Undang-undang terbaru yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak mengharuskan sistem peradilan anak mengedepankan pendekatan restorative justice. Konsep keadilan restoratif yang diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak memiliki dasar hukum. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak dibentuk berdasarkan Konvensi Hak Anak yang disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.
Oleh karena itu, konsep keadilan restoratif masuk dalam pembahasan Undang-Undang Peradilan Pidana Anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melalui Komisioner KPAI Putu Elvina menekankan perlunya penerapan restorative justice bagi pelaku kejahatan seksual di bawah umur jika mereka pernah menjadi korban kekerasan seksual. Mengingat hal-hal yang peneliti sampaikan di atas, maka hal tersebut menjadi alasan dan latar belakang yang kuat bagi peneliti untuk menyelidiki bagaimana sebenarnya sistem restorative justice diterapkan terhadap anak sebagai pelaku kejahatan pelecehan seksual (Studi Penelitian pada Kepolisian Resor Mandailing Natal, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak) ) dengan metode penelitian sebagaimana dijelaskan pada Bab III proposal skripsi ini.
Apa saja kendala dan upaya Polres Mandailing Natal dalam menerapkan sistem restorative justice terhadap anak pelaku tindak pidana pelecehan seksual? Untuk mengetahui penegakan hukum di Polres Mandailing Natal dalam menangani anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan. Untuk mengetahui hambatan dan upaya kepolisian dalam sistem restorative justice terhadap anak pelaku tindak pidana pelecehan seksual.
Pengertian Restorative Justice
Bassioni kemudian menambahkan, salah satu bentuk perlindungan terhadap pelanggar adalah penerapan asas praduga tak bersalah dalam proses peradilan agar pelanggar mendapatkan peradilan yang adil melalui bantuan hukum. Selain itu penyelesaian melalui restorative justice juga mampu memberikan keadilan bagi kedua belah pihak yang dicapai melalui proses saling memahami makna dan tujuan keadilan, tanpa membedakan suku, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan dan kedudukan sosial lainnya. Konsep keadilan restoratif merupakan konsep dimana korban dan pelaku sama-sama terlibat dalam penyelesaian permasalahan yang menimbulkan kerugian bagi korban.
Menurut Muladi, keadilan restoratif merupakan teori yang menekankan pada pemulihan kerugian yang diakibatkan atau ditimbulkan oleh tindak pidana. Pemulihan kerugian ini akan dicapai melalui proses kolaboratif yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Konsep keadilan restoratif lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana dan korban itu sendiri.
Sistem peradilan anak15 telah mengeluarkan beberapa instruksi sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 UU SPPA dan Pasal 5 Perlindungan, yang mencakup tindakan langsung atau tidak langsung yang membahayakan anak secara fisik dan/atau psikis; Non-diskriminasi adalah perlakuan yang sama di hadapan hukum, tanpa membedakan agama, suku, ras, kelompok tertentu, dan kondisi fisik dan/atau mental.
Kemaslahatan terbesar bagi anak yaitu kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak menjadi dasar yang harus dijadikan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Penghormatan terhadap pendapat anak adalah penghormatan penuh terhadap hak anak untuk mengemukakan pendapat dan ikut serta dalam pengambilan keputusan, terutama bila menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak merupakan hak asasi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.
15 Kemudian penulis memberikan singkatan undang-undang SPPA kaitannya dengan undang-undang no. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak. Proporsional Artinya, segala perlakuan terhadap anak harus memperhatikan usia, kebutuhan, dan kondisi anak.
Restorative Justice dalam Hukum Pidana Indonesia
Tinjauan Umum tentang Anak 1. Pengertian Anak
Anak Dalam Hukum Pidana
Persamaan kedudukan dalam undang-undang di atas dapat memberikan legitimasi formal bagi seorang anak sebagai seseorang yang tidak dapat melakukan perbuatan hukum, yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak korban tindak pidana, dan anak saksi tindak pidana. Anak yang berhadapan dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Anak Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun yang menderita kerugian baik fisik, mental, dan/atau ekonomi sebagai akibat dari tindak pidana. Perlindungan hukum menurut Satjipto Raharjo mengartikan perlindungan hukum adalah memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang dilanggar oleh orang lain, dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati seluruh hak yang diberikan oleh undang-undang. Hadjon berpendapat bahwa perlindungan hukum adalah perlindungan kehormatan dan martabat, serta pengakuan terhadap hak asasi subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum terhadap kesewenang-wenangan.
Para ahli berpendapat bahwa perlindungan hukum merupakan hak asasi manusia yang diberikan kepada masyarakat yang merasa dirugikan, seperti hak anak.
Tinjauan Pencabulan Terhadap Anak dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia
Meningkatnya angka kejahatan di Indonesia menyebabkan munculnya berbagai modus operandi dalam terjadinya kejahatan. Salah satu sasaran pelaku kejahatan adalah anak-anak yang menjadi korban kejahatan karena kurangnya pengawasan orang tua. Dasar hukum tindak pidana pencabulan sendiri diatur dalam KUHP pada bab
“Barangsiapa melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap seseorang, padahal ia mengetahui orang tersebut dalam keadaan tidak sadar atau tidak berdaya.” KUHP Pasal 292 “Orang dewasa yang melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap anak di bawah umur yang sejenis, baik ia mengetahui atau patut menduga bahwa anak di bawah umur itu bersalah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.” KUHP Pasal 296 “Setiap orang yang keberadaannya atau kebiasaannya dengan sengaja melakukan atau memfasilitasi perbuatan cabul dengan orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak Rp.
2) “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam alinea pertama pasal ini dilakukan oleh orang tua, wali, sanak saudara, wali, pendidik, pendidik, pejabat yang membidangi pengasuhan anak, atau lebih dari satu orang sekaligus. secara keseluruhan pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari tindak pidana pengancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 3) Selain pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tambahan 1/3 (sepertiga) ancaman pidana juga diberikan kepada pelanggar yang telah divonis bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 76E.” 4) “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E mengakibatkan korban jiwa lebih dari 1 (satu) orang, menimbulkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, gangguan atau hilangnya fungsi reproduksi dan/atau korban meninggal dunia. , hukumannya adalah:
Penerapan hukum terhadap pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur Tindak pidana pencabulan Pengertian tindak pidana pencabulan “Pelanggaran terhadap anak diatur dalam pasal dan 291 sedangkan perbuatan cabul terhadap sesama jenis diatur dalam pasal 292 dan 293, terdiri atas Pasal 292 dan 293 menunjukkan bahwa perbuatan pelecehan seksual yang termasuk dalam kategori perbuatan cabul tidak hanya terjadi antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga terhadap sesama jenis. Jenis tindak pidana pencabulan dalam KUHP: Perbuatan tidak senonoh diatur dalam Pasal 289 hingga Pasal 296 yang dikategorikan sebagai berikut: “Perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan”.Sanksi pidana adalah suatu jenis sanksi yang bersifat hukuman yang diancam atau dijatuhkan terhadap perbuatan atau pelaku tindak pidana atau tindak pidana yang dapat mengganggu kepentingan hukum atau membahayakan.
Dalam tindak pidana pencabulan, harus ada orang yang menjadi subjeknya dan orang itu melakukan perbuatan itu dengan suatu kesalahan. Dengan kata lain, apabila dikatakan telah terjadi tindak pidana pencabulan, berarti ada orang yang menjadi subjeknya dan orang tersebut bersalah. Tindak pidana kekerasan terhadap anak yang terjadi saat ini merupakan permasalahan yang memerlukan perhatian khusus dari pemerintah karena berkaitan dengan moralitas generasi bangsa. Pengadilan harus memberikan sanksi yang paling tepat bagi anak yang melakukan kejahatan, khususnya kejahatan seksual.
Anak yang melanggar hukum adalah anak yang melakukan pelanggaran hukum, berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan diduga melakukan tindak pidana.
Tinjauan Umum Restorative Justice Dalam Aspek Hukum Islam Islam sangat menekankan penyelesaian perkara pidana di luar
Gambaran umum restorative justice dalam aspek hukum Islam Islam sangat menekankan penyelesaian perkara pidana di luar negeri. Hukum pidana Islam mempunyai tiga pembagian jarimah, yaitu Jarimah Qisas, Jarimah Hudud dan Jarimah Ta’zir. Jarimah ta'zir berbeda dengan jarimah qisas dan hudud; bentuk sanksi ta'zir tidak disebutkan secara tegas dalam Al-Qur'an.
Dalam hal ini jelas bahwa maksiat masuk dalam kategori ta’zir, karena maksiat tidak disebutkan secara tegas dalam Al-Qur’an, berbeda dengan perzinahan yang jelas-jelas dilarang dalam Al-Qur’an. Ada tiga jenis jarimah dan maksiat termasuk dalam kategori jarimah ta'zir karena maksiat tidak diatur secara tegas dalam Al-Qur'an, berbeda dengan zina yang dekat dengan unsur pencabulan. Di Indonesia, hukum Islam yang diatur dalam Al-Quran dan menurut beberapa peneliti tidak diterapkan, sehingga pelakunya masih bebas melakukan hal-hal menjijikkan tersebut20.
20 Siska Lis Silistiani, Kejahatan dan Penyimpangan Seksual dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif, Nuansa Aulia, Bandung, 2016, hal.89. Dalam bahasa ilmiah, seseorang yang mengungkapkan hasrat seksualnya kepada anak di bawah umur disebut dengan pedofilia. Fedophilia adalah sebutan untuk pria yang memiliki kelainan seksual karena senang melakukan pelecehan seksual terhadap anak laki-laki.
Dalam Islam, pelecehan seksual (pedofilia) merupakan dosa besar karena merupakan perbuatan yang dapat merugikan masyarakat, baik bagi orang yang sudah dewasa dan berakal sehat maupun bagi anak-anak yang masih di bawah umur. Setiap tindakan yang dapat merugikan kesejahteraan umat Islam harus dikenakan sanksi yang sesuai atas tindakan tersebut21. Bentuk maksiat dalam perspektif Islam termasuk dalam kategori zina, karena maksiat merupakan bagian atau hal yang mengarah pada zina sebagaimana dijelaskan dalam hadits “Jangan sekali-kali seorang di antara kamu berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahram). ) karena yang ketiga adalah setan” (H.R Ahmad Ibnu Hambali).
Menurut pengamatan para ulama, ayat-ayat Al-Qur'an yang menggunakan kata jangan mendekat, seperti pada hadis di atas, biasanya melarang mendekati sesuatu yang dapat merangsang jiwa atau keinginan untuk melakukannya.