• Tidak ada hasil yang ditemukan

K ONSEP I TTIHAD (T HE M YSTICAL U NION )

ءﺎﻘﺑ ﻚﺑ نﻮﻨﳉاو ءﺎﻨﻓ ﰊ نﻮﻨﳉا ﺖﻠﻘﻓ ﺖﺸﻌﻓ ﻪﺑ ﲏﻨﺟ ﰒ ﺖﻤﻓ ﰊ ﲏﻨﺟ

C. K ONSEP I TTIHAD (T HE M YSTICAL U NION )

Ittihad (the mystical union) secara historis dapat dikatakan sebagai bentuk tasawuf falsafi yang paling awal. Sebagaimana telah terpetakan dalam sejarah tasawuf, pemikiran tasawuf fal-

49Lihat Qs. Yusuf,12: 31.

50Teks lengkap hadis yang dimaksudkan lihat, Basyuni,Nasy’ah, 236.

51Lihat Qs. ar-Rahman, 55: 26-27.

52 HAR. Ghibb, Modern Trend in Islam, terjemah Machsun Husein (Jakarta: Rajawali Press, 1993), 1.

safi baru muncul sesudah para sufi (sunni) menetapkan puncak penghayatan spiritual dengan istilah ma'rifah.53 Oleh karena itu sungguh sangat beralasan kalau kemudian ittihad diposisikan setelah ma’rifah, baik menyangkut sejarah kemunculannya mau- pun derajat atau kualitas kedekatannya dengan Tuhan. Dengan posisinya yang semacam ini, dalam konteks tasawuf falsafi sa- ngat wajar kalau kemudian Abdul Qadir Mahmud54 memposisi- kanittihadsebagai muqaddimah bagihululAbu Mansur al-Hallaj danwahdah al-wujudIbn 'Arabi. Dan dalam kapasitasnya sebagai tasawuf falsafi periode awal, Harun Nasution, setelah melakukan identifikasi teoritis-konseptual, telah menemukan adanya sisi-sisi tertentu dari bangunan konseptualittihadyang relatif kurang je- las elaborasi konsepsionalnya.55

Di samping sebagai penggagas doktrinfana' danbaqa'se- bagai diuraikan di atas,Abu Yazid al-Busthami diapresiasi sebagai sufi pencetus ittihad.56 Memang tampaknya Abu Yazid al-Bus- thami sendiri tidak pernah mempergunakan istilahittihaduntuk menunjuk puncak capaian penghayatann spiritualnya; istilah yang dia pergunakan untuk menyebut puncak pengalaman kesu- fiannya adalah ”tajrid fana’ at-tauhid”, yakni penyatuan hamba dengan Tuhan dengan tanpa diantarai oleh sesuatu pun.57Oleh karena demikian ini, maka penempatan Abu Yazid al-Busthami sebagai pencetus ittihad58tampaknya lebih didasarkan hasil "in-

53Simuh,Tasawuf, 141-154.

54Mahmud,Al-Falsafah,314.

55Nasution, Falsafah, 82.

56Taufiq Thawil,Qishshah Al-Niza' bain ad-Din wa al-Falsafah,

57 Tim Penyusun IAIN Sumatra Utara, Pengantar ilmu Tasawuf (Medan: Proyek, 1981/1982), 166. Lihat pula Aboebakar Atjeh,Pengantar Se- jarah Sufi: dan Tasawuf(Solo: Ramadlani, 1984), 136.

58Selain pencetus paham ittihad, al-Busthami juga terkenal dengan ajarannya tentang fana 'dan mahabbah. Lihat, Al-Hafini,Al-Mu’jam, 51.

terpretasi" subyektif pihak outsiderterhadap ungkapan-ungka- pan mistik (syathahat/theopathical stammirings)-nya,59yang da- lam tradisi tasawuf falsafi memang dipandang sebagai media yang absah untuk mengekspresikan puncak-pengalaman spiri- tual para sufi. Dalam konteks ini,di antara ungkapan mistis Abu Yazid al-Busthami sehingga dia diapresiasi sebagai pencetusitti- hadadalah sebuah riwayat yang mengurai dengan terminologi

mi'raj” al-Busthami berikut ini.60

Artinya: “pada suatu hari, ketika aku dinaikkan ke hadirat Tu- han dan ia berkata “Abu Yazid, makhluk-ku ingin melihat eng- kau. Aku menjawab kekasihku aku tidak ingin melihat mereka.

Tetapi jika ini kehendak-Mu, maka aku tidak berdaya (kuasa) untuk menentang kehendakmu. Oleh Karena itu, hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku mereka akan berkata, telah kami lihat engkau”. Karena di ke- tika itu, aku tidak ada disana”. Tuhan Berkata “semua mereka kecuali engkau adalah mahluk-Ku. Akupun berkata “Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku dan Aku adalah Engkau”.61

Dari riwayat mengenaimi’rajAbu Yazid al-Busthami terse- but, minimal ada dua elemen penting berkaitan dengan bangu- nan teoritis-konseptual ittihad, khususnya menyangkut prasya- rat terjadinyaittihaddan sekaligus makna ontologis dari konsep ittihad itu sendiri. Dari penggalan teks “wala akun hunak” (aku

59Syathahat, bentuk jama’darikata Arabsyath, adalah ungkapan-ung- kapan ganjil den samar dari para sufi, baik ketika ia sedang mengalami "pe- nyatuan" dengan Tuhan (ittihad dan hulul) maupun ketika berada pada ambang penyatuan itu. Lihat,ibid. Lihat pula, Nasution,Falsafah, 83.

60Secara lengkap, teks tersebut dikutip dari Nasution. Lihat,ibid, 84- 85. 61Simuh,Tasawuf, 107. Bandingkan dengan Nasution,Islam, 84; Ni- cholsonThe Mystics,29.

tidak ada di sana), kiranya dapat dipahami bahwa sesungguhnya fana’ ‘an nafsadalah merupakan prasyarat atau prakondisi bagi ittihad. Simuh,62dengan berpijak pada tipologifana’ ‘an nafsal- Qusyairi. menguraikan secara detail proses terjadinya ittihad.

Ketika sufi mengalamifana’dari diri dan sifat-sifat pribadinya lan- taran kesadaranya terfokus pada realitas lebih tinggi yakni sifat- sifat Tuhan, maka pada saat itu—lanjut Simuh—terjadikasyf al- hijab(ketersingkapan hijab atau tabir kegaiban) dan kemudian diikuti olehbaqa’dalam bentuk penyaksian spiritual terhadap cip- taan atau karya-karya Tuhan di alam ruhani (ma’rifah) dan sete- lah itu terhadap Tuhan (ma’rifatullah); dan akhirnya ketika pada puncak ma’rifah itu sufi mengalamifana’ al-fana’maka kesada- ranya tercerap dan luluh dalam kesadaran serba Tuhan, yang berarti tercapaiittihad.

Dari uraian tersebut dapat dipahami, bahwa ketika tercapai fana’ al-fana’(puncak ke-fana’-an) yang diindikasikan oleh hilang- nya kesadaran sufi terhadap diri sendiri dan bahkan terhadap ke- fana’an-nya itu sendiri, maka akan berimplikasi langsung kemun- culan ittihad, yakni penyatuan hamba atau manunggalnya de- ngan Tuhan. Sungguhpun al-Busthami tidak memberikan uraian rinci landasan epistomologiittihad, namun tampaknyaittihad ti- dak lepas dari kerangka dasar epistomologi tasawuf, yang me- ngalamiittihaddengan Tuhan adalah ruh sufi, bukandimensi jas- maninya”.63Namun, ada satu hal penting ditegaskan menyang- kut karakteristik atau ciri khasittihad, yakni bahwa dalam proses terjadinyaittihad.ruh sufi yangmi'raj(naik) untuk menyatu de- ngan ruh Tuhan,64bukan ruh Tuhan yangtanazzul(turun) untuk

62Lihat catatan kaki nomor 36.

63Nasution, dalamKonstektualisasi, 161.

64Muhammad Yusuf Musa,Falsafah al Akhlaq fi al-Islam(Kairo: Muas- sasah al-Khanaji,1963), 253.

menyatu dengan ruh hamba sebagaimana terjadi padahululAbu Mansur al-Hallaj.

Ketika terjadiittihad, diri sufi memang telah hancur (fana’), namun yang dimaksudkan bukanlah diri sufi itu menjadi tiada.

Sebenarnya pada saat terjadiittihad, diri kemanusiaan sufi masih ada, hanya saja tidak ia sadari dan yang sufi sadari atau rasakan pada saat itu hanya satu wujud semata yakni Tuhan,65al-fani la yutsbit syai'an siway Allah li fana'ih `an kulli siwah (orang yang fana'tidak menetapkan sesuatu pun selain Allah).66Dengan de- mikian menjadi tepat kalauittihad itu hanya berbentuk kesada- ran ruhani (bi as-syu'ur),67bukan bersifat hakiki; karena masing- masing pihak masih tetap berada pada esensinya, Tuhan tetap Tuhan dan makhluk (sufi) pun tetap makhluk,68keduanya tidak akan pernah benar-benar menjadi satu (hakiki) karena yang de- mikian ini bertentangan dengan prinsip ketauhidan.

Mengingat dalam ittihad itu, yang pangkalnya—sebagai- mana terjadi pada segala bentuk faham penyatuan hamba de- ngan Tuhan pada setiap tasawuf falsafi—adalah cinta rindu, dan yang disadari dan dirasakan oleh sufi pada saat itu hanyalah satu wujud, maka pada saat demikian itu sampai dapat terjadi pertu- karan peran antara sufi dengan Tuhan; salah satu dari keduanya dapat memanggil yang lain dengan kata-kata “hai aku” (ya ana).

Karena memang suatu cinta itu belumlah dapat dikatakan benar- benar cinta (hakiki) sampai salah satu dari kedua belah pihak me-

65Nasution,Falsafah, 82-83.

66Al-‘Afifi,Fi at-Tashawwuf,39.

67At-Taftazani, Tasawuf, 118-119. Sarah binti Abdul Muhsin, Nadha- riyyah al-Ittishal `inda as-Shufyyah fi Dlau' al-Islam(Jeddah: Dar al-Manarah, 1991), 34.Muhammad Zaid, Nashil Nashshar dan Musa Wahbah, Al-Mau- su'ah, 18.

68Muhsin,Nadhariyyah,34.