Dharmasisya Dharmasisya
Volume 1 NOMOR 2 JUNI 2021 Article 14
July 2021
PEMBERIAN UPAH BAGI PEKERJA YANG TIDAK BEKERJA ATAS PEMBERIAN UPAH BAGI PEKERJA YANG TIDAK BEKERJA ATAS KEMAUANNYA SENDIRI SELAMA PROSES PEMUTUSAN
KEMAUANNYA SENDIRI SELAMA PROSES PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
HUBUNGAN KERJA
Fitriana GRP
Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya
Part of the Administrative Law Commons, Civil Law Commons, Constitutional Law Commons, Criminal Law Commons, and the International Law Commons
Recommended Citation Recommended Citation
GRP, Fitriana (2021) "PEMBERIAN UPAH BAGI PEKERJA YANG TIDAK BEKERJA ATAS KEMAUANNYA SENDIRI SELAMA PROSES PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA," Dharmasisya: Vol. 1 , Article 14.
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya/vol1/iss2/14
This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Law at UI Scholars Hub. It has been accepted for inclusion in Dharmasisya by an authorized editor of UI Scholars Hub.
PEMBERIAN UPAH BAGI PEKERJA YANG TIDAK BEKERJA ATAS KEMAUANNYA PEMBERIAN UPAH BAGI PEKERJA YANG TIDAK BEKERJA ATAS KEMAUANNYA SENDIRI SELAMA PROSES PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
SENDIRI SELAMA PROSES PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Cover Page Footnote Cover Page Footnote
Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 28D ayat 2. Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 39, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4279, Pasal 1 angka 30. Yetniwati, “The Legal
Arrangement of Wage Protection Based on the Principle of Legal Certainty”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.
16, No. 2 (2016): 213-219. Soetiksno, Hukum Perburuhan (Jakarta, 1979), 13. Pasal 93 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 mengatur bahwa “upah tidak dibayar apabila pekerja tidak melakukan pekerjaan”. Pasal 1602b KUHPerdata mengatur bahwa “Tidak ada upah yang harus dibayar untuk waktu buruh tidak melakukan pekerjaan yang diperjanjikan”. Sahur Ramsay, “Asas ‘No Work, No Pay’ Terhadap Mogok Kerja Buruh Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan”, Justisi, Vol. 6, No. 1, 24-34.
This article is available in Dharmasisya: https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya/vol1/iss2/14
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 2 (Juni 2021) 765-778
e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx
765 PEMBERIAN UPAH BAGI PEKERJA YANG TIDAK BEKERJA ATAS
KEMAUANNYA SENDIRI SELAMA PROSES PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
FITRIANA
Fakultas Hukum Universitas Indonesia Korespodensi: [email protected]
Abstrak
Upah merupakan salah satu unsur pada hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja. Sesuai dengan prinsip yang dianut dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah tidak akan dibayar apabila pekerja tidak melakukan pekerjaan (no work no pay).
Namun demikian, sejak dijatuhkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, pengusaha tetap diwajibkan untuk membayar upah kepada pekerja karena dalam proses pemutusan hubungan kerja hingga adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Atas putusan tersebut, Mahkamah Agung Republik Indonesia kemudian mengeluarkan Surat Edaran yang memberikan pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan putusan untuk menghukum pengusaha membayar upah proses selama 6 (enam) bulan. Adapun jangka waktu 6 (enam) bulan ini dimaksudkan sebagai perkiraan waktu yang diperlukan bagi para pihak selama proses pemutusan hubungan kerja, sejak perundingan bipartit hingga jatuhnya putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Namun pada prakteknya, terdapat beberapa putusan pengadilan yang menghukum pengusaha untuk membayar kurang dari 6 (enam) bulan upah. Majelis Hakim memberikan pertimbangan bahwa hal tersebut adalah adil karena pekerja tidak bekerja selama proses pemutusan hubungan kerja. Meskipun demikian, hingga saat ini masih belum terdapat ketentuan yang mengatur apakah pemberian upah selama proses pemutusan hubungan kerja ini perlu memperhatikan kondisi pekerja yang bekerja atau tidak.
Berdasarkan penelitian, Penulis berkesimpulan bahwa untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan substantif bagi pekerja maupun pengusaha, maka diperlukan pengaturan mengenai besaran upah yang diberikan kepada pekerja tidak bekerja selama proses pemutusan hubungan kerja.
Kata Kunci: upah, pengusaha, pekerja, dan pemutusan hubungan kerja.
Abstract
Wages is one of the elements in the employment relationship between employer and workers based on employment agreement. In accordance with the principle adopted under the Law of the Republic of Indonesia Number 13 of 2003 regarding Manpower, wages will not be paid if workers do not perform work (no work no pay). However, since the ruling of the Constitutional Court of Republic of Indonesia, employers are still required to pay wages to workers because in the process of employment termination until a decision has its permanent legal force (inkracht van gewijsde). With respect to the decision, the Supreme Court of Republic of Indonesia then issued a Circular Letter that provides guidance for judges in issuing decisions to punish employers for paying the process wages for 6 (six) months. The period of 6 (six) months is intended as an estimated time needed for the parties during the process of employment termination, from the bipartite negotiations to the fall of the Supreme Court’s decision at the cassation level, as stipulated under the Law of Republic of Indonesia Number 2 of 2004 regarding Industrial Relations Dispute Settlement. However, in practice, there are several court decisions that penalize employers for paying less than 6 (six) months of wages. The Panel of Judges gave the consideration that this was fair because worker did not work during the process of employment termination. However, until now, there is no provision that regulates whether the payment of wages during the termination process needs to consider on the conditions of worker is work or not. Based on the research, the author concludes that to ensure legal certaintyand substantive justice for both workers and employers, it is necessary to regulate the amount of wages given to worker who not working during the employment termination process.
Keywords: wages, employer, workers, and work.
I. PENDAHULUAN
Undang-Undang Dasar RI Tahun 19451 telah mengamanatkan bahwa “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka upah merupakan hak konstitusional bagi seluruh pekerja yang melaksanakan pekerjaan berdasarkan perjanjian kerja.
1 Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 28D ayat 2.
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 2 (Juni 2021) 765-778
e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx
766 Berdasarkan Pasal 1 angka 30 Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU No. 13 Tahun 2003”)2, upah adalah “hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.” Sehingga upah tidak hanya imbalan berupa uang, namun juga berupa fasilitas bagi pekerja dengan posisi tertentu.3
Selanjutnya, Soetiksno4 berpendapat bahwa pemberian upah adalah mengenai
‘penunaian kerja’ dan bukan mengenai ‘penyerahan hasil kerja’. Sehingga yang ditekankan adalah pelaksanaan pekerjaannya, bukan kepada hasil pekerjaan yang dilakukan. Dengan demikian, pekerja yang tidak bekerja, maka ia tidak berhak atas pengupahan. Inilah yang disebut dengan asas no work no pay, sebagaimana yang dimaksud Pasal 93 ayat (1) UU No. 13 Tahun 20035. Konsepsi ini sudah ada sejak masa penjajahan Pemerintahan Belanda, melalui ketentuan Pasal 1602b Kitab-Kitab Hukum Perdata (“KUHPerdata”)6, yang mengatur perburuhan secara liberal dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.7 Namun melalui UU No. 13 Tahun 2003, asas ini tidak bersifat kaku karena terdapat beberapa pengecualian. Pengecualian-pengecualian tersebut telah diatur secara rigid dalam Pasal 93 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003.
Selain pengecualian tersebut, ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 juga mengatur bahwa “selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya”.
Adapun salah satu kewajiban yang dimaksud adalah kewajiban pengusaha untuk membayar upah selama proses pemutusan hubungan kerja kepada pekerja. Adapun upah inilah yang disebut dengan upah proses.
Namun demikian, ketentuan tersebut dimohonkan uji materi pada tanggal 1 Juni 2011 di Mahkamah Konstitusi RI. Atas permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi RI menjatuhkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011 (“Putusan MK No. 37 Tahun 2011”), yang memutuskan bahwa frasa ‘belum ditetapkan’ pada Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘belum berkekuatan hukum tetap’. Atas dasar tersebut, maka upah proses tetap diberikan kepada pekerja hingga adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Pasca dijatuhkannya putusan tersebut, Ketua Mahkamah Agung RI kemudian mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan pada tanggal 29 Desember 2015 (“SEMA No. 3
2 Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 39, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4279, Pasal 1 angka 30.
3 Yetniwati, “The Legal Arrangement of Wage Protection Based on the Principle of Legal Certainty”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 16, No. 2 (2016): 213-219.
4 Soetiksno, Hukum Perburuhan (Jakarta, 1979), 13.
5 Pasal 93 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 mengatur bahwa “upah tidak dibayar apabila pekerja tidak melakukan pekerjaan”.
6 Pasal 1602b KUHPerdata mengatur bahwa “Tidak ada upah yang harus dibayar untuk waktu buruh tidak melakukan pekerjaan yang diperjanjikan”.
7 Sahur Ramsay, “Asas ‘No Work, No Pay’ Terhadap Mogok Kerja Buruh Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan”, Justisi, Vol. 6, No. 1, 24-34.
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 2 (Juni 2021) 765-778
e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx
767 Tahun 2015”).8 Mahkamah Agung RI memberikan pedoman bagi hakim untuk menghukum pengusaha membayar upah proses selama 6 (enam) bulan. Sehingga kelebihan waktu dalam proses perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU No. 2 Tahun 2004”)9, bukan lagi menjadi tanggung jawab para pihak.
Namun demikian, SEMA No. 3 Tahun 2015 tidak memberikan pengaturan lebih lanjut, apakah kewajiban atas upah proses tersebut berlaku bagi pekerja yang tidak bekerja atas kemauannya sendiri. Hal ini tentunya akan berkaitan dengan asas no work no pay dalam Pasal 93 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, yang akan merugikan pengusaha karena tetap diharuskan membayar upah proses, meskipun pekerja sudah tidak bekerjanya atau mungkin pekerja tersebut telah bekerja di tempat lain.10
II. PEMBAHASAN
1. Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
a) Pemutusan Hubungan Kerja Berdasarkan Hukum Ketenagakerjaan
Hubungan kerja merupakan “hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”.11 Terhadap unsur pertama, yakni pekerjaan (arbeid) berarti pengusaha dan pekerja harus memperjanjikan pekerjaan yang akan dilaksanakan dalam perjanjian kerja. Meskipun berlaku asas kebebasan berkontrak sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata12, namun pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.13 Selanjutnya, untuk unsur kedua yakni upah (loan), merupakan hak berupa imbalan yang diterima pekerja dari pengusaha yang dibayarkan atas dilaksanakannya pekerjaan.
Sedangkan, untuk unsur terakhir yakni perintah (gezag ver houding), merupakan unsur yang mengakibatkan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja menjadi bersifat subordinasi (hubungan yang bersifat vertikal)14, dan pengusaha memiliki bargaining position yang cukup kuat dibandingkan pekerja.
Hubungan kerja yang subordinatif ini pada akhirnya memerlukan campur tangan Pemerintah supaya kedudukan para pihak menjadi lebih seimbang. Hal itulah yang menyebabkan hukum ketenagakerjaan di Indonesia disebut sebagai “Hukum Perburuhan Heteronom”. Menurut R. Goenawan Oetomo,15 peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah di bidang ketenagakerjaan dianggap perlu demi memberikan perlindungan kepada pekerja sebagai
8 Mahkamah Agung RI, Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan pada tanggal 29 Desember 2015.
9 Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Nomor 6, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4356.
10 Vidya Prahassacitta, “Makna Upah Proses Menurut Mahkamah Konstitusi Dibandingkan Dengan Beberapa Putusan Mahkamah Agung – Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011”, Jurnal Yudisial, Vol. 6, No. 3 (2013): 207-226.
11 UU No.13 Tahun 2003, Pasal 1 angka 15.
12 Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata mengatur bahwa “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang- undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
13 Apri Amalia, et. al., “Analisis Yuridis Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Hukum Perjanjian,” USU Law Journal, Vol. 5, No. 1 (2017): 66-76.
14 Susilo Andi Darma, “Kedudukan Hubungan Kerja: Berdasarkan Sudut Pandang Ilmu Kaidah Hukum Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Mimbar Hukum, Vol. 29, No. 2, (2017), 221-234.
15 R. Goenawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan & Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta:
Grhadhika Binangkit Press, 2004), 35.
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 2 (Juni 2021) 765-778
e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx
768 pihak yang memiliki posisi ekonomis lemah. Hal ini juga selaras dengan fakta bahwa Indonesia tergolong sebagai Negara kesejahteraan, sehingga Pemerintah berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat demi mencapai tujuan Negara.16 Oleh karena itu, Pemerintah perlu memberikan pengaturan terkait pemutusan hubungan kerja, sehingga hubungan industrial dapat berjalan dengan serasi, seimbang, adil, dan harmonis.17
Menurut Aloysius Uwiyono dan Widodo Suryandono,18 pemutusan hubungan kerja dapat dibedakan menjadi beberapa golongan, sebagai berikut:
1) Putus demi hukum;
2) Pengunduran diri pekerja;
3) Pekerja dianggap mengundurkan diri;
4) Diputuskan oleh pengusaha;
5) Diputuskan oleh pengadilan;
6) Terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan, atas kemauan pengusaha atau pekerja;
7) Pengusaha merugi terus menerus selama 2 (dua) tahun atau force majeure;
8) Perusahaan mengalami pailit;
9) Pekerja meninggal dunia; atau 10) Pekerja memasuki usia pensiun.
b) Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Terhadap Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
Apabila pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, maka pengusaha dan pekerja wajib merundingkan maksud pemutusan hubungan kerja tersebut melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat.19 Perundingan bipartit ini harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja. Apabila salah satu pihak menolak atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Dengan gagalnya perundingan bipartit, maka terdapat 2 (dua) mekanisme hukum yang dapat dilakukan, yakni dengan cara i) mogok kerja atau penutupan perusahaan (lock out); atau ii) penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Dalam mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pemutusan hubungan kerja akan terjadi apabila telah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.20 Namun, permohonan penetapan tersebut tidak diperlukan dalam hal:21 1) Pekerja masih dalam masa percobaan kerja;
2) Pekerja mengajukan permintaan pengunduran diri atas kemauan sendiri dan/atau berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
3) Pekerja mencapai usia pensiun; atau 4) Pekerja meninggal dunia.
16 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), 19.
17 Ahmad Hunaeni Zulkarnaen, “Masalah Rawan dalam Hubungan Industrial dan Konsep Negara Kesejahteraan Indonesia”, Jurnal Mimbar Justitia, Vol. II, No. 2, (2016), 806-825.
18 Aloysius Uwiyono, et.al., Asas-Asas Hukum Perburuhan, Ed. 2, Cet. 3, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2018), 137-140.
19 UU No. 2 Tahun 2004, Pasal 3 ayat (1).
20 UU No. 13 Tahun 2003, Pasal 151 ayat (3).
21 UU No. 13 Tahun 2003, Pasal 154.
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 2 (Juni 2021) 765-778
e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx
769 Permohonan atas penetapan dapat diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan disertai alasan dan bukti bahwa upaya perundingan bipartit telah dilakukan oleh para pihak.22 Kemudian instansi yang bertanggung jawab wajib memberikan penawaran kepada pengusaha dan pekerja untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi. Apabila para pihak tidak menetapkan pilihan, maka dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, perselisihan tersebut dilimpahkan kepada mediator.
Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, konsiliator/mediator harus sudah mengadakan penelitian dan segera mengadakan sidang konsiliasi/mediasi.23 Konsiliator/mediator harus menyelesaikan tugasnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian tersebut.24 Dalam hal tercapai kesepakatan, maka akan dibuatkan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran di Pengadilan Hubungan Industrial. Namun apabila tidak tercapai kesepakatan, maka konsiliator/mediator mengeluarkan anjuran tertulis dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi/mediasi pertama. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis berupa persetujuan atau penolakan atas anjuran tersebut dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja.25
Apabila salah satu pihak atau para pihak menolak anjuran, maka penyelesaian perselisihan dapat dilanjutkan melalui gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima gugatan, sudah ditetapkan majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perselisihan,26 dan dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, telah dilaksanakan sidang pertama. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini wajib diputuskan Majelis Hakim dalam waktu 50 (lima puluh) hari kerja sejak sidang pertama.27
Selanjutnya, terhadap putusan yang telah dijatuhkan oleh Majelis Hakim dapat diajukan permohonan kasasi oleh para pihak kepada Mahkamah Agung RI dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak diberikannya putusan tersebut. Selanjutnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja, berkas perkara tersebut harus sudah disampaikan kepada ketua Mahkamah Agung RI. Penyelesaian perselisihan di tingkat kasasi harus diputuskan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan kasasi.28 Terhadap putusan tingkat kasasi tersebut sudah tidak dapat diajukan upaya hukum berupa Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung RI, sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 34/PUU-XVII/2019 tanggal 23 September 2019.
Dengan adanya mekanisme yang bertahap tersebut, maka penyelesaian perselisihan hubungan industrial terhadap pemutusan hubungan kerja, kurang lebih memerlukan waktu selama 6 (enam) bulan.
2. Kewajiban Pemberian Upah Selama Proses Pemutusan Hubungan Kerja a) Sebelum UU No. 13 Tahun 2003
Kewajiban pemberian upah bagi pekerja selama proses pemutusan hubungan kerja (upah proses) telah diatur sejak tahun 1964 hingga saat ini.
22 UU No. 2 Tahun 2004, Pasal 4 ayat (1).
23 UU No. 2 Tahun 2004, Pasal 10 juncto Pasal 20.
24 UU No. 2 Tahun 2004, Pasal 15 juncto Pasal 25.
25 UU No. 2 Tahun 2004, Pasal 13 juncto Pasal 23.
26 UU No. 2 Tahun 2004, Pasal 88 ayat (1).
27 UU No. 2 Tahun 2004, Pasal 103.
28 UU No. 2 Tahun 2004, Pasal 110 s.d. Pasal 115.
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 2 (Juni 2021) 765-778
e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx
770 Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta29 telah mengatur bahwa selama belum ada izin atas pemutusan hubungan kerja, atau terdapat permintaan banding terhadap izin yang diberikan, maka baik pengusaha maupun pekerja harus tetap memenuhi segala kewajibannya, termasuk pemberian upah (upah proses) oleh pengusaha kepada pekerja.
Selanjutnya pada tahun 1996, Menteri Tenaga Kerja melalui Peraturan Nomor Per- 03/Men/1996 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian di Perusahaan Swasta, mengatur bahwa upah proses diberikan oleh pengusaha kepada pekerja serendah-rendahnya 50% (lima puluh persen) dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan saja. Sehingga setelah 6 (enam) bulan, pengusaha tidak diwajibkan lagi untuk membayar upah proses tersebut kepada pekerja.
Selanjutnya, Menteri Tenaga Kerja RI pada tahun 2000 telah menetapkan Keputusan Nomor Kep-150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan, yang mengatur beberapa kondisi sebagai berikut:
1. Apabila pengusaha melakukan skorsing selama proses pemutusan hubungan kerja, maka pengusaha wajib membayar upah proses paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari upah yang diterima dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan. Jika telah melewati masa tersebut namun belum ada putusan, maka upah selanjutnya akan ditentukan oleh Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah atau Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat;
2. Apabila pekerja tidak dapat memenuhi kewajibannya karena dilarang pengusaha namun pengusaha tersebut tidak melakukan skorsing, maka upah proses adalah sebesar 100%
(seratus persen);
3. Apabila pekerja tidak memenuhi kewajibannya atas kemauannya sendiri, maka pengusaha tidak wajib memberikan upah kepada pekerja; atau
4. Apabila para pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya bukan karena dilarang bekerja oleh pengusaha, maupun bukan atas kemauan pekerja sendiri, maka upah proses adalah sebesar 75% (tujuh puluh lima persen).
Selanjutnya pada tahun 2001, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI menerbitkan Keputusan Nomor Kep-78/Men/2001 tentang Perubahan atas Beberapa Pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor Kep-150/Men/2000, yang mengatur bahwa apabila setelah masa skorsing 6 (enam) bulan berakhir, maka pengusaha tidak perlu membayar upah proses kecuali ditetapkan lain oleh Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah atau Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat.30 Selain itu, apabila pengusaha mengajukan permohonan izin pemutusan hubungan kerja namun tidak melakukan skorsing, maka selama izin tersebut belum diberikan, pekerja harus tetap bekerja dengan menerima upah proses sebesar 100% (seratus persen).
Apabila pengusaha tidak mengajukan permohonan izin pemutusan hubungan kerja, maka pengusaha wajib membayar upah proses sebesar 100% (seratus persen) selama belum adanya putusan dari Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah atau Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat.
29 Indonesia, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1964 Nomor 93, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 2686.
30 Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Keputusan Menteri Nomor Kep-78/Men/2001 tentang Perubahan atas Beberapa Pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor Kep-150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Kerugian di Perusahaan, Pasal 16.
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 2 (Juni 2021) 765-778
e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx
771 b) UU No. 13 Tahun 2003
UU No. 13 Tahun 2003 menentukan bahwa selama belum adanya penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha maupun pekerja harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Hal ini sebagaimana yang ditentukan pada ketentuan Pasal 155 UU No. 13 Tahun 2003 yang mengatur sebagai berikut:
“(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terdapat 2 (dua) keadaan yang mungkin terjadi selama belum adanya penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yakni i) pekerja tetap melaksanakan pekerjaan dan menerima upah proses dari pengusaha; atau ii) pekerja tidak bekerja karena skorsing dari pengusaha, namun pekerja tetap mendapatkan upah proses.
c) Putusan MK No. 37 Tahun 2011
Pada tanggal 1 Juni 2011, telah diajukan permohonan uji materil oleh drg. Ugan Gandar (Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu), Ir. Eko Wahyu (Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu), dan Ir. Rommel Antonius Ginting (eks pekerja pada PT. Total Indonesia) terhadap ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003. Adapun alasan-alasan dari pengajuan permohonan uji materil ini adalah sebagai berikut31: 1) Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 karena berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, sejak tidak adanya penafsiran yang jelas dan tegas mengenai klausula ‘belum ditetapkan’. Hal ini dikarenakan implementasi dari unsur ‘belum ditetapkan’ telah menimbulkan pertentangan apakah sebatas pada putusan tingkat pertama di Pengadilan Hubungan Industrial atau meliputi putusan tingkat kasasi di Mahkamah Agung RI.
2) Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 karena melanggar hak pekerja untuk memperoleh perlakuan yang adil dan layak secara hukum. Hal ini dikarenakan tidak jelasnya penafsiran klausula ‘belum ditetapkan’ akan mengakibatkan terabainya hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan imbalan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Majelis Hakim Konstitusi RI pada tanggal 19 September 2012 telah menjatuhkan Putusan MK No. 37 Tahun 2011 dimana salah satu pertimbangannya, Majelis Hakim Konstitusi RI berpendapat sebagai berikut:32
“Menurut Mahkamah, frasa ‘belum ditetapkan’ dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003 harus dimaknai putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap karena putusan Pengadilan Hubungan Industrial ada yang dapat langsung memperoleh kekuatan hukum tetap pada tingkat pertama oleh Putusan Hubungan Industrial, yaitu putusan mengenai perselisihan kepentingan, putusan mengenai
31 Mahkamah Konstitusi RI, Putusan Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011, 12-17.
32 Ibid., 37.
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 2 (Juni 2021) 765-778
e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx
772 perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, serta putusan mengenai perselisihan hak dan PHK yang tidak dimohonkan kasasi. Adapun putusan mengenai perselisihan hak dan PHK yang dimohonkan kasasi harus menunggu putusan kasasi dari Mahkamah Agung terlebih dahulu baru memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Dengan adanya pertimbangan hukum tersebut, maka Majelis Hakim Konstitusi RI memberikan amar putusan pada Putusan MK No. 37 Tahun 2011, sebagai berikut:33
“1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
2. Frasa ‘belum ditetapkan’ dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;
3. Frasa ‘belum ditetapkan’ dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;”
Berdasarkan amar putusan tersebut, maka ketentuan tersebut harus ditafsirkan bahwa selama belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka para pihak harus tetap melaksanakan segala kewajibannya, termasuk kewajiban pengusaha untuk memberikan upah proses kepada pekerja.
d) Peraturan Pemerintah RI Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (“PP No. 78 Tahun 2015”) 34
Dengan telah dijatuhkannya Putusan MK No. 37 Tahun 2011, maka diperlukan adanya regulasi untuk mengakomodir penafsiran Mahkamah Konstitusi RI tersebut. Hal ini dikarenakan penafsiran norma hukum dalam konstitusi masih bersifat abstrak35, sehingga masih perlu adanya ketentuan normatif sebagai pelaksana yang mengatur upah proses tersebut.
Meskipun pada tahun 2015, telah ditetapkan PP No. 78 Tahun 2015, namun dalam peraturan tersebut tidak diatur mengenai ketentuan pemberian upah selama proses pemutusan hubungan kerja. Dalam ketentuan PP No. 78 Tahun 2015 hanya mengatur bahwa upah tetap dibayarkan kepada pekerja karena alasan-alasan sebagai berikut:36
1) Pekerja berhalangan bukan karena kesalahannya;
2) Pekerja melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
3) Pekerja menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; atau
4) Pengusaha tidak mempekerjakan pekerja karena kesalahan pengusaha atau kendala yang seharusnya dapat dihindari pengusaha.
Dengan belum diaturnya ketentuan mengenai upah proses dalam PP No. 78 Tahun 2015, maka belum ada regulasi yang secara sah berlaku dan mengikat untuk umum atas kewajiban pemberian upah proses tersebut.37
33 Ibid., 38-39.
34 Pemerintah RI, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2015 Nomor 237, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 5747.
35 Tanto Lailam, “Penafsiran Konstitusi dalam Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945”, Jurnal Media Hukum, Vol. 21, No. 1, (2014), 88-106.
36 PP No. 78 Tahun 2015, Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 25.
37 Andi Yuliani, “Daya Ikat Pengundangan Peraturan Perundang-Undangan”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14, No. 04, (2017), 429-438.
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 2 (Juni 2021) 765-778
e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx
773 e) SEMA No. 3 Tahun 2015
Untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi dalam penjatuhan putusan, pada tanggal 9-11 Desember 2015, Mahkamah Agung RI menyelenggarakan rapat pleno kamar untuk membahas permasalahan hukum (questions of law) yang mengemuka di masing-masing kamar. Rumusan-rumusan yang dihasilkan dari pleno kamar tersebut kemudian dituangkan dalam SEMA No. 3 Tahun 2015.
Pada SEMA No. 3 Tahun 2015, Mahkamah Agung RI menyampaikan beberapa rumusan yang salah satunya adalah:
“Pasca Putusan MK Nomor 37/PUU-IX/2011, tertanggal 19 September 2011 terkait dengan upah proses maka isi amar putusan adalah MENGHUKUM PENGUSAHA MEMBAYAR UPAH PROSES SELAMA 6 BULAN. Kelebihan waktu dalam proses PHI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bukan lagi menjadi tanggung jawab para pihak.”
Berdasarkan rumusan tersebut, maka Mahkamah Agung RI memberikan pedoman kepada para hakim untuk menghukum pengusaha memberikan upah proses selama 6 (enam) bulan, sehingga para pihak tidak perlu menunggu hingga adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), sebagaimana yang ditafsirkan Mahkamah Konstitusi RI.
Berdasarkan rumusan tersebut di atas, hakim pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Hubungan Industrial maupun pengadilan tingkat kasasi di Mahkamah Agung RI, harus menjatuhkan hukuman kepada pengusaha untuk membayar upah proses kepada pekerja selama 6 (enam) bulan.
3. Pemberlakuan Kewajiban Upah Proses dan Penerapan Asas No Work No Pay Pedoman bagi hakim melalui SEMA No. 3 Tahun 2015 untuk menghukum pengusaha membayarkan upah proses kepada pekerja selama 6 (enam) bulan, rupanya masih menimbulkan permasalahan hukum, baik bagi pengusaha maupun pekerja.
Meskipun istilah “upah proses” tidak secara tegas disebutkan dalam UU No. 13 Tahun 2003, namun pemberlakuan upah proses sudah diterapkan dalam praktik peradilan.38 Dalam menjatuhkan putusannya, beberapa hakim memiliki penafsiran yang berbeda atas besaran upah proses yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja. Adapun salah satu faktor yang mempengaruhi pertimbangan hakim tersebut adalah adanya kondisi pekerja yang sudah tidak bekerja atas kemauannya sendiri, selama proses pemutusan hubungan kerja.
Apabila melihat pada keadaan pekerja yang tidak bekerja atas kemauannya sendiri, maka hal tersebut akan berkaitan dengan keberlakuan asas no work no pay, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003.
Dalam perkara antara Miles dan Wakefield Metropolitan District Council pada tahun 1987,39 House of Lords menetapkan bahwa prinsip no work no pay pada dasarnya merupakan hak bagi pengusaha untuk tidak membayar upah kepada pekerja yang menolak untuk melakukan pekerjaannya berdasarkan perjanjian kerja. Bahkan menurut House of Lords, jika pekerja tersebut melakukan pekerjaan namun pengusaha tidak memperoleh manfaat apapun dari pelaksanaan pekerjaan, maka pengusaha tidak perlu membayar upah kepada pekerja tersebut.
38 Yolanda Pracelia, “Analisis Putusan Sela Terhadap Permohonan Pembayaran Upah Proses dalam Pengadilan Hubungan Industrial (Studi Putusan: Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor 181/PDT.SUS-PHI/2016/PN.BDG jo. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor 82/PDT.SUS- PHI/2016/PN.BDG)”, Jurnal Hukum Adigama: 10.
39 H. McLean, “Contract of Employment. Negative Covenants and No Work, No Pay”, The Cambridge Law Journal, Vol. 49 (1990): 28-31.
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 2 (Juni 2021) 765-778
e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx
774 Sehingga asas no work no pay dapat digunakan oleh pengusaha untuk tidak membayar upah kepada pekerja yang tidak bekerja berdasarkan perjanjian kerja.
Apabila dikaji lebih mendalam, pemberlakuan asas no work no pay ini sejalan dengan asas lainnya di bidang hukum perjanjian, yakni asas reciprocal contract (perjanjian yang bertimbal balik).40 Menurut hukum Kanonis, asas reciprocal contract mengakibatkan suatu perjanjian akan memiliki 2 (dua) sisi (synallagmatic contract), dimana apabila salah satu pihak gagal melaksanakan janjinya, maka hal itu akan menghilangkan haknya untuk mendapatkan janji yang dibuat oleh pihak lain.41 Sehingga berdasarkan asas tersebut, maka apabila pekerja tidak melaksanakan pekerjaan sesuai dengan perjanjian kerja, maka pekerja tersebut telah menghilangkan haknya untuk mendapatkan upah. Hal ini juga sesuai dengan makna dari pengupahan itu sendiri, yakni tidak hanya diperuntukkan sebagai jaminan kelangsungan kehidupan yang layak bagi pekerja, namun juga sebagai jaminan kelangsungan produksi.42
Dengan adanya asas no work no pay tersebut, maka kewajiban untuk membayar upah proses kepada pekerja yang tidak bekerja atas kemauannya sendiri, akan dirasa tidak adil bagi pengusaha, karena hal tersebut menjadi beban bagi pengusaha, baik dari segi biaya maupun waktu43. Terlebih lagi, pembayaran upah proses tersebut tidak disertai dengan manfaat yang diperoleh pengusaha karena pekerja tidak bekerja, sehingga kegiatan produksi menjadi terhambat.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka diperlukan adanya regulasi yang mengatur kewajiban pemberian upah proses dalam hal pekerja tidak bekerja atas kemauannya sendiri.
Adapun regulasi ini harus memperhatikan keberlakuan asas no work no pay disertai dengan nilai- nilai keadilan bagi pengusaha maupun pekerja.
Menurut Kelsen, keadilan dalam konteks hukum memiliki makna legalitas, sehingga suatu peraturan umum adalah adil jika ia benar-benar diterapkan kepada semua kasus, yang menurut isinya, peraturan ini harus diterapkan.44 Selain itu, menurut John Rawls, keadilan bermakna bahwa “ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian rupa sehingga dapat diharapkan memberikan keuntungan bagi semua orang.”45 Sehingga Pemerintah diharapkan dapat memberikan pengaturan yang berlaku umum dan menguntungkan para pihak, meskipun selama proses pemutusan hubungan kerja berlangsung, pekerja tidak bekerja atas kemauannya sendiri.
Penetapan ketentuan atas upah proses oleh Pemerintah telah sesuai dengan landasan konstitusional yang memberikan pemahaman bahwa penyelenggaraan Negara Indonesia didasarkan pada konsep hukum. Dimana peran hukum diperlukan untuk menjaga ketertiban,
40 Anggi, “Tinjauan Yuridis Pengaturan Upah Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Dihubungkan dengan Peran Federasi Perjuangan Buruh Jadobetabek”, (Tesis Magister Hukum, Universitas Indonesia, 2010), 13.
41 Octavian Cazac, “Toward A Comprehensive Concept of Termination of Contracts”, Moldovan Journal of International Law and International Relations, No. 3 (1982): 79.
42 Marulinda Silalahi, “Tinjauan Yuridis Pengaturan Upah Pekerja/Buruh Dihubungkan dengan UU No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta Implikasinya terhadap Upaya Mewujudkan Keadilan antara Pekerja/Buruh dan Pengusaha”, (Tesis, Magister Hukum, Universitas Indonesia, 2006), 70.
43 Regina Reverly, “Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor 44/G/2013/PHI.SMG Terhadap Hak atas Upah Proses Pekerja yang Diputus Hubungan Kerja”, JOM Fakultas Hukum, Vol. IV, No. 2 (2017): 3.
44 Yustinus Suhardi Ruman, “Keadilan Hukum dan Penerapannya dalam Pengadilan”, Humaniora, Vol.
2, No. 2 (2012): 348.
45 John Rawls, Penerjemah Uzair dan Heru Prasetyo, A Theory of Justice, Teori Keadilan, Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Cet. 1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 72.
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 2 (Juni 2021) 765-778
e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx
775 kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.46 Selain itu, menurut Satjipto Rahardjo, membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antar manusia, membicarakan hubungan antar manusia adalah membicarakan keadilan.47 Sehingga keadilan dan hukum sangatlah berkaitan erat, dimana menjadi sebuah harapan bahwa suatu hukum akan mewujudkan sebuah keadilan.48
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan adanya regulasi terkait pemberian upah proses yang berlaku secara umum, sehingga akan menciptakan keseimbangan hukum antara kepentingan pekerja dengan pengusaha.49 Adapun dalam menetapkan regulasi tersebut, Pemerintah perlu memperhatikan aspek keadilan substantif bagi para pihak, sehingga sistem perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan mempunyai jangkauan berlaku, berkeadilan, dan mempunyai perspektif jauh ke masa depan.50
III. KESIMPULAN
Bahwa dengan adanya asas no work no pay yang dianut dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia, maka kewajiban untuk membayar upah proses harus memperhatikan keadilan substantif bagi pengusaha dan pekerja. Sehingga diperlukan adanya pengaturan yang bersifat normatif dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yang mengatur besaran upah yang layak sebagai upah proses dalam hal pekerja tidak bekerja atas kemauannya sendiri selama proses pemutusan hubungan kerja. Hal ini sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum dan juga rasa keadilan bagi para pihak.
Daftar Pustaka Artikel
Amalia, Apri. et. al. “Analisis Yuridis Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Berdasarkan Undang- Undang Ketenagakerjaan dan Hukum Perjanjian.” USU Law Journal. Vol. 5. No. 1 (2017).
Cazac, Octavian. “Toward A Comprehensive Concept of Termination of Contracts”. Moldovan Journal of International Law and International Relations. No. 3 (1982).
Darma, Susilo Andi. “Kedudukan Hubungan Kerja: Berdasarkan Sudut Pandang Ilmu Kaidah Hukum Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”. Mimbar Hukum.
Vol. 29. No. 2 (2017): 221-234.
Ibrahim, Zulkarnain. “Eksistensi Hukum Pengupahan yang Layak Berdasarkan Keadilan Substantif”. Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 13. No. 3 (2013).
Lailam, Tanto. “Penafsiran Konstitusi dalam Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945”. Jurnal Media Hukum. Vol. 21. No. 1 (2014).
46 Sukardi, “Peran Penegakan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi”, Jurnal Hukum & Pembangunan, Vol. 46. No. 4 (2016): 434-453.
47 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 159.
48 Alfina Rahil Ashidiqi, “Analisa Asas Keadilan dalam Materi muatan Perundang-Undangan di Indonesia”, (Tesis, Magister Hukum, Universitas Indonesia, 2012), 71.
49 Yetniwati, “Pengaturan Upah Berdasarkan atas Prinsip Keadilan”, Mimbar Hukum, Vol. 29, No. 1 (2017): 82-95.
50 Zulkarnain Ibrahim, “Eksistensi Hukum Pengupahan yang Layak Berdasarkan Keadilan Substantif”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13, No. 3 (2013): 537.
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 2 (Juni 2021) 765-778
e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx
776 McLean, H. “Contract of Employment. Negative Covenants and No Work, No Pay”. The Cambridge
Law Journal. Vol. 49 (1990).
Pracelia, Yolanda. “Analisis Putusan Sela Terhadap Permohonan Pembayaran Upah Proses dalam Pengadilan Hubungan Industrial (Studi Putusan: Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor 181/PDT.SUS-PHI/2016/PN.BDG jo. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor 82/PDT.SUS-PHI/2016/PN.BDG)”.
Jurnal Hukum Adigama: 10.
Prahassacitta, Vidya. “Makna Upah Proses Menurut Mahkamah Konstitusi Dibandingkan Dengan Beberapa Putusan Mahkamah Agung – Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011”. Jurnal Yudisial. Vol. 6. No. 3 (2013).
Ramsay, Sahur. “Asas ‘No Work, No Pay’ Terhadap Mogok Kerja Buruh Berdasarkan Undang- Undang Ketenagakerjaan”. Justisi. Vol. 6. No. 1.
Reverly, Regina. “Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor 44/G/2013/PHI.SMG Terhadap Hak atas Upah Proses Pekerja yang Diputus Hubungan Kerja”. JOM Fakultas Hukum. Vol. IV. No. 2 (2017).
Ruman, Yustinus Suhardi. “Keadilan Hukum dan Penerapannya dalam Pengadilan”.
Humaniora. Vol. 2. No. 2 (2012).
Sukardi. “Peran Penegakan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi”. Jurnal Hukum &
Pembangunan. Vol. 46. No. 4 (2016).
Yetniwati. “The Legal Arrangement of Wage Protection Based on the Principle of Legal Certainty”. Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 16. No. 2 (2016).
________. “Pengaturan Upah Berdasarkan atas Prinsip Keadilan”. Mimbar Hukum. Vol. 29.
No. 1 (2017).
Yuliani, Andi. “Daya Ikat Pengundangan Peraturan Perundang-Undangan”. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 14. No. 04 (2017).
Zulkarnaen, Ahmad Hunaeni. “Masalah Rawan dalam Hubungan Industrial dan Konsep Negara Kesejahteraan Indonesia”. Jurnal Mimbar Justitia. Vol. II. No. 2 (2016).
Buku
HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014.
Oetomo, R. Goenawan. Pengantar Hukum Perburuhan & Hukum Perburuhan di Indonesia. Jakarta:
Grhadhika Binangkit Press, 2004.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Rawls, John. Penerjemah Uzair dan Heru Prasetyo. A Theory of Justice, Teori Keadilan, Dasar- Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara. Cet. 1.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Soetiksno. Hukum Perburuhan. Jakarta, 1979.
Uwiyono, Aloysius. et.al. Asas-Asas Hukum Perburuhan. Ed. 2. Cet. 3. Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2018.
Peraturan
Indonesia. Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Indonesia. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta. LNRI Tahun 1964 Nomor 93. TLN Nomor 2686.
Indonesia. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. LNRI Tahun 2003 Nomor 39. TLN Nomor 4279.
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 2 (Juni 2021) 765-778
e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx
777 Indonesia. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. LNRI Tahun 2004 Nomor 6. TLN Nomor 4356.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pemerintah RI. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. LNRI Tahun 2015 Nomor 237. TLN Nomor 5747.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Keputusan Menteri Nomor Kep-150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Keputusan Menteri Nomor Kep-78/Men/2001 tentang Perubahan atas Beberapa Pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor Kep-150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Kerugian di Perusahaan.
Mahkamah Konstitusi RI. Putusan Nomor 37/PUU-IX/2011. Tanggal 19 September 2011.
Mahkamah Agung RI. Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Tanggal 29 Desember 2015.
Tesis
Anggi. “Tinjauan Yuridis Pengaturan Upah Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Dihubungkan dengan Peran Federasi Perjuangan Buruh Jadobetabek”. Tesis Magister Hukum, Universitas Indonesia, 2010.
Ashidiqi, Alfina Rahil. “Analisa Asas Keadilan dalam Materi muatan Perundang-Undangan di Indonesia”. Tesis, Magister Hukum, Universitas Indonesia, 2012.
Silalahi, Marulinda. “Tinjauan Yuridis Pengaturan Upah Pekerja/Buruh Dihubungkan dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta Implikasinya terhadap Upaya Mewujudkan Keadilan antara Pekerja/Buruh dan Pengusaha”. Tesis, Magister Hukum, Universitas Indonesia, 2006.