitas pasien (Mors, Goncalves & Barros, 2006;

Hamilton, 2003)

Pencegahan kejadian rawat berulang pada pasien hemodialisis tidak terlepas dari peran perawat, baik sebelum, selama maupun setelah rawat inap dengan cara meningkatkan kepatuhan pasien serta pengelolaan terhadap faktor yang menjadi komplikasi. Berdasarkan fenomena diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis berbagai faktor yang berhubungan dengan kejadian rawat inap berulang pada pasien hemodialisis serta faktor mana yang paling berpengaruh terhadap rawat berulang pasien.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan desain Cross Sectional. Sampel penelitian adalah pasien hemodialisis yang pernah menjalani rawat inap berulang. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta.

Data penelitian didapatkan dari hasil rekam medis pasien dengan kriteria inklusi: pasien hemodialisis reguler 2 atau 3 kali/minggu yang sedang atau pernah menjalani rawat inap, dengan jarak antar rawat inap minimal 90 hari. Frekuensi dirawat minimal 2 kali dalam satu tahun dengan waktu rawat inap terakhir maksimal 18 bulan dari waktu pengambilan data (November 2011-Mei 2013). Total jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 41 orang pasien.

Alat pengumpul data berupa instrumen yang berisi tentang prediktor rawat berulang pasien hemodialisis.

Bagian pertama merupakan lembaran isian singkat tentang karakteristik responden. Terdiri dari : Usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan serta jenis akses vaskuler yang digunakan.

Bagian kedua berupa lembaran isian pengukuran yang digunakan untuk mencatat kadar Hb, tekanan darah, Ureum

(3)

pre dan post dialisis, Interdialytik Weight Gain (IDWG) dan frekuensi rawat inap dalam satu tahun. Selanjutnya, data dianalisis menggunakan uji statistik univariat, bivariat dan multivariat.

Hasil Penelitian

Dari hasil analisis univariat, sebagian besar responden (53,7%) mengalami rawat inap 2 kali pertahun.

Kelompok usia terbanyak yang mengalami rawat inap berulang adalah 45-59 tahun (61%) dan berjenis kelamin laki-laki (56.1%).

Sebagian besar mereka berpendidikan rendah (65%) dan mengalami kelebihan cairan (58,5%).

Umumnya responden yang mengalami rawat berulang adalah yang menggunakan akses vaskuler non AVF (56.1%) dan tidak mencapai adekuasi dialisis (63,4%).

Keluhan terbanyak saat awal mereka dirawat adalah sesak nafas (61 %). Selain itu mereka juga mengalami anemia, dengan rata-rata kadar Hb 8,07 gr/dl., dengan kadar Hb tertinggi adalah 11,3 gr/dl dan yang terendah adalah 4,4 gr/dl (tabel 1)

Tabel-1 Analisis Kadar Hb Pasien Hemodialisis Yang Menjalani Rawat Berulang (n=41) Variabel Mean Median SD Min-Maks 95% CI

Kadar Hb 8.07 7,8 1,6 4,4–11,3 7,6–8,6 Sementara itu, hasil analisis bivariat

menggunakan uji chi square, menunjukkan rawat berulang berhubungan dengan tingkat pendidikan, kelebihan cairan, tekanan darah dan

adekuasi dialysis. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara rawat berulang dengan usia, jenis kelamin, aktifitas dan akses vaskuler (tabel 2)

Tabel 2 Distribusi Pasien Berdasarkan Variabel Dependen dan Independen (n=41) Kategori

Rawat Inap Berulang

P OR

95%CI Rendah Tinggi

n % N %

Usia:

20–44 Tahun 2 28,6 5 71,4 7 0.923 Pembanding

45–59 Tahun 16 64 9 36 25 0.225(0.036-1.405)

60–74 Tahun 4 44,4 5 55,6 9 0.5 (0.061-4.091)

Jenis Kelamin :

Perempuan 12 66,7 6 33,3 18 0,245 2.6

Laki-laki 10 43,5 13 56,5 23 0.722-9.357

Pendidikan :

Tinggi 15 71,4 6 28,6 22 0,043* 4.643

Rendah 7 35 13 65 20 1.241-17,368

Aktifitas :

Ringan 16 66,7 8 33,3 24 0.096 3,667

Berat 6 35,3 11 64,7 17 0,992-13,556

Kelebihan Cairan:

Tidak Kelebihan 13 76,5 4 23,5 17 0.032* 5,417

Kelebihan 9 37,5 15 62,5 24 1,346-21,799

Tekanan Darah:

Normal & pre-hipertensi 10 76,9 3 23,1 13 0,042* 4,444 1,000-19,752 Hipertensi derajat 1 & 2 12 42,9 16 57,1 28

(4)

Kategori

Rawat Inap Berulang

P OR

95%CI Rendah Tinggi

n % N %

Akses Vaskuler

AVF (Cimino) 13 72,2 5 27,8 18 0,073 4,044

Non AVF 9 39,1 14 60,9 23 1,071-15,27

Adekuasi Dialisis

Adekuat 12 84,2 3 15,8 15 0,025* 6,40

Tidak Adekuat 10 45,5 16 54,5 26 1,44-28.44

 Memiliki hubungan bermakna (< 0,05) Pemodelan akhir menggunakan analisis multivariate. Hasil analisis menunjukkan, adekuasi dialisis merupakan variabel yang paling berpengaruh kuat terhadap kejadian rawat inap berulang. Odds Ratio (OR) untuk variabel adekuasi dialisis adalah 8.78, artinya pasien dengan dialisis yang tidak adekuat akan berpotensi mengalami

kejadian rawat berulang sebesar 8,78 kali lebih tinggi dibanding dengan pasien yang dialisisnya adekuat setelah dikontrol oleh variabel jenis kelamin, pendidikan, aktifitas pekerjaan, kelebihan cairan, tekanan darah, dan akses vaskuler (tabel 3)

Tabel 3 Pemodelan Akhir Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Rawat Berulang Pada Pasien Hemodialisis (n=41)

Variabel B P OR 95% C.I

Jenis kelamin 1.563 0.243 4.772 0.34–65.8

Pendidikan 1.702 0.100 5.487 0.72 - 41.6

Aktifitas -0.301 0.818 0.740 0.05 - 9.57

Kelebihan Cairan 1.511 0.147 4.533 0.58 - 34.89

Tekanan Darah -0.920 0.366 2.509 0.34 - 18.46

Akses Vaskuler 1.558 0.107 4.750 0.71 - 31.56

Adekuasi Dialisis 2.173 0.042* 8.789 1.08 - 71.448

Pembahasan

Rawat berulang dapat didefinisikan sebagai kegiatan diterimanya kembali pasien dalam rentang maksimal 90 hari setelah perawatan sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian, jumlah rata-rata pasien hemodialisis yang dirawat berulang ( 2 kali pertahun) adalah 46,3%.

Hasil penelitian ini relatif lebih tinggi dibandingkan data penelitian yang dilakukan oleh US Renal Data System (USRDS, 2012) dimana rata-rata jumlah pasien yang mengalami rawat berulang dalam satu tahun adalah 36 %.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Stephen, Jencks, Mark, dan Eric (2009) juga menemukan 34% dari total

11.855.702 pasien gagal ginjal terminal, kembali menjalani rawat inap dalam 90 hari pasca perawatan sebelumnya.

Menurut US Renal Data

System (USRDS, 2012), kelompok usia terbanyak yang mengalami rawat berulang adalah 22-44 tahun sedangkan pada penelitian ini tertinggi pada usia 45-59 tahun dan menurun pada kelompok usia 60-74 tahun. Tingginya jumlah pasien rawat berulang pada kelompok usia ini dapat dikaitkan dengan usia dan tingkat GFR saat pasien memulai inisiasi dialysis.

Usia sebagian besar pasien saat pertama didiagnosa dengan gagal ginjal terminal adalah di atas 40 tahun. Sesuai tinjauan teoritis, setelah usia 40, GFR

(5)

akan menurun 8 ml/menit setiap tahunnya (Hegner, 2003).

Selain usia, juga ditemukan perbedaan jumlah pasien rawat berulang berdasarkan jenis kelamin. Pasien laki- laki lebih banyak mengalami rawat berulang dibandingkan perempuan. 60,9%

laki-laki dalam penelitian ini mengalami kelebihan cairan. Hal ini berkaitan dengan gaya hidup dan kebiasaan merokok pada laki-laki.

Selain itu, laki-laki dalam penelitian ini sebagian besar juga masih aktif bekerja sedangkan pasien perempuan rata-rata tidak bekerja. Aktifitas/kerja fisik akan meningkatkan metabolisme dan produksi zat sisa. Untuk itu maka diperlukan dialisis yang adekuat agar zat sisa dapat dibuang secara optimal.

Dari hasil analisis statistik didapatkan sebagian besar (73,4%) laki- laki tidak mencapai dialisis yang adekuat sehingga lebih mereka beresiko untuk mengalami toksik uremia. Selain meningkatkan metabolisme, aktifitas/kerja fisik juga menyebabkan peningkatan evaporasi yang akan merangsang timbulnya rasa haus dan keinginan untuk minum banyak.

Berdasarkan tingkat pendidikan didapatkan bahwa pasien yang berpendidikan tinggi memiliki resiko rawat berulang yang rendah (71,4%) dibandingkan pasien dengan tingkat berpendidikan rendah (35%). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin luas wawasan dan pengetahuannya

Hal ini akan sangat membantu mengingat pengetahuan yang harus dimiliki oleh pasien tidak hanya terbatas pada kegiatan dialisis saja. Mereka juga diharapkan dapat memahami prinsip- prinsip perawatan secara holistik untuk mencegah timbulnya komplikasi yang menyebabkan mereka harus di rawat.

Pasien dalam penelitian ini sebagian besar mengalami kelebihan cairan. Kelebihan cairan dapat terjadi karena asupan yang berlebih atau penarikan cairan saat dialisis yang tidak adekuat (63,4% pasien tidak mencapai dialisis yang adekuat).

Berdasarkan pengamatan, Proses penarikan cairan pada saat dialisis dibatasi maksimal hanya 3 kg walaupun kenaikan berat badan lebih dari 3 kg. Penarikan cairan untuk tiap pasien juga tidak dihitung berdasarkan berat badan (50 ml/kg BB) tetapi hanya berdasarkan kenaikan berat badan interdialitik (maksimal 3 liter).

Pasien mengetahui bahwa mereka harus membatasi cairan namun tidak mengetahui berapa intake harian yang dapat ditoleransi ginjal berdasarkan jumlah urine/24 jam. Mereka hanya mengatakan minum harus dibatasi, kira- kira 2 gelas perhari.

Hal inilah yang menyebabkan ditemukannya berbagai keluhan yang terkait dengan kelebihan cairan pada pasien, seperti sesak nafas, nyeri dada, bengkak, pusing dan lemas. Sesak nafas merupakan keluhan terbanyak pasien saat awal mereka dirawat.

Sesak nafas merupakan salah satu manifestasi kelebihan cairan (Smeltzer & Bare, 2008). Kerusakan ginjal progresif pada pasien hemodialisis menyebabkan tidakmampuan ginjal untuk mengeksresikan cairan dan zat sisa lainnya.

Pembatasan cairan merupakan suatu yang harus dipatuhi oleh pasien guna mencegah terjadinya komplikasi kelebihan cairan (sesak nafas, edema paru, hipertensi dan gagal jantung).

Jumlah maksimal intake cairan harian pada pasien hemodialisis adalah dengan menjumlahkan urine 24 jam ditambah 500 ml (Pace, 2007; Almatsier, 2006).

Untuk mengatasi kelebihan cairan, pasien terkadang membutuhkan dialisis tambahan di luar jadwal regular.

Jika ditemukan perburukan kondisi akibat gangguan hemodinamik dan komplikasi lanjut seperti edema paru dan gagal jantung maka mereka harus menjalani rawat inap (Arneson, Liu, Qiu, Gilbertson, Foley & Collins, 2010)

Selain karena kelebihan cairan, gagal jantung pada pasien hemodialisis juga dapat disebabkan oleh kadar Hb yang rendah. Pada penelitian ini rata-rata kadar Hb pasien adalah 8.07. Kadar Hb yang

(6)

rendah dapat menyebabkan penurunan oksigenasi ke jaringan dan dapat memicu terjadinya hipoksia jaringan, penurunan metabolisme bahkan gagal jantung (Smeltzer &Bare, 2008).

Keluhan yang timbul biasanya lelah, lemas dan sesak nafas. Rendahnya kadar Hb pasien dapat diakibatkan berrkurangnya produksi eritropoetin (EPO) oleh ginjal. Pemberian EPO pada pasien hemodisisis menjadi salah satu jenis penatalaksaan dialisis (Daugirdas, Peter & Todd, 2007; PERNEFRI, 2011).

Dalam penelitian ini tidak semua pasien mendapatkan terapi EPO karena harganya yang cukup mahal. Untuk mengantisipasi komplikasi anemia, pemantauan kadar Hb di tempat penelitian sudah dilakukan tiap bulan kecuali jika pasien menjalani rawat inap atau kondisi khusus, maka kadar Hb dapat diperiksa sewaktu-waktu.

Pada penelitian ini peneliti juga tidak menemukan hubungan kadar Hb dengan kejadian rawat berulang. Pasien yang mengalami anemia tidak selalu membutuhkan rawat inap di rumah sakit.

Apabila hasil pemantauan kadar Hb rendah dan mengindikasikan untuk transfusi maka dapat dilakukan sekaligus diruang HD saat hemodialisis.

Pasien yang telah mendapat transfusi biasanya cukup berobat jalan dan tidak perlu menjalani rawat inap Rawat inap berulang sering juga dialami oleh pasien yang memiliki tekanan darah tinggi. Pada penelitian ini, sebagian besar (82,9 %) pasien memiliki tekanan darah lebih dari 130/90 mmHg. Mekanisme hipertensi pada pasien gagal ginjal dimulai ketika terjadi insufisiensi ginjal.

Hal ini akan menyebabkan renin disekresi oleh aparatus juncta glomerular.

Selanjutnya, renin bersama Angiotensinogen yang terdapat dalam darah akan merangsang pelepasan angiotensin I yang akan diubah menjadi angiotensin II oleh angiotensin converting enzyme (ACE).

Angiotensin II memiliki beberapa efek diantaranya, vasokonstriksi vaskuler, menurunkan eksresi air dan garam serta merangsang central nervous system yang

meningkatkan rangsang haus (O’Callaghan, 2009).

Salah satu intervensi untuk pengaturan tekanan darah adalah dengan pembatasan caitran dan natrium.

Hipertensi pada pasien gagal ginjal erat kaitannya dengan masalah kardiovaskuler.

Gejala yang biasa muncul adalah kelemahan, sesak nafas, perikarditis, efusi pleura dan gagal jantung (Baradero, 2007

; Yigla, 2009).

Sesuai dengan tinjauan teori, peneliti menemukan keterkaitan peningkatan tekanan darah dengan berbagai manifestasi tersebut. Hipertensi pada pasien gagal ginjal akan berdampak terhadap penurunan kondisi fisik sehingga meningkatkan resiko mortalitas dan morbiditas pasien (Agarwal, 2010).

Pasien dengan hipertensi berat/maligna serta yang mengalami komplikasi hipertensi sering membutuhkan perawatan di rumah sakit untuk mengatasi berbagai keluhan dan gangguan yang mereka alami.

Masalah lain terkait dengan perawatan pasien hemodialisis adalah jenis akses vaskuler yang mereka gunakan. Hemodialis idealnya membutuhkan dua titik akses ke sirkulasi yang disebut akses vaskuler. Akses vaskular yang adekuat dapat mengalirkan darah minimal 200-300 cc/menit. Akses vaskuler yang paling direkomendasikan adalah Cimino /AVF.

Akses vaskuler yang baik dapat meningkatkan Quick of Blood (Qb) atau kecepatan aliran darah ke dialiser. Qb yang sesuai standar (4 kali berat badan) akan menghasilkan dialisis yang optimal (adekuasi dialysis).

Menurut penelitian Ponce et al (2013), Qb yang rendah mengindikasikan adanya masalah akses vaskuler. Pada penelitian ini, sebagian besar (60,9 %) pasien yang mengalami rawat berulang, diketahui masih menggunakan akses vaskuler non-permanen (non-cimino).

Akses vaskuler non permanen memiliki resiko lebih tinggi mengalami trombosis, infeksi, perdarahan dan kegagalan proses dialisis.

(7)

Resiko kegagalan hemodialisis 33% lebih tinggi pada pengggunaan akses non fistula dibanding akses fistula (Young, 2002). Penggunaan akses vaskuler akan mempengaruhi adekuasi pasien. Akses vaskuler yang berfungsi baik akan meningkatkan kecepatan bersihan ureum sehingga dapat dicapai adekuasi dialisis.

Adekuasi dialisis merupakan kecukupan dosis dialisis. Dosis dialisis yang direkomendasiika adalah 10–12 jam perminggu dengan waktu 2 kali perminggu selama 5-6 jam atau 3 kali perminggu selama 4 jam (Daugirdas, Peter & Todd, 2007; PERNEFRI, 2003).

Dalam penelitian ini, adekuasi dialisis tidak tercapai pada sebagaian besar pasien karena dosis dialisis belum optimal. Rata-rata dialisis dilakukan selama 4 jam. Jumlah ini tentu tidak dapat mencapai adekuasi yang optimal apabila dialisis hanya dilakukan 2X perminggu.

Dialisis yang adekuat diketahui dari nilai bersihan ureum atau Urea Reduction Rate (URR) lebih dari 65%.

Bersihan ureum yang tidak optimal tiap kali dilakukan dialisis akan menyebabkan terjadinya penumpukan residu ureum dalam darah.

Dampak dari penumpukan tersebut bisa bersifat sistemik yang pada akhirnya menyebabkan gangguan kesehatan (toksik uremik). Masalah inilah dapat yang menjadi salah satu penyebab klien membutuhkan perawatan di rumah sakit.

Simpulan

rutin merupakan terapi pengganti bagi pasien gagal ginjal terminal.

Penatalaksaaan dan kepatuhan pasien diperlukan untuk mencegah terjadinya penurunan status kesehatan yang dapat menyebabkan pasien harus dirawat di rumah sakit.

Rawat inap pada pasien hemodialisis terjadi rata-rata lebih dari dua kali pertahun. Kejadian ini lebih sering terjadi pada pasien laki-laki, berusia 45-59 tahun, dengan status cairan berlebih, belum menggunakan akses

vaskuler permanen dan belum mencapai adekuasi dialisis.

Rawat inap berulang pada pasien hemodialisis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: adekuasi dialysis, status kelebihan cairan, tekanan darah dan tingkat pendidikan. Diantara faktor tersebut, adekuasi dialysis merupakan prediktor utama rawat berulang pasien hemodialisis.

Selain faktor-faktor di atas, ada beberapa variabel yang bisa ditambahkan untuk penelitian lanjutan seperti status nutrisi, kepatuhan, depresi serta dukungan keluarga agar dapat diambil kesimpulan yang lebih baik dari temuan dalam penelitian ini

Daftar Pustaka

[1] Agarwal, R (2010) Blood pressure and mortality among hemodialysis

patients. Diakses dari

http://hyper.ahajournals.org/content/5 5/3/762.full.pdf+html

[2] Almatsier, S. (2006). Pemilihan diet edisi baru. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

[3] Arneson TJ, Liu J, Qiu Y, Gilbertson DT, Foley RN, Collins AJ. (2010).

Hospital treatment for fluid overload in the Medicare hemodialysis population. Clin J Am Soc Nephrol.

2010 Jun;5(6):1054-63.

[4] Baradero, M., Mary, V., & Yakobus.

(2009). Klien gangguan ginjal.

Jakarta : EGC

[5] Brophy, D.F., Gregory, D., Mathius, G., & Tracy, J.M. (2010).

Characterizing hospitalizations of end-stage renal disease patients on dialysis and inpatient utilization of erythropoiesis-stimulating agent therapy. Annals of Pharmaco- therapy, 44(1), 43-49.

[6] Chan, K.E., Lazarus,J.M., Wingard, R.L., Hakim, R.M. (2009).

Association between repeat hospitalization and early intervention in dialysis patients following hospital discharge. Kidney International, 76(3), 331-341.

(8)

[7] Daugirdas, J.T., Peter, G.B., Todd, S.I (2007). Handbook of dialysis.

Philadelphia-USA: Lippincott.

[8] Hamilton, Cusolito H.L (2003), Hemodialysis adequacy and quality of life: how do they relate?. CANNT J. 2003 Oct-Dec;13(4):24-9.

[9] Hegner, B. R. (2003) Nursing asistant : A nursing process approach ed.6. Jakarta:EGC

[10] Inrig, J.K., Oddone, E.Z., Hasselblad, V., Barbara G., Patel UD., Reddan D., Toto, R.,Himmelfarb., Winchester, JF., Stivelman., Lindsay, RM., & Szczech. (2007) Association of intradialytic blood pressure changes with hospitalization and mortality rates in prevalent ESRD patients

[11] Kim, Y., Evangelista,L.I (2010).

Relationship between illness perceptions, treatment adherence, and clinical outcomes in patients on maintenance hemodialysis diakses dari

http://search.proquest.com/docview/5 77306106/13718517B425CF8CC16/

1?accountid=17242

[12] Jencks, S.F., Williams, M.V, &

Coleman, E.A (2009).

Rehospitalizations among patients in the medicare fee-for-service program. New England Journal of Medicine, 360 (14), 1418-1428 [13] Manish, M., Miller L., Komenda P.,

& Reslerova M. (2010). Long-term outcomes of end-stage renal disease patients admitted to the ICU.

Oxfordjournals, 26 (9), 2965-2970 [14] Morsch.C.M, Goncalves.L.F &

Barros.E (2006). Health-related quality of life among haemodialysis patients – relationship with clinical indicators, morbidity and mortality.

Journal of Clinical Nursing,15(4), 498–504, April 2006

[15]O’Callaghan. (2009). At a Glance Sistem Ginjal.(Elizabeth Yasmine, penerjemah) Jakarta : Erlangga [16] Pace., & Rory Caswell. (2007). Fluid

management in patients onhemodialysis

http://search.proquest.com/docview/2 16529958?accountid=17242

[17] Pace, R.C. (2007) Fluid management in patients on hemodialysis http://search.proquest.com/docview/2 16529958/fulltextPDF

[18] Ponce, P et al (2013). Does blood flow affect vascular access survival?Nephrology Dialysis Transplant ; 28 (1): i226-i239

[19] PERNEFRI (2003). Konsensus dialisis perhimpunan nefrologi Indonesia. Jakarta. Tidak Dipublikasikan.

[20] _____________________ (2011).

Konsensus nutrisi pada penyakit gagal ginjal kronik. Jakarta. Tidak Dipublikasikan

[21] Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2008).

Textbook of medical surgical nursing Brunner & Suddarth. 11th edition.

Lippincott William & Wilkins, a Wolter Kluwer busines.

[22] Stephen, F.J., Mark, V. W., & Eric A.C. (2009). Rehospitalizations among patients in the medicare fee- for-service program. The New England Journal of Medicine;

360:1418-1428

[23] Tamhane, U., John V., Rabeea A., &

Michael M. (2008). Do hemoglobin and creatinine clearance affect hospital readmission rates from a skilled nursing facility heart failure rehabilitation unit? Jamda, Vol 9.

194-198

[24] USRDS. (2011a). Incidence, prevalence, patient characteristics, and treatment modalities.

http://www.usrds.org/2011/view/v2_

01.asp

[25] ____________(2011b).

Hospitalization.http://www.usrds.org /2011/view/v2_03.asp#top

[26] ____________(2011c) Annual data report: Atlas of chronic kidney disease & end-stage renal disease in

the united states.

http://www.ajkd.org/article/S0272- 6386(11)01571-X/fulltext

[27] USRDS. (2012). Incidence, prevalence, patient characteristics,

&

(9)

modalityhttp://www.usrds.org/2012/v iew/v2_01.aspx

[28] Vaiciuniene, R., Kuzminskis, V., Ziginskiene, E., & Petruliene, K.

(2010). Risk factors for cardiovascular hospitalization in hemodialysis patients. Medicina (Kaunas.), 46(8), 544-549

[29] Wahyudi,, Ignatius.E.D (2012).

Angka Kematian pasien end stage renal disease di ICU dan HCU RSUP Dr. Kariadi.UNDIP

[30] Yigla, M., Oren F., Doron A., Noa Y., Shimon A R., Moshe L., &

Farid N. (2009). Pulmonary hypertension is an independent predictor of mortality in hemodialysis patients. Kidney International, 75. 969–975

Referensi

Dokumen terkait

Hasil Pemeriksaan Kadar Hemoglobin Kelompok Perlakuan Kadar Hemoglobin g/dL Kisaran nilai normal kadar hemoglobin H0 H25 H50 Kontrol negatif 15,70 11,90 13,73 8,29-9,51g/dL Kontrol

Adanya kontaminasi timbal di lingkungan menyebabkan siswa SD Cinangka memiliki rata-rata kadar timbal dalam darah melebihi nilai yang direkomendasikan WHO 10 µg/dl dan sebagian besar