• Tidak ada hasil yang ditemukan

C 7 Laporan Akhir Analisis In Vitro

N/A
N/A
Muhammad Haikal Asna Pratama

Academic year: 2025

Membagikan "C 7 Laporan Akhir Analisis In Vitro"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

C7

Mega Eva Triana 200110210004

Zahrani Kusuma Ningrum 200110210005

Randy Rahman 200110210040

Amanda Viona Shafitri 200110210042 Najma Rika Faradana 200110210120 Habib Raihan Abdul Hanif 200110210240

LABORATORIUM NUTRISI TERNAK RUMINANSIA DAN KIMIA MAKANAN TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS

PADJADJARAN SUMEDANG 2022

(2)

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas anugerah-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan Praktikum “Analisis NH3, VFA, Kecernaan Bahan Kering, Kecernaan Bahan Organik Menggunakan Metode In Vitro” tepat pada waktunya. Maksud dan tujuan penyusunan Laporan Praktikum ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas Praktikum Nutrisi Ternak Ruminansia yang diampu oleh Bapak Prof. Dr. Ir. Ujang Hidayat Tanuwiria, M.Si., IPU dan Ibu Novi Mayasari, S.Pt., M.Sc., Ph.D., beserta Asisten Laboratoriumnya.

Laporan praktikum ini tidak akan selesai tanpa adanya kontribusi dan dukungan berbagai pihak. Maka dari itu, kami mengucapkan terima kasih kepada dosen Pengampu mata kuliah Nutrisi Ternak Ruminansia Bapak Prof. Dr. Ir. Ujang Hidayat Tanuwiria, M.Si., IPU., dan Ibu Novi Mayasari, S.Pt., M.Sc., Ph.D. yang mendukung pembuatan Laporan Praktikum, serta jajaran Asisten Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia yang senantiasa memberikan kami materi dan pembelajaran yang baik, serta rekan anggota kelompok 8 yang telah menjalankan tugasnya secara maksimal dalam pembuatan Laporan Praktikum.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa banyak kekurangan dalam laporan praktikum ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki, oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi laporan praktikum yang lebih baik. Akhir kata, kami berharap semoga laporan akhir praktikum ini bermanfaat untuk pembaca.

Sumedang, November 2024

Penyusun i

(3)

mengetahui persentase kecernaan bahan kering (KcBK) dan kecernaan bahan organik (KcBO) serta berapa mili molaritas dari VFA dan NH3 dari sampel bahan pakan kelor. Metode pengamatan yang kelompok kami lakukan adalah deskriptif dan kuantitatif dengan mengambil dari berbagai sumber penelitian lainnya serta data yang sudah didapatkan oleh kelompok kami. Analisis In vitro merupakan suatu metode penelitian yang dilakukan dengan cara pendugaan kecernaan dari sebuah bahan pakan di laboratorium dengan meniru cara kerja lambung dan usus pada ruminansia. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sampel kelor pada kecernaan bahan kering yang memiliki kadar air 5,29 %, BK ransum 0,948 gram serta BK residu 0,75 gram, BK Blanko 0,271 gram akan mendapatkan KcBK 49,47%. Selain itu, pada kecernaan bahan organik yang memiliki BO 78%, BK ransum 0,948 gram, BO ransum 0,74 gram, BK residu 0,75 gram, berat residu 0,599 gram, BO blanko 0,451 gram akan mendapatkan KcBO 80 %. Kemudian, diketahui volume titran dari sampel kelor adalah 2,295 mL dan volume titran dari blanko 1,4 mL yang memiliki normalitas 0,5 N akan mendapatkan VFA 89,5 mM. Lalu, diketahui volume titrasi dari kelor adalah 0,93 mL yang menggunakan normalitas 0,005 N akan mendapatkan NH3 4,65 mM.

Kata Kunci : Kelor, KcBK, KcBO, VFA, NH3

ii

(4)

Observations in this practicum aim to carry out in vitro analysis in order to determine the percentage of dry matter digestibility (KcBK) and organic matter digestibility (KcBO) and how many milli molarities of VFA and NH3 from kelor feed ingredients samples. The observation method that our group uses is descriptive and quantitative by taking from various other research sources as well as data that has been obtained by our group. In vitro analysis is a research method that is carried out by estimating the digestibility of a feed ingredient in the laboratory by imitating the workings of the stomach and intestines in ruminants. The results showed that the dry matter digestibility samples of Kelor which had a moisture content of 5.29%, ration DM 0.948 gram and BK residue 0.75 gram, BK Blanko 0.271 gram would get KCBK 49.47%. In addition, for the digestibility of organic matter with BO 78%, DM ration 0.948 gram, BO ration 0.74 gram, BK residue 0.75 gram, residual weight 0.599 gram, BO blank 0.451 gram will get 80% KcBO. Then, it is known that the titrant volume of the Kelor sample is 2.295 mL and the titrant volume of a 1.4 mL blank which has a normality of 0.5 N will get a VFA of 89.5 mM. Then, it is known that the titration volume of kelor is 0.93 mL which uses

0.005 N normality to get 4.65 mM NH3.

Keywords: Kelor, KcBK, KcBO, VFA, NH3

iii

(5)

ABSTRAK... ii

ABSTRACT...iii

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR TABEL...vi

DAFTAR GAMBAR...vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Identifikasi Masalah... 3

1.3 Tujuan Praktikum...3

1.4 Kegunaan Praktikum...3

1.5 Waktu dan Tempat Praktikum...4

II... 5

KAJIAN KEPUSTAKAAN...5

2.1 Kecernaan Bahan Kering (KcBK)...5

2.2 Kecernaan Bahan Organik (KcBO)...6

2.3 Nitrogen Amonia (N-NH3)...6

2.4 Volatyl Fatty Acids (VFA)...7

III...9

METODE PRAKTIKUM... 9

3.1 Alat...9

(6)

IV...16

HASIL DAN PEMBAHASAN...16

4.1 KCBK...16

4.1.1 Hasil... 16

4.1.2 Pembahasan...17

4.2 KCBO...18

iv

(7)

4.3.1 Hasil... 20

4.3.2 Pembahasan...21

4.4 NH3... 21

4.4.1 Hasil... 21

4.4.2 Pembahasan...22

V...24

PENUTUP... 24

5.1 Kesimpulan... 24

5.2 Saran... 25

DAFTAR PUSTAKA... 26

LAMPIRAN... 28

v

(8)

Nomor Halaman 1. Tabel 4.1 Hasil Pengamatan Kecernaan Bahan Kering___________16 2. Table 4.2 Hasil Pengamatan Kecernaan Bahan Organik__________18 3. Table 4.3 Hasil Pengamatan VFA____________________________20 4. Table 4.4 Hasil Pengamatan NH3___________________________21

vi

(9)

1. Daftar gambar___________________________________________28

vii

(10)

Nomor Halaman 1. Lampiran 1. Dokumentasi Praktikum_________________________28 2. Lampiran 2. Distribusi Tugas_______________________________31 3. Lampiran 3. Perhitungan Data______________________________31

viii

(11)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pencernaan merupakan proses pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih kecil. Proses pemecahan senyawa tersebut menghasilkan energi yang penting bagi kebutuhan sel, jaringan, organ dan makhluk hidup.

Pencernaan merupakan proses kimia. Dalam proses pencernaan, enzim dihasilkan oleh berbagai organ, seperti usus halus, kelenjar ludah dan lambung.

Enzim bersifat spesifik dalam proses pemecahan bahan kompleks (karbohidrat, protein, vitamin dan mineral) (Wulandari, 2014).

Nutrisi bahan pakan seperti protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin, dan air hanya sebagian yang dapat langsung diserap oleh tubuh. Nutrisi tersebut harus diproses terlebih dahulu agar mudah dicerna melalui proses pencernaan, yaitu bahan pajan tersebut diubah menjadi substansi yang dapat difusi dan diasimilasi oleh enzim yang disekresikan di dalam saluran pencernaan. Pada ruminansia pencernaan oleh mikroba rumen sangat penting karena dapat menggunakan bagian tanaman yang tidak dapat dicerna oleh enzim yang disekresikan oleh saluran pencernaan ternak (Chuzaemi, 2012).

Pencernaan ruminansia dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu pencernaan secara mekanis dalam mulut, pencernaan secara fermentatif oleh mikroba rumen, dan hidrolisis/kimiawi oleh enzim-enzim yang terdapat dalam organ pencernaan. Di rumen sendiri terlibat pencernaan secara fermentatif oleh mikroba juga berkaitan dengan pencernaan in vitro. Faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna pada ternak diantaranya komposisi pakan, daya cerna protein kasar, kadar lemak dalam ransum, penyajian pakan, dan jumlah pakan yang diberikan pada ternak. Maka dari itu percobaan In Vitro dilakukan

(12)

sebagai cara memperkirakan pakan yang baik untuk ternak dan mengukur energi serta kecernaan yang dihasilkan oleh pakan.

Rumen merupakan organ pencernaan sebagai tempat terjadinya fermentasi pakan oleh mikroba dan berfungsi sebagai penyediaan energi dan protein mikroba oleh mikroorganisme di dalamnya. Pemecahan senyawa pada pakan akan dibantu oleh mikroba yang terdapat dalam rumen. Rumen merupakan ruangan yang memiliki kondisi anaerob oleh karena mikroba yang terdapat dalam rumen pun merupakan jenis mikroba anaerob dan memudahkan untuk melakukan proses fermentasi. Menurut Owens dan Goestch, (1988) menyebutkan bahwa pH rumen harus berada di kisaran 5,5-7,2 dan suhu 38- 41°C untuk mencapai proses yang maksimal.

Percobaan In Vitro pada prinsipnya adalah harus sesuai dengan keadaan rumen yang sebenarnya, keadaan rumen memiliki suhu dalam rentang 38-40 °C dan dengan pH 6,0 – 7,0, dilengkapi dengan saliva buatan atau sering disebut larutan McDougall, dan larutan pepsin serta HCl seperti pada lambung hewan ternak ruminansia. Percobaan In Vitro memiliki banyak keuntungan diantaranya degradasi dan fermentasi dalam rumen dengan jangka waktu yang relatif singkat, biayanya lebih murah, dan jumlah sampel yang dievaluasi dapat lebih banyak. Untuk percobaan invitro sendiri terdiri dari dua tahapan yaitu pencernaan secara fermentatif dan pencernaan pasca rumen.

Metode pada In vitro terdapat dua analisis yaitu analisis NH3 dan analisis VFA. Analisis NH3 pada metode In Vitro dilakukan untuk mengetahui kandungan amonia dengan menggunakan metode Conway dimana N-amonia berasal dari proses perombakan protein dengan larutan NaOH jenuh dan asam boraks (methyl red & bromocresol green), lalu dititrasi menggunakan H2SO4.

(13)

Analisis prinsip analisis VFA pada In Vitro adalah uap akan menekan VFA yang mengalir melalui kondensor, kemudian VFA akan berikatan dengan H2SO4 dan ditangkap oleh NaOH. Setelah melewati beberapa analisis akan menghasilkan bahan yang bisa dihitung kecernaan bahan kering dan bahan organiknya

1.2 Identifikasi Masalah

Praktikan masih belum terlalu memahami penerapan pada metode In Vitro dari:

1. Prosedur

2. Hasil analisis dan penghitungan dari analisis NH3, VFA 3. Kecernaan bahan kering

4. Kecernaan bahan organik

1.3 Tujuan Praktikum

Praktikan dapat memahami dan menerapkan metode In Vitro ketika dibutuhkan pada saat praktikum yang berhubungan berlangsung, seperti:

1. Prosedur

2. Hasil analisis dan penghitungan dari analisis NH3, VFA 3. Kecernaan bahan kering

4. Kecernaan bahan organik

(14)

1.4 Kegunaan Praktikum

Pembaca maupun praktikan dapat menambah wawasan tentang proses analisis yang dapat dilakukan di luar rumen ternak ruminansia, yaitu dengan

(15)

analisis In Vitro yang terdiri dari analisis NH3, analisis VFA, kecernaan bahan kering, dan kecernaan bahan organik.

1.5 Waktu dan Tempat Praktikum

Hari, Tanggal : Rabu, 16 November 2022 Rabu, 23 November 2022 Waktu : 10.00-12.00 WIB

Tempat : Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak

(16)

II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Kecernaan Bahan Kering (KcBK)

Kecernaan bahan kering suatu bahan pakan ditentukan oleh komponen organik dan anorganik dari bahan pakan tersebut. Tingginya tingkat kecernaan bahan kering, menunjukkan bahwa zat makanan yang dicernanya juga tinggi.

Semakin tinggi nilai kecernaan suatu bahan pakan, berarti semakin tinggi kualitas pakan tersebut. Nilai KcBK dapat digunakan untuk menunjukkan kualitas pakan dan sejauh mana ternak dapat mengkonsumsi pakan tertentu.

Jumlah zat makanan yang diserap tubuh diukur dengan jumlah bahan kering yang dapat dicerna, yang dilakukan melalui analisis jumlah bahan kering yang ada dalam ransum dan feses. Kecernaan bahan kering merupakan selisih antara jumlah bahan kering yang dikonsumsi dengan jumlah yang diekresikan (Ranjhan, 1980).

Volume pakan, perlakuan bahan pakan, variabel spesies ternak, dan kandungan serat kasar dan protein kasar, akan mempengaruhi kecernaan (Tillman et al., 1998). Pernyataan ini didukung oleh Anggorodi (1994) yang menyatakan bahwa, faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kecernaan pakan yaitu bentuk fisik bahan pakan, komposisi ransum, laju pergerakan pakan melalui sistem pencernaan, suhu sekitar, dan pengaruh terhadap perbandingan dari zat makanan lain. Faktor lain yang dapat mempengaruhi rendahnya KcBK yaitu kondisi mikrobia dalam cairan rumen tidak dapat memanfaatkan kandungan nutrisi hijauan karena inokulum sudah mati.

(17)

2.2 Kecernaan Bahan Organik (KcBO)

Kecernaan bahan organik berkaitan erat dengan bahan anorganik (abu), mencakup kecernaan karbohidrat, protein, lipid, dan vitamin. Jumlah abu dalam bahan organik berdampak pada pencernaannya. Kandungan bahan organik yang lebih rendah akan menjadi hasil dari konsentrasi abu yang tinggi. Bahan organik merupakan bagian dari bahan kering, sehingga variabel yang mempengaruhi tinggi dan rendahnya KcBK, akan berdampak pada tinggi rendahnya KcBO dalam suatu pakan.

Protein merupakan komponen yang sangat mudah didegradasi oleh mikroba rumen, dengan pengecualian protein yang diproteksi menggunakan senyawa tertentu, sehingga keberadaan protein memberikan dampak positif terhadap nilai KcBO. Protein akan dipecah menjadi amonia, yang akan digunakan oleh mikroba sebagai komponen protein tubuhnya. Faktor lain yang berpengaruh terhadap rendahnya KcBO adalah ketidakmampuan mikroorganisme cairan rumen untuk memanfaatkan nilai gizi hijauan karena inokulum sudah mati atau populasinya di bawah 106, sehingga tidak berfungsi secara optimal.

2.3 Nitrogen Amonia (N-NH3)

Biofermentasi protein dalam rumen menghasilkan amonia, yang kemudian digunakan untuk membuat protein mikroba. Jumlah amonia dalam cairan rumen merupakan petunjuk adanya proses pemecahan protein yang masuk ke dalam rumen dan proses sintesis protein oleh mikroba. Protein yang masuk ke dalam rumen, beberapa di antaranya akan diubah oleh enzim proteolitik yang dikandung oleh mikroorganisme rumen (Muhtarudin, 2007).

(18)

Peningkatan NH3 disebabkan oleh tingkat pemberian nitrogen yang lebih tinggi, serta terdapat pakan mengandung protein yang sangat larut, nitrogen ini dapat difermentasi menjadi NH3. Prevalensi bakteri proteolitik seperti Bacteroides ruminocola dan Selemonas ruminantium dapat meningkat sebagai akibat dari kondisi ini. Bakteri proteolitik adalah organisme yang dapat mengubah protein, asam amino, dan peptida lainnya menjadi amonia (Orskov, 1982). Jumlah kelarutan protein dalam pakan berdampak pada tingginya kadar NH3, semakin mudah protein dapat didegradasi dalam rumen, semakin besar kelarutan proteinnya. Sutardi (1979) menjelaskan bahwa kualitas protein dalam bahan pakan sangat bervariasi tergantung pada kelarutannya, dan berbeda kemampuannya dalam menghasilkan NH3 untuk mikroba rumen, serta berbeda potensinya dalam menyediakan protein yang tahan terhadap degradasi dalam rumen, kerentanannya terhadap protease pasca-rumen, dan nilai biologisnya.

Semakin larut dan semakin mudah dicerna, semakin tinggi NH3 dalam rumen.

Menurut Wohlt et al. (1976), ada sejumlah faktor yang mempengaruhi produksi NH3. Secara umum, produksi maksimal dicapai antara dua dan empat jam setelah makan, tergantung pada sumber protein yang digunakan dan mudah tidaknya protein tersebut didegradasi.

2.4 Volatyl Fatty Acids (VFA)

Produk sampingan dari fermentasi karbohidrat dan sumber energi utama yang berasal dari rumen adalah Volatyl Fatty Acids (VFA). Selain VFA, CO2 d an CH4 juga merupakan hasil dari fermentasi karbohidrat dalam rumen (McDonald et al., 2002). Pakan dalam bentuk konsentrat maupun hijauan (rumput dan kacang-kacangan) akan mengalami proses fermentasi oleh

(19)

mikroba rumen. VFA terutama asetat (C2), propionat (C3), butirat (C4), laktat, dan format adalah produk utama dari pencernaan karbohidrat dalam rumen (Parakkasi, 1999). Produksi VFA total dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, sifat karbohidrat, laju makanan meninggalkan rumen dan frekuensi pemberian pakan (Sutardi, 1977).

Jenis pakan memiliki dampak yang signifikan terhadap konsentrasi VFA, VFA yang tinggi menunjukkan bahwa pakan mudah dicerna oleh bakteri rumen.

Perbedaan jumlah karbohidrat dalam hijauan pakan berdampak pada tingginya konsentrasi VFA. Selain itu, peningkatan mikroba dapat meningkatkan aktivitas fermentasi, yang berdampak pada konsentrasi VFA.

(20)

III

METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat

1. Analisis NH3

 Cawan conway,

 Buret 2. Analisis VFA

 Alat destilasi markham,

 Kondensor,

 Erlenmeyer,

 satu set alat titrasi,

 Indikator PP ( dua tetes)

3.2 Bahan

1. Analisis NH3

 Supernatan

 NaOH,

 H2SO4,

 Asam borax

 Vaselline

(21)

 HCL 0,5N

 H2SO4 15% (1ml)

 NaOH 0,5N (5ml) 3. Analisis KcBK dan KcBO

 Sampel, Sampel yang digunakan sebanyak +/- 1 gram

 Kertas saring, Digunakan untuk menyaring residu

(22)

 Cairan rumen, Diambil dari rumen ternak yang akan diuji

 Saliva buatan, Dibuat dengan menggunakan NaHCO3, Na2HPO4.12H2O, NaCl, KCl, CaCl2.2H20, dan MgSO4.7H2O

 Larutan pepsin, Dibuat dengan mencampurkan pepsin, HCl, dan Aquadest

3.3 Prosedur

1. Analisis NH3

 Bibir cawan Conway dan tutupnya diolesi dengan vaselin

 Larutan asam borax berindikator metyl red dan brom kressol green sebanyak 1 (satu) ml ditempatkan pada cawan kecil yang terletak di bagian tengah cawan Conway.

 Supernatan yang berasal dari bahan pakan diambil menggunakan pipet sebanyak 1 (satu) ml, dan ditempatkan pada salah satu bagian yang terpisahkan oleh sekat pada cawan Conway.

 Larutan NaOH jenuh, diambil sebanyak 1 (satu) ml, ditempatkan pada bagian lain dari cawan Conway yang tersekat, dan bersebelahan dengan supernatan,

 Cawan Conway yang sudah diolesi vaselin ditutup rapat sehingga menjadi kedap udara.

 Campurkan larutan NaOH dengan supernatan dengan cara memiringkan dan menggoyang cawan Conway secara perlahan, simpan selama 24 jam dalam kondisi suhu kamar.

 Setelah 24 jam, cawan kecil yang berisi larutan asam borat berindikator metyl red dan brom kressol green , diambil dan lakukan titrasi dengan

(23)

H 2SO 4 0 ,005 N sampai terjadi perubahan warna dari hitam menjadi merah muda.

2. Analisis VFA

 Siapkan 5 ml NaOH lalu masukan ke dalam labu erlenmeyer

 Erlenmeyer berisi 5 ml NaOH 0,5N dipasang dibawah kondensor.

 Memasukan 5 ml supernatan ke labu destilasi Markham, ditambah 1 ml H2SO4 kemudian ditutup.

 Aliri Labu Markham dengan Uap Panas yang telah disediakan

 Kondensat ditampung dalam erlenmeyer yang telah diisi 5 ml NaOH 0,5 N.

 Proses pemanasan dihentikan jika volume tampungan sudah mencapai 300 ml.

 Selanjutnya teteskan 2 tetes indikator phenolpthalein

 Titrasi dengan HCl 0,5 N

 Titrasi berakhir pada saat awal perubahan warna dari merah menjadi Tidak berwarna.

 Dilakukan pula titrasi blanko terhadap 5 ml HCl 0,5N

3. Analisis KcBK dan KcBO

Pembuatan Larutan McDougle (Saliva Buatan)

1. Menimbang bahan yang akan digunakan, yaitu:

a. NaHCO3 9,80 g/L

b. Na2HPO4.12H20 4,675 g/L

(24)

c. NaCl 0,47 g/L

d. KCl 0,57 g/L

(25)

e. CaCl2.2H2O 0,053 g/L

f. MgSO4.7H2O 0,12 g/L

2. Campurkan bahan dengan aquadest sebanyak 1000 ml di dalam sebuah wadah

3. Homogenkan dengan menggunakan magnetic strirrer Pengambilan Cairan Rumen

1. Masak air hingga mendidih

2. Tuang air yang sudah dimasak ke dalam thermos air, hingga penuh dan pastikan agar tidak ada ruang dalam thermos

3. Ambil isi rumen dan saring menggunakan kain muslin untuk mengambil cairan rumen

4. Isi thermos dengan cairan rumen hingga penuh dan tidak menyisakan ruang pada thermos

5. Pengambilan isi rumen dilakukan secara acak Pembuatan Larutan Pepsin

1. Timbang pepsin sebanyak 2,47 g/L 2. Larutkan dengan 3000 ml aquadest

3. Campurkan dengan HCl sebanyak 20 ml/L aquadest 4. Homogenkan dan larutan pepsin siap untuk digunakan Pengukuran Nilai Kecernaan Bahan Kering dan Bahan

Organik

1. Timbang sampel sebanyak +/- 1 gram 2. Masukan sampel ke dalam tabung fermentor

3. Campurkan cairan rumen dengan larutan McDougle (larutan reduksi) sambil dilakukan pengadukan dengan magnetic stirrer dan dialiri dengan gas CO2

(26)

4. Masukan larutan reduksi ke dalam tabung fermentor sebanyak 50 ml sambil dialiri dengan gas CO2, kemudian tutup dengan tutup berpentil

5. Masukan sampel dengan larutan reduksi ke dalam waterbath dengan suhu air 38 – 40° celcius

6. Inkubasi secara anaerob selama 48 jam dengan pengocokan secara kontinyu setiap 3 jam sekali

7. Setelah inkubasi secara anaerob selesai, tuang sampel ke dalam tabung sentrifugasi

8. Sentrifugasi sampel dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit 9. Pisahkan supernatant dengan menggunakan pipet dan residu yang

tersisa dimasukan ke dalam tabung fermentor

10. Masukan larutan pepsin sebanyak 50 ml ke dalam tabung fermentor dan kemudian tutup tabung fermentor dengan tutup berpentil 11. Masukan tabung fermentor ke dalam waterbath dengan suhu 38 –

40° celcius

12. Inkubasi secara aerob selama 48 jam dengan pengocokan secara kontinyu 6 jam sekali

13. Setelah proses inkubasi selesai, lakukan penyaringan dengan kertas saring

14. Residu yang terdapat pada kertas saring di simpan dalam cawan alumunium dan dikeringkan dengan menggunakan oven listrik dengan suhu 60 celcius selama 2 hari

15. Kemudian timbang dan didapatkan BK residu

(27)

16. Lanjutkan dengan prosedur analisis abu untuk mendapatkan kadar BO residu

(28)

IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KCBK

4.1.1 Hasil

Tabel 4.1 Hasil Pengamatan Kecernaan Bahan Kering Sampe

l

Kadar Air (%)

BK Ransum (g)

BK Residu (g)

Bk Blanko KCBK (%)

Kelor 5,29% 0,984 g 0,75 g 0,271 g 49,47%

KCBK = (𝐵𝐾 𝑅𝑎𝑛𝑠𝑢𝑚 − ( 𝐵𝐾 𝑅𝑒𝑠𝑖𝑑𝑢 − 𝐵𝐾 𝐵𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜) ) x 100%

𝐵𝐾𝑅𝑎𝑛𝑠𝑢𝑚 Data Kecernaan BK = Kelor BK Sampel = A : 5,806

B : 7,809 C : 7,724 Keterangan :

A : Berat Cawan

B : Berat Cawan + Sampel

C : Berat Cawan + Sampel Setelah dioven

(29)

Kadar Air = Air (%) = (𝐵−𝐴)(𝐶−𝐴)x 100%

(𝐵−𝐴)

Air (%) = (6,955−4,953 ) − (6,849−4,953) (6,955−4,953)

Air (%) = (2,002−1,896)

x 100%

2,002

Air (%) = 5,29%

(30)

BK Ransum = ( 100−𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟𝐴𝑖𝑟𝑅𝑎𝑛𝑠𝑢𝑚) x Berat Sampel 100

= 100−5,29%

x 1,011 100

= 0,948 gram

BK Residu = ( Berat Setelah dioven - berat kertas saring - berat cawan gram)

= (7,432 – 1,181 – 5,501)

= 0,75gram

BK Blanko = ( Berat setelah dioven - Berat kertas saring - Berat cawan gram

= (8,784 - 1,191- 7,322)

= 0,271 gram

KCBK =((𝐵𝐾𝑅𝑎𝑛𝑠𝑢𝑚 −( 𝐵𝐾𝑅𝑒𝑠𝑖𝑑𝑢 − 𝐵𝐾 𝐵𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜)x 100%

𝐵𝐾𝑅𝑎𝑛𝑠𝑢𝑚

= (0,948−( 0,75−0,271)

x 100%

0,948

= 49,47%

(31)

In Vitro merupakan metode pendugaan kecernaan secara tidak langsung di laboratorium dengan meniru proses – proses yang terjadi di dalam saluran pencernaan ruminansia. Prinsip metode In Vitro dan kondisinya harus sama dengan proses yang terjadi di dalam tubuh ternak yaitu metabolisme dalam rumen dan abomasum. Rumen memiliki Ph 6,0 – 7,0. Dalam In Vitro terdapat 2 tahap yaitu pencernaan fermentatif dan pencernaan pasca rumen. Dalam tahapan ini akan terjadi beberapa proses pengukuran yaitu diantaranya : nilai kecernaan bahan kering

(32)

(KCBK), nilai kecernaan bahan organik (KCBO), analisis Amonia (NH3) dan Uji Volatile Fatty Acids (VFA).

Kecernaan suatu bahan pakan merupakan salah satu indikator untuk menentukan kualitas bahan pakan. Semakin tinggi kecernaan maka, semakin tinggi peluang nutrien yang terserap sehingga menyediakan nutrisi yang dibutuhkan oleh ternak. Berdasarkan hasil praktikum data KcBK dari sampel Kelor secara In Vitro didapat 49,47%.

4.2 KCBO

4.2.1 Hasil

Kecernaan bahan organik suatu pakan menunjukkan kualitas dari pakan yang dicerna oleh tubuh.

Tabel 4.2 Hasil Pengamatan Kecernaan Bahan Organik

Sampel Kadar Abu (%)

Kadar BO (g)

BK Ransum (g)

BO Ransum (g)

BK Residu (g)

BO Residu (g)

BO Blanko (g)

KCBO (%)

Kelor 0,369% 78% 0,95 g 0,748 g 0,75 g 0,599 g 0,45 g 80%

BO % = 100 - (𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙−𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡𝐴𝑏𝑢)x 100%

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

= 100 - (0,471−0,369)

x 100%

0,471

(33)

= 100- 22

= 78%

(34)

BO Ransum = 𝐵𝑂% x BK Ransum 100

= 78%x 0,948 100

= 0,78 x 0,948

= 0,74 gram

BO Residu = BK Residu - ( B-C)

= 0,75-(35,44 - 35, 289)

= 0,75 – 0,151

= 0,599 gram

BO Blanko = ( cawan - Sampel setelah di oven)- berat cawan

= ( 21,921-21,47 )

= 0,451 gram

KCBO (%) = ( 𝐵𝑂𝑅𝑎𝑛𝑠𝑢𝑚 −( 𝐵𝑂𝑅𝑒𝑠𝑖𝑑𝑢− 𝐵𝑂𝐵𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜)

x 100%

𝐵𝑂𝑅𝑎𝑛𝑠𝑢𝑚

= (0,748−(0,599−0,451)

x 100%

0,748

= 80%

(35)

4.2.2 Pembahasan

In Vitro merupakan metode pendugaan kecernaan secara tidak langsung di laboratorium dengan meniru proses – proses yang terjadi di dalam saluran pencernaan ruminansia. Prinsip metode In Vitro dan kondisinya harus sama dengan proses yang terjadi di dalam tubuh ternak yaitu metabolisme dalam rumen dan abomasum. Rumen memiliki Ph 6,0 – 7,0. Dalam In Vitro terdapat 2 tahap yaitu pencernaan fermentatif dan pencernaan pasca rumen. Dalam tahapan ini akan

(36)

terjadi beberapa proses pengukuran yaitu diantaranya : nilai kecernaan bahan kering (KCBK), nilai kecernaan bahan organik (KCBO), analisis Amonia (NH3) dan Uji Volatile Fatty Acids (VFA).

Kecernaan bahan organik terdiri atas kecernanan karbohidrat, protein, lemak dan vitamin serta erat kaitannya dengan bahan anorganik (abu). Kecernaan bahan organik dapat dipengaruhi oleh kandungan abu. Berdasarkan hasil praktikum data KcBO dari sampel Kelor secara In Vitro didapatkan 80%.

4.3 VFA

4.3.1 Hasil

Tabel 4.3 Hasil Pengamatan VFA

Sampel VFA (mM)

Kelor 89,5 mM

Diketahui :

Volume titran sampel = 2,295( b) Normalitas HCL = 0,5 Volume titran blanko = 1,4 (a) Ditanyakan : VFA

Jawaban ;

VFA total (mM) = (b-a) x NHCLx1000/5)

= (2,295 - 1,4) x 0,5 x 1000/5)

= 89,5 mM

(37)

4.3.2 Pembahasan

In Vitro merupakan metode pendugaan kecernaan secara tidak langsung di laboratorium dengan meniru proses – proses yang terjadi di dalam saluran pencernaan ruminansia. Prinsip metode In Vitro dan kondisinya harus sama dengan proses yang terjadi di dalam tubuh ternak yaitu metabolisme dalam rumen dan abomasum. Rumen memiliki Ph 6,0 – 7,0. Dalam In Vitro terdapat 2 tahap yaitu pencernaan fermentatif dan pencernaan pasca rumen. Dalam tahapan ini akan terjadi beberapa proses pengukuran yaitu diantaranya : nilai kecernaan bahan kering (KCBK), nilai kecernaan bahan organik (KCBO), analisis Amonia (NH3) dan Uji Volatile Fatty Acids (VFA).

Vollatile Fatty Acid (VFA) merupakan salah satu produk akhir dari pencernaan pakan secara fermentatif. Tahap awal terbentuknya VFA adalah perombakan karbohidrat kompleks menjadi monosakarida secara hidrolisis, kemudian dilanjutkan dengan glikolisis yang akan menghasilkan asam piruvat, kemudian asam piruvat akan dirubah menjadi VFA (Asetat, Propionat dan Butirat).

Berdasarkan hasil praktikum data VFA dari sampel Kelor secara In Vitro didapatkan hasil 89,5 mM

4.4 NH3

4.4.1 Hasil

Tabel 4.4 Hasil Pengamatan NH3

Sampel NH3 (mM)

(38)

Kelor 4,65 mM

Diketahui :

Volume Titrasi = 0,93 N H2SO4 = 0,005 N Ditanyakan : NH3 Jawaban :

NH3 (mM) = Volume H2SO4 x N H2SO4 x 1000

= 0,93 x 0,005 x 1000

= 0,00455 x 1000

= 4,65 mM

4.4.2 Pembahasan

In Vitro merupakan metode pendugaan kecernaan secara tidak langsung di laboratorium dengan meniru proses – proses yang terjadi di dalam saluran pencernaan ruminansia. Prinsip metode In Vitro dan kondisinya harus sama dengan proses yang terjadi di dalam tubuh ternak yaitu metabolisme dalam rumen dan abomasum. Rumen memiliki Ph 6,0 – 7,0. Dalam In Vitro terdapat 2 tahap yaitu pencernaan fermentatif dan pencernaan pasca rumen. Dalam tahapan ini akan terjadi beberapa proses pengukuran yaitu diantaranya : nilai kecernaan bahan kering

(39)

Volatile Fatty Acids (VFA).

Amonia (NH3) adalah produk utama dari hasil fermentasi protein pakan di dalam rumen oleh mikroba rumen, dimana semakin tinggi konsentrasi NH3 ini di

(40)

dalam rumen akan dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk sintesis tubuhnya.

Menurut Haryanto (1994) tinggi rendahnya konsentrasi amonia ditentukan oleh tingkat protein pakan yang dikonsumsi, derajat degradabilitas, lamanya pakan berada dalam rumen dan pH rumen. Walaupun amonia penting bagi keberadaan nutrisi, amonia juga dapat merusak kesehatan. Berdasarkan hasil praktikum data NH3 dari sampel Kelor secara In Vitro didapatkan hasil 4,65 mM.

(41)

V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan praktikum mengenai analisis in vitro dapat disimpulkan bahwa:

1. Nilai Kecernaan Bahan Kering yang diperoleh dari data kecernaan bahan kering dan perhitungan sampel adalah 49,47%, dengan kadar air 5,29%, BK ransum sebesar 0,948 gram, BK residu sebesar 0,75 gram, dan BK blanko sebesar 0,271 gram. Kecernaan suatu bahan pakan merupakan salah satu indikator untuk menentukan kualitas bahan pakan. Semakin tinggi kecernaan, maka semakin tinggi peluang nutrien yang terserap sehingga menyediakan nutrisi yang dibutuhkan oleh ternak.

2. Nilai Kecernaan Bahan Organik yang diperoleh dari data kecernaan bahan organik dan perhitungan sampel adalah 80%, dengan BO ransum 0,74 gram, BO residu 0,559 gram, dan BO blanko 0,451 gram. Kandungan KcBO dipengaruhi oleh abu, jika kandungan abu tinggi maka kandungan bahan organik menjadi lebih rendah.

3. Nilai Pengukuran NH3 yang diperoleh adalah sebesar 4,65 mM. Kadar amonia ini berada dalam kadar optimal, yaitu berkisar antara 4–12 mM.

Semakin tinggi konsentrasi NH3, semakin tinggi protein pakan mengalami fermentasi di dalam rumen. Tinggi rendahnya konsentrasi amonia ditentukan oleh tingkat protein pakan yang dikonsumsi, derajat degradability, lamanya pakan berada dalam rumen dan pH rumen.

(42)

4. Volatile Fatty Acid (VFA) merupakan salah satu produk akhir dari pencernaan pakan secara fermentatif. Nilai Pengukuran VFA yang diperoleh dari data dan hasil perhitungan adalah sebesar 89,5 mM.

5.2 Saran

Dengan adanya percobaan In Vitro ini, bahan pakan ternak ruminansia yang akan diproses di dalam saluran pencernaannya dapat dianalisis secara tidak langsung di dalam laboratorium. Pada analisis In Vitro ini dapat dilakukan pengukuran Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik, NH3, dan VFA.

Percobaan In Vitro ini memiliki prinsip yang menyerupai aktivitas di dalam rumen yang sebenarnya, sehingga hasil analisisnya akan sama dengan sistem ruminansia. Oleh karena itu, diperlukan ketepatan dan ketelitian yang tinggi dalam setiap proses percobaan, pengamatan, dan analisisnya untuk menciptakan hasil yang paling baik yang sesuai dengan standar yang ada.

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia, Jakarta.

Boangmanalu, R., Wahyuni, T. R., & Umar, S. 2016. Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organic, dan Protein Kasar Ransum yang Mengandung Tepung Limbah Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis) sebagai Substitusi Tepung Ikan pada Broiler. Jurnal Peternaka Integratif, 4(3) : 329-340

Chuzaemi, S. 2012. Fisiologi Nutrisi Ruminansia. Universitas Brawijaya Press (UB Press). ISBN: 978-602-203-139-0.

Harahap, N., Mirwandhono, E., & Hanafi, N. D. 2017. Uji Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik, Kadar NH3 Dan VFA Pada Pelepah Daun Sawit Terolah Pada Sapi Secara IN VITRO. Jurnal Peternakan, 1(1) McDonald, P.R. Edwards and J. Greenhalgh. 2002. Animal Nutrition. 6 th

edition. NewYork.

Muhtarudin. 2007. Kecernaan Pucuk Tebu Terolah Secara In Vitro. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Oktarini, N., Dhalika, T., & Budiman, A. 2015. Pengaruh Penambahan Nitrogen dan Sulfur pada Ensilase Jerami Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) terhadap Konsentrasi NH3 dan VFA (IN VITRO).

Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran

Orskov, E. R. 1982. Protein Nutrition in Ruminant. Academic Press, New Y ork.

Owens, F.N. dan A.L. Goetsch. 1988. Ruminal Fermentation. In D.C.

Church Ed. The Ruminant Animal Digestive Physiology and Nutrition. A. Reston Book. Prentice Hall, Eaglewood Cliffs, New Jersey.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI Press, Jakarata.

(44)

Ranjhan, S. K. 1980. Animal Nutrition In The Tropics. Vikas Publishing Hause P and Tltd, New Delhi.

Setiyaningsih, K. D., Christiyanto, M., & Sutarno. 2012. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik. Secara In Vitro Hijauan Desmodium cinereum pada Berbagai Dosis Pupuk Organik Cair dan Jarak Tanam. Animal Agriculture Jurnal, 1(2) : 51-63

Sofiani, A., Dhalika, T., & Budiman, A. 2015. Pengaruh Penambahan Nitrogen dan Sulfur pada Ensilase Jerami Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik (IN VITRO). Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran

Sutardi, T. 1977. Ikhtisar Ruminologi. Bahan Penataran Khusus Peternakan Sapi Perah di Kayu Ambon. Lembang. BPLPP. Direktorat Jenderal Peternakan, Bandung

Sutardi, T. 1979. Ketahanan Protein Bahan Makanan terhadap Degradasi oleh Mikroba Rumen dan Manfaatnya Bagi Peningkatan

(45)

Produktivitas Ternak. Prosiding Seminar Penelitian dan Penunjang Peternakan, LPP. Bogor. Buku 2. Hal 91-103

Tillman, A. D., Hartadi, S., Reksohadiprojo, S., S. Prawirokusumo., & S.

Lepdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Wohlt, J. E., J. H. Clark, and F. S. Balaisdell. 1976. Effects of Sampling Location, Time and Method on Concentration of Ammonia Nitrogen in Rumen Fluid. J. Dairy Sci. 59 (3):459 – 64

Wulandari, S., A. 2014. Sistem Pencernaan. Laporan Fisiologi Hewan 2014.

Hapsari, P. I. 2007. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik secara In Vitro Hijauan Alfafa (Medicago sativa) pada Pemupukan Fosfat dan Interval Defoliasi yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.

(46)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi Praktikum

NaOH Asam Boraks H2SO4 0,005 N

Vaselin Cawan Conway Buret

Supernatan Alat Destilasi Markham Kondensor

Erlenmeyer Satu Set Alat Titrasi Indikator Phenolphthalein

HCl 0,5 N H2SO4 15% NaOH 0,5 N

(47)

Timbangan Analitik

Kertas Saring

Cairan Rumen

Saliva Buatan Larutan Pepsin Oven Listrik

Pipet Ukur Bulb Pipet Cawan Alumunium

Beaker Glass Tabung Fermentor Tanur Listrik

Termometer Suhu Cawan Porselen Water Bath

(48)

Tabung Centrifuge

Tang Penjepit Alat Centrifuge

Kompor Listrik Magnetic Stirrer Kain Muslin

Corong Plastik Termos Air Eksikator

(49)

Lampiran 2. Distribusi Tugas

Nama NPM Tugas

Mega Eva Triana 200110210004 - Bab V Penutup

- Kata Pengantar Zahrani Kusuma Ningrum 200110210005 Bab II Kajian Kepustakaan

Randy Rahman 200110210040 - Editor

- Bab IV Hasil dan Pembahasan

- Cover - Abstrak - Lampiran - Daftar Isi - Daftar Tabel - Daftar Ilustrasi - Daftar Lampiran - Daftar Pustaka Amanda Viona Shafitri 200110210042 Bab III Metode Praktikum Najma Rika Faradana 200110210120 Bab I Pendahuluan

Habib Raihan Abdul Hanif 200110210240 Bab IV Hasil dan Pembahasan

Lampiran 3. Perhitungan Data 1) Analisis KcBK

Diketahui : BK Sampel

Berat Cawan: 4,953 gram

Berat Cawan + Sampel: 6,955 gram

(50)

Berat Cawan + Sampel Setelah dioven: 6,849 gram

Berat Sampel: 1,001 gram BK Residu

Berat Cawan: 5,501

Berat Kertas Saring: 1,181

Berat Setelah dioven: 7,432

(51)

BK Blanko

Berat Cawan: 7,322

Berat Kertas Saring: 1,191

Berat Setelah dioven: 8,784 Ditanyakan:

Nilai KcBK pada Kelor?

Penyelesaian:

a Kadar Air Kadar air %

(𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡𝑐𝑎𝑤𝑎𝑛 + 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙) − (𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡𝑐𝑎𝑤𝑎𝑛 + 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑜𝑣𝑒𝑛) × 100

=

(Berat cawan + Sampel) − Berat Cawan

𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟𝐴𝑖𝑟 (%) =

(6,955 − 6,849 ) × 100 6,955 − 4,953

= 5,29%

b BK Ransum 𝐵𝐾

𝑅𝑎𝑛𝑠𝑢𝑚 =

(100 − 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟𝑎𝑖𝑟 ) 100

(100 − 5,29 )

𝑥𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

𝐵𝐾 𝑅 𝑎𝑛𝑠𝑢𝑚 =

(52)

c BK Residu

100 × 1,001 = 0,948 𝑔𝑟𝑎𝑚

BK Residu = Berat setelah dioven - Berat kertas saring - Berat Cawan BK Residu = 7,432 - 1,181 – 5,501 = 0,75 gram

d BK Blanko

BK Blanko = Berat setelah dioven - Berat kertas saring - Berat cawan BK Blanko = 8,784 - 1,191 - 7,322 = 0,271 gram

e KcBK (%)

(53)

𝐾𝑐𝐵𝐾 (%) = 𝐵𝐾𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 − (𝐵𝐾 𝑟𝑒𝑠𝑖𝑑𝑢 − 𝐵𝐾𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜) 𝑥100 BK sampel

0,948 − (0,75 − 0,271) 𝐾𝑐𝐵𝐾 (%)

=

0,948 × 100 = 49,47%

2) Analisis KcBO Diketahui : BO Sampel

Berat Abu: 0,369 gram

Berat Sampel: 0,471 gram

BK (%): 100%

BK Ransum: 0,948 gram BO Residu

BK Residu: ?

Berat Cawan + Sampel Setelah di tanur: 35,44 gram

Berat Cawan: 35,289 gram BO Blanko

Berat Cawan + Sampel setelah di tanur: 21,921 gram

Berat Cawan: 21,47 gram

Ditanyakan:

(54)

Nilai KcBO pada Kelor?

Penyelesaian:

BO (%)

𝐵𝑂 (%) = 100 − (𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 − 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢) Berat sampel

× 100

𝐵𝑂 (%)

(55)

= 100 − (0,471 − 0,369)

0,471

× 100

= 100 − 0,22 𝑥 100

= 100 – 22

= 78 %

 BO Ransum = 𝐵𝑂% x BK Ransum 100

= 78%x 0,948 100

= 0,78 x 0,948

= 0,74 gram

 BO Residu = BK Residu - ( B-C)

= 0,75-(35,44 – 35,289)

= 0,75 - 0,151

= 0,599 gram

 BO Blanko = ( cawan - Sampel setelah di oven)- berat cawan

(56)

= ( 21,921-21,47 )

= 0,451 gram

 KCBO (%) = ( 𝐵𝑂 𝑅𝑎𝑛𝑠𝑢𝑚 −( 𝐵𝑂 𝑅𝑒𝑠𝑖𝑑𝑢− 𝐵𝑂 𝐵𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜)

x 100%

𝐵𝑂𝑅𝑎𝑛𝑠𝑢𝑚

= (0,74−(0,599−0,451)

x 100%

0,74

= 80%

3) Analisis VFA Diketahui:

(57)

Volume Titran Sampel: 2,295 ml

Volume Titran Blanko: 1,4 ml

Normalitas; 0,5 N

Ditanyakan: VFA Total?

Penyelesaian:

VFA Total (mM)

= (Volume Titran Sampel - Volume Titran Blanko) x N HCl x 1000/5 VFA Total (mM) = (2,295 - 1,4) x 0,5 x 1000/5 = 89,5 mM

4) Analisis NH3 Diketahui :

Volume Titrasi: 0,93 ml

Normalitas: 0,005 N Ditanyakan: NH3?

Penyelesaian:

NH3 = (Volume Titrasi x N H2SO4 x 1000) mM NH3 = (0,93 x 0,005 x 1000) = 4,65 mM

Referensi

Dokumen terkait

Kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik dan kecernaan protein kasar secara in-vitro dari produk fermentasi ampas tebu dengan fungi Ganoderma lucidum yang terbaik

Pengolahan data hasil penelitian yang meliputi kadar bahan kering, bahan organik, lemak kasar, serat kasar, protein kasar, kecernaan bahan kering in-vitro

lain yang mempengaruhi nilai kecernaan bahan kering pakan adalah tingkat. proporsi bahan pakan, komposisi kimia, tingkat protein pakan,

Konsentrat berbahan pakan fermentasi dapat digunakan untuk pakan ternak ruminansia karena tidak mengganggu proses pencernaan dalam rumen yang ditunjukkan oleh kecernaan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kadar serat kasar, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik secara in vitro jerami kedelai yang ditanam dengan perlakuan

Laju fermentasi bahan organik bungkil yang diukur dari produksi gas in vitro dltetapkan menggunakan metode Menke, sedangkan kecernaan bahan kering (KcBK) dan bahan

Ketiga isolat bakteri asam laktat asal daging sapi yaitu 1A5, 2B4, dan 1B1 yang memiliki toleransi paling baik pada kondisi lingkungan pH lambung dan pH usus halus dengan

Memperhatikan hasil penelitian yaitu nilai kecernaan BO dan produk fermentasi secara in vitro khususnya biomassa mikroba, maka direkomendasikan penggunaan pakan konsentrat protein 18%