Walau apa pun, buku ini, yang ditulis oleh Saudara Muniron, cuba untuk mengetahui pandangan al-Ghazali tentang ittihad Abu Yazid al-Busthami dan hulul Abu Mansur al-Hallaj. Oleh itu, pengarang buku ini memfokuskan perbincangannya tentang bagaimana pandangan al-Ghazali tentang ittihaddanhulul.
PENDAHULUAN
K AJIAN T ERDAHULU
Berbeda dengan sejumlah penelitian yang telah ada mengenai al-Ghazali, penelitian ini lebih menitik beratkan pada pandangan al-Ghazali terhadap ittihad Abu Yazid al-Busthami dan Hulul Abu Mansur al-Hallaj. Penekanan pandangan al-Ghazali terhadap ittihad dan hululul menjadi titik pembeda dengan sejumlah kajian yang ada mengenai al-Ghazali.
S ISTEMATIKA P EMBAHASAN
Untuk memberikan gambaran mengenai pandangan al-Ghazali mengenai ittihad dan hulul, bab ini menguraikan secara berurutan: kondisi sosial-keagamaan dan sosial-politik dunia Islam pada masa al-Ghazali, dialektika intelektual-spiritual al-Ghazali dan pemikirannya. penghayatan tasawuf, batas terakhir atau puncak tasawuf menurut al-Ghazali: perbandingan ma'rifah dengan ittihad dan hulul, dan terakhir pandangan al-Ghazali tentang ittihad dan hulul. Sebagai bagian terakhir dari karya ilmiah ini, bab ini berisi rumusan kesimpulan hasil penelitian dan usulan penulis sebagai rekomendasi.
KONSEP ITTIHAD DALAM TASAWUF
A L -F ANA ’ DAN AL -B AQA ’
14Al-Busthami, yang bernama lengkap Abu Yazid Thaifur ibn 'Isa ibn Sarusyan, lahir di Bistham, sebuah desa di provinsi Qumus di barat laut Persia. Para ulama tasawuf umumnya memuji Abu Yazid al-Busthami, seorang tokoh filsafat tasawuf, sebagai penggagas fana' yang pertama.
ﺖﻴﻴﺤﻓ ﻪﺘﻓﺮﻋ ﰒ ﺖﻴﻨﻓ ﱴﺣ ﰊ ﻪﻓﺮﻋأ
ءﺎﻘﺑ ﻚﺑ نﻮﻨﳉاو ءﺎﻨﻓ ﰊ نﻮﻨﳉا ﺖﻠﻘﻓ ﺖﺸﻌﻓ ﻪﺑ ﲏﻨﺟ ﰒ ﺖﻤﻓ ﰊ ﲏﻨﺟ
K ONSEP I TTIHAD (T HE M YSTICAL U NION )
Bandingkan dengan Nasution, Islam, 84; Nicholson Mistik, 29. . tidak sampai di situ), barangkali dapat dipahami bahwa sebenarnya fana’ ‘an nafs merupakan syarat atau prasyarat ittihad. Ketika itihad terjadi, maka diri sufi memang musnah (fana'), namun bukan berarti diri sufi lenyap.
ﱄ لﺎﻘﻓ اﺪﺣاو ﻞﻜﻟﺎﺑ ﻞﻜﻟارﺎﺻو ةﺪﺣاو ﺔﻤﻠﻜﻟارﺎﺼﻓ ةﺎﺟﺎﻨﳌا ﻊﻄﻘﻧﺎﻓ ,
ﺖﻧأﺎﻳ ,
ﻪﺑ ﺖﻠﻘﻓ ,
ﺎﻧأ ﺎﻳ ,
ﺖﻠﻗ ,
“Akulah Yang Esa” bukanlah al-Bustham, melainkan Tuhan (bukan hakikat Tuhan),71 yang mengendalikan atau termasuk sufi Abu Yazid al-Bustham. Bahkan menurut Abu Yazid al-Bustham, mengaku sebagai Tuhan adalah dosa besar, bahkan yang paling besar (musyrik) malah akan semakin menjauhkan diri.
KONSEP HULUL DALAM TASAWUF
H ULUL DALAM P ERSPEKTIF H ISTORIS
Menurut Abu Mansur al-Hallaj, bersatunya ruh sufi dengan ruh Tuhan berbentuk hulula, sehingga al-Hallaj kemudian dipuja sebagai sosok yang menciptakan doktrin hulula dalam tasawuf.1 Biografi a1-Hallaj , yang bernama lengkap Abu Mughits al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidlawi, secara singkat dapat digambarkan lahir pada tahun 244 H/. Jika diperhatikan tahun lahirnya dan sekaligus tahun wafatnya, berarti al-Hallaj merupakan tokoh filsafat sufi yang ada pada periode kedua Dinasti Abbasiyah, yaitu pada periode awal Turki-Sunni; dan hukuman mati al-Halla tepatnya terjadi pada masa pemerintahan Khalifah al-Muqtadir Billah (295 H/ 908 M - 320 H/ 932 M).
يﺮﲡ ﺐﻠﻘﻟاو فﺎﻔﺸﻟا ﲔﺑ ﺖﻧأ ,
ﱐﺎﻨﺟأ ﻦﻣ غﻮﻣﺪﻟا يﺮﺟ ﻞﺜﻣ
ي داﺆﻓ فﻮﺟﲑﻤﻀﻟا ﻞﲢو ,
ن اﺪﺑﻷا ﰲ حاورﻷا لﻮﻠﺤﻛ
ﺎﻧأ ىﻮﻫأ ﻦﻣو ىﻮﻫأ ﻦﻣ ﺎﻧأ ,
ﺎﻧﺪﺑ ﺎﻨﻠﻠﺣ نﺎﺣور ﻦﳓ
L ANDASAN F ILOSOFIS H ULUL
Dalam kesendiriannya terjadi dialog antara Tuhan dan dirinya, dialog tanpa kata dan huruf. Ketika Allah kemudian ingin mewujudkan “kecintaan terhadap hakikat-Nya”, Dia mendatangkan dari ketiadaan (ex nihilo) suatu wujud (salinan) diri-Nya (shurah min nafsih) yang mempunyai segala sifat dan nama-namanya, dan dialah Adam, yang di dalamnya Tuhan menunjukkan dirinya dengan surahnya. Dari kutipan panjang tersebut dapat dipahami bahwa bagi al-Hallaj,18 Tuhan itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dan lebih dari itu, cinta terhadap diri-Nya menciptakan ‘illah (penyebab) bagi keberadaan atau keberadaan semua makhluk, termasuk Adam (manusia), sebagai ciptaannya yang paling sempurna, karena di dalam Adam (manusia) Tuhan menampakkan diri dengan syura (bentuk, salinannya).
ﻪﺗﻮﺳ ﺎﻧﺮﻬﻇأ ﻦﻣ نﺎﺤﺒﺳ ,
ﺐﻗ ﺎﺜﻟا ﻪﺗ ﻮﻫ ﻻ ﺎﻨﺳﺮﺳ
اﺮﻫﺎﻇ ﻪﻘﻠﳋ اﺪﺑ ﰒ ,
بر ﺎﺸﻟاو ﻞﻛ ﻷا ةرﻮﺻ ﰲ
وﱪﻜﺘﺳاو ﰉأ ﺲﻴﻠﺑإﻻإاوﺪﺠﺴﻓ مد ﻷ اوﺪﺠﺳا
Oleh karena itu pernyataan Annemarie Schimmel benar sekali,24 bahwa yang menyatu dalam filsafat atau konsep hululal-Hallaj adalah ruh yang diciptakan dan ruh yang tidak diciptakan. 23 Dua ungkapan al-Hallaj adalah: ﻰﺣور ﻲﻓ ﻚﺣور ﺖﺟ ﺰﻣ (Rohmu menyatu dengan ruhku) dan ﺎﻧﺑ ﺎﻨﻠﻠﺎﺣ n rumah (ﻧﺑ) badan). Sedangkan mengenai istilah lahutdannasuthuman (sufi) nampaknya dapat didekati dengan tipologi Ali al-Mahdi yang membagi ruh menjadi dua jenis; ruh yang mempunyai kecenderungan ketuhanan (hayah ruhiyyah) dan ruh yang mempunyai kecenderungan ketuhanan.
K ONSEP H ULUL DALAM T ASAWUF
مﺎﻘﻣ ﱃإ ﻰﻘﺗرا تاﻮﻬﺸﻟاو تاﺬﻠﻟا ﻰﻠﻋﱪﺻو ﺔﻋ ﺎﻄﻟا ﰱ ﻪﺴﻔﻧ بﺬﻫ ﻦﻣ ﲔﺑﺮﻘﳌا
ﻟاﺔﻳﺮﺸﺒ
ﰲ ﻞﺣ ىﺬﻟا ﻪﻟ ﻹا حور ﻪﻴﻓ ﻞﺣ
ﱘﺮﻣ ﻦﺑ ﻰﺴﻴﻋ
ﺎﻣﺪﻨﻋ ﻚﻟ اذو نﻮﻜﻟا اﺬﻫ ءاﺰﺟأ ﻦﻣ ﻩﲑﻏ ﰲو ن ﺎﺴﻧﻹا ﰱ ﻞﳛ ﱃﺎﻌﺗو ﻪﻧ ﺎﺤﺒﺳ ﷲا نإ ﻩرﺎﺛأ ﻦﻣ ﺮﺛأ ﻞﻛ ﻦﻣ ن ﺎﺴﻧ ﻹا دﺮﺠﺘﻳ
ﻴﻓ ﻪﺗ ﺎﻔﺻ ﻦﻣ ﺔﻔﺻو ﺐﻫﺬﻳو ﺎﺒﻳﺮﻘﺗ ﻢﺴﳉا ﻰﺷ ﻼﺘ
ﺢﺼﻳو ﻖﻟ ﺎﳋا ﺔﻔﺻ قﻮﻠﺨﳌا ﺐﺴﺘﻜﻳ ﻚﻟ اذو لﺎﳊا ﻻإ ﻪﻴﻓ ﻰﻘﺒﻳ ﻻو)
ﻮﻫ ﻮﻫ(
Pernyataan Al-Hallaj tersebut menunjukkan bahwa setidaknya ada tiga pemikiran pokok yang menjadi unsur konsep dasar Hulul, yaitu mengenai kondisi Hulul, hakikat makna ontologisnya, serta nilai aksiologis berupa dampak psikologisnya. yang menyertainya. Al-Hallaj sendiri tidak mengajarkan fana'demifana', namun di dalamnya ia melihat nilai-nilai positif yang dapat dimanfaatkan manusia untuk memahami bahwa `ishq (cinta) adalah hakikat wujud Allah dan rahasia penciptaan. Karena berbentuk kerinduan cinta maka tujuannya bukan sekedar mencari keridhaan Allah melalui ketakwaan dan ketaatan seperti yang dikehendaki cinta dalam syariat, melainkan untuk mendapatkan penghayatan ma'rifah dan berdialog langsung dengan-Nya bahkan menyatu dengan Allah SWT. Dia yang menurut al-Hallaj berbentuk hulul.
ﺎﻤﻛ ﻲﺣور ﰲ ﻚﺣور ﺖﺟﺰﻣ ,
ل ﻻﺰﻟاءﺎﳌﺎﺑ ﺮﻤﳋا جﺰﲤ
ﺈﻓ ﲎﺴﻣ ﺊﻴﺷ ﻚﺴﻣ اذ
ﻪﺗﺮﺼﺑأ ﲏﺗﺮﺼﺑأ اذ ﺈﻓ ,
ﺎﻨﺗﺮﺼﺑأ ﻪﺗﺮﺼﺑأ اذإو
Dalam konteks ini, al-Hallaj menegaskan: “Sesiapa yang menyangka bahawa manusia – kitab Allah – bersatu menjadi satu (imttizaz) dengan ketuhanan – tasawuf – maka dia telah kafir. Kerana Tuhan pada zat atau sifatnya adalah bebas dari zat dan Dengan kata lain, pergaulan majazi dalam hululmasih meletakkan 'perbezaan' dan 'pemisahan' antara akal Tuhan dan akal sufi sebagai unsur prinsip, walaupun ahli sufi (manusia). – yang diciptakan menurut gambar (shurah) Tuhan – dilihat sebagai tempat teofani Tuhan. Ini terbukti daripada dua ungkapan al-Hallaj super-keajaiban ruhuka fi ruhi dan nahnu ruhani halalna badana ﻠﺣ ﺎﺣور ﻦﺥ.
ﺎﻧأ ﻖﳊاﺎﻣ ﻖﳊا ﺮﺳ ﺎﻧأ ,
34; Ana al-Hakk" sama sekali tidak dimaksudkan oleh al-Hallaj untuk menyatakan dirinya sebagai Tuhan. Sedangkan al-Hallaj, dengan "Ana"nya, memahami atau melihat "Aku" (Tuhan), sehingga dia hilang atau hilang kesedaran. dirinya ( fana''an nafs).62 Maka perkataan "aku" bagi raja Mesir (Fir'aun) adalah ungkapan kekufurannya, sedangkan ungkapan al-Hallaj adalah tepat untuk mengagungkan Allah. Jika sejumlah riwayat tersebut. dikira, kemudian al-Hallaj-dengan lafaznya "Ana Al-Haq".
PANDANGAN AL-GHAZALI TERHADAP ITTIHAD DAN HULUL
K ONDISI S OSIAL -K EAGAMAAN DAN S OSIAL -P OLITIK D UNIA I SLAM Z AMAN A L -G HAZALI
Selain disintegrasi politik, pada masa al-Ghazali juga terjadi apa yang biasa disebut dengan disintegrasi bidang sosial keagamaan. Dalam kaitan ini, al-Ghazali tidak hanya mendamaikan tasawuf dengan syariat, namun juga mengembalikannya pada kerangka ajaran teologis, yang secara doktrinal tetap mempertahankan “perbedaan” yang kuat dan. Pengaturan ini, kata Simuh, merupakan bukti nyata upaya al-Ghazali dalam mewujudkan rekonsiliasi.
D IALEKTIKA I NTELEKTUAL -S PIRITUAL A L -G HAZALI DAN A PRESIASI -
Setelah mempelajari ilmu-ilmu 'aqliyyah dan filsafat, al-Ghazali mempunyai banyak kecenderungan rasional. 66 Mengenai kitab kalam al-Ghazali, bisa al-Ghazali, Ihya' 'Ulum al-Din V, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. Dengan demikian sikap al-Ghazali terhadap filsafat, baik dalam al-munqidz maupun Tahafut, nampaknya menyatu pada satu prinsip.
Dilihat dari kitab-kitab tersebut, meskipun al-Ghazali telah mencapai taraf sufi, namun ia tidak meninggalkan fiqh dan ilmu Kalam dan tentunya juga filsafat. Dilihat dari kitab-kitab tersebut, meskipun al-Ghazali telah mencapai taraf sufi, namun ia tidak meninggalkan ilmu Kalam dan tentu saja filsafat juga. Jika demikian, maka cukup beralasan jika para ahli kemudian – Harun Nasution misalnya – memberikan penegasan bahwa al-Ghazali membolehkan tasawuf hanya sampai pada tingkat ma’rifah.116.
اﺪﺣاو ﻻا دﻮﺟﻮﻟا ﰱ ىﺮﻳﻻ نا ,
ﻤﺴﺗو ﲔﻘﻳﺪﺼﻟا ةﺪﻫ ﺎﺸﻣ ياو ﺔﻴﻓﻮﺼﻟا ﻪﻴ
ﺪﻴﺣﻮﺘﻟا ﰱ ءﺎﻨﻔﻟا ,
ﺎﻀﻳا ﻪﺴﻔﻧ ىﺮﺗ ﻼﻓ اﺪﺣاو ﻻا ىﺮﻳﻻ ﺚﻴﺣ ﻦﻣ ﻪﻧﻷ ,
ﱂ اذاو
ﻩﺪﻴﺣﻮﺗ ﰱ ﻪﺴﻔﻧ ﻦﻋ ﺎﻴﻧﺎﻓ نﺎﻛ ﺪﻴﺣﻮﺘﻟﺎﺑ ﺎﻗﺮﻐﺘﺴﻣ ﻪﻧﻮﻜﻟ ﻪﺴﻔﻧﺮﻳ ,
ﲏﻓ ﻪﻧأ ﲎﻌﲟ
ﻖﻠﳋاو ﻪﺴﻔﻧ ﺔﻳؤر ﻦﻋ
Dalam Jawahir al-Qur'an al-Ghazali menganalogikan kedua bahan ma'rifah ini dengan permata safir. Konsepsi al-Ghazali tentang ma'rif, sebagaimana terlihat dari uraian di atas, cenderung ke arah bentuk syuhud (saksi batin). Dalam al-Munqidz al-Ghazali menggambarkan perjalanannya menuju ma'rifa (al-qurb) yang kemudian berujung pada ma-habbah.
ﰱ ﻮﺤﺼﻟا نﻷ ﲔﺑ لﻮﳛ بﺎﺠﺻ ﻢﻈﻋا ﰲ ﱴﻟا ﺔﻳﺮﺸﺒﻟا تﺎﻔﺼﻟا دﻮﺟو ﻰﻀﺘﻳ ﻢﻫﺮﻈﻧ
Mereka mengatakan bahwa “tidak mabuk melibatkan kekuatan dan keseimbangan kualitas manusia, yang merupakan tabir terbesar antara sufi dan Tuhan, sedangkan mabuk melibatkan penghancuran (al-fana’) kualitas manusia.”147 Sementara itu, al-Junaid dan Sufi Sunni lainnya, termasuk al-Ghazali, lebih mengutamakan as-shahwdi dibandingkan as-sakr, sebagaimana dalam ungkapan: “Mabuk itu jahat karena menyangkut terganggunya akhlak seseorang dan hilangnya kewarasan serta pengendalian diri, padahal prinsip kebenaran hanya dapat dicapai jika pencari kebenaran dalam keadaan normal (sehat).148 Dan nyatanya, al-Junaid menekankan, “mabuk adalah taman bermain anak-anak, sedangkan tidak mabuk adalah permainan untuk orang dewasa. 149 pernyataan-pernyataan tersebut berkaitan dengan adanya ma’rifah di satu sisi dan ittihad-hulul di sisi lain, maka secara implisit dapat dipahami bahwa para pengikut akr kurban bermaksud untuk menunjukkan bahwa ittihad dan hulul berada pada kedudukan yang lebih tinggi. daripada ma'rifah, dan juga pengikut asy-Syahw bermaksud membuktikan bahwa ma'rifah lebih tinggi dari ittihad dan hulul. Selain klaim-klaim yang sudah ada, penelitian ini menggunakan al-fana' sebagai parameter untuk mengetahui kedudukan ma'rifah al-Ghazali dalam kaitannya dengan ittihad al-Busthami dan hululal-Hallaj.
ﲔﺑﺪﺘﻟاو فﺮﺼﺘﻟاو رﺎﻴﺘﺧﻻا ﺐﺠﳊ ﻊﻓرو تﺎﻔﺼﻟا ﻚﻠﺘﻟ ﻮﻬﻓ ﺮﻜﺴﳌا ﺎﻣأ ﻪﺑرو ﺪﺒﻌﻟا
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, al-Ghazali berhasil mencapai kebenaran hakiki, al-'ilm al-jaqini, melalui metode tasawuf (tasawufi). Berkaitan dengan gagasan dasar tersebut, setidaknya ada dua aspek penting dalam sistem sufi al-Ghazali yang mendesak untuk diperhatikan. Penjelasan lebih lanjut mengenai pemikiran mendasar al-Ghazali dapat ditemukan dalam Abdul Qadir Mahmud, op.
ﻩﺮﻛذأ ﺖﺴﻟ ﺎﳑ ﺎﻣ نﺎﻛو *
ﲑﳋا ﻦﻋ لﺄﺴﺗ ﻻو اﲑﺧ ﻦﻈﻓ
Lebih lanjut pandangan dan argumentasi al-Ghazali mengenai hulul juga dapat ditelusuri dari kitab yang sama yaitu al-Maqshad. 171 Penjelasan ini disampaikan al-Ghazali ketika ia menafsirkan hadis “ﻦﻤﺣﺮﻟا ةرﻮﺻ ﻰﻠﻋ مدا ﻖﻠﺧ ﷲ نإ” Lihat al-Ghazali, op. Masih dalam kitab yang sama yaitu Misykat al-Anwar, al-Ghazali menguraikan seluk beluk ittihad dan menghubungkannya dengan puncak fana'.
ﻪﺑ ﻖﺘﻨﻳ يﺬﻟا ﻪﻧﺎﺴﻟو ﻪﺑﺮﺼﺒﻳ يﺬﻟا ﺮﺼﺑو ﻪﺑ ﻊﻤﺴﻳ يﺬﻟا ﻪﻌﲰ تﺮﺻ
Kewujudan huiul danittihad majazi, sebagaimana yang difahami dan dibenarkan oleh al-Ghazali, mempunyai asas pemikiran yang rasional yang munasabah. Menurut al-Ghazali, manusia memang diciptakan mengikut gambaran (syura) ar-Rahman, sehingga mereka mempunyai sifat yang serupa dengannya. 191 Hal ini tercermin dalam ucapan al-Ghazali: “dalam bahasa majaz disebut ittihad, tetapi dalam bahasa hakikat disebut tauhid”.
ﷲا ةرﻮﺻ ﻰﻠﻋ نﺎﻛ ﻦﻤﳊا رﺎﺛا اﺬﻫ نﺎﻛ ﻢﻠﻓ
Jadi kreativitas intelektual al-Ghazali yang hanya sekedar menafsirkan dan membenarkan ittihad dan hulul majazi, namun juga merupakan antitesis dari kategori intrinsik, sebenarnya lebih merupakan upaya ‘menjelaskan’ doktrin tauhid dalam Islam di satu sisi. dan di sisi lain, sekaligus 'memperbaiki' kesalahpahaman mengenai hal tersebut, khususnya mengenai frameittihadal-Busthami dan hulul al-Hallaj, sehingga keduanya tidak lagi dipahami dalam arti kesyirikan, melainkan merupakan kesyirikan yang tinggi. tingkat monoteisme.191. Karena mereka “serupa” dengan Tuhan, mempunyai hakikat tersendiri, sehingga tidak akan pernah “identik” dengan Tuhan. Dengan demikian, secara alamiah para sufi bisa mendekatkan diri kepada Tuhan melalui jalur asketisme. bervariasi dengan kualitas yang sama, namun maksimalitas kedekatannya tidak akan pernah menembus 'totalitas' hijab (kerudung pemisah) yang membentang antara dirinya dengan Tuhan, sehingga maksimalitas pendakian (mi'raj) para sufi, dan bahkan para Nabi pun, tetap termediasi oleh 'jarak' yang memisahkan dirinya dan Tuhan.
ﻮﻟ ﺔﻤﻠﻇو رﻮﻧ ﻦﻣ ﺎﺑﺎﺠﺣ ﲔﻌﺒﺳ ﷲا نا ﻞﻛ ﻪﻬﺟو تﺎﺤﺒﺳ ﺖﻗﺮﺣ ﻷ ﺎﻬﻔﺸﻛ
ﻩﺮﺼﺑ ﻪﻛردا ﻦﻣ
Melalui ungkapan tersebut al-Ghazali mengibaratkan ungkapan “wine is glass” dengan “wine is like glass”. Dalam kaitan ini, setidaknya ada dua contoh representasi ta’wil al-Ghazali mengenai syathahat, satu dari al-Busthami dan satu lagi dari al-Hallaj. 202 Di antara ungkapan al-Ghazali yang paling terkenal dalam hal ini adalah: “Ifsyaral-sirr al-r-ububiyyah kuf”.
CATATAN PENUTUP
Melalui pemikiran dialektik, al-Ghazali menunjukkan bahawa kesatuan sejati antara dua entiti yang serupa adalah mustahil dengan akal, apatah lagi antara dua entiti yang berbeza iaitu antara manusia dengan Tuhan. Dengan kata lain, al-Ghazali menolak ittihad dan hulul yang benar bukan sahaja kerana kedua-duanya mustahil dengan akal, tetapi juga kerana ia bercanggah dengan akidah Islam. Dari segi doktrin, ittihad dan hulul Abu Yazid al-Busthami dan hulul Abu Mansur al-Hallaj tidak berbeza dengan ittihad dan hulul yang diberikan oleh kelayakan majazi al-Ghazali.
DAFTAR PUSTAKA
Suwardjo Muthahary in Abdul Hadi WM., Mizan, Bandung, 1993 Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab II, Dar al-Fikr, Beirut, t.t. Mahmud, Abdul Qadir, Al-Falsafah al-Shufiyyah fi al-Islam, Dar al-Fikr al-'Arabi, Kairo, 1967. Mubarak, Zakki, Al-Tashawwuf al-Islami fi al-Adab wa al-Akhlaq, al- Maktabah al-'Ashriyyah li al-Thaba'ah wa al-Nashr, Bejrut, t.t.
TENTANG PENULIS