TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
Reny Rachmawati
109013000086
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
ABSTRAK
Reny Rachmawati. NIM: 109013000086. “Analisis Tokoh Utama Amba dalam
Novel Amba karya Laksmi Pamuntjak dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M.Hum
Penelitian ini bertujuan menganalisis tokoh Amba dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak, dan implikasi novel Amba pada pembelajaran Sastra Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan analisisnya berbentuk deskripsi, tidak berupa angka-angka. Metode analisis ini digunakan untuk menelaah tokoh utama Amba dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan pembacaan dan penyimakan novel Amba karya Laksmi Pamuntjak secara cermat, terarah, dan teliti. Pada saat melakukan pembacaan tersebut, penulis mencatat data-data masalah yang terkait dengan tokoh Amba, dan mencatat kutipan-kutipan yang menggambarkan tentang karakter tokoh. Berdasarkan hasil analisis tampak penulis menggunakan teknik pelukisan tokoh secara tidak langsung untuk menganalisis tokoh Amba. Dalam teknik ini diuraikan menjadi delapan teknik, di antaranya teknik cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik. Melalui teknik ini ditemukan sifat Amba keras kepala, berkemauan keras, netral dalam berpolitik, acuh, dan tidak putus asa. Beberapa sifat Amba ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran Sastra di SMA. Dalam pembelajaran ini, kompetensi yang harus dicapai peserta didik ialah menganalisis teks novel baik secara lisan maupun tulisan, dengan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel serta menemukan karakter tokoh yang positif ataupun negatif yang terkandung dalam novel. Selain itu, peristiwa yang terjadi di Indonesia tahun 1965 dijadikan klimaks latar novel Amba. Akibat pemberontakan yang terjadi tahun 1965 juga berimbas kepada tokoh utama dalam novel. Cerita di Pulau Buru dan Jawa juga menjadi latar dalam novel ini.
ABSTRACK
Reny Rachmawati . NIM : 109013000086 .“Analysis of Amba as a Main Figures in
Amba Novel by Laksmi Pamuntjak works and Implications for Learning in High School”. Education majors Indonesian Language and Literature, Faculty of Tarbiyah and Teaching. State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. Advisor: Diah Novi Haryanti, M.Hum
This study aims to analyze the characters Amba in the novel Amba by Laksmi Pamuntjak works, and the implications of the novel Amba in learning Indonesian language and literature. This study used a qualitative descriptive method, the analysis shaped the description, not the form of numbers. This analysis method is used to examine the main character in Amba novel Pamuntjak Laksmi works. Data collection techniques in this study using libraries, data recording, and analysis. Based on the analysis looks writers used the technique of painting figures indirectly to analyze figures Amba. In this technique elaborated into eight techniques, including techniques conversations, behaviors, thoughts and feelings, stream of consciousness, character reactions, reactions of other characters, background painting, painting techniques and physical. Through this technique found the nature of Amba stubborn strong-willed, neutral in politics, indifferent, and do not despair. Some of these properties can be implied Amba towards learning Indonesian language and literature at school. In this study, competency to be achieved is to learners analyze a novel text both orally and in writing, to explain the intrinsic elements in the novel and find a positive character or a negative figure contained in the novel. Additionally, events that occurred in Indonesia in 1965 used a novel background Amba climax. As a result of the uprising in 1965 also affected the main character in the novel. Story on Buru Island and Java also be in the background of this novel.
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Allah swt yang telah memberikan rahmat, karunia,
syafaat, dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Tokoh Utama Amba dalam Novel Amba karya Laksmi Pamuntjak dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”.
Selawat serta salam tidak lupa penulis ucapkan kepada junjungan Nabi Muhammad
saw yang telah mengeluarkan kita dari zaman jahiliyah.
Skripsi ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan
gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penulisan skripsi ini,
awalnya penulis dihinggapi kebimbangan, kurang percaya diri, dan pesimis dalam
menganalisis novel ini. Namun, berkat dukungan dan doa dari berbagai pihak
akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa
terima kasih kepada:
1. Nurlena Rifa’i, M.A, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd. selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan juga Penasihat Akademik yang selalu
mengerti akan keadaan mahasiswanya, serta memberikan motivasi dan doa.
3. Novi Diah Haryanti, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing skripsi dengan tulus
ikhlas, sabar, meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan
bimbingan serta pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
4. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang
tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih penulis ucapkan,
5. Keluarga penulis, Ayahanda tercinta Abdul Mungid dan Ibunda tersayang
Misronah yang selalu memberikan dukungan dan doa terbaiknya. Adik-adik
yang terbaik, Dita Nurul Khusna dan Muhammad Rifqi Afandi.
7. Boby Aji Pamungkas yang selalu memberi semangat serta membantu penulis
mencari bahan dan juga referensi dalam penulisan skripsi.
8. Jena Riawati, Iis Apriyanti, dan Siti Mutmainah sahabat yang tidak lelah
memberikan motivasinya.
9. Noerwas Pritianto, Prihatina Setiawan yang memberikan doa dan semangat
kepada penulis.
10. Siti Humaeroh Milladiyah teman dalam mengerjakan skripsi yang selalu
berusaha bersama penulis.
11. Teman-teman Lenjee; Agnis, Dinda, Suci, dan Sasya yang selalu memberikan semangat dan membantu penulis dalam skripsi, serta
teman-teman PBSI angkatan 2009 khususnya kelas C yang memberikan semangat
suka duka, canda tawa, dan kenangan indah selama ini.
12. Teman-teman PPKT SMPN 2 Ciputat.
13. Keluarga di Kediri dan Pekalongan, Paklik, Bulik dan saudara lainnya. Uda
Is dan Bang Tyo yang setia melayani dalam fotokopi dan juga memberikan
motivasi kepada penulis.
Urutan nama di atas bukanlah merupakan peringkat prioritas. Penulis
menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam penelitian ini. Semoga
penelitian ini bermanfaat untuk penulis dan untuk yang memerlukannya.
Jakarta, 5 Mei 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ...i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ...v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Batasan Masalah………... 6
D. Rumusan Masalah ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 7
F. Manfaat Penelitian ... 7
G. Metodologi Penelitian ... 7
BAB II KAJIAN TEORI ... 10
A. Hakikat Novel ... 10
1. Pengertian Novel ... 10
2. Jenis-jenis Novel ... 12
3. Unsur-unsur novel ... 15
Tema... ... 15
Latar. ... 16
Tokoh dan Penokohan ... ... 17
Alur...19
Sudut Pandang ... 21
Amanat ... 22
B. Teknik Pelukisan Tokoh... 24
C. Pembelajaran Sastra di Sekolah ... 28
BAB III PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN ... 32
A. Unsur Intrinsik Novel Amba...32
1. Tema...32
2. Tokoh...36
3. Alur...54
4. Latar...58
5. Sudut Pandang...66
6. Gaya Bahasa ...67
B. Analisis Tokoh Amba dalam Novel Amba Karya Laksmi Pamuntjak...71
C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA ... ...86
BAB IV PENUTUP ... 88
A. Simpulan ... 88
B. Saran ... 89
DAFTAR PUSTAKA………...90
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LEMBAR UJI REFERENSI
A. Latar Belakang Masalah
Sastra adalah tulisan yang dihargai yang bernilai seni. Sastra dapat
memberikan hiburan serta memberikan manfaat bagi pembacanya. Suatu
karya sastra dapat disampaikan dengan bahasa yang unik, indah, dan artistik.
Adapun bentuk karya sastra ini bermacam-macam, seperti: prosa, puisi
maupun drama. Prosa fiksi atau sering disebut cerita rekaan memiliki beragam
bentuk, di antaranya novel dan cerpen. Baik novel atau cerpen dibangun dalam
dua unsur, instrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik membangun sebuah cerita
dari dalam yang meliputi plot (alur), tokoh dan penokohan, tema, latar, sudut
pandang, bahasa, dan amanat. Sedangkan unsur ekstrinsik membangun karya
sastra dari segi biografi pengarang, politik, budaya, agama, sosial, dan
ekonomi.
Seperti dalam penelitian ini, penulis akan menganalisis novel. Dalam arti
luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas, ukuran yang
luas di sini berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, suasana cerita
yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula.
Unsur yang terdapat dalam novel salah satunya adalah tokoh dan
penokohan. Melalui pemahaman tokoh-tokoh yang ada dalam cerita, pembaca
dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung di dalam sebuah novel. Seperti
nilai agama, sosial, budaya dan juga nilai pendidikan.
Pendidikan merupakan media penting bagi manusia untuk mengantarkan
pada peradaban yang lebih maju dan berperan dalam pembentukan karakter
dan mental anak bangsa. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang RI
Tahun 2003 tentang pengertian pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peseta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan
dan negara.1
Dengan demikian, pendidikan tidak hanya bertumpu mengajarkan siswa
pada teori pembelajaran saja, namun juga bagaimana sikap dan perilaku yang
baik. Untuk dapat memahami suatu karya sastra, perlu dilakukan analisis
struktur teks. Salah satu contoh yang dapat dilakukan di kelas ialah analisis
tokoh dan penokohan. Dengan menganalisis tokoh, akan terlihat sikap, sifat,
tingkah laku, atau watak-watak tertentu yang mengandung aspek kejiwaan.
Problem-problem kejiwaan ini dapat berupa konflik, kelainan perilaku,
maupun kondisi psikologis akibat mengalami tragedi atau kejadian.
Pada penelitian kali ini, penulis akan meneliti tokoh Amba dalam novel
Amba. Amba, seorang perempuan yang lahir di Kadipura, daerah pinggiran Yogyakarta, Jawa Tengah. Dia memiliki idealisme sendiri, tidak seperti
wanita-wanita di desanya yang merasa cukup dengan pendidikan sekedarnya,
menikah di usia muda, memiliki anak, dan berakhir dengan mengurus rumah
tangga di dapur. Dia berbeda, meskipun mendapat tentangan dari ibunya,
Amba tetap pada pendiriannya untuk melanjutkan studi Sastra Inggris di
Universitas Gajah Mada (UGM). Dalam menganalisis tokoh, tentunya dapat
diambil sisi positif yang berguna untuk diajarkan kepada siswa dan dapat
dicontohkan dalam kehidupan sehari-harinya, begitu pun sebaliknya. Sikap
negatif dalam tokoh cerita dapat diajarkan sebagai sesuatu yang tidak patut
untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pengajaran sastra, seorang guru seharusnya mempelajari bahan
dalam kurikulum, sebab bahan itulah yang sudah ditentukan oleh pemerintah
untuk diajarkan di sekolah. Selain berpedoman pada kurikulum, dalam
menyusun bahan itu guru harus pula mempertimbangkan hal-hal lain, yaitu
pengetahuan di bidang ilmu sastra dan kehidupan kesusastraan.2
Berkaitan dengan pengajaran sastra, novel pun terbagi beberapa jenis,
salah satunya novel sejarah. Novel sejarah tidak hanya menceritakan
kronologis suatu cerita saja, namun juga memberikan pengetahuan kepada
1
Anonim,UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2006), h.5.
2
pembaca mengenai peristiwa yang terjadi pada zaman tersebut. Hubungan
intertekstual antara sastra dan sejarah saling berkaitan satu sama lain. Sebuah
karya sastra, baik puisi maupun prosa, mempunyai hubungan sejarah antara
karya sezaman, yang mendahuluinya atau kemudian. Hubungan sejarah ini
baik berupa persamaan atau pertentangan. Dengan hal demikian ini, sebaiknya
membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman,
sebelum, atau sesudahnya.3
Dalam kesusastraan Indonesia dapat dijumpai hubungan intertekstual
antara karya sastra dalam bentuk prosa. Fenomena reka ulang sejarah dalam
sastra telah menjadi suatu alternatif dalam memaknai sejarah itu sendiri di
tengah banyaknya pembohongan sejarah oleh pihak yang berkuasa. Lewat
karyanya pengarang mengungkapkan suatu kejadian atau peristiwa secara
tertulis. Selain itu suatu karya juga untuk mengungkapkan aspirasi pengarang
dalam kehidupan, seperti emansipasi wanita, kekejaman, maupun
ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa. Contohnya dalam novel Layar Terkembang (1936) karya Sultan Takdir Alisjahbana, tokoh Tini sebagai wanita yang aktif dalam berbagai kegiatan, emansipasi wanita digambarkan
dalam novel ini. Demikian pula novel Burung-burung Manyar (1981) karya Romo Mangun, bercerita tentang kekejaman di zaman Belanda, Jepang, dan
akhir orde lama. Ronggeng Dukuh Paruk (1981) karya Ahmad Tohari, bercerita tentang tokoh Srintil seorang ronggeng yang harus di penjara karena
dituduh sebagai PKI, sehingga dirinya mendapat ketidakadilan yang dilakukan
oleh penguasa. Jelaslah sejak dahulu pengarang menyuarakan aspirasinya
melalui karya sastra. Begitu pun sekarang ini, tidak sedikit dijumpai novel
yang berlatar sejarah dibuat untuk menceritakan kebenaran yang terjadi pada
suatu zaman. Akan tetapi, minat baca terhadap novel yang berlatar sejarah
masih kurang, khususnya para siswa lebih menyukai novel-novel populer yang
bercerita kisah percintaan, seperti teenlit dan ceklit : karya Hara Hope yang berjudul Summer Triangle (2005), karya Luna Torashyngu yang berjudul Dua
3
Rembulan (2006), Lovasket (2007) atau karya-karya Raditya Dika dengan judul Kambing Jantan (2005), Marmut Merah Jambu (2010), dan Manusia Setengah Salmon (2011). Namun sebaliknya, Karya para sastrawan kurang diminati dan dikenal oleh siswa.
Novel Amba banyak mengisahkan mengenai sejarah kekerasan di Indonesia, khususnya yang terjadi pada 1965. Novel ini berlatar belakang
sejarah, dengan klimaks peristiwa yang terjadi saat tahun 1965 saat G30S
ingin mengambil alih pemerintahan. Selain berlatar sejarah, penamaan tokoh
yang ada dalam novel ini menarik. Tiga tokoh utama yaitu Amba, Bhisma, dan
Salwa. Nama ini tidak asing jika kita pernah membaca atau mendengar kisah
Mahabarata. Dalam cerita itu Amba yang menghendaki Bhisma (sang
pemenang sayembara) dapat mempersunting dirinya. Namun karena janji
Bhisma terhadap Ayahnya dan sang Dewata, maka ia mencampakkan Amba.
Hingga akhirnya Amba memutuskan untuk kembali pada Salwa mantan
tunangannya yang sudah kepalang malu, dan hilang harga diri justru juga
menolak Amba.
Ada kesamaan dalam cerita tersebut dengan novel ini, tiga tokoh utama
yang ditampilkan saling berkaitan dari awal hingga akhir cerita. Amba jatuh
cinta pada sosok Bhisma yang baru dikenalnya beberapa minggu dari pada
dengan tunangannya Salwa yang sudah lama dekat dengannya dan juga
keluarganya. Bahkan Amba menghianati cintanya pada Salwa hingga rela
meninggalkan keluarganya di Kadipura untuk Bhisma.
Novel ini banyak menggunakan setting di pulau Jawa dan Pulau Buru sebagai latar novelnya. Pulau Buru dikenal sebagai pulau pembuangan tapol
(tahanan politik). Banyak dari mereka yang dianggap sebagai penghianat
negara atau simpatisan PKI dibuang di pulau tersebut. Pulau Buru yang
merupakan hutan yang lebat dibuat pemukiman dan jalanan. Banyak dari
mereka yang tidak bisa pulang ke kampung halamannya, bahkan keluarganya
pun tidak tahu kabar mereka sama sekali dan merelakan jika anggota
keluarganya tidak akan pernah kembali.
novelis. Sebelumnya dia dikenal sebagai esais, atau penerjemah dalam
kumpulan puisi Goenawan Mohammad. Jika dibandingkan karyanya yang
berlatar Pulau Buru dengan salah satu karya Pramoedya Ananta Toer tentu
berbeda. Salah satu karya Pram yang berjudul Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer bercerita mengenai perempuan yang menjadi budak seks balatentara Nippon dan dibuang ke Pulau Buru. Dalam tulisannya Pram begitu
detail menceritakan lokasi yang menjadi tempat pembuangan manusia hingga
dia menuliskan disampul bukunya catatan Pulau Buru. Dia melihat peristiwa
tersebut dan dapat menuangkannya dalam sebuah tulisan. Sedangkan pada
novel Amba, Laksmi banyak mencari sumber informasi dari orang yang mengalami peristiwa tersebut dengan melakukan wawancara, maupun tinjauan
lokasinya secara langsung untuk riset novelnya dan juga dibutuhkan waktu
dalam mengumpulkan datanya tersebut.
Pemilihan novel Amba sebagai objek penelitian berdasarkan beberapa alasan. Pertama, novel ini berlatar belakang sejarah, pembaca akan tahu
mengenai keadaan Indonesia prakemerdekaan dan pascakemerdekaan
terutama saat meletusnya G30S. Kedua, keunikan penamaan tokoh dalam
novel, Laksmi menggunakan nama-nama dari tokoh pewayangan, selain itu
kisah cintanya juga dibuat sedikit mirip namun berlatar sejarah. Ketiga, meski
Laksmi Pamuntjak terhitung baru dalam sastra Indonesia, namun dengan
keaktifannya menulis esai dan menulis artikel, membuat dirinya juga untuk
menulis novel Amba. Keempat, Novel Amba diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama dan cetakan pertama pada September tahun 2012, selama
Februari 2013 novel ini sudah dicetak sebanyak tiga kali. Selain itu, novel
Amba karya Laksmi Pamuntjak membuat pembaca ingin mencari tahu dan menggali pengetahuan yang tidak pernah diketahui sebelumnya, seperti kisah
Mahabarata maupun karya sastra Jawa, Serat Centini. Berbagai alasan tersebut, penulis tertarik untuk menganalisis novel Amba, khususnya tokoh Amba. Perempuan yang kehilangan cintanya saat terjadi gempuran politik
tahun 1965, sehingga membuatnya harus berjuang sendirian dan
ini berjudul, “Analisis Tokoh Utama Amba dalam Novel Amba karya Laksmi Pamuntjak: Suatu Tinjauan Sejarah dan Implikasinya terhadap Pembelajaran
Sastra di SMA”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasi masalah
yang ada yaitu:
1. Kurangnya minat membaca seseorang terhadap karya sastra berupa novel,
terlebih kurangnya minat membaca siswa terhadap novel-novel yang
berlatar sejarah. Mereka lebih menyukai novel-novel populer yang beredar
di masyarakat.
2. Sulitnya menciptakan proses belajar mengajar timbal balik antara guru dan
siswa.
3. Siswa sulit memahami unsur intrinsik, khususnya penokohan dalam teks
berlatar sejarah.
4. Pembaca harus menggali bacaan yang terdapat dalam novel Amba, seperti
Serat Centhini, Mahabarata,serta peristiwa yang terjadi di Indonesia tahun 1965.
5. Siswa dituntut untuk memahami novel secara keseluruhan.
C. Batasan Masalah
Agar penulisan skripsi ini lebih terarah, maka penulis membatasi
permasalahan pada hal-hal berikut:
Objek kajian yang akan diteliti adalah analisis tokoh Amba dalam novel
Amba karya Laksmi Pamuntjak dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, perumusan
permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut:
2. Bagaimana implikasi tokoh utama Amba terhadap pembelajaran sastra di
SMA?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak.
2. Menganalisis tokoh Amba dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat yang
mencangkup aspek teoretis maupun praktis.
1. Manfaat teoretis diharapkan dapat memperluas pengetahuan tentang sastra
Indonesia, khususnya dalam pembelajaran sastra di sekolah mengenai
penokohan dalam novel.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian secara praktis diharapkan bermanfaat bagi peserta didik
mengenai penokohan tokoh utama dalam novel dengan menggunakan
teknik pelukisan fisik. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberi
masukan bagi pendidik untuk bahan pengembangan studi sastra yang
berkaitan dengan unsur intrinsik dalam suatu karya sastra.
G. Metodologi Penelitian
1. Bentuk Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah,
data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya.4 Dalam novel
Amba karya Laksmi Pamuntjak menggunakan metode kualitatif deskriptif artinya bahwa yang akan dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk
deskripsi, tidak berupa angka-angka atau koefisian yang tentang variabel.
Metode analisis isi digunakan untuk menganalisis isi suatu dokumen.
4
Dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah novel Amba karya Laksmi Pamuntjak.
2. Sumber Data
Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat
menggunakan sumber data primer dan sumber data sekunder.
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu sumber utama penelitian yang diproses
langsung dari sumbernya tanpa lewat perantara. Sumber data primer
dalam penelitian ini adalah novel Amba karya Laksmi Pamuntjak terbitan Grasindo, Jakarta, tahun 2012.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh secara
tidak langsung atau lewat perantara, tetapi masih berdasar pada
kategori konsep yang akan dibahas. Sumber data sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini adalah artikel-artikel dari internet serta
buku-buku yang berhubungan dengan novel, seperti buku tentang PKI,
sejarah Indonesia, Pulau Buru, dan penokohan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan
pembacaan dan penyimakan novel Amba karya Laksmi Pamuntjak secara cermat, terarah, dan teliti. Pada saat melakukan pembacaan tersebut,
penulis mencatat data-data masalah yang terkait dengan tokoh Amba, dan
mencatat kutipan-kutipan yang menggambarkan tentang karakter tokoh.
Pembacaan dilakukan secara berulang-ulang sehingga data yang didapat
lebih maksimal.
4. Teknik Analisis Data
Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data
antara lain:
membaca dan memahami kembali data yang sudah diperoleh.
Berikutnya mengelompokkan teks-teks yang terdapat dalam novel
Amba karya Laksmi Pamuntjak yang mengandung unsur intrinsik novel berupa tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang,
gaya bahasa, dan amanat;
b. Analisis dengan menggunakan teknik pelukisan latar dilakukan dengan
membaca serta memahami kembali data yang diperoleh. Selanjutnya
mengelompokkan teks-teks yang mengandung bahasan tentang tokoh
utama Amba yang terdapat dalam novel.
c. Mengimplikasikan novel Amba karya Laksmi Pamuntjak pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA dilakukan dengan
cara menghubungkan materi pelajaran sastra di sekolah.
A. Hakikat Novel
1. Pengertian Novel
Kata Novel berasal dari bahasa Latin novellus. Kata novellus
dibentuk dari kata novus yang berarti baru atau new dalam bahasa Inggris. Dikatakan baru karena bentuk novel adalah bentuk karya sastra yang
datang kemudian dari bentuk karya sastra lainnya, yaitu puisi dan drama.1
Beberapa pandangan yang berupaya menjabarkan hakikat novel
dapat dicontohkan sebagai berikut.
Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’. Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris: novellete), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang, namun tidak
juga terlalu pendek.2
Menurut R.J. Ress, novel adalah sebuah cerita fiksi dalam bentuk
prosa yang cukup panjang, yang tokoh dan perilakunya merupakan
cerminan kehidupan nyata, dan yang digambarkan dalam suatu plot yang
cukup kompleks.
Menurut Badudu dan Zain, novel adalah Karangan dalam bentuk prosa tentang peristiwa yang menyangkut kehidupan manusia seperti yang
dialami orang dalam kehidupan sehari-hari, tentang suka duka, kasih dan
benci, tentang watak dan jiwanya, dan sebagainya.3
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian
novel adalah sebuah cerita fiksi dalam bentuk prosa yang panjang dengan
1
Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 124.
2
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), h. 9-10.
3
tokoh dan perilakunya merupakan cerminan kehidupan nyata dalam satu
plot.
Dalam istilah novel tercakup pengertian roman; sebab roman
hanyalah istilah novel untuk zaman sebelum perang dunia kedua di
Indonesia. Digunakannya istilah roman waktu itu adalah wajar karena
sastrawan Indonesia waktu itu pada umumnya berorientasi ke Negeri
Belanda, yang lazim menamakan bentuk ini dengan roman. Istilah ini juga
dipakai di Perancis dan Rusia, serta sebagian negara-negara Eropa. Istilah
novel dikenal di Indonesia setelah kemerdekaan, yakni setelah sastrawan
Indonesia banyak beralih kepada bacaan-bacaan yang berbahasa Inggris.4
Jakob Sumardjo juga berpendapat sama bahwa pengertian roman dan
novel itu sama saja. Istilah roman dikenal oleh bangsa Indonesia dari masa
sebelum perang dunia kedua, karena istilah itu memang dipakai di negeri
Belanda dan Prancis, atau daratan Eropa umumnya. Tetapi setelah perang
dunia kedua banyak sastra berbahasa Inggris masuk Indonesia dan
dipelajari oleh banyak sastrawan Indonesia. Istilah roman dalam bahasa
Inggris dan Amerika adalah novel. Maka istilah itu menjadi populer di
Indonesia setelah kemerdekaan, dan istilah roman makin terdesak.5
Novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas
problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh.6 Novel juga
merupakan sebuah karya fiksi prosa yang tertulis dan naratif, biasanya
dalam bentuk cerita. Penulis novel disebut novelis.7
Sejak tahun 1950-an, novel banyak ditulis pengarang dan mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Banyak juga ditulis novel-novel trilogi
yang dipelopori oleh Motinggo Busye dengan karya-karyanya: Tante Maryati, Sri Ayati, dan Dik Narti. Ashadi Siregar yang menulis novel-novel kampus juga menulis novel-novel trilogi, yakni: Cintaku di Kampus Biru,
4
Atar Semi, Anatomi Sastra, (Bandung:Angkasa Raya, 2011), h. 32.
5
Jakob Sumardjo, Memahami Kesusastraan, (Bandung: Alumni, 1984), h. 65-66.
6
E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra,(Bandung:Yrama Widya, 2012), h.60.
7
Kugapai Cintamu, dan Terminal Cinta Terakhir. Ahmad Tohari, pengarang yang produktif pada dekade 70-an juga menulis novel trilogi,
yakni: Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala.8
2. Jenis-jenis Novel
Novel dilihat dari segi mutu dibedakan atas beberapa jenis di
antaranya:
a. Novel Populer
Novel populer merupakan jenis sastra populer yang menyuguhkan
problema kehidupan yang berkisah pada cinta asmara yang bertujuan
menghibur. Novel jenis ini populer pada masanya dan banyak
penggemarnya, khususnya pembaca dikalangan remaja. Ia menampilkan
masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai
pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan
kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan.
Sebab, jika demikian halnya, novel populer akan menjadi berat, dan
berubah menjadi novel serius dan oleh jadi akan ditinggalkan pembacanya.
Biasanya novel populer bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan
tidak memaksa orang lain untuk membacanya lagi, biasanya cepat
dilupakan orang, apalagi muncul novel-novel baru yang lebih populer pada
masa sesudahnya.
Novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena
ia memang semata-mata menyampaikan cerita. Masalah yang diceritakan
pun ringan-ringan, tetapi aktual dan menarik. Kisah percintaan antara pria
tampan dan wanita cantik secara umum cukup menarik, mampu membuai
pembaca remaja yang memang sedang mengalami masa peka. Novel
populer lebih mengejar selera pembaca, komersil, ia tidak akan
menceritakan sesuatu yang bersifat serius hal itu akan berkurang jumlah
penggemarnya. Oleh karena itu, agar cerita mudah dipahami, plot sengaja
8
dibuat lancar dan sederhana. Perwatakan tokoh tidak berkembang.
Sebagaimana dikatakan oleh Sapardi Djoko Damono, tokoh-tokoh adalah
tokoh yang tidak berkembang kejiwaannya dari awal hingga akhir cerita.
Berbagai unsur cerita seperti plot, tema, karakter, latar, dan lain-lain
biasanya bersifat stereotip, tidak mengutamakan adanya unsur-unsur
pembaharuan. Hal demikian, memang mempermudah pembaca
semata-mata mencari hiburan belaka. 9 Contoh novel jenis ini adalah Laskar Pelangi (Andrea Hirata), Perahu Kertas (Dewi Lestari).
b. Novel Serius/Literer
Novel literer adalah novel bermutu sastra, novel literer menyajikan
persoalan-persoalan kehidupan manusia secara serius. Di samping
memberikan hiburan, novel serius juga terimplisit tujuan memberikan
pengalaman berharga kepada pembaca, atau paling tidak mengajak
meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang
permasalahan yang dikemukakan. Masalah percintaan banyak juga
diangkat ke dalam novel serius. Namun, ia bukan satu-satunya masalah
yang penting dan menarik untuk diungkap. Masalah kehidupan amat
kompleks, bukan sekedar cinta asmara, melainkan juga hubungan sosial,
ketuhanan, maut, takut, cemas, dan bahkan masalah cinta itu pun dapat
ditujukan terhadap berbagai hal, misalnya cinta kepada orang tua, saudara,
tanah air, dan lain-lain. masalah percintaan (asmara) dalam karya fiksi
memang tampak penting, terutama untuk mempelancar cerita. Namun,
barangkali, masalah pokok yang ingin diungkap pengarang justru di luar
pecintaan itu sendiri.
Jika dalam sastra serius cenderung merangsang pembaca untuk
menafsirkan atau menginterpetasikan karya sastra itu. Selain itu
merangsang untuk menafsirkan tidak lain karena sastra serius itu
mendorong pembaca yang baik untuk termenung.10
Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru
9
Nurgiyantoro,op. cit., h.18-20. 10
dengan cara pengucapan yang baru pula. Singkatnya: unsur kebaruan
diutamakan. Dalam novel serius tidak akan terjadi sesuatu yang bersifat
streotip, atau paling tidak pengarang menghindarinya. Novel serius
mengambil realitas kehidupan ini sebagai model, kemudian menciptakan sebuah “dunia baru” lewat penampilan cerita dan tokoh-tokoh situasi yang khusus. Contoh novel serius adalah Belenggu (Armijn Pane), Pada Sebuah Kapal (N.H Dini).
c. Novel Picisan
Novel picisan isinya cenderung mengekploitasi selera dengan
suguhan cerita yang mengisahkan cerita asmara yang menjurus ke
pornografi. Novel ini mempunyai ciri-ciri bertemakan cinta asmara yang
berselera rendah, ceritanya cenderung cabul, alurnya datar (arogresif),
jalan ceritanya ringan, dan mudah diikuti pembaca, menggunakan bahasa
yang aktual, bertujuan komersil. Novel karya Motinggo Busye
digolongkan ke dalam novel picisan.
d. Novel Absurb
Novel absurb merupakan sejenis fiksi yang ceritanya menyimpang
dari logika biasa, irrasional, realitas bercampur angan-angan dan mimpi,
dan surrealism. Tokoh-tokoh ceritanya “anti tokoh” seperti orang mati
bisa hidup kembali, mayat dapat berbicara dan lain-lain. contoh novel
Ziarah (Iwan Simatupang) yang mengisahkan seorang dokter di daerah pedalaman Papua yang menurut warga sekitar bahwa dokter itu bisa
menyembuhkan dan menghidupkan orang yang sudah mati.
e. Novel Horor
Novel horor (Gothic Fiction) merupakan cerita yang melukiskan kejadian-kejadian yang bersifat horor, seperti drakula penghisap darah,
hantu-hantu gentayangan, kuburan keramat, dan berbagai keajaiban
supranatural yang berbaur dengan kekerasan, kekejaman, kekacauan, dan
kematian.11
Berdasarkan jenis-jenis novel tersebut, novel Amba termasuk ke dalam jenis serius. Novel ini selain memberikan hiburan kepada pembaca
11
namun memiliki tujuan memberikan pengalaman berharga untuk
merenungkan permasalahan yang dikemukakan. Mengenai peristiwa yang
terjadi di tahun 1965, dan perjuangan seorang perempuan dalam
menghadapi kerasnya kehidupan yang terjadi.
3. Unsur-unsur Novel
Prosa rekaan dibedakan atas prosa lama dan prosa modern. Prosa
lama sering berwujud cerita rakyat, seperti: cerita binatang, dongeng,
legenda, mitos, dan sage.
Bentuk prosa rekaan modern dibedakan atas roman, novel, novelet,
dan cerpen. Tidak adanya penelitian yang mendukung, pembedaan atas
beberapa bentuk tersebut lebih banyak didasarkan pada
panjang-pendeknya dan luas-tidaknya masalah yang dipaparkan dalam prosa
rekaan. Walaupun tidak selalu benar ada juga yang dasar pembedaannya
ditambah dengan bahasa dan lukisannya.12
Berdasarkan bentuk-bentuk novel di atas, terdapat unsur-unsur
penting yang membangun karya sastra, unsur tersebut terbagi atas unsur
intrinsik dan unsur ekstrinsik. Pembagian tersebut bertujuan dalam
mengkaji novel dalam suatu karya sastra pada umumnya.
a. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra
itu sendiri. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang
(secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan
antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel
berwujud.13 Unsur-unsur ini misalnya, tema, latar, tokoh dan
penokohan, alur, sudut pandang, dan amanat.
1) Tema
Tema adalah gagasan yang menjalin struktur isi cerita. Tema
suatu cerita menyangkut segala persoalan, baik itu berupa masalah
12
Wahyudi Siswanto,Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 140.
13
kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan, dan
sebagainya. Untuk mengetahui tema suatu cerita, diperlukan
apresiasi menyeluruh terhadap berbagai unsur karangan itu. Bisa
saja temanya itu dititipkan pada unsur penokohan, alur, ataupun
pada latar.14
Menurut Aminuddin, seorang pengarang memahami tema
suatu cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses
kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema
bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi
media pemapar tema tersebut, menyimpulkan makna yang
dikandungnya serta mampu menghubungkan dengan tujuan
penciptaan pengarangnya.15
Jadi tema tidak lain adalah suatu gagasan sentral yang
menjadi dasar suatu cerita. Dalam sebuah tema yang menjadi unsur
gagasan sentral yaitu topik atau pokok pembicaraan dan tujuan
yang akan dicapai oleh pengarang adalah topik tersebut. 16
2) Latar
Setting diterjemahkan sebagai latar cerita. Aminuddin memberi batasan setting sebagai latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa, serta memiliki fungsi
fisikal dan fungsi psikologis.
Abrams mengemukakan latar cerita adalah tempat umum
(general locale), waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumtances) dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.17
Biasanya latar muncul pada semua bagian atau penggalan
cerita dan kebanyakan pembaca tidak terlalu menghiraukan latar
ini; karena lebih terpusat pada jalannya cerita; namun bila pembaca
14
E. Kosasih, op.cit., h. 60-61.
15
Siswanto, op.cit., h. 161.
16
Atar Semi, op.cit., h. 42.
17
membaca untuk kedua kalinya barulah latar ini ikut menjadi bahan
simakkan, dan mulai dipertanyakan mengapa latar ini menjadi
perhatian pengarang.18
3) Tokoh dan Penokohan
Menurut Aminuddin, “tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu
cerita sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut
penokohan.”19
Cara pengarang menggambarkan tokoh-tokoh itu mungkin
dari pengalamannya sendiri, berdasarkan observasi di lingkungan
masyarakatnya, mungkin pula dengan membaca karya-karya besar.
Banyak karya sastra yang merupakan hipogram dari karya-karya
yang mendahuluinya. Tetapi banyak juga yang merupakan rekaan
pengalaman pribadi pengarangnya. Juga banyak yang merupakan
reaksi terhadap keadaan masyarakat sekitarnya.20
a. Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot
dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan.
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya
dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang
paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian
maupun yang dikenai kejadian. Di pihak lain, pemunculan
tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit,
tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada
keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun
tak langsung.21
b. Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke
dalam tokoh sederhana dan tokoh kompleks atau tokoh bulat.
18
Atar Semi, loc. cit., h. 46.
19
Siswanto, loc.cit., h. 142. 20
Herman J Waluyoop.cit., h. 51.
21
Tokoh sederhana dalam bentuknya asli, adalah tokoh yang
hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak
yang tertentu saja. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh
sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu
watak tertentu. Tokoh bulat, kompleks berbeda halnya dengan
tokoh sederhana, adalah tokoh yang memiliki dan diungkap
berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan
jati dirinya. Ia dapat saja memiliki watak tertentu yang dapat
diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak
dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin seperti
bertentangan dan sulit diduga. Dibandingkan dengan tokoh
sederhana, tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia
yang sesungguhnya, karena di samping memiliki berbagai
kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga sering memberikan
kejutan.22
c. Berdasarkan berkembang atau tidaknya perwatakan
tokoh-tokoh cerita dalam sebuah novel, tokoh-tokoh dibedakan ke dalam
tokoh statis, dan tokoh berkembang (developing character). Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami
perubahan dan pekembangan perwatakan sejalan dengan
perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang
dikisahkan. Ia secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya,
baik lingkungan sosial, alam maupun yang lain, yang
kesemuanya itu memengaruhi sikap, watak, dan tingkah
lakunya. Dalam penokohan yang bersifat statis dikenal adanya
tokoh hitam (dikonotasikan sebagai tokoh jahat) dan putih
(dikonotasikan sebagai tokoh baik). Artinya, tokoh-tokoh
tersebut sejak awal kemunculannya hingga akhir cerita
terus-menerus bersifat hitam atau putih. Tokoh hitam adalah tokoh
yang benar-benar hitam, tak pernah diungkapkan unsur-unsur
22
kebaikan dalam dirinya walau sebenarnya pasti ada.
Sebaliknya, tokoh putih selalu baik dan tak pernah berbuat
sesuatu yang tergolong tak baik walau pernah sekali-dua
berbuat hal demikian.23
4) Alur
Alur adalah rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah
cerita. Alur merupakan tulang punggung dalam sebuah cerita.24
Jalinan-jalinan peristiwa pada novel tersusun dalam
tahapan-tahapan. Menurut Aminuddin, tahapan-tahapan peristiwa terdiri
atas pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan
penyelesaian.25
Untuk menjelaskan tahapan-tahapan alur ini, penulis
memakai pendapat Nurgiyantoro yang dikemukakan oleh Tasrif,
tahapan-tahapan dalam alur dijelaskan menjadi lima bagian,
tahapan tersebut sebagai berikut.
a) Tahap Penyituasian
Tahap penyituasian yaitu tahap yang berisi pelukisan dan
pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan
tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan
lain-lain, yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita
yang dikasihkan pada tahap berikutnya.
b) Tahap Pemunculan Konflik
Tahap pemunculan konflik yaitu tahap yang memunculkan
masalah dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik. Tahap
ini merupakan tahap awal munculnya konflik. Dan konflik itu
sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi
konflik-konflik pada tahap berikutnya.
c) Tahap Peningkatan Konflik
23
Nurgiyantoro, ibid, h.188-189.
24
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 28.
25
Pada tahap ini konflik yang telah dimunculkan pada tahap
sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar
intensitasnya. Peristiwa yang dramatik menjadi inti cerita
semakin mencengkam dan menegangkan. Konflik-konflik yang
terjadi, internal, eksternal, ataupun keduanya,
pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan masalah,
dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat
dihindari.
d) Tahap Klimaks
Tahap klimaks yaitu tahap di mana konflik dan atau
pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau
ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas
puncak. Pada tahap ini klimaks sebuah cerita akan dialami oleh
tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita
terjadinya konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin
saja memiliki lebih dari satu klimaks, atau paling tidak dapat
ditafsirkan demikian.
e) Tahap Penyelesaian
Tahap penyelesaian merupakan tahap di mana konflik
yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian.
Konflik-konflik yang lain, sub-subKonflik-konflik, atau Konflik-konflik-Konflik-konflik
tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar. Sehingga, tahap ini
disebut sebagai tahap akhir sebuah cerita.26
Alur merupakan kerangka dasar yang amat penting. Alur
mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama
lain, bagaimana satu peristiwa mempunyai hubungan dengan
peristiwa lain, bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam
peristiwa itu yang semuanya terikat dalam suatu kesatuan waktu.
Dengan begitu, baik-tidaknya sebuah alur ditentukan oleh hal-hal
berikut (1) apakah tiap peristiwa susul-menyusul secara logis dan
26
alamiah (2) apakah tiap peristiwa sudah cukup tergambar atau
dimatangkan dalam peristiwa sebelumnya, dan (3) apakah
peristiwa itu terjadi secara kebetulan atau dengan alasan yang
masuk akal atau dapat dipahami kehadirannya.27
Pada prinsipnya, novel atau cerita bergerak dari permulaan,
melalui pertengahan, dan menuju akhir, alur ini disebut dengan
alur maju. Sedangkan jika cerita bergerak dari akhir, melalui
pertengahan, dan menuju permulaan disebut alur mundur.
Tahapan-tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita
bermacam-macam. Barangkali tidak ada novel yang ini tahapan-tahapan
peristiwa tidak selalu dimulai permulaan (pengenalan) dan diakhiri
dengan tahap penyelesaian. Ada alur cerita dengan tahapan lain,
misalnya dimulai dengan konflik pada awal ceritanya alur ini
biasanya disebut alur campuran.
Berkat adanya alur yang tergali oleh intuisi pengarang menyebabkan “isi-cerita” lantas mengalir secara teratur, segala peristiwa merentet secara runtut tidak kacau-balau.28
5) Sudut Pandang
Sudut pandang/titik pandang adalah tempat sastrawan
memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita
tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri. 29
Dari sudut pandang ini, pengarang menampilkan tokoh dalam
cerita yang dipaparkannya. Dengan demikian, segala sesuatu yang
dikemukakan oleh pengarang disalurkan melalui sudut pandang
tokoh. Selain itu, dalam sudut pandang posisi pengarang juga
ditentukan.
Ada banyak macam sudut pandang dalam karya sastra. Jenis
sudut pandang yang peneliti lakukan yaitu berdasarkan pemaparan
27
Atar Semi,op. cit.,h. 44.
28
Putu Arya Tirtawirya, Apresiasi Puisi dan Prosa, (Ende:Nusa Indah, 1983), h. 80.
29
Nurgiyantoro. Berikut ini adalah macam-macam sudut pandang:
a) Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia”
Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini
terletak pada seorang narator yang berada di luar cerita yang
menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata ganti orang. Dalam sudut pandang persona ketiga “Dia” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Dia” mahatahu (narator mengetahui segalanya dan serba tahu) dan “Dia” terbatas atau hanya sebagai pengamat (narator mengetahui
segalanya, namun terbatas hanya pada seorang tokoh).
b) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”
Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini
terletak pada seorang narator yang ikut terlibat dalam cerita. Dalam sudut pandang persona pertama “Aku” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Aku” (tokoh utama) dan “Aku” (tokoh tambahan).
c) Sudut Pandang Campuran
Penggunaan sudut pandang ini lebih dari satu teknik.
Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik
yang lain. Semua itu tergantung pada kemauan pengarang
untuk menciptakan sebuah kreativitas dalam karyanya.
Berdasarkan jenis-jenis sudut pandang tersebut, sudut
pandang yang terdapat dalam novel Amba menggunakan sudut pandang persona ketiga, dia. Hal ini diperkuat dengan
menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, serta kata ganti “dia”.
6) Amanat
Nilai-nilai yang ada didalam cerita rekaan bisa dilihat dari diri
sastrawan dan pembacanya. Dari sudut sastrawan ini disebut
amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra;
pendengar. Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya
tersirat; di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat
tersurat.30
7) Gaya Bahasa
Dalam cerita, penggunaan bahasa berfungsi untuk menciptakan
suatu nada atau suasana persuasif serta merumuskan dialog yang
mampu memperlihatkan hubungan dan interaksi antara sesama
tokoh. Kemampuan sang penulis mempergunakan bahasa secara
cermat dapat menjelmakan suatu suasana yang berterus terang atau
satiris, simpatik atau menjengkelkan, objektif atau emosional.
Bahasa dapat menimbulkan suasana yang tepat guna bagi adegan
yang seram, adegan cinta, ataupun peperangan, keputusan, maupun
harapan. 31
Menurut Gorys Keraf, gaya bahasa berdasarkan makna diukur
dari langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan yang dipakai
masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada
penyimpangan. Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan
makna ini biasanya disebut sebagai trope atau figure of speech.
Gaya bahasa ini terbagi menjadi dua, yaitu gaya bahasa retoris,
yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa
untuk mencapai efek tertentu, dan gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam
bidang makna.32 Macam-macam gaya bahasa retoris yang terdapat
dalam novel Amba yaitu hiperbola dan paradoks. Sedangkan gaya bahasa kiasan terdapat simile, personifikasi, ironi, dan metafora.
b. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik yaitu unsur pembangun di luar karya sastra. Unsur
ini mempengaruhi cara penyusunan cerita dalam sebuah karya satra.
30
Wahyudi Siswanto, ibid., h. 162.
31
E. Kosasih, op. cit., h. 71-72.
32
Selain itu, juga membantu dalam penafsiran suatu karya sehingga
mendapatkan hasil yang akurat.
Unsur ekstrinsik terdiri dari unsur-unsur di luar karya. Unsur yang
dimaksud antara lain biografi pengarang, buah pemikiran pengarang,
serta latar sosial-budaya yang menunjang kehadiran teks sastra.
Pemahaman unsur-unsur tersebut menunjukkan bahwa karya sastra
tidak lahir dari kekosongan budaya.
B. Teknik Pelukisan Tokoh
Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya atau
lengkapnya: pelukisan sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal yang
berhubungan dengan jati diri tokoh, dapat dibedakan ke dalam dua cara atau
teknik, pelukisan secara langsung dan pelukisan secara tidak langsung.
Kedua teknik tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan
kelemahan, dan penggunaannya dalam karya fiksi tergantung pada selera
pengarang dan kebutuhan penceritaan. Teknik langsung lebih banyak
dipergunakan pengarang pada masa awal pertumbuhan dan perkembangan
novel Indonesia modern, sedangkan teknik tak langsung terlihat lebih diminati
oleh pengarang dewasa ini. Namun perlu juga dicatat bahwa sebenarnya tidak
ada seorang pengarang pun yang secara mutlak hanya mempergunakan salah
satu teknik itu tanpa memanfaatkan teknik yang lain. Berikut akan dibicarakan
kedua teknik tersebut satu per satu.
1. Teknik Ekspositori
Dalam teknik ekspositori, yang sering jug disebut sebagai teknik
analitis, pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi,
uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkan
oleh pengarang ke hadapan pembaca secara tidak berbelit-belit, melainkan
begitu saja dan langsung disertai deskripsi kehadirannya, yang mungkin
berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya.33
33
2. Teknik Dramatik
Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik, artinya mirip dengan
yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tak langsung. Artinya
pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta
tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan (baca: menyiasati) para tokoh
cerita untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas
yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat
tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi.34
Penampilan tokoh secara dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah
teknik. Dalam sebuah karya fiksi, biasanya pengarang mempergunakan
berbagai teknik itu secara bergantian dan saling mengisi, walau ada
perbedaan frekuensi penggunaan masing-masing teknik. Berbagai teknik
tersebut akan dikemukakan di bawah ini.
a) Teknik Cakapan
Percakapan yang dilakukan oleh (baca: diterapkan pada)
tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan
sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Bentuk percakapan dalam sebuah karya
fiksi, khususnya novel, umumnya cukup banyak, baik percakapan yang
pendek maupun yang (agak) panjang. Tidak semua percakapan,
memang mencerminkan kedirian tokoh, atau paling tidak, tidak mudah
untuk menafsirkannya sebagai demikian.35
b) Teknik Tingkah Laku
Jika teknik cakapan dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku
verbal berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyaran
pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik. Apa yang dilakukan orang
dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak dapat dipandang
sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang
mencerminkan sifat-sifat kediriannya.
34
Ibid, h. 198.
35
c) Teknik Pikiran dan Perasaan
Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang
melintas di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang (sering) dipikir
dan dirasakan oleh tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya jua. Bahkan pada hakikatnya, “tingkah laku” pikiran dan perasaanlah yang kemudian diejawantahkan menjadi tingkah laku
verbal dan nonverbal itu. Perbuatan dan kata-kata merupakan
perwujudan konkret tingkah laku pikiran dan perasaan.
Dengan demikian, teknik pikiran dan perasaan dapat ditemukan
dalam teknik cakapan dan tingkah laku. Artinya, penuturan itu
sekaligus untuk menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh.36
d) Teknik Arus Kesadaran
Teknik arus kesadaran (stream of consciousness) berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tak dapat dibedakan
secara pilah, bahkan mungkin dianggap sama karena memang
sama-sama menggambarkan tingkah laku batin tokoh. Dewasa ini dalam fiksi
modern teknik arus kesadaran banyak dipergunakan untuk melukiskan
sifat-sifat kedirian tokoh.
Arus kesadaran sering disamakan dengan interior monologue,
monolog batin. Monolog batin, percakapan yang hanya terjadi dalam diri sendiri, yang pada umumnya ditampilkan dengan gaya “aku”, berusaha menangkap kehidupan batin, urutan suasana kehidupan batin,
pikiran, perasaan, emosi, tanggapan, kenangan, nafsu, dan sebagainya.
e) Teknik Reaksi Tokoh
Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap
suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap-tingkah-laku orang lain, dan sebagainya yang berupa “rangsang” dari luar diri tokoh yang bersangkutan. Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat
36
dipandang sebagai suatu bentuk penampilan yang mencerminkan
sifat-sifat kediriannya.37
f) Teknik Reaksi Tokoh Lain
Reaksi tokoh (-tokoh) lain dimaksudkan sebagai reaksi yang
diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang
dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap,
komentar, dan lain-lain. Pendek kata: penilaian kedirian tokoh (utama)
cerita oleh tokoh-tokoh cerita yang lain dalam sebuah karya. Reaksi
tokoh juga merupakan teknik penokohan untuk menginformasikan
kedirian tokoh kepada pembaca.
g) Teknik Pelukisan Latar
Suasana latar (baca: tempat) sekitar tokoh juga sering dipakai
untuk melukiskan kediriannya. Pelukisan suasana latar dapat lebih
mengintensifkan sifat kedirian tokoh seperti yang telah diungkapkan
dengan berbagai teknik lain. Keadaan latar tertentu, memang, dapat
menimbulkan kesan yang tertentu pula di pihak pembaca.
h) Teknik Pelukisan Fisik
Keadaan fisik seseorang seing berkaitan dengan keadaan kejiwaan,
atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan
adanya keterkaitan itu. Misalnya, bibir tipis menyaran pada sifat ceriwis
dan bawel, rambut lurus menyaran pada sifat tidak mau mnegalah,
pandangan mata tajam, hidung agak mendongak, bibir yang bagaimana
dan lain-lain yang dapat menyaran pada sifat tertentu. Tentu saja hal
tersebut berkaitan dengan pandangan budaya masyarakat yang
bersangkutan.
Pelukisan keadaan fisik tokoh, dalam kaitannya dengan
penokohan, kadang-kadang memang terasa penting. Keadaan fisik
37
tokoh perlu dilukiskan, terutama jika ia memiliki bentuk fisik khas
sehingga pembaca dapat menggambarkan secara imajinatif.38
C. Pembelajaran Sastra di Sekolah
Proses belajar mengajar di dalam lingkungan formal, atau biasanya dikenal dengan istilah “pengajaran”, bertujuan mengembangkan potensi individual siswa sesuai dengan kemampuan siswa menyangkut kecerdasan,
kejujuran, keterampilan, pengenalan kemampuan dan batas kemampuannya,
dan karsa mengenali dan mempertahankan kehormatan dirinya. Dengan kata
lain, tiap kegiatan menyiratkan upaya pendidikan, yang bertujuan membina
watak siswa. Artinya, pengajaran sastra menghasilkan manusia-manusia yang
dapat bertahan hidup tanpa menyusahkan ataupun merepotkan orang lain.39
Sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran kebahasaan karena
sastra dapat meningkatkan keterampilan dalam berbahasa. Dengan
mempelajari sastra tentunya akan mempelajari aspek kebahasaan lainnya,
seperti menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan demikian sastra
dapat meningkatkan pengetahuan budaya, memperluas wawasan hidup,
pengetahuan-pengetahuan lain, serta mengembangkan kepribadian.
Pengajaran bahasa dan sastra dapat membangun kemanusiaan dan
kebudayaan sehingga dapat melahirkan masyarakat yang mampu berpikir
kritis mandiri, dan sanggup berekspresi dan berapresiasi dengan baik. Sastra
dalam pengajaran dapat membantu pengajaran kebahasaan karena sastra dapat
meningkatkan keterampilan dalam berbahasa. Sastra dapat membantu
pendidikan secara utuh karena sastra dapat meningkatkan pengetahuan
budaya, mengembangkan cipta, rasa, dan karsa, menunjang pembentukan
watak, mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan,
pengetahuan-pengetahuan lain dan teknologi.40
Dalam pengajaran sastra khususnya mengenai prosa cerita yang berbetuk
38
Ibid., h. 209-210.
39
Antilan Purba, Esai Sastra Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), h.30. 40
novel akan dipaparkan di sini. Sebagai seorang guru bahasa dan sastra
sebaiknya dapat menentukan novel yang cocok dibaca dikalangan pelajar saat
ini, sesuai dengan tingkat kebahasaan yang dikuasainya. Novel
memungkinkan seorang siswa dengan kemampuan membacanya, hanyut
dalam keasyikan. Saat ini banyak dijumpai novel-novel bermutu sastra.
Salah satu kelebihan novel sebagai bahan pengajaran sastra adalah cukup
mudahnya karya tersebut dinikmati siswa sesuai dengan tingkat
kemampuannya masing-masing perorangan.41 Namun, seperti yang diketahui
bahwa tingkat kemampuan tiap-tiap individu tidaklah sama. Hal ini bisa
menimbulkan masalah di kelas. Oleh karena itu, dalam melakukan pengajaran
novel, guru dituntut untuk luwes dan menggunakan strategi kerja kelompok
dengan baik. Tujuan utama yang dicapai dalam pengajaran novel meliputi
peningkatan kemampuan membaca baik secara intensif dan ekstensif.
Dalam melakukan pengajaran, tentunya ada masalah yang mencangkup
pengembangan minat secara umum. Berikut adalah solusi dalam menggiatkan
minat baca siswa.
1. Memberi contoh
Langkah penting untuk menanamkan kebiasaan pada seseorang
yaitu dengan memberi contoh atau tindakan nyata. Dalam hal ini membaca
adalah contoh terbaik yang diberikan oleh guru sendiri. Karena gurulah
yang dapat memberi gambaran jelas tentang pengalaman yang didapatnya
dari apa yang dibacanya.
Guru sastra hendaknya dapat memancing kesiapan para siswanya
untuk mengikuti contoh-contoh dengan memberikan bacaan berupa cerita
baru, esai, dan puisi yang sesuai dengan situasi khusus yang dihadapi
siswa-siswanya.42 Guru juga hendaknya memberikan kesempatan pertama
pada siswa yang telah siap mengemukakan pendapatnya, dan sambutan
atau pujian tentunya akan lebih baik membuat siswa lebih bersemangat.
41
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius,1988), h.66. 42
2. Memberi sugesti
Guru tidak hanya cukup memberi contoh, tapi dia juga harus
memberikan saran-saran agar contoh-contoh yang dia berikan dapat
dengan lebih mudah diikuti siswa-siswanya. Saat membaca buku tentunya
buku bacaan yang dipilih adalah yang mengandung saran baik ataupun
memberikan amanat yang dapat dipelajari oleh siswa dalam kehidupan
sehari-hari. Guru hendaknya memberikan daftar bacaan agar siswa lebih
mudah membaca buku yang dianjurkan. Dalam membuat daftar bacaan
ini, guru perlu juga mengadakan penelitian kecil-kecilan untuk mendapat
tanggapan siswa mengenai buku-buku terbitan baru yang perlu
diikutsertakan dalam daftar.
3. Memberi kemudahan
Saran-saran hendaknya diberikan dengan mempertimbangkan
kemudahan yang ada. Daftar buku yang dianjurkan harus dibuat
berdasarkan buku-buku yang mudah didapat siswa, misalnya di
perpustakaan.43 Menyuruh siswa membaca buku di perpustakaan tentunya
sangat menguntungkan. Siswa tak perlu mengeluarkan uang jika ingin
membaca buku karena perpustakaan siap menyewakan buku yang
diinginkan. Namun tentunya, guru seharusnya ikut serta menjadi anggota
perpustakaan atau terlibat dalam pengelolaannya sehingga dapat
menyampaikan saran serta usul yang berkenaan dengan kepentingan
siswa-siswanya. Selain itu pihak sekolah juga hendaknya terus berusaha
meningkatkan fasilitas perpustakaannya. Membuat perpustakaan menjadi
tempat belajar yang nyaman dan tidak menjenuhkan, tentunya akan
membuat siswa lebih senang untuk di sana dan membaca buku.
Buku-buku yang disediakan tentunya Buku-buku-Buku-buku yang mudah dipahami oleh
siswa. Beberapa buku yang sulit dipahami, dapat disediakan asalkan dapat
menumbuhkan minat baca siswa tersebut untuk membacanya sampai
tamat.
43
4. Pengukuhan
Untuk menumbuhkan motivasi membaca dari dalam diri siswa,
sebaiknya guru menyarankan agar siswa-siswanya membuat catatan
singkat tentang apa yang telah mereka baca. Buku catatan ini hendaknya
berisi informasi penting tentang buku-buku (novel) yang telah dibacanya,
yang meliputi: judul buku, masalah yang menarik perhatian, tokoh dalam
novel tersebut, komentar dan kritik, kutipan-kutipan yang diingat, dan
pendapat orang lain mengenai buku tersebut.44 Dengan melakukan
kegiatan tersebut, guru dapat mengetahui bagaimana minat baca siswa
terhadap suatu buku, selain itu guru juga dapat memasukkan sebagai nilai
tambahan agar siswa lebih termotivasi dan lebih bersemangat dalam
membaca.
44