GAMBAR
Gambar Halaman
3.1 Peta Lokasi Sekolah SDIT Insan Madani ...
...
11
4.1 Perilaku Anak Yang Membuat Masalah ...
...
18
4.2 Penyebab Perilaku Agresif Pada Anak
...
...
19
4.3 Apa yang bisa dilakukan orantua untuk mencegah perilaku agresif
pada anak
...
...
20
4.4 Apa alasan orangtua bersikap keras kepada anak ...
...
21
4.5 Apa penyebab orangtua bersikap keras kepada anak ...
...
23
4.6 Bentuk sikap keras yang pernah dilakukan orangtua kepada anak ...
...
24
4.7 Melampiaskan amarah kepada anak
...
...
25
4.8 Hukuman yang diberika kepada anak jika bersalah
vii
...
...
26
4.9 Pernah memukul anak ketika tidak patuh
...
...
2
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Masa kanak-kanak merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan perkembangan yang pesat baik secara fisik, psikologis maupun intelektual.
Sifat khas anak mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai petualangan dan tantangan serta cenderung berani menanggung resiko atas perbuatannya tanpa didahului oleh pertimbangan yang matang. Apabila keputusan yang diambil dalam menghadapi konflik tidak tepat, mereka akan jatuh ke dalam perilaku berisiko dan mungkin harus menanggung akibat jangka pendek dan jangka panjang dalam berbagai masalah kesehatan fisik dan psikososial.
Sifat dan perilaku berisiko ada remaja tersebut memerlukan ketersediaan pelayanan e-journal Keperawatan(e-Kp) Volume 7 Nomor 1, Mei 2019 2 kesehatan peduli remaja yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan remaja termasuk pelayanan untuk kesehatan reproduksi (Kementrian Kesehatan RI, 2014) Tahun 2013 terdapat korban kekerasan psikis sebanyak 520 korban anak sedangkan korban kekerasan fisik sebanyak 450 anak. Korban kebijakan merugikan di Sekolah sebanyak 240, korban bullying 140, korban tawuran sebanyak 50 anak. Data tahun 2014 menunjukkan korban kekerasan psikis sebanyak 660 korban anak sedangkan korban kekerasan fisik sebanyak 610 anak.
Korban kebijakan merugikan di Sekolah sebanyak 340, korban bullying 275, korban tawuran sebanyak 110 anak. Data tahun 2015 menunjukkan korban kekerasan psikis sebanyak 100 korban anak sedangkan korban kekerasan fisik sebanyak 90. Korban kebijakan merugikan di Sekolah sebanyak 50, korban bullying 30, korban tawuran sebanyak 10 anak. Pelaku kekerasan ini pada tahun 2013 terdiri dari 135 pelaku bullying dan pelaku tawuran sebanyak 75 anak. Pada tahun 2014 pelaku bullying sebanyak 115 dan pelaku tawuran sebanyak 50 orang. Pada tahun 2015 pelaku bullying ini sebanyak 57 anak dan pelaku tawuran sebanyak 37 anak.
1
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, diketahui ada tiga sekolah yang disebut paling sering terlibat aksi anarkis, yakni SMK Yudya Karya, SMK 45 dan SMK Adipura yang terlibat tawuran pada tahun 2012 terdapat satu kasus tawuran, lalu meningkat menjadi delapan kasus pada tahun 2013.
Pada tahun 2014, kasus tawuran naik lagi menjadi 10 kasus. Sedangkan saat ini hampir setiap bulan terjadi satu kali tawuran (Kurniawan, 2014).
Perilaku agresif sering terjadi pada kalangan remaja madya (middle adolescene) dengan rentang usia 15-18 tahun, dimana tanggung jawab hidup yang harus semakin ditingkatkan oleh remaja yang mampu memikul sendiri juga masalah tersendiri bagi remaja madya. Karena tuntutan peningkatan tanggung jawab tidak hanya datang dari orang tua atau anggota keluarganya tetapi juga dari masyarakat sekitarnya. Tidak jarang masyarakat juga menjadi masalah bagi remaja, tidak jarang remaja mulai meragukan tentang apa yang disebut baik atau buruk. Akibatnya, remaja ingin sering kali membentuk nilai-nilai mereka sendiri yang mereka anggap benar, baik dan pantas untuk dikembangkan di kalangan mereka sendiri. Lebih-lebih jika orang tua atau orang dewasa di sekitarnya ingin memaksakan nilai-nilainya agar dipatuhi oleh remaja tanpa disertai dengan alasan yang masuk akal menurut mereka (Asroli & Ali, 2009).
Keadaan remaja di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi remaja saat ini yang cenderung lebih bebas dan jarang memperhatikan nilai moral yang terkandung dalam setiap perbuatan yang mereka lakukan. Remaja mempunyai sifat yang cenderung lebih agresif, emosi tidak stabil, dan tidak bisa menahan dorongan nafsu.
Pada masa pubertas atau masa menjelang dewasa, remaja mengalami banyak pengaruh-pengaruh dari luar yang menyebabkan remaja terbawa pengaruh oleh lingkungan tersebut (Santrock, 2007).
Remaja lebih menunjukkan perilaku agresif dari pada anak-anak dan orang dewasa. Dalam masa yang masih labil, remaja mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk berperilaku agresif. Pengaruh- pengaruh negatif pada remaja sangat beragam, yang pada akhirnya
3
mengarahkan remaja untuk berperilaku agresif. Perilaku agresif pada remaja antara lain seperti perkelahian, tawuran, saling mencaci dan bentuk-bentuk perilaku agresif lainnya (Sinuraya, 2009).
Orang tua dalam keluarga memiliki peranan penting dalam perkembangan dan pendidikan anak, karena sesuatu yang diperbuat oleh orang tua akan berpengaruh terhadap diri anak, sehingga perhatian dan tanggung jawab orang tua sangat diperlukan oleh anak. Hal senada juga e- journal Keperawatan(e-Kp) Volume 7 Nomor 1, Mei 2019 3 dikemukakan oleh Sayekti Pujosuwarno yakni; “segala sikap dan tingkah laku orang tua, baik yang disengaja untuk pendidikan maupun yang tidak disengaja untuk pendidikan anak akan berpengaruh terhadap perkembangan dan kepribadian anak”. Dari pendapat tersebut, orang tua mempunyai berbagai macam fungsi diantaranya adalah mengasuh anakanaknya.
Keluarga merupakan tempat utama dan pertama bagi pendidikan seorang anak, sehingga pembentukan sikap dan kepribadian sangatlah dominan. Hal ini sangat tergantung pada pola asuh yang diberikan orang tua kepada anaknya. Perbuatan dan pola perilaku yang dilakukan orang tua sehari-hari akan dilihat, dinilai dan ditiru oleh anak, sehingga anak akan berbuat dan berperilaku seperti orang tuanya, terlebih bagi anak-anak yang usianya semakin memasuki usia remaja (Wong, 2009). Orang tua harus diberi semangat untuk menangani perilaku agresif dengan menentukan datas dan harapan yang tegas pada anak. Orang tua dan anak harus memperoleh persesuaian tentang apa yang mereka anggap merupakan tugas-tugas penting dan tanggung jawab anak. Masalah-masalah paling penting perlu ditangani pertama. Ketegasan dan kemandirian sesuai usia harus dikembangkan dan dihargai (Suastini,2011).
Fenomena yang sangat memprihatinkan adalah aksi-aksi kekerasan baik individualmaupun masal sudah merupakan berita harian di media masa, baik media cetak maupun media elektronik. Aksi- aksi kekerasan dapat terjadi di mana saja, seperti di jalan-jalan, di sekolah, bahkan di komplek perumahan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki)
maupun kekerasan fisik (memukul, meninju dan melukai) (Silitonga, 2009).Berdasarkan urian diatas membuat peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Hubungan Pola Asuh Orang Tua Denagn Perilaku Agresif Anak Usia SD di Jakarta
B. Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keterkaitan antara pola asuh dan agresifitas yang dilakukan anak, beberapa tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui gambaran tentang pola asuh
2. Mengetahui hal apa yang biasanya membuat anak agresif.
3. Mengetahui bagaimana cara yang terbaik mengatasi agresifitas anak C. Urgensi Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur mengenai isu-isu kesehatan mental pada anak.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai isu-isu kesehatan mental pada anak.
3. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi dalam penelitian berikutnya yang cakupannya lebih luas dan mendalam, khususnya mengenai isu-isu kesehatan mental pada anak.
D. Rencana Target Capaian
Adapun rencana target luaran yang hendak dicapai melalui penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:
5
Tabel 1.1. Rencana Target Capaian
No Jenis Luaran
(Indikator Capaian)
Indikator Capaian (TS)
1. Publikasi Ilmiah Internasional Tidak Ada
Nasional Terakreditasi
Draft
2. Pemakalah dalam Temu Ilmiah
Internasional Tidak Ada
Nasional Tidak Ada
3. Invited Speaker dalam Temu Ilmiah
Internasional Tidak Ada
Nasional Tidak Ada
4 Visiting Lecturer Internasional Tidak Ada
5. Kekayaan Intelektual Paten Tidak Ada
Paten Sederhana Tidak Ada
Hak Cipta Tidak Ada
Merk Dagang Tidak Ada
Rahasia Dagang Tidak Ada Desain Produk
Industri
Tidak Ada
Indikasi Geografis
Tidak Ada
Perlindungan Varietas Tanaman
Tidak Ada
Perlindungan Topografi Sirkuit Terpadu
Tidak Ada
6. Teknologi Tepat Guna Tidak Ada
7. Model/Purwarupa/Desain/K arya Seni/Rekayasa Sosial
Tidak Ada
8. Buku Ajar (ISBN) Tidak Ada
9. Tingkat Kesiapan Teknologi 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Pengertian Agresifitas
Buss dan Perry (1992) perilaku agresif merupakan suatu perilaku atau kecenderungan perilaku yang niatnya untuk menyakiti dan melukai orang lain. Perilaku agresif meliputi aspek physical aggression (Agresi Fisik) yaitu memukul, menampar, menendang, mendoronf, Verbal Aggression (Agresi Verbal) menghina, mencaci, berkata kotor, Anger (Kemarahan) yaitu marah, benci , hostility (Permusuhan)yaitu Pola asuh otoriter dan kecenderungan agresivitas pada remaja sekolah 112 perasaan iri, dendam dan dengki.
Perilaku Agresif yang dilakukan oleh individu berupa agresif fisik berupa pemukulan, penusukan, penganiayaan dan bentuk perilaku agresif lainnya yang dapat berujung pada tindakan kriminalitas (Badriyah, 2013). Faktor Internal seperti kepribadian individu tipe a dan tipe b, mempersepsikan maksud jahat dari dalam diri orang lain, ancaman ego, dan agresi serta perbedaan gender, serta faktor eksternal atau sosial lingkungan yang meliputi frustasi, provokasi langsung, agresi yang dipindahkan, pemaparan kekerasan di media dan keterangsangan yang meningkat seperti: emosi, kognisi, dan seksual. Selain itu pula terdapat faktor lain yang berasal dari gaya pola asuh dan lingkungan keluarga merupakan sederat faktor yang menyebabkan munculnya perilaku agresif pada remaja (Baron dan Bryne, 2003).
2. Bentuk-bentuk Agresifitas
Bentuk-Bentuk Agresivitas Byrne (2003) membedakan bentuk agresivitas menjadi dua yaitu agrsivitas fisik yang dilakukan dengan cara melikai atau menyakiti badan dan agresivitas verbal yaitu agresi
6
yang dilakukan dengan mengucapkan katakata kotor atau kasar.3 Buss mengklasifikasikan agesivitas yaitu agresivitas secara fisik dan verbal, secara aktif maupun pasif, secara langsung maupun tidak langsung.
Tiga kalsifikasi tersebutmasing-masing saling berinteraksi, sehingga menghasilkan bentuk-bentuk agresivitas.4 Pendapat ini dikemukakan oleh Buss ada 8 agresivitas yaitu; 1. Agresivitas fisik aktif yang dilakukan secara langsung misalnya menusuk, memukul, mencubit. 2.
Agresivitas fisik aktif yang dilakukan secara tidak langsung misalnya menjebak untuk mencelakakn orang lain. 3. Agresivitas fisik pasif yang dilakukan secara langsung misalnya memberikan jalan untuk orang lain. 4. Agresivitas fisik pasif yang dilakukan secara tidak langsung misalnya menolak melakukan sesuatu. 5. Agresivitas verbal aktif secara langsung misalnya mencaci maki orang lain menusuk, memukul. 6. Agresivitas verbal aktif yang dilakukan secara tidak langsung misalnya menyebarkan gosip yang tidak benar kepada orang lain. 7. Agresivitas verbal pasif yang dilakukan secara langsung misalnya tidak mau berbicara pada orang lain. 8. Agresivitas verbal pasif fisik aktif yang dilakukan secar tidak langsung misalnya diam saja meskipun tidak setuju.
Berdasarkan uraian diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa bentuk-bentuk agresifitas adalah agresif verbal atau fisik terrhadap objek yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung dengan intensitas secara aktif atau pasif.
Pada dasarnya perilaku agresif yang ditunjukkan remaja khususnya remaja sekolah sangat bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat. Perilaku tersebut sering mengakibatkan kerugian baik secara fisik, mental serta materi bagi orang lain serta masyarakat sekitar.
Berdasarkan data yang dihimpun peneliti , Kasus Tawuran Pada periode Januari-Februari 2022, sudah ada 92 orang yang diamankan, 21 orang di antaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka. Usia mereka antara 15-25
9
tahun. Selain itu di kota bogor terjadi tawuran 2 sekolah yang menyebabkan 1 orang tewas (Naufal, 2022). Aksi remaja ini Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI pada tahun 2018 mengungkap kasus tawuran di Indonesia pada tahun 2018 meningkat 1,1 persen dibanding tahun sebelumnya. Pada tahun 2017, angka kasus tawuran hanya 12,9 persen, tapi tahun 2018 menjadi 14 persen. Sedangkan pada tahun 2021 sepanjang 2 januari sampai dengan 27 desember 2021 tercacat tawuran remaja merupakan kasus terbanyak yang terjadi di berbagai tempat meliputi 11 provinsi.
Dorongan perilaku agresif yang ditunjukkan remaja ini merupakan salah satu proyeksi dari apa yang didapatnya dalam lingkungan keluarga. Pola asuh yang diterapkan orang tua merupakan salah satu faktor yang memiliki peranan dalam pembentukan kepribadian anak. Bandura, (1977). Teori tersebut beranggapan bahwa perilaku agresif merupakan sesuatu yang dipelajari dan bukannya perilaku yang dibawa individu sejak lahir.
Perilaku agresif ini dipelajari dari lingkungan sosial seperti interaksi dengan keluarga, interaksi dengan rekan sebaya dan media massa melalui modelling. ketidaksiapan orangtua dalam membina anak-anaknya sering dianggap sebagai pemicu terjadinya masalah sosial seperti kenakalan pada remaja. Orangtua dinilai terlalu memanjakan dan memberikan perhatian yang berlebihan (Kartono, 2006). Pola asuh otoriter dan kecenderungan agresivitas pada remaja sekolah 113.
B. Pola Asuh
Pola asuh adalah bentuk-bentuk yang diterapkan dalam rangka merawat,memelihara,membimbing dan melatih dan memberikan pengaruh (Elminah, E., Hesrawati, E. D., & Syafwandi, S, 2022).
Menurut Allen dan Olson (2001) ada empat bentuk pola asuh yaitu demokratis 5 (democratic), otoriter (authoritarian), permisif (permissive), dan penolakan (rejecting).
C. Bentuk pola asuh
Menurut Hurlock (1999), pola asuh orang tua dibedakan atas:
1. Pola Asuh Otoriter
Yaitu pola asuh yang mendasarkan pada aturan yang berlaku dan memaksa anak untuk bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan keinginan orang tua.
2. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh yang ditandai sikap orang tua yang mau menerima, responsive dan semangat memperhatikan kebutuhan anak dengan disertai pembatasan yang terkontrol.
3. Pola Asuh Permisif
Pola asuh orang tua yang memberikan kebebasan penuh kepada anaknya untuk membuat keputusan sendiri sesuai dengan keinginan dan kemauannya, ini mengarah pada sikap acuh tak acuh orang tua terhadap anak.
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh
Beberapa faktor yang mempengaruhi dalam pola pengasuhan orang tua Hidayah, R., Yunita, E., & Utami, Y. W. (2013).adalah:
1. Latar belakang pola pengasuhan orang tua
Maksudnya para orang tua belajar dari metode pola pengasuhan yang pernah didapat dari orang tua mereka sendiri.
2. Tingkat pendidikan orang tua
Orang tua yang memiliki tingkat pendidikan tinggi berbeda pola pengasuhannya dengan orang tua yang hanya memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
3. Status ekonomi serta pekerjaan orang tua
Orang tua yang cenderung sibuk dalam urusan pekerjaannya terkadang menjadi kurang memperhatikan keadaan anak- anaknya. Keadaan ini mengakibatkan fungsi atau peran menjadi “orang tua” diserahkan kepada pembantu, yang pada akhirnya pola pengasuhan yang diterapkanpun sesuai dengan pengasuhan yang diterapkan oleh pembantu.
11
Pola asuh yang berpotensi menyebabkan munculnya kecenderungan agresivitas pada anak yaitu pola asuh otoriter (Aldora, M. R., Noviekayati, I.
G. A. A., & Rina, A. P, 2022), hal ini di dukung oleh beberapa penelitian salah satunya tentang Hubungan Pola Asuh Otoriter Dengan Perilaku Agresi Pada Anak Jalanan yang menyatakan bahwa pola asuh otoriter mempunyai hubungan dengan perilaku agresif Hal ini dibuktikan dari hasil analisa yang telah dilakukan, diketahui bahwa pola asuh otoriter mempunyai hubungan dengan perilaku agresi dengan dengan menyumbang prsentase 51,4%
(Hariati,2012).
Ribeiro (2009) pola asuh otoriter adalah gaya pengasuhan orang tua dengan cara memberikan batasan yang sangat ketat dan menghukum apabila perintah atau keinginan dari orang tua tidak terpenuhi oleh remaja. Pada gaya pengasuhan ini orang tua cenderung mendesak remaja untuk mengikuti perintah-perintahnya tanpa boleh bertanya terlebih dahulu dan tidak memperdulikan apa yang diinginkan remaja.
Menurut Baumrind (dalam Riberio, 2009) pola asuh otoriter terdiri dari 2 aspek yang meliputi (1) Low Responsivness yaitu orang tua yang tidak mau mendengarkan apa yang diinginkan oleh remaja, kurangnya kehangatan dalam pengasuhan, serta kurang peka dalam memenuhi kebutuhan remaja, serta (2) High Demandingness yaitu orang tua terlalu memberikan batasan atau larangan dan peraturan pada remaja.
Orang tua cenderung memberikan hukuman pada remaja apabila keinginannya tidak segera dilaksanakan. Penerapan pola asuh otoriter yang dilakukan oleh orang tua dipengaruhi beberapa faktor penting yang menjadi pertimbangannya yang meliputi, Tingkat sosialekonomi, tingkat pendidikan, keperibadian orang tua serta jumlah anak dalam keluarga (Hurlock, 1977).
Penerapan gaya pola asuh otoriter ini akan berdampak besar bagi perkembangan individu khsusunya remaja disekolah seperti regulasi emosi anak menjadi buruk, terdampat masalah yang buruk dengan lingkungan dan teman sebayanya, kesulitan beradaptasi dan munculnya kenakalan remaja (Santrock, 2012).
Berdasarkan pertimbangan latar belakang beserta data dan fakta maka penelitian yang dilakukan peneliti berfokus kepada kecenderungan perilaku agresif yang dilakukan oleh siswa sekolah.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif agar dapat mengetahui detail – detail tentang bagaimana agresifitas pada anak dan dampak dari pola asuh orang tua. Dengan menggunakan metode naratif yang banyak mendengarkan cerita dari beberapa anak dan orang tuasehingga terbentuk landasan bagi sebuah gerakan perubahan suatu sistem pengasuhan anak dirumah dan disekolah (Denzin & Lincoln, 2011: 2).
Responden dalam penelitian ini adalah anak usia sekolah dasar yang menjadi peserta didik di SD di Jakarta Timur, SDIT Insan Madani, Jl. Jengki kecamatan makasar, jakarta Timur
Gambar 3. 1
Peta Lokasi Sekolah SDIT Insan Madani
11
Berdasarkan hasil studi pendahuluan, tim peneliti melakukan wawancara dengan staf pengajar mengenai kebutuhan peserta didik. Jawaban dari salah satu guru adalah pola asuh orang tua berdampak pada agresifitas anak
Wawancara dalam penelitian ini bertujuan mendapatkan berbagai informasi secara mendalam dengan menggunakan pertanyaan terbuka kepada partisipan dan mencatat jawaban mereka, lalu mentranskripsikan untuk dianalisis. Kelebihan dari wawancara adalah dapat memberikan informasi yang berguna ketika peneliti tidak dapat langsung mengobservasi partisipan dan memungkinkan partisipan dapat mendeskripsikan informasi pribadi secara terperinci (Creswell, 2015: 429 – 430). Wawancara juga memberikan informasi yang bermanfaat tentang pengalaman nyata berikut makna-maknanya (Denzin
& Lincoln, 2011: 2).
Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui wawancara terhadap beberapa anak terkait
Setelah data terkumpul peneliti melakukan analisis data menggunakan model interaktif (Miles & Huberman, 1994: 10 – 12) dengan langkah reduksi data, display data, dan simpulan berupa gambar. Untuk mengatasi keterbatasan dalam metode analisis data interaktif, peneliti menggunakan metode gabungan sebagai alternatif (Bungin, 2007: 256). Peneliti menggunakan Quasi –Statistik dalam membantu menggambarkan bukti – bukti keragaman orang tua peserta didik (Alwasilah, 2017: 133 - 134).
B. Langkah-langkah Penelitian
Langkah – langkah dalam penelitian naratif (Assjari & Permanarian, 2010) yang telah dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1. Meneliti sebuah fenomena untuk diteliti yang mengarah pada permasalahan agresifitas pada anak di SDIT Insan Madani dan pola asuh orang tua
15
2. Memilih responden dimana peneliti dapat mempelajari hal-hal yang berkenaan dengan fenomena agresifitas pada anak
3. mengumpulkan kisah atau pengalaman dari para orang tua peserta didik, guru, kepala sekolah dan staf tata usaha mengenai fenomena agresifitas anak
4. mengisahkan kembali kisah pengalaman responden;
5. berkolaborasi dengan responden; dan
6. menuliskan narasi tentang kisah pengalaman responden
N
o Pengeluaran / Justifikasi Pemakaian
Waktu/
Kuantita s
Minggu/Harg a Satuan (Rp)
Total (Rp)
A. Honorarium 1 Tenaga
Pembantu Peneliti
100.000 2 5 1.000.00
0
2 Pengolah Data
100.000 2 5 1.000.00
0
Total 2.000.00
0 B. Bahan Habis Pakai dan Peralatan
4 Print Proposal
3 Rangkap 3 15.000 45.000
5 Jilid Proposal
3 Rangkap 3 5000 15.000
6 Print
Artikel/Baha n Penelitian
10 Artikel 10 15.000 150.000
7 Print Laporan
6 6 25.000 150.000
8 Jilid Laporan 6 6 35.000 210.000
Total 570.000
C. Biaya Perjalanan
9 Paket Data 20 GB/bulan 2 orang x 3 Bulan
112.000 672.000
10 Pulsa 50.000/bulan 2 orang x 3
52.000 312.000
14
17
Bulan
Total 984.000
D. Biaya Lain-lain
11 Publikasi 1 1 350.000 350.000
12 Zoom Meeting
3 Bulan 3 300.000 900.000
13 Seminar hasil laporan penelitian
1 1 300.000 300.000
Total 1.550.00
0 E. Rekaputulasi Biaya Keseluruhan
1 Honorarium - - - 2.000.00
0 2 Bahan
Habis Pakai dan
Peralatan
- - - 984.000
3 Biaya Perjalanan
- - - 984.000
4 Biaya Lain- lain
- - - 1.550.00
0
Total 5.104.00
0
19
B. Jadwal Pelaksanaan Penelitian
No Jenis Kegiatan
Juni Juli Agustus September
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Studi Pendahuluan
√ √
2 Penulisan Proposal
√ √
3 Pengajuan Proposal
√
4 Mengumpulkan Artikel/bahan Penelitian
√ √ √
5 Pengolahan Data
√ √
6 Pembahasan Hasil
Pengolahan Data
√ √
7 Pembahasan Final Hasil Pengolahan Data
√
8 Pembuatan Laporan Kemajuan
√
9 Pembuatan Laporan Akhir
√
10 Pengumpulan Laporan
√
Perilaku anak seperti apakah yang
dapat membuat masalah dalam keseharian anak, kepada orang tua,
saudara maupun teman?
R.1 Pengen dimanja
R.2 Bertengkar
R.3 kurang pengetahuan
adab dan etika baik
R.4 mengganggu orang lain baik verbal dan fisik,
tidak disiplin dalam kerapihan dan
kebersihan R.5
temannya suka pilih pilih
teman R.6
iseng ke teman lalu dipukul teman
nya R.7
Kasar, tidak jujur R.8
-
R.9 Tidak Pernah
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan Hasil analisis data kualitatif tentang pola asuh orang tua terhadap anak yang berperilaku agresif pada anak sekolah dasar sebagai berikut:
Tabel 4.3. Gambaran Umum Responden Karakteristik
Responden
Jumlah
Usia 30-35 Tahun 1
36-40 Tahun 5
41-45 Tahun 3
Total 9
Status Pernikahan Menikah 9
Total 9
Jumlah Anak 1 1
2 5
>2 3
Total 9
Jenis Kelamin Anak (SD)
Laki-laki 5
Perempuan 7
Total 12
Usia Anak 7 tahun 5
9 tahun 5
10 tahun 2
Total 12
Kelas 1 SD 5
3 SD 5
4 SD 2
Total 12
Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui informasi mengenai gambaran umum responden dalam penelitian ini. Jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 9 orang, dengan rentang usia 30-35 tahun sebanyak 1 responden, 36-40 tahun sebanyak 5 responden, dan 41-45 tahun sebanyak 3 responden.
Dari 9 responden tersebut memiliki status pernikahan menikah, dan jumlah anak yang dimiliki pada usia sekolah dasar sebanyak 12 anak diantaranya 5 anak berjenis kelamin Laki-laki dan 7 anak berjenis kelamin Perempuan. Dari
Perilaku anak seperti apakah yang
dapat membuat masalah dalam keseharian anak, kepada orang tua,
saudara maupun teman?
R.1 Pengen dimanja
R.2 Bertengkar
R.3 kurang pengetahuan
adab dan etika baik
R.4 mengganggu orang lain baik verbal dan fisik,
tidak disiplin dalam kerapihan dan
kebersihan R.5
temannya suka pilih pilih
teman R.6
iseng ke teman lalu dipukul teman
nya R.7
Kasar, tidak jujur R.8
-
R.9
Tidak Pernah 21
ke 12 anak tersebut, terdapat anak berusia 7 Tahun berjumlah 5 anak, anak berusia 9 tahun berjumlah 5 anak dan anak berusia 10 tahun berjumlah 2 anak, dengan jenjang kelas 1 SD sebanyak 5 anak, kelas 3 SD sebanyak 5 anak dan kelas 4 SD sebanyak 2 anak.
Gambar 4.1. Perilaku anak yang membuat masalah
Perspektif para responden dalam perilaku anak yang membuat masalah adalah karena ingin dimanja, bertengkar, kurangnya pengetahuan adab dan etika yang baik, mengganggu orang lain secara verbal dan fisik, tidak disiplin, suka memilih dalam berteman, jahil kepada temannya, serta berperilaku kasar dan tidak jujur.
Penyebab perilaku agresifitas pada
anak R.1
-
R.2 Merasa diganggu
R.3 kurang perhatian dari
orang tua
R.4 kurang dapat input perilaku
baik dan konsekuensi
atas perilakunya R.5
merasa dominan R.6
bersaing dalam segala
hal R.7
Belum terpenuhi kebutuhan dalam diri nya
(perhatian, kasih sayang)
R.8 Faktor lingkungan
R.9 Tidak Pernah
Gambar 4.2. Penyebab perilaku agresifitas pada anak
Perspektif para responden dalam penyebab perilaku agresifitas pada anak yang adalah karena merasa diganggu oleh temannya, kurangnya perhatian dari orangtuanya, kurang mendapatkan contoh yang baik terkait perilaku, merasa menjadi dominan, dan juga dapat dikarenakan karena factor dari lingkungan.
Menurut Sari, Suparahayuningsih, dan Suprapti (2019) bahwa pola asuh orang tua turut menentukan perilaku agresif pada anak. Secara
Apa yang bisa dilakukan orang tua
untuk mencegah perilaku agresif
anak?
R.1 Dibiarkan
R.2 Bersikap Adil
R.3 memberi
waktu berkualitas
R.4 komunikasi,
buat kesepakatan
untuk pembiasaan
R.5 memberi
nasehat R.6
mencegah perilaku tersebut R.7
diajak berbicara, komunikasi R.8
mendekatkan diri dan sharing
R.9 memberi
contoh perilaku nyata
23
bergantian pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, dan pola asuh permisif turut serta membuat anak menampilkan perilaku agresif. Hal ini tentu saja sudah tidak asing lagi bahwa pola asuh orangtua dengan tipe otoriter turut membentuk perilaku agresif pada anak. Hal ini dapat dijelaskan juga dengan teori belajar sosial dari Bandura, yaitu perilaku dapat dipelajari dengan cara mengamati tanpa harus melakukan secara langsung (Feist & Feist, 2008).
Anak akan melihat, belajar dan menirukan apa yang mereka lihat dari lingkungan dia dibesarkan. Dalam kasus ini ialah perilaku dari orangtua yang keras diterapkan dalam lingkungan keluarga, akan ditiru bahkan dimodifikasi oleh anak dan diterapkan dalam lingkungan bermainnya.
Apa alasan orang tua bersikap keras kepada
anak?
R.1, R3, R5, dan R7
Menjadi disiplin
R.2
Tidak ada alasan orang tua bersikap keras
R.4 Kurang doa, kurang tawakkal,
kurang ilmu agama,kurang ilmu parenting
R.6
memperbaiki adab R.8
agar anak tahu apa yang tidak boleh dan boleh
dilakukan R.9 karakter dan
pengalaman masa kecil orang
tua
Gambar 4.3. Apa yang bisa dilakukan orang tua untuk mencegah perilaku agresifitas pada anak
Perspektif para responden dalam apa yang bisa dilakukan orang tua untuk mencegah perilaku agresifitas pada anak adalah dengan membiarkannya, bersikap adil, memberi waktu berkualitas, berkomunikasi, sharing, membuat kesepakatan dengan anak, memberikan nasehat, mencegah perilaku agresif dan memberikan contoh perilaku nyata pada anak.
Self-regulation juga bisa diterapkan kepada anak, hal ini senada dengan yang dijelaskan oleh Rouse (2023), bahwa kunci untuk mempelajari kemampuan self-regulation bukan untuk menghindari situasi yang sulit, tetapi kita dapat mengajari anak-anak bagaimana cara melewati situasi sulit tersebut. Situasi sulit yang dimaksud disini ialah yang berkaitan dengan emosi negatif, agar nantinya anak tidak akan mengarahkan kepada perilaku agresif.
Dodge (dalam Abrams, 2023) juga menjelaskan bahwa marah dan bentuk agresi itu normal pada anak-anak tetapi orangtua harus cepat dalam menanganinya. Oleh karena itu peran orangtua disini sangatlah penting dalam membantu anak melewati masa-masa sulitnya saat mengalami emosi negatif.
Apa alasan orang tua bersikap keras kepada
anak?
R.1, R3, R5, dan R7
Menjadi disiplin
R.2
Tidak ada alasan orang tua bersikap keras
R.4 Kurang doa, kurang tawakkal,
kurang ilmu agama,kurang ilmu parenting
R.6
memperbaiki adab R.8
agar anak tahu apa yang tidak boleh dan boleh
dilakukan R.9 karakter dan
pengalaman masa kecil orang
tua
25
Gambar 4.4. Apa alasan orang tua bersikap keras pada anak
Perspektif para responden dalam alasan orang tua bersikap keras pada anak adalah agar anak menjadi disiplin, kurangnya ilmu parenting, agar memperbaiki adab anak, agar anak tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta juga dikarenakan karakter dan pengalaman orangtua semasa kecil.
Hal yang paling sering menyebabkan orang tua melakukan kekerasan terutama kekerasan verbal adalah kenakalan anak. Terutama ketika anak memasuki usia 3 tahun, usia ini merupakan masa-masa pembentukan otak dan perilaku anak (Richard, 1999). Pada masa ini anak dianggap sangat kritis untuk perkembangan emosi dan psikologis.
Perkembangan superego terjadi selama periode ini dan kesadaran mulai muncul. Kenakalan anak pada usia 3 sampai 6 tahun merupakan hal yang wajar, dengan cara seperti itu anak mempelajari lingkungan secara kreatif, tetapi kadang orang tua melihat hal itu sebagai suatu hal yang mengganggu, dan orang tua tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan verbal seperti membentak dan mengabaikan anak (Wong, 2008).
Perkembangan anak yang optimal membutuhkan keterlibatan orang dewasa secara aktif, yang mana orang dewasa dimaksud ialah yang terdekat pada lingkungan anak, yaitu orangtuanya. Dalam membentuk perilaku
Apa penyebab orang tua bersikap keras
kepada anak?
R.1, R3, dan R7 Menerapkan
disiplin
R.2 anak diluar
kendali
R.4 Kurang doa,
kurang tawakkal, kurang ilmu agama,kurang ilmu parenting
R.5 melihat anak
mengulur waktu R.6
sudah diperingatkan
tetap melanggar
batas R.8
Sikap anak yang makin dewasa dan sudah bisa tau
yg baik dan tidak baik
R.9 stres
terkadang orangtua bertindak keras terhadap anak, cara ini diterapkan agar anak dapat menjadi disiplin. Sege dan Segel (2018) menjelaskan bahwa pemberian tindakan disiplin yang berkaitan dengan pemberian hukuman fisik atau keterlibatan penggunaan fisik (seperti memukul) akan mengarahkan pada perilaku anak yang agresif dikemudian hari. Hal ini yang disebut dengan cara pendisiplinan yang tidak efektif. Cara pemberian disiplin yang efektif salah satunya ialah dapat dengan memberikan penguatan positif pada perilaku yang diharapkan oleh orangtua (Sege &
Segel, 2018).
Gambar 4.5. Apa penyebab orang tua bersikap keras pada anak
Perspektif para responden dalam penyebab orang tua bersikap keras pada anak adalah agar anak bisa menerapkan disiplin, anak berada diluar kendali orang tua, kurangnya ilmu parenting, agar memperbaiki adab anak.
27
Kemudian orangtua melihat anak mengulur waktu, melanggar batas-batas yang sudah disepakati, dan orang tua sedang stres.
Banyak sekali penyebab orang tua bersikap keras terhadap anak, bisa jadi dikarenakan depresi atau trauma pengasuhan dimasa lalunya (Sege &
Segel, 2018). Dengan adanya simptomp depresif yang dialami oleh orangtua (ayah ataupun ibu) akan mempengaruhi gaya pengasuhan orangtua. Mereka akan cenderung memiliki pandangan negatif pada perilaku anak mereka dan juga cara pengasuhan yang keras yang dialami orangtua dimasa kecilnya turut memberikan penguatan orangtua untuk bersikap keras kepada anak.
Bahkan yang lebih parahnya jika cara pandang orang tua yang negatif pada anak tidak dapat ditangani dengan baik, maka orangtua memiliki kecenderungan untuk melakukan tindak kekerasan (abuse) pada anak (Miragoli, et.al. 2018), bukan untuk menerapkan pendisiplinan lagi pada anak.
Bentuk sikap keras yang pernah dilakukan orang tua
kepada anak
membentak (memberikan
suara agak keras)
R.3 tidak membiasakan
memberikan sesuatu barang
yang diminta dengan instant
R.4 intimidasi /kekerasan priskis berupa
verbal dan nonverbal/fisik R.6
memberi hukuman berdiri selama
waktu tertentu, menstop uang
jajan R.7
Memberi hukuman R.8
tidur terpisah dengan orang
tua
kata-kata dan tindakan
Gambar 4.6. Bentuk sikap keras yang pernah dilakukan orang tua kepada anak
Perspektif para responden dalam bentuk sikap keras yang pernah dilakukan orang tua kepada anak adalah berkata tegas, memarahi dan membentak, tidak memberikan barang yang diinginkan anak, memberikan kekerasan verbal dan psikis, memberi hukuman pada anak seperti berdiri dan tidak memberikan uang jajan, serta menjaga jarak dengan anak.
29
Gambar 4.7. melampiaskan amarah kepada anak
Dari ke 9 orang tua yang menjadi responden pada wawancara ini, Ketika ditanyakan terkait dengan melampiaskan amarah kepada anak mendapatkan hasil sebagai berikut. Hampir seluruh responden pernah melampiaskan amarahnya kepada anak seperti mencubit, memarahi, berbicara dengan nada tinggi, membanting barang, silent treatment dan bicara tegas. Sedangkan dua responden mengatakan tidak pernah melampiaskan amarah pada anaknya.
Melampiaskan amarah pada
anak mencubit
memarahi
berbicara dengan nada tinggi
membanting barang
tidak pernah
silent treatment dan bicara
tegas
Gambar 4.8. Hukuman yang diberikan kepada anak jika bersalah
Dari ke 9 orang tua yang menjadi responden pada wawancara ini, Ketika ditanyakan terkait dengan pemberian hukuman kepada anak ketika bersalah mendapatkan hasil sebagai berikut. Hampir seluruh responden pernah memberikan hukuman kepada anak ketika bersalah seperti menghentikan memberi fasilitas anak (smartphone, mainan), memberi hukuman tertentu, membersihkan rumah, dan memarahi anak. Sedangkan terdapat satu responden yang mengatakan tidak menghukum anaknya jika bersalah.
Pada dasarnya orangtua perlu mengaplikasikan tindakan disiplin yang tepat (Fatmawati, N. I., & Sholikin, A, 2019). Pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan penjelasan kepada anak mengapa tindakannya dianggap salah. Anak dapat bertindak yang tidak diinginkan oleh orang tua agar diberikan perhatian dan orang tua memberikan penjelasan yang detail tentang kesalahan yang dilakukan oleh anak. Orang tua seringkali mengkombinasikan kedisiplinan dengan sikap marah sehingga anak merasa malu atau dikritik (Retnowati, Y, 202). Orang tua yang
Hukuman yang diberikan pada anak jika
bersalah
belum menghukum
menghentikan fasilitas pada
anak
memberikan hukuman
membersihkan rumah
tidak boleh main hp
memarahi
31
mengatakan anaknya nakal, maka anak akan mengartikan kalimat tersebut secara serius dan mempercayai bahwa dirinya adalah anak yang nakal (Wong et al., 2009).
Gambar 4.9. Pernah memukul anak ketika tidak patuh
Dari ke 9 orang tua yang menjadi responden pada wawancara ini, Ketika ditanyakan terkait dengan pernah memukul anak ketika tidak patuh mendapatkan hasil sebagai berikut. Dua responden pernah memberikan hukuman fisik/memukul anak ketika tidak patuh. Dua responden lainnya tidak pernah memukul tetapi hanya mencubit anaknya. Sedangkan sisanya, 5 responden mengatakan tidak pernah memukul anaknya Ketika tidak patuh, diantaranya mengkahawatirkan akan menjadi trauma pada anak.
Kemudian peneliti juga menanyakan pengamatan responden terhadap perilaku agresif yang tampak pada anak mereka, baik dirumah
Pernah memukul anak ketika tidak patuh
Tidak Pernah,
hanya mencubit
Tidak
Pernah
Pernah
ataupun disekolah. Berdasarkan hasil wawancara didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
Tabel 4.2 Bentuk Perilaku Agresi dilingkungan rumah Bentuk Perilaku
Agresif yang tampak
Jumlah
Ketika berada di lingkungan Rumah, saya pernah
melihat Anak saya melakukan hal berikut kepada saudara atau temannya
Memukul/menonjok 2
Menendang 1
Mencubit 1
Menampar 1
Mendorong 2
Mengejar dengan mengintimidasi
3 Tidak pernah sama
sekali 4
Dari 9 responden yang diwawancarai, 5 orang tua mengatakan bahwa pernah melihat anak mereka melakukan perilaku agresif dilingkungan rumah yang dilakukan kepada saudara atau teman mereka seperti memukul/menonjok, menendang, mencubit, menampar, mendorong, dan mengejar dengan mengintimidasi. Kemudian sebanyak 4 orang tua mengatakan bahwa tidak melihat perilaku agresif yang tampak pada anak.
Tabel 4.3. Bentuk Perilaku Agresi dilingkungan sekolah Bentuk Perilaku
Agresif yang tampak
Jumlah Ketika berada di
lingkungan
Sekolah, saya pernah melihat
Anak saya
melakukan hal berikut kepada temannya
Mendorong 2
Mengejar dengan
mengintimidasi 1
Tidak pernah sama
sekali 7
33
Dari 9 responden yang diwawancarai, hanya 3 orang tua saja yang mengatakan bahwa pernah melihat anak mereka melakukan perilaku agresif dilingkungan sekolah yang dilakukan kepada teman mereka seperti mendorong dan mengejar dengan mengintimidasi. Kemudian sebanyak 7 orang tua lainnya menyatakan bahwa tidak pernah sama sekali melihat perilaku agresif yang tampak pada anak mereka disekolah.
Berdasarkan hasil analisis data kualitatif diatas dapat dipahami bahwa pengalaman anak melalui pola asuh orang tua dapat mempengaruhi hubungan petemanan menjadi positif atau negatif pada diri anak (Latifah, A, 2020). Pola asuh orangtua yang negatif dapat menyebabkan perilaku anak menjadi bermasalah (Sangawi, Adams, & Reissland, 2015). Perilaku anak yang bermasalah, ketika mendapatkan tekanan dari teman dapat menyebabkan anak semakin rentan terlibat dalam perilaku negatif seperti bullying (Puspitasari, Hastuti, & Herawati, 2013).
Pengasuhan yang salah atau penerapan pola asuh yang tidak tepat akan berdampak pada munculnya perilaku agresif pada anak (Madyawati, 2016).
Perilaku agrsesif adalah perilaku yang menyakiti orang lain, misalnya memaki, mengancam, melukai orang lain, memukul, mencuri dan sebagainya.
Perilaku agresif tidak muncul dengan sendirinya, pasti ada sesuatu hal yang melatarbelakanginya. Banyak faktor yang dapat memicu munculnya perilaku agresif pada anak, misalnya adanya contoh atau figur yang tidak baik di dalam rumah, ayah dan ibu tidak mencontohkan perilaku yang baik kepada anak seperti suka berkata-kata kasar kepada anak, merendahkan anak, pergaulan atau lingkungan rumah yang kurang baik, dan penerapan pola asuh yang kurang tepat.
(Haditono, 2002).
Pola asuh sangat erat kaitannya dengan perilaku yang ditampilkan anak.
Anak pada dasarnya meniru pola perilaku yang ditampilkan oleh lingkungan sekitarnya, yang dalam hal ini adalah keluarga (Hidayah, 2009; Rizqita, F. B, 2022). Keluarga adalah guru pertama bagi anak untuk dapat bertingkah laku (Lubis, Z., Ariani, E., Segala, S. M., & Wulan, W, 2021). Jadi jika orangtua
mendidik anak dengan tidak baik maka kecenderungan perilaku yang ditampilkan anak juga tidak baik. Kesemua faktor tersebut dapat memicu menculnya perilaku agresif pada anak. Untuk dapat menghindarkan anak agar tidak menampilkan perilaku agresif dibutuhkan kerja sama antara orangtua dan anak. Mendidik anak tidak semudah yang dibayangkan tentunya, dibutuhkan usaha, kerja keras dan konsitensi dalam menajalankannya.
Untuk menerapkan pola asuh yang tepat dibutuhkan pengetahuan, dan pengetahuan salah satunya dapat diperoleh dari pendidikan yang di dapat baik di dalam lingkungan, sekolah maupun bangku perkuliahan. Pendidikan pada umumnya, memiliki peranan yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian dan perkembangan seseorang. Jika orangtua pernah mempelajari bagaimana cara menerapkan pola asuh yang tepat kepada anak, mengetahui komunikasi yang efektif pada anak, otomatis orangtua dengan mudah dapat mengenal karakteristik dari masing-masing anaknya (Nasution, M., & Sitepu, J.
M, 2018).
Pengasuhan atau pola asuh yang tepat terhadap anak dapat mengoptimalkan tumbuh kembang anak agar anak menjadi pribadi yang kuat dan mandiri yang tidak bergantung pada orang lain (Musslifah, A. R., Cahyani, R. R., Rifayani, H., & Hastuti, I. B, 2021). Penerapan pola asuh yang tepat tentu tidak terlepas dari peran orangtua yang mampu menciptakan kondisi maupun lingkungan yang nyaman dan harmonis karena tingkah laku anak adalah cerminan dari pengasuhan orangtua, semua perilaku tidak terkecuali perilaku agresif yang merupakan hasil dari proses belajar dari lingkungan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Pola asuh orang tua adalah suatu rangkaian mendidik anak dengan gaya tertentu untuk menjadikan anak sesuai dengan keinginan orang tua. Pola asuh orang tua bisa jadi menyebabkan perilaku yang di contohkan orangtuanya,oleh sebab itu sebaiknya orang tua memilih pola asuh yang sesuai. Perilaku agresif menurut A. Stewart dalam Syamaun2 adalah tindakan atau perilaku yang memiliki sifat ke agresifan, yang tampak dalam bentuk perkelahian dengan teman sebaya, secara fisik menyerang orang dewasa atau orang lain, berlaku kasar terhadap orang tua, guru, dan orang lain, dan dengan daya yang ekstrem
Hasnida (2014:104-107) menyatakan bahwa orangtua otoriter adalah orangtua dengan pola asuh yang kaku, tanpa kehangatan, bimbingan, komunikasi, diktator dan memaksakan anak untuk selalu mengikuti perintah orangtua tanpa kompromi, selalu menuntut dan mengendalikan semata mata karena kekuasaan dan tak jarang disertai hukuman fisik bila anak melanggar/tidak patuh. Perilaku agresif ini merupakan gejala yang ada dalam masyarakat.
Keagresifan sebagai gejala sosial cenderung dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dalam masyarakat modern ada tiga sumber munculnya tingkah laku agresif. Pertama, pengaruh keluarga. Kedua, pengaruh subkultural. Dalam konteks pengaruh subkultural ini sumber agresi adalah komunikasi atau kontak langsung yang berulang kali terjadi antar sesama anggota masyarakat di lingkungan anak tinggal. Mengingat kondisi remaja, maka peer group berperan juga dalam mewarnai perilaku remaja yang bersangkutan. Ketiga, modelling (vicarious leaming), merupakan sumber tingkah laku agresif secara tidak langsung yang didapat melalui mass media,
34
misalnya tv, majalah, koran, video atau bioskop. Mengingat perilaku agresif merupakan hasil proses belajar dalam interaksi sosial maka tingkah laku agresif juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial.
B. SARAN UNTUK ORANG TUA DAN GURU
Pola asuh yang tepat untuk menghasilkan kualitas yang baik dan tangguh adalah Pola asuh demokratis atau otoritatif. Dalam cara pandang parenting seperti yang diungkapkan oleh Diane Baumrind (Damayanti, A. K.,
& Paulina, E, 2016)., pola asuh demokratis ini disebut juga gaya pengasuhan otoritatif. Menurut Diane Baumrind, pola asuh atau parenting style terbagi menjadi tiga jenis yakni: Gaya pola asuh permisif / laissez-faire atau serba boleh, apapun yang diinginkan anak akan dituruti. Gaya pola asuh otoriter/otokratis atau orang tua memiliki aturan yang ketat dan harus dituruti oleh anak.
Gaya pola asuh otoritatif/demokratis atau pola pengasuhan di antara permisif dan otoriter, yakni demokratis, yaitu kedua belah pihak saling menghargai. Cara menerapkan pola asuh demokratis Pola asuh demokratis diterapkan dengan memperlakukan anak secara setara. Mereka diberi pilihan dan boleh menentukan keputusan atas pilihannya. Namun mereka juga harus bertanggung jawab dengan keputusan tersebut. Batasan yang diberikan dalam pola asuh demokratis adalah, anak hanya diberi kebebasan menentukan pilihan sesuai dengan usia mereka. Tidak bebas melakukan semua hal yang bisa dilakukan orang dewasa.
Karakteristik pola asuh demokratis Ada beberapa aspek penting atau karakteristik yang biasanya menyertai pola asuh demokratis. Hal ini tak bisa diabaikan ketika orang tua hendak menerapkan pola asuh demokratis dalam keluarga. Bahkan, karakteristik ini menjadi kunci dalam menerapkan parenting democratic.
Berikut ini penjelasan mengenai karakteristik pola asuh demokratis seperti dilansir laman Mom Junction: 1. Fokus pada peraturan Orang tua
33
demokratis akan mendiskusikan mengenai aturan yang akan mereka terapkan kepada anak-anaknya. Dengan begitu anak memahami peraturan, termasuk pada konsekuensi yang akan diterima jika melanggar aturan. 2. Memberikan pilihan Orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis, akan memberikan pilihan untuk berbagai hal di kehidupan sehari-hari. Apapun pilihan tersebut, anak harus mau menerima konsekuensinya. 3. Penguatan positif Perilaku positif yang diperbuat oleh anak harus dihargai sehingga mereka tetap mengikuti aturan yang telah disepakati sebelumnya. Itu tanda bahwa pilihan yang mereka ambil, baik dan dipatuhi. Sebaliknya, ada hukuman jika terjadi perilaku negatif dan pelanggaran. 4. Memberi motivasi Anak-anak sangat membutuhkan motivasi dalam mencapai tujuan mereka. Ini harus diberikan oleh orang tua secara seimbang dan tidak berlebihan. 5. Pengertian dan kasih sayang Walau pola asuh demokratis dilakukan dengan kesetaraan kepada semua anggota keluarga, namun pengertian dan kasih sayang tidak boleh lepas dari pengasuhan.
aggression
Aldora, M. R., Noviekayati, I. G. A. A., & Rina, A. P. (2022). Pola asuh otoriter dan kecenderungan agresivitas pada remaja sekolah. Jurnal Penelitian Psikologi, 3(01), 110-121.
Allen, J. (2012). Practical Assessment, Research & Evaluation.University of Kansas
Badriyah, L. (2013). Pengaruh empati dan “self control” terhadap agresivitas remaja SMAN 3 kota Tanggerang Selatan. Skripsi (tidak diterbitkan).
Fakultas Psikologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Behrman, E Richard. (1999). Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC.
Buss, A.H. & Perry, M. (1992). Personality process and individual differences (the aggression questionnaire. Journal of personality and social psychology. 63(3). 452- 459.
Chaplin, J. P. (2006). Kamus Lengkap Psikologi. Alih bahasa: Kartini Kartono.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Damayanti, A. K., & Paulina, E. (2016). Kesiapan anak masuk sekolah dasar ditinjau dari pola asuh orang tua. Psikovidya, 20(2), 40-52.
Desmita, (2005). Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Elminah, E., Hesrawati, E. D., & Syafwandi, S. (2022). Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku Sosial Pada Anak Usia Dini. Jurnal Sosial dan Teknologi, 2(7), 574-580.
Elida Prayitno. (2006). Psikologi Perkembangan Remaja. Padang: FIP UNP Erikson Erik H. (1963). Childhood and Society. New York : Norton
Einstein, Gustav dan Endang Sri Indrawati. (2016). Hubungan Antara Pola Asuh Otoriter
34
35
Fatmawati, N. I., & Sholikin, A. (2019). Literasi Digital, mendidik anak di era digital bagi orang tua milenial. Madani Jurnal Politik Dan Sosial Kemasyarakatan, 11(2), 119-138
Feist, J., & Feist, G. J. (2018). Theories of personality 7th edition. Boston : McGraw-Hill.
Ghozali, Imam. (2016). Aplikasi Analisis Multivariete Dengan Program IBM SPSS 23 (Edisi 8). Cetakan ke VIII. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Gunarsa, S. D, & Gunarsa, Y. S. D. (2001). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Gordo, L., Oliver-Roig, A., Martínez-Pampliega, A., Iriarte Elejalde, L., Fernández-Alcantara, M., & Richart-Martínez, M. (2018). Parental perception of child vulnerability and parental competence: The role of postnatal depression and parental stress in fathers and mothers. PloS one, 13(8), e0202894. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0202894 Hurlock, EB. 1999. “Perkembangan Anak”, .Jilid 1, Edisi Keenam. Alih bahasa:
dr. Med. Meitasari Tjandrasa. Jakarta : Erlangga
Hasballah, M. Saad. (2003). Perkelahian antar Pelajar: Potret Siswa SMU di DKI Jakarta. Yogyakarta: Galang Press.
Haryati, N. (2012). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Bumi Aksara
Haditono, Rahayu Siti. 2002. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hidayah, R., Yunita, E., & Utami, Y. W. (2013). Hubungan pola asuh orangtua dengan kecerdasan emosional anak usia prasekolah (4-6 tahun) di tk senaputra kota malang. Jurnal keperawatan, 4(2).
Jhon, W. Santrock. (2007). Psikologi Perkembangan. Edisi 11 Jilid 1. Jakarta:
Erlangga.
KPAI. Jumlah Kasusu Kekerasan pada Anak. (2018) [Online]. www.kpai.go.id Latifah, A. (2020). Peran lingkungan dan pola asuh orang tua terhadap
pembentukan karakter anak usia dini. JAPRA) Jurnal Pendidikan Raudhatul Athfal (JAPRA), 3(2), 101-112.
Lubis, Z., Ariani, E., Segala, S. M., & Wulan, W. (2021). Pendidikan keluarga sebagai basis pendidikan anak. Pema (Jurnal Pendidikan Dan Pengabdian Kepada Masyarakat), 1(2), 92-106.
Madyawati, Lilis, Dra, M.Si, 2016. Strategi Pengembangan Bahasa Pada Anak.
Jakarta: Prenadamedia Group.
Miragoli, S., Balzarotti, S., Camisasca, E., & Blasio, P.D. (2018). Parents’
perception of child behavior, parenting stress, and child abuse potential:
Individual and partner influences. Child Abuse & Neglect, 84, 146-156.
Musslifah, A. R., Cahyani, R. R., Rifayani, H., & Hastuti, I. B. (2021). Peran pola asuh orang tua terhadap perilaku agresif pada anak. Jurnal Talenta, 10(2).
Naufal. (2022). Telah marak terjadinya tawuran di kalangan remaja”
Https://Megapolitan.Kompas.com/ /read/2022/02/25/14200621.
Nasution, M., & Sitepu, J. M. (2018). Penerapan Pola Asuh Yang Tepat Di Lingkungan X Kelurahan Suka Maju Kecamatan Medan Johor. JURNAL PRODIKMAS Hasil Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(2).
Nawawi, H. Hadari. (1983). Metode Penelitian Deskriptif. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Orangtua dengan Perilaku Agresif Siswa/Siswi SMK Yudyakarya Magelang.
Jurnal Empati. Volume 5, Nomor 3, Hal 491-502 Undang-undang No.
4179 Tentang Kesehahteraan Anak
Puspitasari, R., Hastuti, D., & Herawati, T. (2013). Pengaruh Pola Asuh Disiplin dan Pola Asuh Spiritual Ibu Terhadap Karakter Anak Usia Sekolah Dasar.
Jurnal Pendidikan Karakter, 208–218.
Pola asuh otoriter dan kecenderungan agresivitas pada remaja sekolah 121
Retnowati, Y. (2021). Pola Komunikasi Dan Kemandirian Anak: Panduan Komunikasi Bagi Orang Tua Tunggal. Mevlana Publishing.
Rizqita, F. B. (2022). Analisis Perilaku Prososial melalui Teori Kognitif Sosial pada Anak-Anak Yatim Piatu di LKSA Mambaul Ulum Jember. Psychospiritual: Journal of Trends in Islamic Psychological Research, 1(1), 1-9.
37
Rina. (2011). Faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku agresif pada remaja kelas II,III di SMP Pahlawan Toha Bandung. Jurnal Kesehatan Prima, 2(3). 14.
Rouse, M. H. (2023, November 6). How can we help kids with self-regulation?.
https://.childmind.org
Sarwono, S. W. (2006). Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Siregar, Syofian. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri.
Suryabrata sumandi. (2008). Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sari, D. K., Saparahayuningsih, S., & Suprapti, A. (2019). Pola Asuh Orang Tua Pada Anak Yang Berperilaku Agresif. Jurnal Ilmiah Potensia, 3(1), 1–6.
https://doi.org/10.33369/jip.3.1.1-6
Sangawi, H. S., Adams, J., & Reissland, N. (2015). The Effects of Parenting Styles on Behavioral Problems in Primary. Asian Social Science.
https://doi.org/10.5539/ass.v11n22p 171
Sege, R. D., & Siegel, B. S. (2018). Effective Discipline to Raise Healthy Children. Pediatrics, 142(6):e20183112.
Taylor, S.E., Peplau, L.A., & Sears, D.O. (2009). Social Psychology (terjemahan:
Tri Wibowo). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Wong, Donna L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC.
Wong, D. L., Hockenberry-Eaton, M., Wilson, D., Winkelstein, M. L., &
Schwartz, P. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong. In volume 1. https://doi.org/10.1167/iovs.13- 13688