• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Multi Mikroba Lokal dengan Berbagai Dosis dan Inkubasi terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pelepah Daun Kelapa Sawit In Vitro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan Multi Mikroba Lokal dengan Berbagai Dosis dan Inkubasi terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pelepah Daun Kelapa Sawit In Vitro"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Pelepah Daun Kelapa Sawit

Pelepah daun kelapa sawit merupakan salah satu bahan pakan ternak yang

memiliki potensi yang cukup tinggi, akan tetapi kedua bahan pakan tersebut

belum dimanfaatkan secara optimal oleh peternakan. Produksi pelepah daun

kelapa sawit dapat mencapai 10,5 ton pelepah kering/ha/tahun. Kandungan

protein

kasar pada kedua bahan pakan tersebut masing-masing mencapai 15% BK (daun)

dan 2 – 4% BK (pelepah) (Mathius, 2003). Sementara itu, campuran kedua bahan

pakan tersebut dapat meningkatkan kandungan protein menjadi 4,8%.

Pelepah sawit dapat diperoleh sepanjang tahun bersamaan dengan panen

tandan buah segar. Setiap pohon kelapa sawit dapat menghasilkan 22

pelepah/tahun dan rataan bobot pelepah per batang mencapai 2,2 kg (setelah

dikupas untuk pakan), sehingga setiap hektar dapat menghasilkan pelepah segar

untuk pakan sekitar 9 ton/ha/tahun atau setara dengan 1,64 ton/ha/tahun bahan

kering (Diwyanto et al., 2003).

Komposisi nutrisi pelepah sawit adalah sebagai berikut kandungan Bahan

Kering 48,78 %, Protein Kasar 5,33 %, NDF 78,05 %, ADF 56,93 %,

hemiselulosa 21,12 %, selulosa 27,94 %, lignin 16,94 % dan silika 0,6 %

(Imsya et al., 2009).

Kandungan pelepah daun kelapa sawit berdasarkan analisis proksimat

(2)

Tabel 1. Kandugan gizi pelepah daun kelapa sawit Sumber: a. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2003)

b. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2003) c. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan Bogor (2000).

Dari analisa kimia dinyatakan bahwa daun kelapa sawit tersusun dari 70%

serat dan 22% karbohidarat yang dapat larut dalam bahan kering. Ini

menunjukkan bahwa daun kelapa sawit dapat diawetkan sebagai silase dan telah

diindikasikan bahwa kecernaan bahan kering akan bertambah 45% dari hasil

silase daun kelapa sawit (Sinurat, 2003).

Pemanfaatan pelepah sebagai bahan pakan ruminansia disarankan tidak

melebihi 30%. Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan pelepah dapat

ditambahkan produk samping lain dari kelapa sawit

(Balai Penelitian Ternak, 2003).

Pelepah kelapa sawit dapat diberikan dalam bentuk segar atau diproses

menjadi silase. Hasil Penelitian menunjukan penggunaan pelepah sawit dalam

bentuk silase pada sapi sebanyak 50% dari total pakan dapat menghasilkan

pertambahan bobot badan harian berkisar 0,62-0,75 kg dengan nilai konversi

pakan antara 9-10. Fermentasi pelepah kelapa sawit menjadi silase ditujukan

preservasi dan konsentrat, pengaruhnya terhadap nilai gizi bahan relatif kecil.

(3)

ditambahkan urea. Penambahan urea sebanyak 3 - 6% akan meningkatkan

kandungan protein bahan dari 5,6 menjadi 12,5 atau 20%

(Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 2013).

Fermentasi

Menurut Pujaningsih (2005), fermentasi adalah suatu proses pemecahan

senyawa organik menjadi sederhana yang melibatkan mikroorganisme dengan

tujuan untuk menghasilkan suatu produk (bahan pakan) yang mempunyai

kandungan nutrisi, tekstur yang lebih baik disamping itu juga menurunkan zat anti

nutrisi. Adanya perubahan kimia oleh aktivitas enzim yang dihasilkan oleh

mikroba itu meliputi perubahan molekul-molekul kompleks atau senyawa organik

seperti protein, karbohidrat, maupun lemak menjadi molekul-molekul yang lebih

sederhana, mudah larut dan daya cerna yang tinggi.

Penambahan bahan- bahan nutrient kedalam fermentasi dapat menyokong

dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme. Salah satu bahan yang dapat

digunakan pada proses fermentasi adalah urea. Urea yang ditambahkan pada

proses fermentasi akan terurai oleh enzim urease menjadi ammonia dan

karbondioksida yang selanjutnya digunakan asam amino (Fardiaz, 1989).

Adanya proses fermentasi memiliki manfaat diantaranya menurut

Shurtleff dan Aoyagi (1979), yaitu dapat mengubah molekul kompleks menjadi

molekul yang lebih sederhana dan mudah dicerna, mengubah rasa dan aroma

menjadi lebih baik. Selain itu produk hasil fermentasi akan menjadi tahan lama

dan dapat mengurangi senyawa racun yang dikandung sehingga nilai ekonomi

(4)

Faktor-faktor yang mempengaruhi biodegradasi dalam proses fermentasi

oleh mikroba :

a. Sifat fisik dan kimia substrat

1. Kelarutan, pada umumnya zat terlarut lebih mudah didegradasi.

2. Luas permukaan

Semakin luas permukaan makin mudah dicerna mikroorganisme. Dalam hal ini

untuk mempercepat degradasi digunakan substrat dengan ukuran yang kecil.

3. Kemampuan mengadopsi uap air

Material yang higroskopis lebih mudah dicerna oleh mikroorganisme. Dalam

hal ini kelembaban sangat mempengaruhi proses.

b. Struktur kimia dari substrat

Pengaruh struktur kimia dalam degradasi oleh mikroorganisme, pada

umumnya senyawa karbon yang terbentuk secara alamiah lebih mudah

didegradasi dari pada yang sintetik.

c. Faktor lingkungan

Setiap spesies mikroorganisme mempunyai kisaran kondisi lingkungan

dalam batas-batas toleransi yang sempit. Di luar batas itu mikroorganisme tidak

akan tumbuh dan biodegradasi tidak terjadi. Proses tersebut ada yang

menguntungkan dan ada pula yang merugikan. Hal yang menguntungkan ialah

adanya degradasi protein yang membentuk protein lain yang mudah dicerna, dan

yang merugikan pada umumnya proses perusakan atau pembusukan

(5)

Aspergillus niger

Aspergillus niger merupakan salah satu spesies yang paling umum dan

mudah diidentifikasi dari genus Aspergillus, famili Moniliaceae, ordo Monoliales

dan kelas Fungi imperfecti. Aspergillus niger dapat tumbuh dengan cepat,

diantaranya digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam

glukonat dan pembuatan beberapa enzim seperti amilase, pektinase,

amiloglukosidase dan sellulase. Aspergillus niger dapat tumbuh pada suhu

35 ºC – 37 ºC (optimum), 6 ºC – 8 ºC (minimum), 45 ºC – 47 ºC (maksimum) dan

memerlukan oksigen yang cukup (aerobik). Aspergillus niger

Peningkatan kandungan protein kasar yang sejalan dengan pertumbuhan

kapang (jamur) dikarenakan tubuh jamur terdiri dari elemen yang mengandung

nitrogen. Selain itu enzim yang dihasilkan oleh jamur juga merupakan protein.

Dinding sel jamur mengandung 6,3% Protein Kasar, sedangkan membran sel pada

jamur yang berhifa mengandung protein 25 - 45% dan karbohidrat 25 -30%

(Munandar, 2003).

memiliki bulu dasar

berwarna putih atau kuning dengan lapisan konidiospora tebal berwarna coklat

gelap sampai hitam. Kepala konidia berwarna hitam, bulat, cenderung memisah

menjadi bagian-bagian yang lebih longgar dengan bertambahnya umur.

Konidiospora memiliki dinding yang halus, hialin tetapi juga berwarna coklat

(Soeharto, 2003).

Aspergillus niger berperan dalam menghasilkan enzim selulase, dimana

enzim ini berfungsi untuk mengubah selulosa menjadi glukosa sehingga dapat

(6)

Aspergillus niger di dalam pertumbuhannya berhubungan secara langsung

dengan zat makanan yang terdapat dalam medium. Molekul sederhana seperti gula

dan komponen lain yang larut disekeliling hifa dapat langsung diserap. Molekul

lain yang lebih kompleks seperti selulosa, pati dan protein harus dipecah terlebih

dahulu sebelum diserap kedalam sel, untuk itu Aspergillus niger menghasilkan

beberapa enzim ekstraseluler (Hardjo et al., 1989). Dari beberapa hasil penelitian

diketahui fermentasi dengan menggunakan kapang Aspergillus niger dapat

meningkatkan kandungan protein dari beberapa bahan (Hanim et al., 1999).

Saccharomyces cerevisiae

Saccharomyces cerevisiae sebagai salah satu galur yang paling umum

digunakan untuk fermentasi, karena bersifat fermentatif kuat dan anaerob

fakultatif (mampu hidup dengan atau tanpa oksigen), memiliki sifat yang stabil

dan seragam, mampu tumbuh dengan cepat saat proses fermentasi sehingga proses

fermentasi berlangsung dengan cepat pula serta mampu memproduksi alkohol

dalam jumlah banyak. Alkohol (etanol) yang dihasilkan dapat digunakan sebagai

bahan pelarut selain air dan bahan baku utama dalam laboratorium dan industri

kimia (Buckle et al., 1987).

Saccharomyces cerevisiae adalah mikroorganisme bersel tunggal dengan

ukuran antara 5 sampai 20 mikron, biasanya berukuran 5 sampai 10 kali lebih

besar dari bakteri. Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh dalam media cair dan

padat, perbanyakan sel terjadi secara aseksual dengan pembentukan tunas, suatu

proses yang merupakan sifat khas dari Saccharomyces cerevisiae. Saccharomyces

cerevisiae tumbuh optimum pada suhu 25-30oC dan maksimum pada 35 oC -

(7)

Perubahan pH dapat mempengaruhi pembentukan hasil samping fermentasi

(Prescott dan Dunn, 1959).

Pada Saccharomyces cerevisiae, 70% dari glukosa didalam subtract akan

diubah menjadi karbondioksida dan alkohol, sedangkan sisanya 30% tanpa adanya

nitrogen akan diubah menjadi produk penyimpanan cadangan (Fardiaz, 1992).

Bakteri Rumen

Kondisi dalam rumen adalah anaerobik, tekanan osmos pada rumen mirip

dengan tekanan aliran darah. Temperatur dalam rumen adalah 38 oC – 42 oC, pH

6,7 - 7,0 dapat dipertahankan dengan adanya absorbs asam lemak dan ammonia.

Saliva yang keluar masuk ke dalalm rumen berfungsi sebagai buffer dan

membantu mempertahankan pH tetap pada 6,8. Hal ini disebabkan oleh tingginya

kadar ion HCO3 dan PO4

Pencernaan secara fermentatif dilakukan oleh mikroorganisme rumen

sedangkan secara hidrolisi dilakukan oleh jasad renik dengan cara penguraian

dalam rumen. Rumen mengandung banyak tipe bakteri, protozoa dan jamur.

Beberapa spesies mikroba rumen mampu menghasilkan enzim selulase dan

hemiselulase yang dapat menghidrolisa isi sel dan dinding sel tanaman pakan

(Tillman et al., 1991)

(Arora,1995).

Cairan rumen segar didapat dengan memeras isi rumen. Cairan

ditempatkan ke dalam termos yang telah dipanaskan terlebih dahulu dengan suhu

39 oC. Cairan rumen disaring dengan kain kasa dan ditampung kedalam wadah

yang telah ditempatkan di dalam water bath pada suhu 39 oC. Cairan rumen

ditambahkan gas CO2 supaya kondisi anaerob sampai dilakukan inokulasi (Afdal

(8)

Inkubasi dan Dosis

Waktu inkubasi yang dibutuhkan dalam produksi enzim

bermacam-macam. Hal ini berhubungan dengan fase pertumbuhan dari mikroba itu sendiri,

dimana mikroba mengalami empat fase dalam pertumbuhannya, yaitu fase lambat,

fase log, fase tetap dan fase menurun. Waktu inkubasi yang optimal untuk

menghasilkan asam organik untuk fermentasi kultur permukaan adalah 7 - 10 hari,

sedangkan untuk fermentasi terendam lebih pendek yaitu 4 - 5 hari (Kapoor et al,

1982).

Pada fase lambat tidak terjadi pembelahan sel. Mikroba hanya melakukan

kegiatan metabolisme dalam rangka persiapan dan penyesuaian diri dengan

kondisi pertumbuhan dan lingkungan yang baru. Fase ini dipengaruhi oleh

spesies, umur sel inokulum dan lingkungannya (Buckle, 1985).

Setelah beradaptasi dengan lingkungan baru mikroba akan memasuki fase

log, dimana sel-sel akan tumbuh dan membelah diri secara eksponensasi sampai

mencapai jumlah mkasimum sesuai dengan kondisi lingkungannya. Bila media

tempat tumbuh mengandung campuran zat-zat gizi (yang sederhana dan

mempunyai bobot molekul yang besar), maka mikroba tersebut akan

memanfaatkan zat gizi yang sederhana dulu baru kemudian memanfatkan zat gizi

yang sederhana dulu baru kemudian memnfaatkan komponen molekul yang besar

dengan jalan menghasilkan enzim ekstraseluler untuk menghidrolosis

molekul-molekul besar sehingga dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan

(Buckle, 1985).

Dalam proses fermentasi ada beberapa hal yang harus diperhatikan,

(9)

kapang dalam memproduksi enzim selulase, sedangkan lama fermentasi akan

mempengaruhi jumlah enzim yang dihasilkan (Marlida et al., 2002). Cepat

lambatnya fermentasi sangat menentukan jumlah enzim yang dihasilkan, semakin

lama waktu fermentasi yang digunakan akan semakin banyak bahan yang

dirombak oleh enzim, tetapi dengan bertambahnya waktu fermentasi maka

ketersediaannya nutrien pada media habis, sehingga kapang lama kelamaan akan

mati (Fardiaz,1989).

Tingkat dosis berkaitan dengan besaran populasi mikroba yang

menentukan cepat tidaknya perkembangan mikroba dalam menghasilkan enzim

untuk merombak substrat menjadi komponen yang lebih sederhana. Menurut

pendapat Setyatwan (2007) yang menyatakan bahwa lama semakin lama waktu

fermentasi maka semakin banyak kandungan zat yang digunakan kapang untuk

hidupnya sehingga kandungan zat makanan yang tersisa semakin sedikit. Adapun

pendapat Winarno et al. (1980) menyatakan bahwa pada proses fermentasi

mikroba akan membutuhkan sejumlah energi untuk pertumbuhannya dan

perkembangbiakkannya yang akan diperoleh melalui perombakan zat makanan di

dalam substrat.

Sistem Pencernaan Ruminansia

Sistem pencernaan ruminansia mempunyai fungsi penggunaan/absorbsi

hasil fermentasi mikrobial yang optimal. Keadaan ini memungkinkan ruminansia

tidak tergantung sumber luar dari vitamin B-kompleks dan asam-asam amino.

Kedudukan ternak ruminansia adalah menyediakan makanan bagi manusia dari

sumber serat dan sumber non-protein dan tidak bersaing dengan manusia dalam

(10)

yang mendalam mengenai peranan mikroflora dalam saluran pencernaan termasuk

dari ternak dan spesies makhluk lain (Reksohadiprodjo, 1999).

Perut ruminansia terdiri atas retikulum, rumen, omasum dan abomasums.

Volume rumen pada ternak domba berkisar 10 liter. Sistem pencernaan pada

ruminansia melibatkan interaksi dinamis antara bahan pakan, populasi mikroba

dan ternak itu sendiri. Pakan yang masuk ke mulut akan mengalami proses

pengunyahan atau pemotongan secara mekanis sehingga membentuk bolus. Pada

proses ini, pakan bercampur dengan saliva kemudian masuk ke rumen melalui

esophagus untuk selanjutnya mengalami proses fermentatif. Bolus di dalam rumen

akan dicerna oleh enzim mikroba. Partikel pakan yang tidak dicerna di rumen

dialirkan ke abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh enzim pencernaan. Hasil

pencernaan tersebut akan diserap oleh usus halus dan selanjutnya masuk dalam

darah (Sutardi, 1978).

Kecernaan

Kecernaan adalah zat-zat makanan dari konsumsi pakan yang tidak

diekskresikan ke dalam feses, selisih antara zat makanan yang dikonsumsi dengan

yang dieksresikan dalam feses merupakan jumlah zat makanan yang dapat

dicerna. Jadi kecernaan merupakan pencerminan dari kemampuan suatu bahan

pakan yang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Tinggi rendahnya kecernaan bahan

pakan memberikan arti seberapa besar bahan pakan itu mengandung zat-zat

makanan dalam bentuk yang dapat dicernakan ke dalam saluran pencernaan.

Tingkat kecernaan (digestibility) adalah bagian zat makanan yang tidak

diekskresikan dalam feses. Anggorodi (1990) menyatakan pada dasarnya tingkat

(11)

diserap oleh saluran pencernaan. Selanjutnya dijelaskan bahwa bagian yang dapat

dicerna adalah selisih antara zat-zat makanan yang dikonsumsi dengan zat-zat

makanan yang dibuang bersama feses.

Tingkat kecernaan suatu pakan menggambarkan besarnya zat-zat makanan

yang tersedia yang dapat dimanfaatkan oleh ternak untuk proses hidup pokok

(maintenance), pertumbuhan, produksinya maupun reproduksi (Ginting, 1992).

Kecernaan nutrisi tinggi bila nilainya 70%, dan rendah bila nilainya lebih kecil

dari 50%.

Kecernaan Bahan Kering

Konsumsi bahan kering merupakan gambaran banyaknya bahan pakan

yang masuk kedalam tubuh, namun untuk mengetahui sejauh mana zat-zat

makanan tersebut diserap oleh tubuh ternak maka perlu untuk mengetahui tingkat

kecernaannya (Tillman et al., 1998).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering yaitu jumlah

pakan yang dikonsumsi, laju perjalanan makanan di dalam saluran pencernaan

dan jenis kandungan gizi yang terkandung dalam pakan tersebut. Faktor-faktor

lain yang mempengaruhi nilai kecernaan bahan kering pakan adalah tingkat

proporsi bahan pakan, komposisi kimia, tingkat protein pakan, persentase lemak

dan mineral (Herman et al., 2003).

Menurut Mackie et al. (2002) adanya aktivitas mikroba dalam saluran

pencernaan sangat mempengaruhi tingkat pencernaan. Nilai rataan koefisien cerna

bahan kering pada domba lokal adalah 57,34% sedangkan nilai koefisien cerna

(12)

Kecernaan Bahan Organik

Bahan organik merupakan bagian dari bahan kering, sehingga

meningkatnya konsumsi bahan kering maka konsumsi bahan organik akan

meningkat pula. Peningkatan kecernaan bahan organik sejalan dengan

meningkatnya kecernaan bahan kering, karena sebagian besar komponen bahan

kering terdiri atas bahan organik sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi

tinggi rendahnya kecernaan bahan kering akan berpengaruh juga terhadap tinggi

rendahnya kecernaan bahan kering Sutardi (1980).

Kemampuan mencerna bahan makanan ditentukan oleh beberapa faktor

seperti jenis ternak, komposisi kimia pakan dan penyimpanan pakan. Daya cerna

suatu bahan pakan tergantung pada keserasian zat-zat makanan yang terkandung

didalamnya Van Soest (1994).

Teknik In Vitro

Percobaan pencernaan memakan waktu yang mahal dan memerlukan

sampel pakan besar. Oleh karena itu, banyak upaya telah diberikan untuk

mengembangkan metode untuk memperkirakan daya cerna secara tidak langsung

atau dengan metode in vitro. Dinding sel, lignin, hemiselulosa, silika, dan protein

isinya telah digunakan secara individual atau dalam kombinasi untuk

menunjukkan bahan kering dicerna. Dalam penentuan in vitro berdasarkan

prosedur yang dikembangkan oleh Tilley dan Terry (1963) telah banyak dan

berhasil digunakan (Maynard, 1981).

Oleh karena pencernaan pada non-ruminansia sukar ditiru keseluruhannya,

kecuali untuk protein yang menggunakan pepsin dan HCl. Daya cerna bahan

(13)

metode in vitro 2 tingkat. Koefisien cerna yang ditentukan secara in vivo biasanya

1 – 2% lebih rendah dari harga in vitro, teknik ini dipergunakan secara luas untk

menganalisis makanan kasar (Tillman et al., 1991).

Di samping manfaat maupun kelebihannya, sistem evaluasi pakan secara

in vitro juga memiliki kelemahan, terutama dalam proses penyiapan sumber

inokulum karna harus menggunakan cairan rumen (Tilley dan Terry, 1963).

Cairan rumen biasanya diambil dari ternak yang berfistula rumen dan/atau

menyedotnya melalui mulut Mauricio et al., 2001.

Umumnya digunakan dalam tahap awal penelitian secara in vitro untuk

prediksi nilai kecernaan pakan dalam rumen dan prediksi nilai nutrisi

pakan.Produksi gas in vitro merupakan simulasi rumen dalam sistem bacth

culture. Sampel pakan yang akan diteliti di inkubasi dalam fermentor (syringe

glass atau botol serum) pada suhu 39 0C dalam medium anaerob yang diinokulasi

dengan mikroba rumen. Adanya aktifitas fermentasi oleh mikrobia rumen akan

menghasilkan gas. Gas yang terbentuk berasal dari hasil fermentasi (CO2 dan

CH4) dan secara tidak langsung dari CO2

Suhu fermentasi diusahakan sama dengan suhu fermentasi dalam rumen

yaitu berkisar 38 – 42

yang dilepaskan dari buffer bikarbonat

setiap dihasilkan volatile fatty acid (VFA) (Kurniawati, 2007).

o

C. Suhu tersebut harus stabil selama proses fermentasi

berlangsung, hal ini dimaksud agar mikroba dapat berkembang sesuai dengan

kondisi asal. Aktifitas mikroba rumen tetap berlangsung normal bila pH rumen

berkisar 6,7-7,0. Perubahan pH yang besar dapat dicegah dengan penambahan

(14)

Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan teknik in vitro adalah waktu

yang relatif pendek dan dapat mengurangi pengaruh yang disebabkan hewan

induk semang dengan hasil yang cukup memuaskan (Harris, 1970). Keuntungan

utama teknik in vitro adalah dapat mempelajari aktivitas mikroba di luar kontrol

dan pengaruh induk semang. Teknik in vitro akan mendapatkan hasil yang lebih

Gambar

Tabel 1. Kandugan gizi pelepah daun kelapa sawit

Referensi

Dokumen terkait

• Pada kasus sentralisasi, fillrate akan lebih tinggi dan total cost akan lebih rendah daripada kasus desentralisasi, ketika customer acceptance dan derajat substitusi juga

Dari hasil yang didapat menyatakan bahwa corporate governance dapat memoderasi hubungan asimetri informasi dengan praktik manajemen laba dan mendukung penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam mengembangkan usaha bonsai serut serta menentukan strategi pengembangan

Sehingga dapat disimpulkan dari beberapa penelitian terdahulu bahwa norma subyektif dan kepercayaan memiliki pengaruh poitif terhadap sikap pekerja, sedangkan dalam penelitian

(pengargaan dan hukuman), Pemberian nasehat, dan Melalui kegiatan ekstrakulikuler. Adapun faktor pendukung dan penghambatdalam proses pembinaan mental keagamaan santri Pondok

Terdapat 4 (empat) proses tata kelola teknologi informasi yang harus diperhatikan oleh. perusahaan, masing-masing adalah

Berdasarkan definisi tersebut, laboratorium adalah suatu tempat yang digunakan untuk melakukan percobaan maupun pelatihan yang berhubungan dengan ilmu fisika, biologi, dan

Alamat : Tanggung, RT: 001/RW: 009, Kecamatan Campurdarat, Tulungagung, Jawa Timur Dengan ini saya menyatakan bahwa komposisi musik yang ada dalam Pertunjukan Musik