• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cystoid macular edema Pasca Operasi Katarak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Cystoid macular edema Pasca Operasi Katarak"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO BANDUNG

Sari kepustakaan : Cystoid macular edema Pasca Operasi Katarak

Penyaji : Magdalena Purnama Soeprajogo

Pembimbing : dr. Andrew M. H. Knoch, SpM(K),M.Kes

Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing

dr. Andrew M. H. Knoch, SpM(K),M.Kes

Rabu, 10 Juli 2018

(2)

I. Pendahuluan

Edema makula sistoid (Cystoid macular edema / CME) merupakan salah satu komplikasi setelah operasi katarak yang ditandai dengan multipel kista pada area makula yang berisi cairan. Edema makula yang terjadi setelah operasi katarak mengakibatkan penurunan penglihatan sentral pertama kali dikenali oleh Irvine pada tahun 1953. Pada tahun 1966 Gass dan Norton yang pertama kali menemukan CME pada pemeriksaan funduskopi dan angiografi, kemudian CME dikenal juga sebagai sindrom Irvine-Gass. Cystoid macular edema lebih sering terjadi bila dibandingkan dengan komplikasi lainya seperti endophthalmitis, ablasio retina, perdarahan vitreus, dan perdarahan koroid.1,2

Insiden tertinggi terjadinya CME adalah pada 6 minggu hingga 8 minggu pasca operasi katarak. Insiden CME bervariasi tergantung pada jenis prosedur bedah dan pemeriksaan yang dilakukan. Insiden CME yang didiagnosa berdasarkan pemeriksaan angiografi adalah 60% setelah ekstraksi katarak intrakapsular, 15%

sampai 30% setelah ekstraksi katarak ekstrasapsular, dan 19% setelah fakoemulsifikasi. Insiden CME yang menimbulkan keluhan klinis hanya 1,5% - 2,3% pasca operasi katarak.1,2

Kondisi preoperasi dan intraoperasi yang dapat meningkatkan terjadinya CME pasca operasi katarak adalah diabetes, uveitis, dan kehilangan vitreus intraoperasi.

Mekanisme patologis terjadinya EMS adalah peradangan intraokular akibat tindakan operasi. Operasi menyebabkan pelepasan mediator inflamasi, seperti prostaglandin, leukotrien, dan histamin, yang dapat membuat pembuluh retina lebih permeabel terhadap cairan. Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan terjadinya edema makula sistoid setelah operasi katarak.1,2

II. Cystoid Macular Edema

Cystoid macular edema merupakan penyebab utama hilangnya penglihatan yang terjadi setelah operasi katarak. Cystoid macular edema terjadi pada 4-8 minggu pasca operasi katarak dan dapat sembuh spontan pada 80% kasus. Edema makula secara klinis tidak signifikan memberikan gejala tetapi dapat dideteksi dengan pemeriksaan optical coherence tomography (OCT). Faktor predisposisi terjadinya

(3)

CME adalah komplikasi intraoperatif yaitu hilangnya vitreus, trauma iris, traksi vitreus pada luka, retinopati diabetik, dan membran epiretinal yang sudah ada sebelumnya. 1,2,3

Gambar 2.1 Pemeriksaan foto fundus tampak reflek foveal kekuningan dan perdarahan perivofeal.

Dikutip dari: Fante 1

2.1 Patofisiologi

Pseudofakia CME merupakan akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler perifoveolar yang menyebabkan pembentukan rongga sistoid dan rongga lakunar pada lapisan Henle's dan lapisan plexiform luar. Kebocoran kapiler perifoveal menyebabkan akumulasi cairan dalam sel Muller dan lapisan plexiform henle luar yang memiliki serat yang tersusun secara horizontal sehingga menghasilkan pola petaloid pada angiografi fluorescein.1,3

Mekanisme terjadinya edema makula adalah peradangan intraokular paska operasi yang mengakibatkan terlepasnya mediator inflamasi, seperti prostaglandin, leukotrien, protein kinase C, nitrat oksida, histamin dan vascular endothelial growth factor (VEGF). Mediator inflamasi akan mengakibatkan pembuluh retina lebih permeabel sehingga terjadi kebocoran cairan dan menggangu fungsi blood retinal barrier.3,4

(4)

Gangguan blood retinal barrier mengakibatkan lapisan Henle yang berfungsi sebagai reservoir menyerap dan mengumpulkan cairan dalam jumlah besar. Fovea adalah daerah yang avaskular dan reabsorpsi kapiler yang terbatas, sehingga cairan yang bocor dari pembuluh darah akan terakumulasi di fovea. Kelebihan cairan akan menyebabkan traksi dan tekanan mekanis pada sel Muller yaitu sel glial neuronal di retina sehingga terjadi degenerasi sel retina. Kondisi ini mengakibatkan gejala penurunan tajam penglihatan sentral dan skotoma. 1,4

2.2 Faktor Resiko

Faktor resiko terjadinya CME dapat dibagi menjadi 3 yaitu preoperasi, intraoperasi dan pasca operasi. Faktor resiko preoperasi meliputi diabetes, retinopati diabetik, hipertensi, membran epiretinal, riwayat uveitis anterior atau posterior kronis, dan riwayat CME. Faktor resiko intraoperasi meliputi jenis operasi katarak yang dilakukan (ekstraksi intrakapsular lebih besar resikonya dibandingkan dengan ekstraksi ekstrakapsular dan fakoemulsifikasi), paparan sinar ultraviolet mikroskop, traksi vitreomakular, ruptur kapsul posterior, kehilangan vitreus (perlengketan ke luka atau iris), prolap iris, dan tipe lensa intraokular (IOL) ( fiksasi iris lebih besar resikonya dibandingkan dengan lensa intraokular pada bilik mata depan). Ruptur kapsul posterior merupakan faktor risiko operasi yang utama terjadinya CME. Faktor resiko pasca operasi meliputi penggunaan obat-obatan tertentu (epinefrin, dipivefrin, dan analog prostaglandin), inflammasi , dan hipotoni.2,5

2.3 Diagnosis

Diagnosis CME ditegakan berdasarkan pada gejala klinis, tanda klinis, dan pemeriksaan penunjang. Pasien dengan CME mempunyai keluhan utama penurunan tajam penglihatan perlahan 1 bulan sampai 3 bulan setelah operasi katarak. Gejala klinis pasien dengan CME meliputi penurunan tajam penglihatan, nyeri, kemerahan, fotofobia, penurunan sensitivitas kontras, metamorfopsia, dan skotoma sentral. Tajam penglihatan mulai 20/25 hingga 20/400 sesuai dengan derajat edema. 1,5

(5)

Pemeriksaan oftalmologi menunjukkan komplikasi bedah pada segmen anterior meliputi perubahan bentuk pupil (peaked pupil), reaksi bilik mata depan, kelainan lensa, atau perlengketan vitreus. Tanda klinis pada segmen posterior meliputi hilangnya reflek foveal, bercak kekuningan pada retina, rongga sistoid perifoveal disertai dengan lesi berbentuk sarang lebah, perdarahan perifoveal, mikroaneurisma kapiler, dan edema disk optik.2,5,6

Gambar 2.2 Pemeriksaan OCT tampak ruang sistoid intraretinal pada makula.

Dikutip dari: Fante 1

Gambar 2.3 Pemeriksaan fluorescein angiographytampak kebocoran pembuluh darah perifoveal yang berbentuk petaloid di sekitar fovea.

Dikutip dari: Fante 1

(6)

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien CME adalah pemeriksaan fluorescein angiography dan optical coherence tomography.

Pemeriksaan penunjang fluorescein angiography merupakan gold standar diagnosis CME. Pada pemeriksaan fluorescein angiography menunjukkan gambaran dengan pola petaloid di makula dengan tepi berbulu. Pemeriksaan optical coherence tomography (OCT) dilakukan untuk mengukur ketebalan makula dan rongga sistoid. Ketebalan makula yang diukur dengan pemeriksaan OCT dapat digunakan untuk mendiagnosis dan evaluasi perbaikan CME.2,6,7

2.4 Tatalaksana CME

Pada 80% pasien pasca operasi katarak dengan CME dapat sembuh spontan tanpa terapi dalam 3 bulan sampai 12 bulan. Tatalaksana CME terdiri dari terapi medikamentosa dan terapi bedah. Terapi medikamentosa yaitu dengan obat golongan kortikosteroid, non steroid anti inflammation (NSAID), inhibitor karbonat anhidrase, dan anti VEGF. 1,7

2.4.1 Terapi Medikamentosa

Obat golongan kortikosteroid dapat diberikan memalui beberapa rute yaitu topikal, periokular (retrobulbar atau sub-tenon), intravitreal, sistemik, dan implant.

Pemberian obat kortikosteroid dalam terapi CME yang sering digunakan adalah rute topikal dan rute intravitreal. Kortikosteroid topikal yang digunakan adalah prednisolon asetat 1% yang diberikan dengan tapering off untuk mengurangi resiko kekambuhan CME. Kortikosteroid intravitreal yang efektif untuk terapi CME dengan diabetes melitus yaitu triamcinolone. Penelitian Sorensen et al tidak menemukan perbaikan yang signifikan pada terapi CME dengan triamcinolone intravitreal, tetapi penelitian oleh Boscia et al menemukan perbaikan sementara pada kasus CME yang kambuh. Triamcinolone dapat bertahan selama 6 hingga 9 bulan di rongga vitreus sehingga dapat menimbulkan efek samping pada okular akibar paparan steroid seperti peningkatan tekanan intraokular. 1,7,8

Non steroid anti inflammation dalam terapi CME bertujuan untuk mengatasi nyeri dan peradangan setelah operasi katarak. Obat golongan NSAID yang digunakan adalah ketorolac, diclofenac, bromfenac, dan nepafenac. Rho

(7)

melaporkan bahwa diklofenak dan ketorolak memiliki efektifitas yang sama dalam mengobati CME dan mengembalikan tajam penglihatan setelah operasi katarak tanpa komplikasi. Obat golongan NSAID dapat menembus kornea dengan baik.

Nepafenac memiliki kemampuan menembus kornea yang baik kemudian diikuti oleh diklofenak, bromfenak, dan ketorolak. Efek samping yang ditimbulkan dalam penggunaan NSAID yaitu rasa terbakar, iritasi mata, keratitis superfisial, dan penyembuhan luka yang lama. Penggunaan kortikosteroid topikal (prednisolon asetat 1%), yang dikombinasikan dengan ketorolak topikal 0,5%, memberikan hasil terapi yang baik yaitu peningkatan ketajaman visual bila dibandingkan dengan pemberian satu macam obat.1,8,9

Obat golongan inhibitor karbonat anhidrase bekerja pada karbonat anhidrase yang terikat pada epitel pigmen retina. Penelitian Curkovic et al melaporkan pasien yang diberikan acetazolamide oral selama 8 minggu perawatan memiliki reabsorpsi edema makula yang cepat dan tajam penglihatan yang meningkat. Penelitian Curkovic et al juga melaporkan manfaat terapi CME dengan pemberian kombinasi antiinflamasi dan acetazolamide. Obat golongan Anti-VEGF oleh Arevalo et al dilaporkan dapat meningktakan tajam penglihatan dan mengurangi ketebalan makula dengan pemberian monoterapi bevacizumab intravitreal dalam terapi CME kronis.9,10

2.4.2 Terapi Bedah

Pilihan terapi bedah dalam tatalaksana CME diberikan pada pasien yang tidak berespon dengan terapi medikamentosa dan pada CME kronik yang penyebabnya diketahui. Pilihan terapi bedah dalam mengobati CME disesuaikan dengan faktor penyebabnya. Vitrektomi pars plana dilakukan untuk menghilangkan vitreous yang melekat pada iris dan traksi vitreomacular. Penggantian dan memperbaiki posisi lensa intraokular dilakukan pada keadaan lensa intraokular yang berubah posisi dan beresiko terjadi uveitis. Laser Nd: YAG dilakukan untuk menghilangkan perlekatan vitreus dengan luka kornea dan traksi.1,10

(8)

III. Simpulan

Cystoid macular edema adalah salah satu komplikasi sering terjadi setelah operasi katarak. Faktor risiko resiko yang utama terjadinya CME adalah pecahnya kapsul posterior lensa intraoperatif. Pemeriksaan OCT merupakan pemeriksaan rutin dalam diagnosis dan evaluasi CME.

Terapi CME dapat dibagi menjadi terapi medikamentosa dan terapi bedah.

Terapi medikamentosa pemberian obat golongan NSAID dan kortikosteroid topikal menjadi pengobatan lini pertama CME secara klinis dan angiografi. Pada kondisi tertentu terapi bedah dapat dilakukan yaitu vitrektomi pars plana, penggantian lensa intraokular dan laserNd: YAG.

(9)

1. Fante R, Mian SI. Cystoid macular edema. Dalam: Henderson BA, editor. Essentials of Cataract Surgery. Edisi ke-2. USA: SLACK incorporated; 2014. hlm. 293-301.

2. Witmer MT, Coombs P, Kiss S. Cystoid macular edema. Dalam: Yanoff M, Duker JS, editor.

Opthalmology. Edisi ke-5. USA: Elsevier Health Sciences; 2019. hlm. 626-32.

3. Narayanan R, Kuppermann BD. Macular Causes of Poor Postoperative Vision: Cystoid Macular Edema, Epiretinal Fibrosis, and Age-Related Macular Degeneration. Dalam: Steinert RF, editor. Cataract Surgery. Edisi ke-3. USA: Elsevier Health Sciences; 2010. hlm. 661-69.

4. American Academy of Ophthalmology. Section 11: Lens and Cataract. Dalam: Basic and clinical science course. San Fransisco: American Academy of Ophtalmology; 2016. hlm. 163- 66.

5. American Academy of Ophthalmology. Section 12: Retina and Vitreous. Dalam: Basic and clinical science course. San Fransisco: American Academy of Ophtalmology; 2016. hlm. 142- 3, 332-4.

6. Chu CJ, Johnston RL, Buscombe C, Sallam AB, et all. Risk Factors and Incidence of Macular Edema after Cataract Surgery. American Academy of Ophthalmology. 2016;123(2): 316-23.

7. Wielders L, Scouten J, Aberie MR, Lambermont VA, et all. Treatment of cystoid macular edema after cataract surgery. J Cataract Refract Surg . 2017;43(2): 276-84.

8. Grzybowski A, Sikorski BL, Ascaso FJ, Huerva V. Pseudophakic cystoid macular edema:

update 2016. Dove press journal. 2016; 11: 1221-9.

9. Altintas AGK. Alternative treatment methods in eyes with pseudophakic cystoid macular edema. Int J Clin Exp Ophthalmol. 2019; 3: 001-007.

10. Allocco AR, Magurno MG. How to Prevent Cystoid Macular Edema a er Cataract Surgery?

.Ins Ophthal. 2017; 1(2): 9.

8

Referensi

Dokumen terkait

Our survey participants reported that high proportions of PhD students struggle to understand the role of theory in their research; how to create a theoretical framework/model; and how