• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dharmasisya Dharmasisya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Dharmasisya Dharmasisya"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Dharmasisya Dharmasisya

Volume 1 NOMOR 3 SEPTEMBER 2021 Article 5

November 2021

URGENSI PENGATURAN PRIVATE ENFORCEMENT DALAM URGENSI PENGATURAN PRIVATE ENFORCEMENT DALAM KONTEKS PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA

KONTEKS PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA

Andi Nugroho [email protected]

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya

Part of the Administrative Law Commons, Civil Law Commons, Constitutional Law Commons, Criminal Law Commons, and the International Law Commons

Recommended Citation Recommended Citation

Nugroho, Andi (2021) "URGENSI PENGATURAN PRIVATE ENFORCEMENT DALAM KONTEKS PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA," Dharmasisya: Vol. 1 , Article 5.

Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya/vol1/iss3/5

This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Law at UI Scholars Hub. It has been accepted for inclusion in Dharmasisya by an authorized editor of UI Scholars Hub.

(2)

URGENSI PENGATURAN PRIVATE ENFORCEMENT DALAM KONTEKS URGENSI PENGATURAN PRIVATE ENFORCEMENT DALAM KONTEKS PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA

PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA

Cover Page Footnote Cover Page Footnote

Mustafa Kamal Rokan, 2012, “Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Prakteknya di Indonesia)”, Jakarta:

RajaGrafindo Persada, hal. 1. Satjipto Raharjo, 2005, “Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis”, Sinar Biru, Bandung, hal. 24. Lihat Pasal 35 dan 36, Tugas dan Kewenangan KPPU

berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Joost Hermans, “Private Enforcement of Competition Law”, https://sites.google.com/

site/privateenforcementcompetition/, diakses pada 30 November 2020. Ilya R. Segal dan Michael D.

Whinsto, 2016, “Public vs. Private Enforcement of Antitrust Law: A Survey”, hal. 1. Antonio Capobianco and Sunmi Lee, “Relationship Between Public and Private Antitrust Enforcement: Note by the Secretariat”, http://www.oecd.org/officialdocuments/publicdisplaydocumentpdf/?cote=DAF/COMP/

WP3(2015)14&doclanguage=en, diakses pada 31 Oktober 2020. Tihamer Toth, 2016, “The Interaction of Public and Private Enforcement of Competition Law Before and After the EU Directive – A Hungarian Perspective”, Yearbook of Antitrust and Regulatory Studies, hal. 48 Kai Hüschelrath dan Heike Schweitzer, 2014, “Public and Private Enforcement of Competition Law in Europe – Introduction and Overview, Springer”, Berlin, hal. 1 Ilya R. Segal dan Michael D. Whinston, 2006, “Public vs. Private Enforcement of Antitrust Law: A Survey”, Stanford Law School, hal. 4. Charles E. Koob, David E. Vann, Jr. dan Arman Y.

Oruc, 2004, “Developments in Private Enforcement of Competition of Laws – Introduction”, Simpson Thacher & Bartlett Llp Journal, hal.1. Hukum Online, “KPPU Nyatakan Temasek Langgar UU Anti Monopoli”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18017/kppu-nyatakan-temasek-langgar-uu- anti-monopoli/, diakses pada 31 Oktober 2020. Lihat amar putusan gugatan 111/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pstp pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. “Laporan Tahunan 2018”.(Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Jakarta Pusat. 2018). hal 23 “Laporan Tahunan 2019”. (Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Jakarta Pusat. 2019) hal 32-36 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), 2015,

Relationship Between Public and Private Antitrust Enforcement, hal. 3. Stephen Calkins, “Competition Law in the United States of America”, Wayne State University Law School Legal Studies Research Paper Series No. 07-04, (April 2007), hal. 7 Daniel A. Crane, “Private Enforcement of U.S. Antitrust Law — A Comment on the U.S. Courts Data”, https://www.competitionpolicyinternational.com/private-enforcement-of-u-s- antitrust-law-a-comment-on-the-u-s-courts-data, diakses 3 Oktober 2020. Emilie van Hasselt dan Hans Urlus, “Follow-on Private Antitrust Damage Suits in the EU: Netherlands Experience”,

https://www.lexology.com/library/detail.aspx?g=9d90b410-fe1d- 4ea9-a76f-20b4f498da4c, diunduh Senin, 25 Oktober 2020. Denis Waelbroeck, Donald Slater, dan Gil Even-Shoshan, “Study on the Conditions of Claim for Damages in Case of Infringement of EC Competition Rules”, Ashurts, Agustus 2004, hal. 38.

Astrella Maryadi Putri, 2018, “Penerapan Prinsip Private Enforcement Sebagai Upaya Memperoleh Ganti Rugi Dalam Hukum Persaingan Usaha di Amerika Serikat dan Uni Eropa”, Skripsi, Universitas Indonesia, Depok. hal. 81. Donncadh Woods, Ailsa Sinclair, dan David Ashton, 2004, “Private Enforcement of Community Competition Law: Modernisation and The Road Ahead”, Competition Policy Newsletter. hal.

37. Subhan Amin, Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Hukum Terhadap Masyarakat, Vol. 8 No. 1, Februari 2019.

This article is available in Dharmasisya: https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya/vol1/iss3/5

(3)

DHARMASISYA

Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 1143-1152

e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

URGENSI PENGATURAN PRIVATE ENFORCEMENT DALAM KONTEKS PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA

Andi Nugroho

Fakultas Hukum Universitas Indonesia Korespodensi: [email protected]

Abstrak

Persaingan usaha merupakan salah satu faktor penting dalam memberikan stimulasi perkembangan ekonomi pada suatu negara. Adapun persaingan usaha dapat mendorong para pelaku usaha untuk bersaing melakukan inovasi usaha demi mendapatkan konsumen yang loyal sehingga keuntungan yang maksimal dapat tercapai. Salah satu mekanisme penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia adalah dengan metode private enforcement. Secara umum di Indonesia, penegakan hukum dengan metode private enforcement dalam tertib persaingan usaha belum diatur secara tegas pada UU No. 5 Tahun 1999. Hal ini dapat terlihat dari ganti kerugian yang menjadi salah satu unsur private enforcement hanya diatur satu pasal pada UU No. 5 Tahun 1999. Pada ketentuan tersebut yang hanya memberi kewenangan kepada KPPU dalam penetapan ganti kerugian. Rumusan masalah yang dikemukakan dalam jurnal ini adalah bagaimanakah sistem penegakan hukum persaingan usaha dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?, dan apakah yang menjadi urgensi metode private enforcement perlu diatur dalam penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia?. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis-normatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam penegakan UU No. 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh KPPU perlu ditingkatkan dalam memberantas dan upaya pencegahan terhadap pelanggaran Hukum Persaingan Usaha di Indonesia melaui pembaharuan peraturan perundang-undangan dan prosedur yang komprehensif, dan aturan perundang-undangan pro persaingan di Indonesia, namun penindakan oleh perorangan atau kelompok terhadap pelanggar Undang-Undang Persaingan Usaha masih belum efisien terwujud diakarenakan belum terdapat regulasi yang mengaturnya secara jelas

Kata kunci : Persaingan Usaha, Penegakan Hukum, Private Enforcement, KPPU Abstract

Business competition is one of the important factors in stimulating economic development in a country. As for business competition, it can encourage business actors to compete in conducting business innovations in order to get loyal consumers so that maximum profits can be achieved. One of the mechanisms for enforcing business competition law in Indonesia is the private enforcement method. In general, in Indonesia, law enforcement using the private enforcement method in orderly business competition has not been explicitly regulated in Law no. 5 of 1999. This can be seen from the compensation which is one of the elements of private enforcement which is only regulated by one article in Law no. 5 of 1999. In this provision, the KPPU only authorizes the determination of compensation. The formulation of the problem raised in this journal is how is the business competition law enforcement system in Law Number 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition?, and what is the urgency of the private enforcement method that needs to be regulated in law enforcement of business competition in Indonesia? ?. The research was conducted using the juridical- normative method. This study concludes that in the enforcement of Law no. 5 of 1999 carried out by KPPU needs to be improved in eradicating and preventing violations of the Business Competition Law in Indonesia through the renewal of comprehensive legislation and procedures, and pro-competition laws and regulations in Indonesia, however, individual or group action against violators The Business Competition Law is still not being implemented efficiently because there is no regulation that clearly regulates it

Keywords: Business Competition, Law Enforcement, Private Enforcement, KPPU

I. PENDAHULUAN

Persaingan usaha merupakan salah satu faktor penting dalam memberikan stimulasi perkembangan ekonomi pada suatu negara. Adapun persaingan usaha dapat mendorong para pelaku usaha untuk bersaing melakukan inovasi usaha demi mendapatkan konsumen yang loyal sehingga keuntungan yang maksimal dapat tercapai.

Suasana persaingan yang ketat terkadang membuat pelaku usaha untuk mencari jalan instan demi memperoleh keuntungan, salah satunya dengan melakukan perjanjian dan kegiatan yang dilarang. Dalam aktivitas bisnis, persaingan selalu identik dengan kompetisi antar pelaku usaha. Adanya kompetisi ini kemudian menyebabkan terjadinya persaingan antar pelaku usaha untuk saling mengungguli dalam banyak hal terutama di bidang ekonomi. Pelaku usaha akan berusaha menciptakan mengemas, serta memasarkan produk yang dimiliki baik barang/jasa

(4)

DHARMASISYA

Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 1143-1152

e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

sebaik mungkin agar diminati dan dibeli oleh konsumen. Persaingan dalam usaha dapat berimplikasi positif, sebaliknya, dapat menjadi negatif jika dijalankan dengan perilaku negatif dan sistem ekonomi yang menyebabkan tidak kompetitif.1 Hukum Persaingan Usaha hadir demi meningkatkan efisiensi ekonomi melalui prosedur persaingan usaha yang sehat sebagai upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.

Penegakan hukum di Indonesia atau dalam istilah lain disebut law enforcement, merupakan sebuah mekanisme untuk merealisasikan kehendak pembuat perundang–undangan yang dirumuskan dalam produk hukum tertentu.2 Dalam hal Penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia dilakukan oleh Lembaga Negara Komplementer (state auxiliary organ) yakni Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang didirikan pada Tahun 2000. KPPU sebagai Lembaga Publik diberikan kewenangan oleh peraturan perundang-undangan dalam melakukan penelitian dan penyelidikan untuk menentukan apakah seseorang atau sekelompok pelaku usaha melanggar ketentuan yang termaktub dalam Hukum Persaingan Usaha.3 Penegakan hukum yang dilakukan KPPU bertujuan untuk mencegah dan menghentikan pelanggaran persaingan usaha, secara bersamaan pula memulihkan kerusakan/kerugian yang ditimbulkan akibat pelanggaran tersebut.4

Referensi dan literatur mengenai mekanisme penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia banyak mengadopsi peraturan dari negara maju, hal tersebut terjadi karena negara- negara maju pada umumnya memiliki aktivitas ekonomi yang berkembang pesat dan kompleks.

Perkembangan aktivitas ekonomi mengharuskan pemerintah untuk membuat aturan yang responsif demi mengakomodir kebutuhan pelaku usaha utamanya aturan mengenai persaingan usaha. Amerika Serikat dan beberapa negara yang tergabung di dalam Uni Eropa (EU) merupakan contoh nyata Negara yang memiliki pengaturan secara komprehensif terkait Hukum Persaingan Usaha.

Mekanisme penegakan hukum persaingan usaha terdiri atas 2 jalur, yakni public enforcement dan private enforcement. Kedua metode tersebut digunakan dibanyak negara, namun dengan derajat yang berbeda.5 Private enforcement banyak digunakan di Amerika Serikat, Inggris dan negara dengan sistem common law. Berbanding terbalik, negara dengan sistem hukum civil law seperti negara-negara Uni Eropa, lebih sedikit dalam melakukan private enforcement dan lebih banyak menggunakan upaya hukum public enforcement untuk penindakan pelanggaran persaingan usaha.

Public enforcement dalam hukum persaingan usaha dilaksanakan oleh pemerintah melalui lembaga yang berwenang sebagai pemegang otoritas persaingan usaha dalam mendeteksi dan memberikan sanksi bagi pihak yang melanggar ketentuan dalam persaingan usaha.6 Penegakkan hukum tersebut dilakukan berdasarkan aturan persaingan usaha yang disertai sanksi dalam

1 Mustafa Kamal Rokan, 2012, “Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Prakteknya di Indonesia)”, Jakarta:

RajaGrafindo Persada, hal. 1.

2 Satjipto Raharjo, 2005, “Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis”, Sinar Biru, Bandung, hal.

24.

3 Lihat Pasal 35 dan 36, Tugas dan Kewenangan KPPU berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

4 Joost Hermans, Private Enforcement of Competition Law”, https://sites.google.com/site/privateenforcementcompetition/, diakses pada 30 November 2020.

5 Ilya R. Segal dan Michael D. Whinsto, 2016, “Public vs. Private Enforcement of Antitrust Law: A Survey”, hal.

1.

6 Antonio Capobianco and Sunmi Lee, “Relationship Between Public and Private Antitrust Enforcement: Note

by the Secretariat”,

http://www.oecd.org/officialdocuments/publicdisplaydocumentpdf/?cote=DAF/COMP/WP3(2015)14&

doclanguage=en, diakses pada 31 Oktober 2020.

(5)

DHARMASISYA

Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 1143-1152

e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

lingkup pidana dan administratif.7 Sebaliknya, private enforcement dilakukan oleh individu, organisasi atau badan hukum yang menggunakan gugatan perdata atas pelanggaran persaingan usaha untuk memperoleh ganti kerugian, ataupun menghentikan tindakan merugikan yang dilakukan pelaku usaha.8

Secara garis besar public enforcement ataupun privat enforcement memilki dua perbedaan utama, yakni informasi yang tersedia untuk penegak hukum dan perbedaan tujuan para penegak hukum.9 Pada penindakkan hukum secara publik lembaga pemerintah umumnya memiliki akses yang mudah terhadap dokumen atau alat bukti disebabkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan pihak yang melakukan tindakan secara privat tidak memiliki kewenangan tersebut. Meninjau dari sudut pandang tujuan penegakkan hukum, public enforcement dilakukan untuk menjamin kepentingan publik, yang mana private enforcement dilakukan demi kepentingan pribadi terhadap kerugian yang di alami.

Menarik untuk dikaji bahwa diantara dua metode penegakkan hukum persaingan usaha di negara seperti Amerika Serikat, metode private enforcement adalah yang paling efektif dalam memberikan efek jera bagi para pelanggar. Dikarenakan biaya ganti rugi yang dikenakan kepada pelaku usaha dapat menjadi tiga kali lipat dari maksimum denda yang ditetapkan pada undang- undang. Selain itu pembebanan biaya berperkara dan jasa hukum selama persidangan ditanggung juga oleh pelaku usaha yang dinyatakan bersalah. Disamping itu trend penggunaan private enforcement berkembang secara global, sehingga Uni Eropa, Inggris, Kanada, dan beberapa negara lain berupaya untuk mempercepat perumusan prosedur yang subtantif guna penerapan private enforcement pada penegakan hukum persaingan usaha pada yurisdiksi masing-masing negara.10

Secara umum di Indonesia, penegakan hukum dengan metode private enforcement dalam tertib persaingan usaha belum diatur secara tegas pada UU No. 5 Tahun 1999. Hal ini dapat terlihat dari ganti kerugian yang menjadi salah satu unsur private enforcement hanya diatur satu pasal pada UU No. 5 Tahun 1999. Pada ketentuan tersebut yang hanya memberi kewenangan kepada KPPU dalam penetapan ganti kerugian.

Upaya private enforcement sebelumnya pernah diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta dalam perkara 111/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst berupa gugatan class action yang diprakarsai oleh sembilan kelompok yang secara bersama-sama merasa dirugikan oleh grup perusahaan Temasek karena menetapkan tarif telekomunikasi secara eksesif. Hal yang menjadi dasar pengajuan penggugat dalam gugatan tersebut berdasar pada keputusan KPPU No. 07/KPPU-L/2007. Meskipun keputusan KPPU tersebut dinyatakan berkekuatan hukum tetap dan kesembilan anak perusahaan Temasek dikenakan denda masing-masing 25 milliar rupiah,11 namun oleh majelis hakim menyatakan gugatan class action yang diajukan 9 perwakilan kelompok masyarakat dengan nomor register 111/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst tersebut tidak dapat diteima (niet ontvankelijkverklaard) karena cacat secara materil.12 Padahal jika merujuk pada negara-negara maju yang pertumbuhan ekonomi dan bisnisnya begitu pesat, metode private enforcement efektif menjaga stabilitas persaingan usaha tetap sehat.

7 Tihamer Toth, 2016, “The Interaction of Public and Private Enforcement of Competition Law Before and After the EU Directive – A Hungarian Perspective”, Yearbook of Antitrust and Regulatory Studies, hal. 48

8 Kai Hüschelrath dan Heike Schweitzer, 2014, “Public and Private Enforcement of Competition Law in Europe – Introduction and Overview, Springer”, Berlin, hal. 1

9 Ilya R. Segal dan Michael D. Whinston, 2006, “Public vs. Private Enforcement of Antitrust Law: A Survey”, Stanford Law School, hal. 4.

10 Charles E. Koob, David E. Vann, Jr. dan Arman Y. Oruc, 2004, “Developments in Private Enforcement of Competition of Laws – Introduction”, Simpson Thacher & Bartlett Llp Journal, hal.1.

11 Hukum Online, “KPPU Nyatakan Temasek Langgar UU Anti Monopoli”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18017/kppu-nyatakan-temasek-langgar-uu-anti-monopoli/, diakses pada 31 Oktober 2020.

12 Lihat amar putusan gugatan 111/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pstp pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

(6)

DHARMASISYA

Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 1143-1152

e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

Berdasarkan penjelasan diatas, artikel ini akan memfokuskan analisis terhadap bentuk penerapan private enforcement yang dapat dilakukan di Indonesia dan bagaimana penerapan private enforcement yang sesuai dengan asas-asas dan ketentuan hukum persaingan usaha yang telah diatur sebelumnya

Rumusan masalah yang dikemukakan dalam artikel ini adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Apakah yang menjadi urgensi metode private enforcement perlu diatur dalam penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia

II. PEMBAHASAN

A. Sistem Penegakan Hukum Persaingan Usaha dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Keberadaan UU No. 5 Tahun 1999 yang berlaku sejak 5 Maret 1999 memerlukan pengawasan dalam rangka impelementasinya. Berdirinya Komisi Persaingan Usaha Tidak Sehat atau KPPU guna memastikan keberlakuan dan pengawasan Undang-Undang Antimonopoli tersebut. KPPU umumnya telah menangani bermacam-macam kasus persaingan usaha yang diklasifikasikan pada UU No. 5 Tahun 1999. Efektifitas KPPU dapat dinilai dengan aktivitas penanganan hukum persaingan usaha yang telah ditanganinya.

Lembaga publik pada bidang persaingan usaha Komisi Persaingan Usaha tidak Sehat atau KPPU umumnya telah menangani banyak kasus persaingan usaha di Indonesia sebut saja tender, posisi dominan di pasar, hingga kartel yang dampaknya luas terhadap kepentingan masyarakat seperti pengusaha, konsumen, juga kepentingan ekonomi secara luas. Efektifitas KPPU dapat dinilai dengan aktivitas penanganan hukum persaingan usaha yang telah ditanganinya. Pada tahun 2019 laporan yang masuk dari masyarakat berjumlah 132 dimana 94 adalah laporan tender dan 38 laporan non-tender, dengan 35 jumlah kasus yang ditangani yang terdiri dari 12 perkara lintas tahun dan 23 perkara yang diregister pada tahun 201813. Bedasarkan Laporan Tahunan 2019 KPPU 2019 ditahun 2019 tercatat ada total 132 laporan yang diterima dari masyarkat, dimana 62% adalah laporan tender dan 38% laporan tender, jadi sepanjang tahun 2019 KPPU tengah menangani 132 laporan ditambah 32 laporan lintas tahun dengan 23 laporan yang dilanjutkan ke tahap penyidikan dan 56 perkara masih dalam proses.14 Jumlah diatas dapat menjadi contoh bagaimana efiktifitas KPPU sebagai wasit persaingan usaha belum maksimal diluar ketidakmaksimalan kinerja KPPU diakibatkan karena lemahnya kewenangan yang dimiliki juga kurangnya support yang diberikan oleh lembaga yang berwenang.

Sampai saat ini sudah banyak putusan dari perkara persaingan usaha yang telah ditangani KPPU masih banyak yang diajukan ke tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung sebagai bentuk kebertan oleh pihak terlapor.

B. Urgensi Penerapan Private Enforcement di Indonesia 1. Pengertian Private Enforcement

Private enforcement can generally be defined as litigation initiated by an individual, a legal entity, an organisation or a public entity (such as local government and procurement agency in the bid-rigging case) to have a court establish an antitrust infringement and order the recovery of the damages suffered or impose injunctive reliefs.15

13Laporan Tahunan 2018”.(Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Jakarta Pusat. 2018). hal 23

14Laporan Tahunan 2019”. (Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Jakarta Pusat. 2019) hal 32-36

15 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), 2015, Relationship Between Public and Private Antitrust Enforcement, hal. 3.

(7)

DHARMASISYA

Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 1143-1152

e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

Berdasarkan pengertian diatas, Public enforcement dapat didefinisikan sebagai penyelesaian perkara yang diprakarsai oleh individu, legal entitas, atau organisasi untuk meminta pengadilan menetapkan pelanggaran persaingan usaha dan memerintahkan pemulihan kerusakan yang diderita atau pemberlakuan ganti rugi.

2. Penerapan Private Enforcement di Amerika Serikat dan Uni Eropa a. Amerika Serikat

Amerika Serikat dalam melakukan penegakan hukum persaingan usaha melibatkan Divisi Antitrust dari U.S. Department of Justice, U.S. Federal Trade Commission, State Attorney General, pengacara yang menjadi wakil dari individu, kelompok konsumen, pesaing usaha, pemasok, atau pihak lain yang merasa dirugikan. Konsekuensi dari praktik persaingan usaha termasuk hukuman pidana berupa penahanan serta denda memiliki potensi yang sangat tinggi, perintah, penggantian kerusakan sebesar tiga kali lipat, dan dalam beberapa kasus tertentu juga dapat berupa penggantian konsumen.16

Mengutip ketentuan yang tercantum dalam Sec. 4 Clayton Act yang mana merumuskan peluang bagi subjek hukum privat untuk mengajukan gugatan sebagai upaya untuk memulihkan hak dalam hukum persaingan usaha, yaitu:

Any person who shall injured in his business or property by reason of anything forbidden in the antitrust law may sue therefor in any district court of the United States in the district in which the defendant resides or is found or has an agent, without respect to the amount in controversy, and shall recover threefold the damage by him sustained, and the cost of suit, incuding reasonable attorney’s fee.

Jika diterjemahkan, maka setiap orang yang memiliki usaha atau hak milik, yang mungkin akan dirugikan dengan dilakukannya kegiatan yang dilarang dalam undang-undang antimonopoli oleh pihak lain, dapat menuntut di pengadilan mana pun di Amerika Serikat dan berhak atas pemulihan dari kerusakan yang diderita hingga tiga kali lipat mencakup biaya perkara dan biaya terhadap jasa hukum yang wajar.

Penegakan hukum privat di Amerika Serikat menggunakan metode Follow-on-litigation yaitu upaya hukum yang dilakukan dengan berdasarkan putusan public enforcement yang kemudian menjadi bukti permulaan (prima facie) dalam melanjutkan proses peradilan perdata berikutnya.

Alternatif dalam penegakan hukum privat yang menggunakan metode follow-on-litigation yaitu gugatan independen suatu gugatan yang berdiri sendiri dan diajukan oleh pihak-pihak tertentu tanpa melalui putusan dari public enforcement. Alternatif tindakan ini dapat digunakan sebagai upaya untuk memperoleh ganti rugi atas tindakan anti persaingan usaha yang ditolak oleh otoritas persaingan usaha karena beberapa alasan. Terdapat dua jenis gugatan yaitu gugatan individu serta gugatan perwakilan kelas (class action).

Kelengkapan aturan yang dimiliki Amerika Serikat berimplikasi terhadap maraknya tindakan private enforcement sejak pertengahan 1980-an, dengan jumlah pengajuan baru tiap tahun berkisar diantara 600-900 gugatan, dengan tingkat penyelesaian perkara hingga seperempat dari total gugatan.17

b. Uni Eropa

Penegakan private enforcement di Uni Eropa, juga mengenal ketentuan dalam hal follow-on-

16 Stephen Calkins, “Competition Law in the United States of America”, Wayne State University Law School Legal Studies Research Paper Series No. 07-04, (April 2007), hal. 7

17 Daniel A. Crane,Private Enforcement of U.S. Antitrust Law — A Comment on the U.S. Courts Data”, https://www.competitionpolicyinternational.com/private-enforcement-of-u-s-antitrust-law-a-comment- on-the-u-s-courts-data, diakses 3 Oktober 2020.

(8)

DHARMASISYA

Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 1143-1152

e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

litigation walaupun sampai saat ini jumlah kasusnya masih terbatas.18 Setiap subjek hukum yang terdiri atas orang atau badan hukum berhak mengajukan gugatan apabila memiliki kerugian yang diakibatkan tindakan antikompetitif ke Pengadilan Nasional negara anggota, tempat si subjek hukum berdomisili.19 Juga dalam kasus kerugian yang diakibatkan tindakan antikompetitif yang melibatkan pembeli, termasuk direct purchasers dan indirect purchasers.

Mekanisme follow-on-litigation diterapkan dalam kasus Paraffin Wax Cartel (Exxon, Mobil, Total, Shell, dan Sasol) yang berdasarkan keputusan dari European Commission di 2008 dinyatakan bersalah atas tindakan persaingan usaha tidak sehat yang mana pada tahun 2013, seorang pelaku usaha, delapan pembeli, mengajukan gugatan terhadap empat pelaku usaha anggota kartel. Kemudian, Pengadilan Distrik Den Haag memfasilitasi pengajuan gugatan secara kelompok dengan yurisdiksi mengikuti Tergugat.20 Komisi Anti Persaingan di Uni Eropa saat ini sedang melihat kondisi di mana pihak swasta dapat mengambil tindakan sebelum pengadilan nasional dari Negara Anggota atas pelanggaran peraturan persaingan Komunitas. Secara umum dinyatakan bahwa di AS private enforcement menyumbang sekitar 90% dari penegakan hukum persaingan usaha, sedangkan seperti disebutkan di atas, di Eropa hingga saat ini hanya ada sedikit kasus yang berhasil di bidang ini.21

3. Dampak penerapan Private Enforcement di Indonesia

Penerapan private enforcement terhadap pelanggaran undang-undang persaingan usaha dapat dilakukan dengan menggunakan aturan perundang-undangan baik yang umum seperti (KUHPerdata dan KUHPidana) maupun yang sektoral (Undang-Undang Perseroan Terbatas dll) yang secara tidak langsung menyinggung soal persaingan usaha. Seperti yang dijelaskan sebagai berikut:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Di antara berbagai ketentuan yang terdapat pada KUH Perdata yang dapat melindungi pelaku usaha dari tindak pelaku usaha lain yang merugikan adalah Pasal 1365. Pasal 1365 ini yang terkait dengan perihal “perbuatan melanggar hukum” dalam lingkup KUH perdata. Menurut pasa ini, setiap pihak yang menderita kerugian akibat suatu persaingan yang tidak wajar, dapat menuntut ganti rugi apabila dapat dibuktikan bahwa perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang "melanggar hukum".

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Di dalam Pasal 382 bis KUH Pidana memberikan ancaman pidana penjara terhadap atau kepada orang yang melakukan "persaingan curang". Seseorang disebut melakukan persaingan curang menurut pasal ini adalah apabila dapat dibuktikan memenuhi unsur-unsur bahwa ia melakukan suatu perbuatan penipuan; penipuan itu dilakukan untuk memperdayai masyarakat atau orang lain; perbuatan itu dilakukan untuk menarik keuntungan di dalam usahanya atau usaha orang lain; dan perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi saingannya. Ketiadaan pemenuhan salah satu unsur, tidak dapat dipidana oleh pasal ini.

c. Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Umum)

18 Emilie van Hasselt dan Hans Urlus, “Follow-on Private Antitrust Damage Suits in the EU:

Netherlands Experience”, https://www.lexology.com/library/detail.aspx?g=9d90b410-fe1d- 4ea9-a76f- 20b4f498da4c, diunduh Senin, 25 Oktober 2020.

19 Denis Waelbroeck, Donald Slater, dan Gil Even-Shoshan, “Study on the Conditions of Claim for Damages in Case of Infringement of EC Competition Rules”, Ashurts, Agustus 2004, hal. 38.

20 Astrella Maryadi Putri, 2018, “Penerapan Prinsip Private Enforcement Sebagai Upaya Memperoleh Ganti Rugi Dalam Hukum Persaingan Usaha di Amerika Serikat dan Uni Eropa”, Skripsi, Universitas Indonesia, Depok. hal. 81.

21 Donncadh Woods, Ailsa Sinclair, dan David Ashton, 2004, “Private Enforcement of Community Competition Law: Modernisation and The Road Ahead”, Competition Policy Newsletter. hal. 37.

(9)

DHARMASISYA

Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 1143-1152

e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

Dari substansi Pasal 5 UU No. 11 / 1967 yang menyatakan bahwa “usaha pertambangan dapat dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri; perusahaan negara;

perusahaan daerah; perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan Daerah; koperasi;

badan atau perseorangan swasta yang memenuhi syarat-syarat; perusahaan dengan modal bersama antara Negara, dan/atau Daerah dengan koperasi dan/atau badan/perseorangan swasta yang memenuhi syarat; dan pertambangan rakyat; yang nota bene seluruh pelaku usaha, maka dapat dikatakan bahwa secara umum, undang-undang ini pro-kompetisi.

Adapun beberapa persyaratan dan kualifikasi bidang pertambangan, sejauh ini dapat ditolelir.

d. Undang-undang No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi

Undang-undang No. 8 Tahun 1971 (UU No. 8 / 1971) ini merupakan produk undang- undang “lex specialis” dari UU No. 11 / 1967 tentang Pertambangan (Umum) yang “lex generalis”. Pada hakekatnya bidang pertambangan adalah bidang yang terbuka akan kompetisi para pelaku usaha namun dengan adanya UU No. 8 / 1971 ini bidang pertambangan minyak dan gas bumi menjadi tertutup. Ketertutupan ini dapat dilihat di dalam Pasal 11 yang menyatakan bahwa “kepada Pertamina (Badan Usaha Milik Negara) disediakan seluruh wilayah hukum pertambangan Indonesia sepanjang mengenai pertambangan minyak dan gas bumi”. Artinya bahwa Pertamina memiliki hak monopoli mutlak terhadap seluruh lahan (termasuk pula) usaha pertambangan minyak dan gas bumi. Adapun mengenai eksistensi “Production Sharing Contract” (PSC), sesuai dengan Pasal 12, diserahkan sepenuhnya kepada Pertamina apakah akan membuatnya atau tidak. Dan kepada pihak mana Pertamina akan membuat PSC juga diserahkan keputusannya kepada Pertamina. Namun begitu PSC tersebut baru berlaku, apabila telah mendapat persetujuan dari Presiden.

e. Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perindustrian.

Di dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian dinyatakan bahwa

“Pemerintah melakukan pengaturan industri, untuk mewujudkan perkembangan industri yang lebih baik secara sehat dan berhasil guna; mengembangkan persaingan yang baik dan sehat, mencegah persaingan tidak jujur; dan mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.”

Namun Pasal 12 menyatakan bahwa “untuk mendorong pengembangan cabang-cabang industri dan jenis-jenis industri tertentu di dalam negeri, Pemerintah dapat memberikan kemudahan dan/atau perlindungan yang diperlukan”. Sedangkan menurut penjelasan pasal ini “yang dimaksud dengan kemudahan dan/atau perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah untuk mendorong pengembangan cabang industri dan jenis industri adalah antara lain dalam bidang perpajakan, permodalan dan perbankan, bea masuk dan cukai, sertifikat ekspor dan lain sebagainya”. Pasal 12 di ataslah yang selama ini menjadi “biang keladi” legitimasi bagi praktek-praktek persaingan usaha yang negatif di bidang industri yang dilindungi dari pemerintah. Otoritas Pemerintah untuk melakukan tindak perlindungan tersebut tidak memiliki batasan (lihat penjelasan Pasal 12 di atas) dan dapat diinterprestasikan

“se-enak” oleh pemerintah.

f. Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

Substansi aturan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang menyinggung permasalahan persaingan usaha, khususnya persaingan dalam kegiatan Pasar Modal. Dalam substansi beberapa aturan ditegaskan adanya kebutuhan akan kegiatan pasar modal yang wajar (fair) dan menjunjung persaingan yang sehat, seperti pada Pasal 4, Pasal 7 (1), Pasal 10, Pasal 14 (1) dan (2), Selain itu, ada 8 pasal (Pasal 35 sampai dengan Pasal 42) yang mengatur mengenai pedoman perilaku di pasar modal seperti perusahaan efek dan penasehat investasi dilarang untuk mengadakan tekanan kepada nasabah, mengungkapkan informasi mengenai nasabah, memberikan informasi salah kepada nasabah, berkolusi dengan

(10)

DHARMASISYA

Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 1143-1152

e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

pihak yang terafiliasi yang merugikan pihak yang tidak terafiliasi dll. Pasal 84 menyatakan bahwa emiten atau perusahaan publik yang melakukan penggabungan, peleburan, keterbukaan, kewajaran dan pelaporan yang ditetapkan oleh Bapepam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan pada Bab XI undang-undang ini diatur tentang masalah penipuan, manipulasi pasar, dan perdagangan orang dalam (insider trading).

g. Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Di beberapa negara, seperti Australia juga di Canada dan India, issue mengenai persaingan usaha dan perlindungan konsumen disatukan dalam satu produk peraturan perundangundangan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena memang kedua issue itu sangatlah dekat yaitu terkait dengan perlindungan kepentingan ekonomi konsumen. Karena salah satu tujuan dari kebijakan persaingan usaha adalah untuk memberi keuntungan kepada konsumen misalnya berupa harga dan pelayanan yang kompetitif. Biasanya pengadopsian issue perlindungan konsumen di dalam produk hukum persaingan usaha ialah melalui segmen

“unfair business practices” atau dengan terjemahan bebasnya “praktek usaha tidak jujur / sehat”. Kalaupun di beberapa negara kebijakan persaingan usaha dan kebijakan perlindungan konsumen terpisah ke dalam dua produk perundang-undangan, namun banyak negara yang menganut pemisahan tersebut menyerahkan penanganan pengawasan dan pembinaan ke satu badan yang sama seperti di Perancis, Rusia, dan Amerika Serikat. Berkaitan dengan eksistensi UU No. 5 / 1999 tentang persaingan usaha di atas, issue “unfair business practices” atau diterjemahkan dengan “praktek persaingan usaha tidak sehat” ternyata penekanannya hanya pada hubungan antar pelaku usaha tidak melingkupi hubungan dengan konsumen. Namun begitu, kenyataannya adalah bahwa terkadang pelaku usaha pun berperan sebagai

“konsumen” pada saat memerankan diri sebagai “pembeli” meskipun masuk ke dalam katagori “konsumen antara” Sedangkan di dalam UU No. 8 / 1999 lingkup konsumen yang di diatur adalah konsumen dalam katagori “konsumen akhir”. Penindakan secara individu atau kelompok pada UU No. 5 Tahun 1999 bisa dikatakan oleh penulis tidak efektif karena perkara seperti ini sulit dibuktikan karena beban pembuktian (burden of proof) berada di penggugat. Hal ini wajar mengingat pengetahuan masyarakat mengenai mekanisme pengajuan dan konsep pelanggaran hukum persaingan usaha belum pernah diatur secara khusus di peraturan perundangan-undangan terkait pendindakannya oleh badan bukan publik. Melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 yang mengatur mengenai mekanisme class action yang merupakan salah satu tindakan private enforcement kurang lengkap untuk mengakomodir gugatan class action pada kasus persaingan usaha. Hal ini bisa menjadi suatu hambatan terselenggaranya sistem persaingan usaha yang sehat sebab pihak yang menderita kerugian enggan menuntut haknya.

Bedasarkan dari uraian diatas untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul, maka kebutuhan informasi serta pengetahuan tentang mekanisme private enforcement yang bersifat praktis, kini sangat dirasakan kebutuhannya. Seperti di negara-negara lain yang telah mempunyai prosedur private enforcement pada umumnya keuntungan yang didapatkan sama yaitu:

a. Penerapan private enforcement meningkatkan pencegahan kepada pelaku dan calon pelanggar lainnya yang melanggar hukum. Penggunaan private enforcement di hukum persaingan usaha sebagai penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak diluar dari lembaga negara, baik sebagai diri sendiri, berkelompok dengan metode follow on litigation, dengan tujuan mengoptimalkan penegakan atas pelanggaran undang-undang di bidang Persaingan usaha.

Dengan diterapkannya prosedur private enforcement berarti mendorong setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan baik swasta maupun pemerintah untuk bertindak lebih berhati-hati dalam menjalankan usahanya.

(11)

DHARMASISYA

Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 1143-1152

e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

b. Penerapan ini juga sesuai dengan konsep keadilan korektif yang mana berfokus kepada menjamin, mengawasi, memelihara hak dari anggota masyarakat22 .

III. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian yang telah dibahas pada bagian pembahasan, penulis mengambil beberapa kesimpulan atas rumusan masalah tersebut yaitu:

1. Penegakan UU No. 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh KPPU perlu ditingkatkan dalam membrantas dan upaya pencegahan terhadap pelanggaran Hukum Persaingan Usaha di Indonesia melaui pembaharuan peraturan perundang-undangan dan prosedur yang komprehensif, sehingga menghasilkan iklim berusaha yang adil bagi semua pelaku usaha secara tidak langsung pula mencegah kasus-kasus antikompetitif meningkat.

2. Sudah terdapat aturan perundang-undangan pro persaingan di Indonesia, namun penindakan oleh perorangan atau kelompok terhadap pelanggar Undang-Undang Persaingan Usaha masih belum efisien terwujud diakarenakan belum terdapat regulasi yang mengaturnya secara jelas. Pengaturan private enforcement melalui norma undang-undang dan tata cara bercara di Pengadilan Negeri harus ditetapkan, sehingga pihak-pihak yang mendapatkan kerugian baik kepada konsumen ataupun pelaku usaha dapat mendapatkan perlindungan atas kerugian yang dialami.

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan dalam bagian Pembahasan, Penulis memberikan saran dalam Jurnal ini yaitu sebagai berikut:

1. Pembaharuan terhadap UU No. 5 Tahun 1999 sebagai dasar Hukum Persaingan Usaha mesti dilakukan, mengingat peraturan didalamnya tidak dapat mengakomodir perkembangan Perilaku Persaingan Usaha yang terus berkembang pesat sejalan dengan kemajuan ekonomi.

2. Dipertegasnya aturan mengenai private enforcement diperundang-undangan Indonesia dapat menjadi solusi bagi korban yang dirugikan akibat aktivitas persaingan usaha yang tidak sehat.

Daftar Pustaka Buku:

Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Tri Anggraini, dkk., 2017, Hukum Persaingan Usaha, KPPU, Jakarta

Claus-Dieter Ehlermann and Isabela Atanasiu, 2011, EUROPEAN COMPETITION LAW ANNUAL: 2001 Effective Private Enforcement of EC Antitrust Law, Hart Publishing, Oregon

Henry Campbell, 1991, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, St. Paul Minnesota

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta

Joe Sims, Kathryn M. Fenton, dan David P. Wales, 2015, Overview of the U.S. Antitrust Law, USA, Practising Law Institute

Mustafa Kamal Rokan, 2012, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Prakteknya di Indonesia), Raja Grafindo Persada, Jakarta

Satjipto Raharjo, 2005, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Biru, Bandung Artikel

22 Subhan Amin, Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Hukum Terhadap Masyarakat, Vol. 8 No. 1, Februari 2019.

(12)

DHARMASISYA

Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 1143-1152

e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

Charles E. Koob, David E. Vann, Jr. dan Arman Y. Oruc, “Developments in Private Enforcement of Competition of Laws – Introduction”, Simpson Thacher & Bartlett Llp Journal, 1 Agustus 2009

Donncadh Woods, Ailsa Sinclair, dan David Ashton, “Private Enforcement of Community Competition Law: Modernisation and The Road Ahead”, Competition Policy Newsletter, Februari 2004

Ilya R. Segal dan Michael D. Whinston, “Public vs. Private Enforcement of Antitrust Law: A Survey”, Stanford Law School, Oktober 2004

Kai Hüschelrath dan Heike Schweitzer, “Public and Private Enforcement of Competition Law in Europe – Introduction and Overview, Springer”, Berlin, 2014

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), 2015, Relationship Between Public and Private Antitrust Enforcement, OECD, Paris

Stephen Calkins, “Competition Law in the United States of America”, Wayne State University Law School Legal Studies Research Paper Series No. 07-04, April 2007

Subhan Amin, “Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Hukum Terhadap Masyarakat”, Vol. 8 No. 1, Februari 2019

Tihamer Toth, “The Interaction of Public and Private Enforcement of Competition Law Before and After the EU Directive – A Hungarian Perspective”, Yearbook of Antitrust and Regulatory Studies, Desember 2016

Internet

Antonio Capobianco and Sunmi Lee, “Relationship Between Public and Private Antitrust Enforcement: Note by the Secretariat”,

http://www.oecd.org/officialdocuments/publicdisplaydocumentpdf/?cote=

DAF/COMP/WP3(2015)14&doclanguage=en, diakses pada 31 Oktober 2020

Daniel A. Crane, “Private Enforcement of U.S. Antitrust Law — A Comment on the U.S.

Courts Data”, https://www.competitionpolicyinternational.com/private- enforcement-of-u-s-antitrust-law-a-comment-on-the-u-s-courts-data, diakses 3 Oktober 2020

Hukum Online, “KPPU Nyatakan Temasek Langgar UU Anti Monopoli”,

https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18017/kppu-nyatakan-temasek- langgar-uu-anti-monopoli/, diakses pada 31 Oktober 2020.

Joost Hermans, “Private Enforcement of Competition Law”,

https://sites.google.com/site/privateenforcementcompetition/, diakses pada 30 November 2020.

Kurnia Sari Assiza, “Statistik KPPU”,

https://money.kompas.com/read/2017/05/30/200000326/selama.17.tahun.kppu.terima.

2.537.laporan.73.persen.terkait.tender, diakses pada tanggal 3 Oktober 2020 Peraturan

Indonesia, Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Jakarta, 5 Maret 1999

Putusan Pengadilan:

Putusan Guagatan class action terhadap Temasek, 111/PDT.G/2008/PN.JKT.PST, 27 Januari 2010

Referensi

Dokumen terkait

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 2 Nomor 3 September 2022 1281-1294 e-ISSN: 2808-9456 PERBANDINGAN BENTUK HUKUM PERUSAHAAN

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 1 Maret 2020 59-68 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx KESIAPAN INDONESIA DALAM

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 1 Maret 2020 264-273 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx CONSULAR FORMALITIES DALAM

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 2 Juni 2021 901-914 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx ANALISIS SISTEM PEMILIHAN

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 2 Nomor 2 Juni 2022 675-684 e-ISSN: 2808-9456 PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 2 Nomor 2 Juni 2022 839-856 e-ISSN: 2808-9456 sendiri.50 Kewenangan untuk mengatur diartikan

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 1 Maret 2020 310-319 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx Dapat disimpulkan bahwa

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 2 Nomor 1 Maret 2022 227-240 e-ISSN: 2808-9456 PERLINDUNGAN HUKUM DALAM LINGKUP PENGETAHUAN