Misalnya saja potensi stok ikan yang terancam akibat penangkapan ikan yang berlebihan akibat perilaku manusia, baik akibat penangkapan ikan secara ilegal maupun penggunaan alat penangkapan ikan yang merusak. Oleh karena itu, segala sumber daya alam, selain digunakan untuk kepentingan masyarakat, juga harus dilestarikan. Demikian pula, penekanan pada aspek konservasi dapat mengorbankan kepentingan masyarakat yang hidupnya bergantung pada sumber daya alam.
Faktanya, etika lingkungan inklusif digunakan dalam pengelolaan sumber daya di banyak belahan dunia. Pendekatan ekosistem tidak hanya digunakan untuk pengelolaan sumber daya perikanan tetapi juga dapat digunakan untuk pengelolaan sumber daya hutan. Buku ini tidak hanya memperkaya pengetahuan di Indonesia, namun para pengambil kebijakan juga dapat menjadikannya sebagai sumber inspirasi dalam mengambil keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam.
MENUJU PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS EKOSISTEM DI INDONESIA
TANTANGAN DAN PELUANG
Pengantar
Salah satu tantangan yang dibahas secara khusus adalah tantangan harmonisasi peraturan perundang-undangan dengan EAFM/EBFM sebagai landasannya. Di sini kita melihat bagaimana EAFM dapat membantu dalam upaya menetapkan sebelas wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia (RI) sebagai kesatuan pengelolaan perikanan Indonesia yang sesungguhnya, dan EBFM dapat membantu pengelolaan perikanan pesisir atau skala kecil.
Sketsa Realitas Perikanan Indonesia
Luas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 2,55 juta km2 Potensi lestari sumber daya ikan laut 7,3 juta ton per tahun Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB atau MSY/Hasil Maksimum Lestari). Peta pada Gambar 2.1 menunjukkan bahwa banyak sumber daya ikan Indonesia yang tidak mendukung peningkatan produksi perikanan. Status kuning (dieksploitasi penuh) berarti eksploitasi yang meningkat akan membahayakan sumber daya tersebut karena dapat mengakibatkan eksploitasi berlebihan.
Hanya sumber daya yang berstatus hijau (kurang dimanfaatkan) yang ditetapkan pada beberapa sumber daya ikan – terutama sumber daya peloncat (springer) di hampir semua sumber daya tersebut. Hutan bakau berperan sebagai tempat pemijahan dan perkembangbiakan ikan dan sumber daya laut lainnya, sumber makanan, tempat berteduh dan perlindungan dari predator (lihat UNEP, 2014). Secara keseluruhan, Indonesia masih memiliki sumber daya ikan yang cukup besar, namun jika dilihat lebih dekat, hal sebaliknya akan terlihat.
EAFM dan EBFM sebagai Alternatif Pengelolaan ke Depan Realitas perikanan seperti di atas, utamanya gejala lebih
Perspektif ini memungkinkan kita berpikir secara terpadu antara eksploitasi, pemeliharaan, konservasi dan rehabilitasi secara seimbang dan kolaboratif untuk mencapai tujuan kesejahteraan sosial ekonomi dan keberlanjutan sumber daya alam (SDA). Pengelolaan perikanan konvensional yang diterapkan di banyak negara didasarkan pada penilaian sumber daya spesies tunggal yang dilakukan untuk jenis ikan yang menjadi target perikanan. Dengan kata lain, jika tingkat eksploitasi dipertahankan di bawah MSY, setiap sumber daya akan berkelanjutan.
Dengan keterbatasan sumber daya dan pengetahuan, tingkat efektivitas pemerintah sebagai pengelola menjadi rendah bahkan menimbulkan konflik antar pelaku perikanan. Mengingat ekosistem laut juga menyediakan barang dan jasa selain ikan yang ditangkapnya; beberapa sektor lain juga telah mengembangkan kegiatan eksploitasi atau pemanfaatan sumber daya yang ditawarkan ekosistem laut; Lejano dan Ingram (2009) serta Berkes (2011), menjelaskan konsekuensi dari pendekatan yang lebih holistik dan terintegrasi, yaitu pendekatan transdisipliner terhadap pengetahuan.
Produksi pengetahuan interdisipliner ini tidak hanya memerlukan kolaborasi antar para ahli, namun juga integrasi pengetahuan, keahlian, dan sumber daya dari berbagai pemangku kepentingan dalam ekosistem yang bersangkutan; Wacana ini kemudian melahirkan konsep pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem (EBF) atau Ecosystem Approach to Fisheries (EAF).2 EBF mengacu pada pendekatan dan praktik pengelolaan ekosistem pesisir dan laut dengan perikanan sebagai elemen utama, sedangkan EAF mengacu pada pengelolaan perikanan yang memperhatikan interkoneksi sumber daya, khusus untuk keseluruhan sistem ekologi dan sosial. Namun pengelolaan perikanan tradisional yang menunjukkan beberapa ciri EBF sebenarnya ada di beberapa tempat di nusantara.
EAF bertujuan untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan [sehingga] mencakup manfaat sumber daya ikan dan ekosistem yang lebih luas, termasuk manfaat ekonomi, sosial dan budaya. EAF memerlukan basis pemangku kepentingan yang luas dan hubungan antarsektor yang kuat, sehingga memerlukan struktur dan interaksi antarlembaga yang lebih kompleks, baik dalam bentuk struktur baru maupun dalam bentuk kerja sama yang lebih erat antarlembaga yang sudah ada. Jika digabungkan dengan pengelolaan beragam manfaat ekonomi, sosial dan budaya, koordinasi dengan model multiskala lebih unggul dibandingkan model pengelolaan berorientasi sumber daya (TROM) dalam mengatasi praktik penangkapan ikan yang merusak, degradasi dan polusi habitat, serta penggunaan pengetahuan yang lebih baik.
Panduan FAO menggarisbawahi pentingnya konsultasi yang lebih intensif dan menyeluruh dengan para pemangku kepentingan dalam hal menentukan tujuan, aturan dan mengevaluasi kinerja pengelolaan.
Gerakan EAFM di Indonesia: Sebuah Tinjauan
Standar kompetensi kerja ini menunjukkan bahwa EAFM Indonesia menggunakan standar pengelolaan berbasis ekosistem FAO dan menyesuaikannya dengan kondisi Indonesia. Naskah Akademik EAFM Indonesia menunjukkan bahwa tujuan pembangunan EAFM Indonesia adalah menyempurnakan sistem tata kelola teknokratis-administratif WPPNRI yang antara lain ditandai dengan penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan yang bersifat spasial, temporal, dan berbasis sumber daya, dan " menyoroti fungsi pengelolaan. Pemeringkatan sederhana - baik-rata-rata-miskin yang ditandai dengan warna hijau-kuning-merah - memudahkan pemangku kepentingan mendapatkan gambaran tentang keadaan suatu wilayah pengelolaan perikanan.
Oleh karena itu, penetapan Standar Kompetensi Kerja Khusus Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem pada tahun 2015 dapat dipandang sebagai langkah maju yang penting dalam pengembangan EAFM Indonesia. Langkah penting lainnya sesuai tujuan pembuatan Naskah Akademik EAFM Indonesia adalah penetapan Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) WPPNRI yang sesuai dengan EAFM Indonesia. Dalam peta perkembangan EAFM Indonesia, tujuan dibuatnya Makalah Akademik EAFM Indonesia yang merupakan lanjutan dari Naskah Akademik adalah diterimanya EAFM di Indonesia yang berarti EAFM telah menjadi paradigma pengelolaan perikanan Indonesia.
Apabila kesebelas RPP WPPNRI yang selaras dengan EAFM Indonesia ini ditetapkan, maka EAFM dapat dikatakan telah menjadi paradigma pengelolaan perikanan Indonesia dan dapat dipandang sebagai puncak keberhasilan gerakan EAFM di Indonesia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa konflik memiliki fungsi yang berbeda-beda dalam masyarakat pesisir, sehingga tidak dapat dikatakan kontraproduktif bagi pengelolaan perikanan. Konflik merupakan bagian dari dinamika pengelolaan perikanan dalam jangka panjang bahkan bermanfaat dalam proses adaptasi terhadap perubahan lingkungan.
Dalam dokumen akademik EAFM Indonesia, perencanaan lebih bersifat umum dengan ruang lingkup perubahan rezim pengelolaan perikanan dari pengelolaan konvensional menjadi EAFM. Dalam RPP WPPNRI 718 digunakan enam domain yang dirancang oleh NWG EAFM Indonesia, namun indikatornya tidak. Perbedaan ini tentu menimbulkan pertanyaan seberapa kuat landasan EAFM Indonesia pada saat disusun.
Faktanya, NOAA sendiri menggunakan model hierarki yang mencerminkan praktik pengelolaan perikanan berbasis ekosistem pada berbagai skala, sesuai dengan pedoman FAO.
Tantangan dan Dukungan Legal Implementasi EAFM dan EBFM
30/2012 tentang Usaha Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia juga dapat menghambat pengelolaan berbasis WPP. Dengan penataan yang demikian, mustahil tercapai pengelolaan yang baik, karena pengelolaan memerlukan pembatasan tingkat eksploitasi sesuai dengan daya dukung sumber daya dan ekosistemnya. Jika EBFM dianggap sebagai alternatif pengelolaan perikanan skala kecil atau pesisir dan dalam bentuk
4(c) Memperkuat partisipasi masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil guna mencapai keadilan, keseimbangan, dan keberlanjutan; Manajemen Berbasis Komunitas adalah manajemen yang menempatkan masyarakat sebagai pengelola sumber daya alam dan jasa lingkungan yang didukung oleh pemerintah dan dunia usaha; Praktik pengelolaan bersama berbasis masyarakat juga telah diakui di beberapa daerah melalui peraturan daerah (Tabel 2.4).
Berbagai praktik pengelolaan bersama berbasis masyarakat yang diakui di berbagai daerah tertuang dalam peraturan. Pengelolaan awig-awig adalah kesepakatan antara masyarakat dan/atau dengan pihak lain mengenai pengelolaan sumber daya perikanan yang dituangkan dalam dokumen kesepakatan bersama, ditandatangani oleh Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dan disahkan oleh Bupati; Menerapkan sanksi atas pelanggaran terhadap rencana pengelolaan yang ditetapkan sebagai kegiatan menarik pengelolaan sumber daya perikanan pesisir pada suatu wilayah pengelolaan.
11. Dalam pengelolaan sumber daya perikanan, Pemerintah Provinsi mengakui keberadaan lembaga Panglima Laot dan hukum adat Laos yang sudah ada dan eksis dalam kehidupan masyarakat nelayan di provinsi tersebut. Kedua, beberapa peraturan daerah, seperti Perda Ohoi di Maluki Tenggara, tidak diterbitkan khusus untuk kepentingan pengelolaan sumber daya laut, melainkan sebagai peraturan pemerintah desa, sehingga pelaksanaannya dalam pengelolaan sumber daya ikan (perikanan) masih perlu diawasi. Ketiga, beberapa praktik pengelolaan berdasarkan pengelolaan bersama masyarakat mulai menurun, seperti Seke-maneke di Sangihe Talaud.
Keempat, praktik pengelolaan masyarakat belum merupakan bentuk pengelolaan penuh; Pengamatan kami di berbagai tempat menunjukkan bahwa tinjauan sistematis terhadap keadaan sumber daya alam tidak dilakukan secara berkala dan hal ini perlu lebih ditingkatkan dengan dukungan berbagai pihak.
Kesimpulan
Selain itu, kajian terhadap gerakan EAFM di Indonesia, baik pada tingkat nasional maupun implementasi regional, masih menunjukkan beberapa kelemahan. Kendala tersebut antara lain belum adanya peraturan perundang-undangan yang secara tegas menyatakan bahwa EAFM dan EBFM digunakan sebagai perspektif pengelolaan perikanan. Selain itu, masih terdapat peraturan perundang-undangan yang tidak mendukung implementasi EAFM seperti yang direncanakan oleh kelompok kerja nasional EAFM.
Namun, untuk pengelolaan perikanan berbasis ko-manajemen berbasis masyarakat, khususnya pengelolaan perikanan skala kecil/pesisir, terdapat dukungan hukum yang cukup baik, mulai dari konstitusi hingga peraturan daerah, namun tidak terbatas pada praktik pengelolaan secara adat. Meskipun memiliki banyak keuntungan dan penerapannya secara hukum dimungkinkan, praktik pengelolaan berbasis masyarakat juga mengandung beberapa kelemahan, antara lain kecenderungan melemahnya dan terbatasnya ruang lingkup kerja dan sumber daya manusia. Artinya dalam implementasi pengelolaan EBFM hingga pengelolaan perikanan skala kecil masih diperlukan perbaikan baik kualitas maupun kuantitas.
Selling the Sea, Fishing for Power: A Study of Sea Tenure Conflict in the Kei Islands of Eastern Indonesia. Gathering of Awig-awigs on Coastal Fishery Resource Management (CFRM) in Lombok Timur District. Review of national laws and regulations in Indonesia in relation to an ecosystem approach to fisheries management”.
Efektivitas Penerapan Awig-awig dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kawasan Teluk Jukung, Kecamatan Keruak dan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur dan Nusa Tenggara Barat. Model alternatif pengelolaan perikanan berdasarkan hukum adat Laos di Kabupaten Aceh Jaya, menuju keberlanjutan ekologis, dengan fokus pada kesejahteraan masyarakat. Dimensi manusia dari pendekatan ekosistem terhadap perikanan: tinjauan konteks, konsep, alat dan metode.