• Tidak ada hasil yang ditemukan

Demitologi Tokoh Amba dan Bhisma pada Novel Amba Karya Lasmi Pamunya

N/A
N/A
Muhammad Syifaurrahman Shint

Academic year: 2023

Membagikan "Demitologi Tokoh Amba dan Bhisma pada Novel Amba Karya Lasmi Pamunya "

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Demitologi Tokoh Amba dan Bhisma pada Novel Amba Karya Lasmi Pamunya Abstrak

Tulisan ini mendiskusikan demotologi dalam novel Amba (2000) karya Laskmi Pamunjtak dengan berfokus pada konsep ecriture feminine n, yang mengacu kepada demitologi. Novel Ambap memperlihatkan demitlogi dalam tataran tokoh dari bentuk-bentuk tokoh penokohan konvensional. Dalam novel Amba, bentuk tulisan feminin dalam tataran demitologi ditunjukkan dengan menjadikan Amba sosok perempuan yang punya pilihan dan Bhisma sosok yang menikah dan memiliki anak, Laskmi Pamuntjak melakulan demitologi. Dengan demitologisasi, novel ini melawan gagasan dalam wacana falogosentris yang menganggap mitos sebagai sesuatu yang permanen. Dengan memadukan batas antara yang dianggap fakta dan fiksi, novel ini menawarkan pandangan bahwa keduanya bukanlah hal yang berbeda, melainkan sama-sama cerita yang dibuat-buat.

Pendahuluan

Mitos perempuan dalam sebuah karya sastra, khususnya epos, legenda maupun folklore, selalu diposisikan sebagai makhluk kelas Dua. Dalam meresistensinya perlu adanya demitologi terhadap mitos-mitos perempuan yang diceritakan pada masa lalu. Salah satu penulis perempuan yang memperlihatkan demitologi di dalam karya-karyanya adalah Laskmi Pamuntjak.

Tulisan ini membahas bagaimana Laskmi Pamuntjak yang berjudul Amba 2012 mengungkap demilogi yang melekat pada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat, yang memposisikan perempuan sebagai kelompok yang harus diatur sesuai kehendak partai.

Namun dalam karya Amba, penokohan yang sudah mapan dalam mitosnya diubah. Ini adalah konsep demitologis yang ditawarkan oleh Carter dan bagian dari konsep ecriture feminine adalah istilah yang ditawarkan oleh Helene Cixous yang merujuk pada bahasa dan teks tulisan perempuan sebagai bentuk penolakan terhadap wacana phallogocentric.

Novel Amba karya Laksmi Pamunjak merupakan novel Amba karya Laksmi Pamunjak terbitan tahun 2012 yang merupakan salah satu novel sejarah Indonesia karena novel ini mengambil latar belakang sejarah tragedi tahun 1965. Namun novel ini juga menggambarkan tokoh Mahabhrata, bahkan tokoh utamanya adalah salah satu nama tokoh Mahabharata: Dewi Amba. Dewi Amba adalah tokoh perempuan dalam Mahabharata yang hidup pada masa Bhisma masih muda. Artinya, novel tersebut berkaitan dengan cerita

(2)

wayang. Bukan hanya aspek politiknya saja yang menarik dan perlu diperhatikan.

Keterkaitan cerita novel y berkisah tentang seorang tokoh yang juga merujuk pada nama- nama tokoh Mahabharata lainnya: Bhisma dan Salwa, bahkan Ambika, Ambaika, Srikandi meski ketiganya bukan tokoh penting. Bahkan, hampir semuanya diberi nama tokoh Mahabharata. Selain itu, terdapat kutipan dari kitab klasik (parwa) yaitu Udayoga Parva, Aswa medha Parva, dan Bhisma Parva tentang cerita wayang yang telah diindonesiakan.

Intinya, aroma cerita Mahabharata terkesan cukup kental.

Dalam novel ini terjadi perubahan yang cukup besar khusunya dalam penokohan perempuan khususnya pada tokoh Amba pada Novel Amba. hal ini Carter (1998)

berpendapat, bahwa, “Mitos adalah produk dari pikiran manusia dan hanya mencerminkan aspek-aspek dari praktik material manusia” Lebih jauh lagi, Menurut dia “dongeng dan mitos hanya dibangun untuk mendefinisikan peran feminin dalam masyarakat sebelumnya”.

Demitologisasi dan intertekstualitas merevisi pemenjaraan perempuan dalam tradisi budaya gender feminitas.

Seperti halnya Irigaray membahas tulisan perempuan seperti penubuhan seksualitas perempuan menyebar dan betuk perlawan terhadap psikoanalisanya Freud, yang menyebut perempuan adalah Penis Envy, Irigaray (1985:25), karena itu, berbeda dari tulisan laki-laki dan seksualitasnya yang terpusat, seksualitas perempuan tidak terbatas pada satu area tubuhnya melainkan menyebar (Irigaray, 1985) sehingga tercermin pada bentuk tulisannya yang tidak linier seperti pada tulisan konvensional, melainkan terpecah-pecah atau

terfragmentasi.

Angela Carter Sebagai penulis wanita modernis menyebarkan isu peran gender, seksualitas, perkawinan, identitas, cinta, seks, dan kekerasan dengan referensi mitos. Ia menawarkan konsep 'demythologization' menantang definisi konvensional perempuan dan feminitas, penulis menerapkan teknik demitologisasi. Istilah 'demythologization' diciptakan oleh kritikus esensialis dan ahli teori Rudolf Bultmann. Carter medemitologisasi konsep tradisional peran perempuan, feminisme, dan gender yang memberikan peran gender maskulin dan radikal kepada karakter perempuannya untuk menulis ulang situasi cerita dan narasi kuno dalam masyarakat modern dan nilai-nilai sosial. (Bohara, 2018)

Karena itu dalam konsep demitogi teks-teks sebelummnya mengalami , Konvensi merupakan pemutarbalikan hipogram, itu artinya konvensi ini akan benar-benar merubah teks

(3)

180 derajat (Pradopo, 2017). Teks-teks yang menggunakan konvensi akan menjadi cerita yang berbedadengan teks yang sebelumnya sudah ada, jika dalam teks sebelumnya bercerita seorang perempuannya memiliki pengalaman yang luar biasa maka jika menggunakan konvensi, mungkin perempuannya itu menjadi tidak memiliki pengalaman apa pun.

Menurut Kristeva (via Pradopo, 2005: 132) kajian sastra intertekstual adalah kajian sastra yang lahir karena adanya teks sastra lain. mengungkapkan bahwa teks mencakup mozaik kutipan-kutipan sastra dan merupakan serapan dan transformasi dari teks-teks lain.

Metode intertekstual adalah metode yang membandingkan, menyelaraskan, dan

mengontraskan teks yang ditransformasikan dengan hipogramnya. Hipogram adalah teks yang mempengaruhi teks lain. Teks yang menyerap dan mengubah hipogram disebut konvensi teks.

Dengan demikian, kajian intertekstual membandingkan satu teks dengan teks lainnya untuk menemukan hubungan antara keduanya. Hubungan bisa berupa persamaan atau perbedaan, bisa mendukung, atau bahkan menentang. Kajian intertekstual juga dapat menelaah teks sastra baru yang lahir karena karya lain memiliki ciri yang mirip baik secara intrinsik maupun ekstrinsik.

Dengan mempertimbangkan pentingnya bentuk-bentuk demitologis dalam tulisan feminin, penelitian ini mengidentifikasi bagaimana lakon pada konvensi tokokh tradisional digambarkan dalam novel, dan bagaimana novel ini memiliki signifikansi bagi upaya teks untuk berbicara dalam bentuk tulisan feminin. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan demitologi terhadap standar tokoh tradisional melalui demitologi.

Metodee

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan

intertekstual. Pendekatan intertekstual novel Amba adalah menemukan teks yang memiliki intertekstualitas dalam karya sastra dan menentukan transformasi karya asli yang terdapat dalam novel Amba melalui modifikasi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil kajian terhadap novel Edisi Amba karya Laksmi Pamuntjak terbitan Gramedia Pustaka Utama tahun 2021.

Data penelitian ini adalah kalimat atau kutipan dalam Novel Amba karya Laksmi Pamuntjak dan buku Mahabrata karya Nyoman S Pendit, fokus terkait pada konvensi tokoh

(4)

Amba dan Bhisma. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer berupa dokumen Novel Amba karya Laksmi Pamuntjak terbitan kedua PT. Gramedia tahun halaman dan buku Mahabrata karya Nyoman S Pendit terbitan pertama Gramedia tahun 2005.

Pembahasan

Konvensi tokoh Amba

Amba Kinanti adalah anak sulung seorang guru di Kadipura. Ayahnya bernama Sudarminto dan ibunya bernama Nuniek. Ia memiliki dua adik perempuan kembar bernama Ambika dan Ambalika. Dalam novel Amba, Amba adalah tokoh utama, dan menjadi tokoh sentral karena semua cerita terfokus dan terarah kepadanya. Dena menjadi sosok yang berbeda dengan versi Mahabrata.

Semenjak lahir, Amba selalu tahu ia bukan yang tercantik di keluarganya. Ibunya bekas kembang desa. Tapi, ketika si kembar lahir, hidupnya seketika berubah. Ia bukan lagi bukan yang tercantik, melainkan yang paling tidak cantik. (Pamuntjak )X

Pada kutipan diatas , sebagai penjelas bagaimana Amba kecil saat berusia dua belas tahun digambarkan sebagai perempuan biasa, tidak lebih cantik dari ibu dan kedua adiknya.

Meskipun dianggap tidak cantik, dia tidak ambil pusing, justru Amba cuek, menjadi perempuan yang mandiri, dan di antara adik-adiknya dia menjadi wanita yang pintar dan cekatan.

Berbeda dengan versi Mahabharata, Amba merupakan putri sulung Raja Kasi dalam wiracarita Mahabharata. Tokoh ini diceritakan secara tragis, terutama dalam Adiparwa (buku pertama) dan Udyogaparwa (buku kelima) dari 18 kitab Mahabharata. Dikisahkan ia dibawa dari istananya ke Hastinapura oleh Bisma, pangeran Kerajaan Kuru, untuk dinikahkan dengan Wicitrawirya, Raja Kuru. Namun, dia menolak menikah dengan Wicitrawirya karena dia telah berjanji untuk menikah dengan Raja Salwa. Sementara itu, Raja Salwa menolak

menerima Amba sebagai pengantinnya lagi karena telah dipermalukan oleh Bisma. Akhirnya Amba membalas dendam pada Bisma yang dianggapnya sebagai sumber kemalangannya,

(5)

lalu bersumpah sebagai penyebab kematian Bisma. Di kehidupan selanjutnya, Amba terlahir kembali sebagai Srikandi, putri Drupada dari Kerajaan Panchala.

Konvensi terjadi pada kisah percitaan Amba karena dalam novelnya, Amba bukanlah wanita yang mudah jatuh cinta dan tergoda pria. Namun, ketika Salwa masuk ke dalam keluarga, pria tersebut membuat orang tuanya langsung jatuh cinta dengan kepribadian pria tersebut, dan memutuskan untuk menjadikannya menantu masa depan mereka melalui pertunangan. Sebagai anak yang berbakti, Amba menerima lamaran yang dirancang oleh orang tuanya, mengingat Salwa bukanlah orang yang murahan, baik hati, dan santun. Tapi meski begitu dia tidak pernah memberikan seluruh hatinya padanya, sikapnya tetap dingin.

Justu dalam novel ini Amba justru jatuh cinta dengan bhisma berbeda dengan dalam epos mahabrata ia sangat membencinya. (Pendit, 2005)

Kutipan di bawah ini sebagai penanda Amba mulai jatuh cinta pada Bhisma, dan mulai merasakan kerinduan jika dia tidak ada.

Ketika Dr. Rashad meninggalkan kantor untuk memulai tugas piketnya memeriksa setiap pasien rawat inap, Amba merasa ada tekanan yang hilang dari ruangan itu.

(Pamuntjak)

Kutipan di atas menggambarkan kerinduan yang mulai dirasakannya terhadap Dr. Bhisma pada saat ia pergi darinya. Amba terpesona dengan penampilannya yang cantik dan juga kisah-kisah tentang kehidupannya di Eropa membuatnya takjub. Kedekatan mereka membuat mereka jatuh cinta, padahal Amba baru seminggu bekerja di Kediri. Bhisma Rashad adalah seorang dokter yang telah memenangkan hatinya. Ada yang tidak dimiliki Salwa, ia hanya menganggap Amba sebagai adik dan Amba tidak merasakan cinta sebagai kekasihnya, hal ini membuatnya mengkhianati tunangannya dan bercinta dengan Bhisma.

Konvensi tokoh Bhisma

tokoh Bhisma dalam Novel Amba memiliki peranan yang penting. Bhisma lahir pada 6 Desember 1932, dia dibesarkan di Menteng. Ibunya bernama Miriam Rashad, seorang wanita Jawa Tengah. Ayahnya, Asrul rashad datang dari sebuah keluarga di Bukittinggi, dia lebih senang menyendiri, dan lebih suka diam.

Dalam cerita mababrata, nama bhiṣma dalam bahasa Sansekerta berarti "mengerikan"

atau "mengundang rasa takut", karena ia sangat disegani oleh musuh-musuhnya dan

(6)

keberaniannya ditakuti oleh para ksatria pada masanya. Dewabrata berarti "disukai oleh para dewa". Nama Dewabrata diubah menjadi Bisma karena ia melakukan bhishan-pratigya, yaitu sumpah untuk tetap selibat selamanya dan tidak akan mewarisi tahta ayahnya. Oleh karena itu, bhiṣma juga bisa berarti “yang nazarnya dahsyat (besar)”, karena ia bersumpah untuk tetap membujang selamanya dan tidak mewarisi tahta kerajaannya, untuk mencegah perselisihan antara keturunannya dengan keturunan Satyawati, ibu tirinya.

Berbeda dengan versi Mahabharata, Bhisma dalam novel Amba diceritakan menikahi seorang wanita. Bhisma menikah dengan wanita di Buru, alasan menikah bukan karena cinta atau ingin punya anak. Dia menikah untuk membantu seorang wanita yang dibuang oleh kepala sukunya karena melakukan kesalahan. Perlakuan terhadapnya sangat sopan, dia hanya menganggapnya sebagai saudara perempuannya. Dia merawatnya, dan menjaganya sebagai saudara, karena bagi Bhisma hanya ada Amba.

Tak hanya itu, Bhisma justru jatuh cinta dengan seseorang yang ia tolak, yakni Amna.

Kalau di versi Mahabharata, di versi Amba, Bhisma justru mencintai Amba meski karena hubungan spesialnya. Dalam versi Mahabharata, Srikandi lah yang membunuh Bhisma.

Kesimpulan

Novel Amba merupakan salah satu karya sastra yang memiliki intertekstualitas tinggi terhadap karya asalnya. Pada hasil dan pembahasan, ditemukan konvensi karya asal

ditransformasikan dalam Novel Amba. Dengan membatasi penelitian terhadap tokoh Amba dan Bhisma dalam Novel Amba karya Laskmi Pamunjak dengan tokoh terhadap tokoh Amba dan Bhisma dalam Novel Amba karya Laskmi Pamunjak dengan melakukan konvensi 180 derajat. Dengan menjadikan Amba sosok perempuan yang punya pilihan dan Bhisma sosok yang menikah dan memiliki anak, Laskmi Pamuntjak melakulan demitologi pada karyanya.

Dengan demitologisasi, novel ini melawan gagasan dalam wacana falogosentris yang menganggap mitos sebagai sesuatu yang permanen. Dengan memadukan batas antara yang dianggap fakta dan fiksi, novel ini menawarkan pandangan bahwa keduanya bukanlah hal yang berbeda, melainkan sama-sama cerita yang dibuat-buat.

Reference

(7)

Arıkan, S. (2016). ANGELA CARTER’S THE BLOODY CHAMBER: A FEMINIST STYLISTIC APPROACH. Fırat Üniversitesi Sosyal Bilimler Dergisi.

https://doi.org/10.18069/firatsbed.346908

Bohara, B. (2018). Demythologizing the Conventional Notion of Femininity in Angela Carter’s The Bloody Chamber. Faculty of Art in English.

http://elibrary.tucl.edu.np/handle/123456789/2923

Day, A. (1998). Angela Carter: The rational glass. Manchester University Press ; Distributed exclusively in the USA by St. Martin’s Press.

Irigaray, L. 1985. This Sex which is not One. This Sex which is not One, 23-33.

Pamuntjak, Laksmi. Amba. Jakarta: Gramedia. 2012.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2009. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Pendit, Nyoman S.. (2005). Mahabharata . : Gramedia Pustaka Utama.

Peer-reviewer 1 Peer-reviewer 2 Proofreader

Iklima Alipia Rizqia Lulu Uswatun Hasanah Muhammad Al Amin

Referensi

Dokumen terkait

2.1.2 Fenomena Perempuan dan Seksualitas dalam Novel Indonesia.

Konflik eksternal yang terdapat dalam novel Lawa diantaranya adalah Lawa dipaksa menikah oleh Mamak Daud dengan lelaki tua yang bernama Tisam, tidak adanya anak

Selebihnya dia tetap seorang gadis yang lugu. Taat pada orangtua. Tidak punya keberanian untuk membangkang. Apalagi untuk kawin lari. Menikah tanpa restu orangtua tidak

Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai ideologi perempuan dari sudut padang tokoh perempuan yang terdapat dalam novel Kleting Kuning karya Maria A.. Pelaku atau

Dalam novel Merantau ke Deli, sosok perempuan Jawa benar-benar mampu digambarkan sesuai dengan sembilan karakterisktik wanita Jawa pada umumnya yang

Novel adalah salah satu jenis karya sastra prosa yang memiliki jalinan cerita yang kompleks dalam novel sering ditunjukkan dengan adanya konflik yang tidak hanya sekali

Hasil dari penelitian novel ini menunjukan bahwa adanya subordinasi yang dialami oleh tokoh perempuan mulai dari kecil hingga Ia menikah diantaranya (1) Tidak

Data yang berhubungan dengan penelitian ini berupa psikologis tokoh perempuan yang terdapat dalam novel Merahnya Merah karya Iwan Simatupang.. Sumber data yaitu novel Merahya Merah