Dikutip dari Muhammad Ahmad Abdul Qadir,loc. cit.
148Al-Hujwiri,op. cit. ,hlm. 173-174
149Ibid.
tan, yaitu:pertama, lenyapnya kesadaran akan diri dan sifat-sifat pribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Tuhan;kedua, le- nyapnya kesadaran akan sifat-sifat Tuhan lantaran mulai me- nyaksikan wujud Tuhan; danketiga., lenyapnya kesadaran akan ke-fana’-annya itu sendiri (fana' al-fana') lantaran telah merasa lebur menyatu dengan Wujud Tuhan.150 Dengan parameter ini kemudian Simuh menguraikan, saat terjadifana' tingkat perta- ma, mulailah tersingkap alam gaib bagi sufi, sehingga ia mampu menyaksikan rahasia alam gaib dan peraturan-peraturan Tuhan yang telah "terdisain" dilauh mahfuzh; lalu ketika tercapaifana' tingkat kedua, Sufi mulai menyaksikan apa yang diyakininya se- bagai al-Haqq(Tuhan) yang disebutnya dengan "ma’rifatullah."
dan setelah mencapaifana'tingkat ketiga (tertinggi), Sufi beralih dari ma’rifah ke tingkatfana' al-fana', yaitu lenyapnya kesadaran akan ke-fana'-an dirinya lantaran telah terhisap dan luluh ke da- lam kesatuan dengan Tuhan, dan inilah yang disebut penyatuan dengan Tuhan baik dalam bentukittihaddalam istilah al-Bustha- mi maupunhululterminologi al-Hallaj.151
Berdasarkan uraian di atas dapatlah diambil suatu pemaha- man bahwa ma'rifah (al-qurb) al-Ghazali posisinya hanya berada padafana'tingkat kedua, sedangkanittihadal-Busthami danhu- lulal-Hallaj telah berada pada fana' tingkat ketiga atau puncak ke-fana’-an(fana' al-fana), yang ketika itu Sufi bukan saja tidak sa- dar akan dirinya sendiri, lebih dari itu mereka juga tidak sadar akan ke-fana'-an yang dialami. Dengan demikian, ma'rifah al-Gha- zali jika diukur dengan teori fana’ sebagai parameternya maka posisinya berada di bawahittihadal-Busthami danhululal-Hallaj.
Atau dengan kata lain, ittihad al-Busthami dan hulul al-Hallaj
150Al-Qusyairi,Al-Risalah. al-QusyairiyahI, Abdul Qadir Mahmud (Ed.), (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1974), hlm. 231
151Simuh,op. cit. ,hlm. 107
lebih tinggi posisinya dibandingkan dengan ma’rifah (al-qurb), yang diapresiasi al-Ghazali sebagai ujung atau puncak Sufisme.
Berkaitan dengan ini, R.A. Nicholson menunjukkan proses bera- lihnya ma’rifah ke tingkat penyauan hamba dengan Tuhan:
Kemudian meningkat terus ke arah kesadaran yang lebih tinggi lagi yang oleh para sufi dinamakan “ma’rifah” atau‘arif, dan setelah itu tercapailah suatu penghayatan di mana antara
‘ilm, alimdanma’lum adalah satu (hamba yang melihat, dan Tuhan yang dilihat adalah satu).152
Konklusi semacam itu tampaknya juga diakui oleh al-Gha- zali. Secara implisit, kesan penerimaan itu dapat dipahami dari eksplanasi al-Ghazali terhadap ma’rifah di satu sisi, dan ittihad danhululdi sisi lain, sekalipun al-Ghazali memberi kualifikasi dua term yang disebut belakangan itu sebagai bersifatmajazi(bukan hakiki).153Ketika al-Ghazali menguraikan seluk-beluk puncak ma’- rifah, tauhid as-shiddiqin, dia hanya mengkaitkan dengan fana’
tingkat kedua (fana’ an-nafs),154 tetapi ketika dia memberikan penjelasan ittihad dan hulul (baca, majazi), bukan lagi dia hu- bungkan denganfana'tingkat kedua, melainkan denganfana' al- fana'(puncakfana’).155Tentu saja hal demikian ini tidak saja me- nunjukkan bahwa ma’rifah, puncak Sufisme bagi al-Ghazali, be- rada pada derajatfana’kedua, melainkan lebih dari itu juga me- nunjukkan pengakuan al-Ghazali terhadapittihaddanhulul, seka- ligus kualifikasinya yang lebih tinggi ketimbang ma’rifah. Dengan
152R.A. Nicholson,The Mystics of Islam, (London: Roudledge dan Ke- gan Paul, 1974), hlm. 29
153Al-Ghazali,Al-Misykat , op. cit.,hlm. 197
154Al-Ghazali,Al-Ihya' IV, op. cit. , hlm. 210. Penjelasan lebih lanjut tentang hal ini dapat dibaca pada kutipan no. 119 dalam bab ini
155Al-Ghazali,Al-Misykat , op. di.,hlm. 198
demikian, meski al-Ghazali menetapkan ma’rifah sebagai ujung sufisme, namun dia masih mengakui kemungkinan adanya ting- katan yang lebih tinggi lagi dari ma'rifah itu. Kecenderungan semacam ini pernah disitir oleh Harun Nasution melalui pernya- taannya: “Sungguhpun al-Ghazali hanya menghalalkan tasawuf sampai tingkatma'ifah,namun dia tidak mengharamkan tingka- tan yang lebih tinggi lagi dari padama'rifah”.156
D. PANDANGAN AL-GHAZALI TERHADAPITIIHAD DANHULUL
Sebagaimana telah diuraikan di atas, al-Ghazali telah berha- sil mencapai kebenaran hakiki, al-'ilm al-yaqini,melalui metode Sufisme (tasawuf). Bagi al-Ghazali, Sufisme bukan saja telah membebaskan dahaga dan krisis intelektualnya yang bersifat epistemologis(manhaji),lebih dari itu Sufisme telah mampu me- muaskan dahaga dan krisis spiritualnya, sehingga cukup logis ka- lau kemudian al-Ghazali memberikan apresiasi yang relatif tinggi terhadap tasawuf (Sufisme).157Hanya saja, Sufisme yang diapre- siasi oleh al-Ghazali itu diformulasikan dengan isttilah al-qurb (ma’rifah) sebagai batas akhirnya,158 yang kalau dijellaskan de- ngan teorifana’sebagai parameternya, sebagaimana telah terli- hat di atas, posisinya berada di bawahittihadAbu Yazid al-Bus- tami danhululAbu Mansur al-Hallaj.
Berkaitan dengan dasar pemikiran tersebut, minimal ada dua sisi penting dari sistem tasawuf al-Ghazali yang urgen untuk
156Harun Nasution, dalamKontekstuaIisasi , op. cit. ,hlm. 175
157Apresiasi al-Ghazali terhadap keberadaan sufisme tampak jelas da- lam sebuah ungkapannya: “perjalanan sufi merupakan perjalanan terbaik, jalannya adalah oalan terbenar, dan akhlaknya sebagai akhlak yang paling bersih”. Lihat al-Ghazali,Al-Munqidz , op. cit. ,hlm. 32
158 Ibid., hlm. 33. Penjelasan lebih lanjut dari dasar pemikiran al- Ghazali ini dapat dilihat pada Abdul Qadir Mahmud,op. cit. ,hlm. 232