• Tidak ada hasil yang ditemukan

Apabila seorang anak yang dilakukan atau diduga melakukan kejahatan membutuhkan perlindungan hukum yang mendesak

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Apabila seorang anak yang dilakukan atau diduga melakukan kejahatan membutuhkan perlindungan hukum yang mendesak"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

KEADILAN RESTORATIF SEBAGAI WAHANA KEBIJAKAN NON-PIDANA DALAM SISTEM PERADILAN

(Analisis Socio Legal Dalam Pengisian Kesenjangan Hukum Acara Di Indonesia Sebagai Upaya Untuk Memulihkan Kejahatan Anak)

Yenny Febrianty*, Krisna Murti**

Fakultas Hukum Universitas Pakuan Jl. Pakuan No. 1 Bogor 16143 E-Mail :yenny.febrianty@unpak.ac.id

Naskah diterima : 14/06/2022, revisi : 27/06/2022, disetujui : 06/08/2022.

Abstrak

Tulisan ini ialah untuk membuktikan bahwa tujuan pemidanaan bukanlah untuk menghukum, tetapi untuk memperbaiki moral dan perilaku di kemudian hari serta untuk memberikan pendidikan agar tidak terjerumus ke dalam lingkungan yang salah. Apabila seorang anak yang dilakukan atau diduga melakukan kejahatan membutuhkan perlindungan hukum yang mendesak. Isu hukum perlindungan anak merupakan sarana untuk melindungi generasi penerus bangsa. Semua hukum yang berlaku berlaku untuk melindungi anak. Perlindungan ini sangat penting karena anak merupakan bagian dari masyarakat dengan disabilitas fisik dan mental. Oleh karena itu, anak membutuhkan perlindungan dan perhatian khusus. Berdasarkan Undang-Undang tentang Pengadilan Anak, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, proses peradilan bagi anak yang pelaku perbuatan melawan hukum juga diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, yang juga memberikan hak perlindungan kepada anak.

Kata Kunci : Restoratif, Kebijakan Non Pidana, Kejahatan Anak, Socio Legal.

Abstract

This paper is to prove that the purpose of punishment is not to punish, but to improve morals and behavior in the future and to provide education so as not to fall into the wrong environment. If a child committed or suspected of committing a crime requires urgent legal protection. The issue of child protection law is a means to protect the nation's next generation. All applicable laws apply to protect children. This protection is very important because children are part of the community with physical and mental disabilities.

Therefore, children need special protection and attention. Based on the Law on Juvenile Courts, namely Law Number 3 of 1997, the judicial process for children who are perpetrators of unlawful acts is also regulated in the Child Protection Law Number 23 of 2002, which also provides protection rights to children.

Keywords: Restorative, Non-Criminal Policy, Child Crime, Socio Legal.

(2)

A. Pendahuluan

Sistem pemidanaan KUHP pada dasarnya mempertahankan model penuntutan pidana. Dengan kata lain, sambil memberikan hukuman yang setimpal untuk kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, masih berkonsentrasi pada penuntutan pidana tanpa mempertimbangkan kerugian. Dan penderitaan korban yang hilang akibat kejahatan tersebut. Model registrasi kriminal bertujuan untuk mencegah pelaku kejahatan mengulangi kejahatan dan mencegah orang melakukan kejahatan. Penggunaan model umpan balik tidak dapat mengimbangi kerugian dan penderitaan yang dialami oleh korban. Pelaku dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati, namun kondisi korban tidak kunjung membaik. Melihat kelemahan-kelemahan tersebut, maka lahirlah konsep restorative justice, suatu sistem pidana yang bertujuan untuk memulihkan korban dan penderitaannya, karena korban adalah korban dari kejahatan yang paling banyak.1

Anak-anak juga bisa melakukan kejahatan. Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, anak memiliki hak asasi yang sama dengan orang lain, dan tidak ada yang bisa mengambilnya.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa, generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak untuk eksis. Oleh karena itu, kejahatan yang dilakukan oleh anak perlu ditanggulangi sesegera mungkin, sehingga terjamin masa depan yang berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan Keppres No. 36 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip umum perlindungan anak tidak diskriminatif, berupa demi kepentingan terbaik anak, kelangsungan hidup, tumbuh kembang, tumbuh kembang anak dan partisipasi dihormati. Oleh karena itu, harkat dan martabat manusia harus dihormati beserta hak-haknya.

Perlindungan anak secara luas meliputi perlindungan di bidang peradilan, anak terlantar, anak jalanan, anak korban kekerasan fisik dan seksual, dan lain-lain2. perlindungan hukum terhadap hak anak bertujuan untuk melindungi berbagai kepentingan yang berkaitan dengan kepentingan terbaik bagi anak. Suatu bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak anak, yaitu perlindungan hukum terhadap anak dalam sistem peradilan anak. tentang masalah anak, kita perlu berbicara lebih banyak tentang lingkungan yang tidak cocok untuk rehabilitasi, rehabilitasi dan pendidikan anak-anak dan dapat memberikan beban jangka panjang pada komunitas mereka. Aktifitas pemeriksaan dan pemutusan perkara termasuk dalam peradilan anak guna kepentingan anak.3. seorang anak yang dilakukan atau diduga melakukan kejahatan membutuhkan perlindungan hukum yang mendesak. Isu hukum perlindungan anak merupakan sarana untuk melindungi generasi penerus bangsa. Semua hukum yang berlaku berlaku untuk melindungi anak. Perlindungan ini sangat penting karena

1 Henny Saida Flora, Keadilan Restoratif Sebagai Alternatif Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Dan Pengaruhnya Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Jurnal UBELAJ, Volume 3 Number 2, October 2018, hal 142

2 Desy Maryani, Politik Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Jurnal Hukum SEHASEN, Bengkulu, 2017, hal.2

3 Sudarto, Kapita Salekta Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1981, hal. 129

(3)

anak merupakan bagian dari masyarakat dengan disabilitas fisik dan mental. Oleh karena itu, anak membutuhkan perlindungan dan perhatian khusus.

Tujuan pemidanaan bukanlah untuk menghukum, tetapi untuk memperbaiki moral dan perilaku di kemudian hari serta untuk memberikan pendidikan agar tidak terjerumus ke dalam lingkungan yang salah berdasarkan Undang-Undang tentang Pengadilan Anak, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, proses peradilan bagi anak yang pelaku perbuatan melawan hukum juga diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, yang juga memberikan hak perlindungan kepada anak. Perlakuan khusus ketika anak dalam keadaan darurat, karen Ketika datang ke peradilan anak, kita harus berhati-hati dan mempertimbangkan masa depan anak kita demi kepentingan terbaik anak kita. kasus pidana anak dapat diselesaikan melalui keadilan restoratif dalam proses peradilan anak. Misalnya, dapat dikembalikan kepada orang tua atau diselesaikan secara damai atau di luar pengadilan.

Aparat kepolisian dapat melakukan penyidikan terhadap anak melalui penyelesaian sengketa, mediasi dan penyelesaian. Pasal 10 (1) Kovenan Hak Sipil dan Politik memastikan bahwa semua orang yang dirampas karena pelanggaran yang dilakukan oleh anak di bawah umur diperlakukan secara manusiawi dengan menghormati martabat bawaan mereka maka dilakukan pendekatan Keadilan Restoratif.

Keadilan restoratif adalah upaya memperlakukan anak yang melanggar hukum secara bermartabat. Keadilan restoratif adalah alternatif terbaik untuk memperlakukan anak sebagai penjahat dengan meminta semua pihak yang terlibat dalam kejahatan tertentu untuk bekerja sama untuk mengatasi konsekuensi dari perilaku anak di masa depan. Sebagai proses transisi dari peradilan pidana formal ke peradilan pidana informal. Masalah perlindungan anak Indonesia harus ditanggapi serius oleh negara. Fokus kuat ini adalah melindungi dan menegakkan hak-hak anak yang menjadi penjahat.

Apabila jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak masih tergolong pelanggaran ringan (minor crime), persidangan sampai saat ini tetap memasukkan tindakan pemenjaraan dan pada akhirnya penjatuhan pidana penjara bagi anak. Dalam hal ini, menjadikan perhatian bagi pemerintah dan lembaga publik lainnya yang dituntut dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak, termasuk pelaku anak.

Demi kepentingan anak untuk masa depannya maka dalam proses peradilan yang dapat menimbulkan dampak psikologis yang merugikan bagi anak, seperti mereka mengalami tekanan dan stigmatisasi selama menjalani proses peradilan, maka segala kegiatan yang dilakukan dalam kerangka peradilan anak tanpa memandang polisi, jaksa, hakim, dan pejabat publik lainnya haruslah didasarkan pada prinsip kepentingan anak.4. namun prosesnya lama, tidak adanya aparat kepolisian yang profesional di bidang anak, dan (di satu sisi) sikap aparat kepolisian terhadap pelaku anak, suasana gas terkompresi akan menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan bagi anak. Kenangan akan semangat yang akan bertahan seumur hidup dan Beragam. Pemahaman Penegak Hukum tentang Penegak Hukum Anak Nakal akan mempengaruhi kepribadian mereka. Pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian pada anak. Karena keterbatasan penyelenggaraan peradilan karena berbagai faktor, tidak mungkin

4 Sudarto, Op Cit, hal. 140

(4)

melindungi sepenuhnya anak sebagai pelaku. Hal ini karena penerapan hukum pidana terhadap kejahatan pada umumnya dan pencegahan kenakalan remaja pada khususnya hanya dapat menoleransi manifestasi-manifestasi yang dangkal, di satu pihak tidak sampai ke akar-akarnya, dan di pihak lain tidak. Masih tersentuh, tapi masih sepihak. Ide-ide konseptual konkrit terkait dengan kebijakan kejahatan non-kriminal.

Perlakuan hukum terhadap pelaku kejahatan anak harus diimbangi dengan program yang komprehensif yang mencakup pendidikan, perawatan kesehatan, konseling psikologis dan keterlibatan masyarakat untuk melindungi dari penyalahgunaan dan konsekuensi dari mengulangi perilaku yang sama.

Sebuah teori yang menekankan reparasi untuk kerusakan yang disebabkan oleh atau untuk kejahatan sering disebut sebagai keadilan restoratif. Keadilan Restoratif menangani kerugian melalui proses kolaboratif yang melibatkan semua pemangku kepentingan.5. Untuk memikirkan tujuan pemulihan, kejahatan dapat diatasi melalui tindakan dan program berikut6:

a) Mengidentifikasi dan bertindak untuk memperbaiki kerugian b) Keterlibatan semua personil aparat pemangku kepentingan

c) Memperkuat hubungan antara masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi kejahatan.

B. Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah pendekatan regulasi. Penyelidikan hukum adalah penyelidikan hukum yang dilakukan dengan memeriksa dokumen perpustakaan atau bahan sekunder dan primer sebagai alat bukti.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yang memanfaatkan literatur hukum dengan mengkaji teori, konsep, asas hukum, dan hukum yang terkait dengan penelitian ini.

Pendekatan ini, juga dikenal sebagai pendekatan perpustakaan, mencakup studi tentang buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen-dokumen lain yang terkait dengan studi penggunaan keadilan restoratif sebagai alat kebijakan non-pidana untuk memerangi kenakalan remaja dalam kejahatan. bidang. sistem peradilan.

Dengan kata lain, pendekatan hukum ini memiliki konsepsi hukum positif dalam sistem hukum nasional, dimana penelitian hukum digunakan dengan melakukan pendekatan terhadap praktek-praktek yang ada dengan observasi dan kerja lapangan, kemudian pemeriksaan dan analisis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang relevan. sebagai acuan untuk memecahkan masalah.

Dalam metode penelitian ini, jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui desk and field research. Data sekunder meliputi badan hukum primer, badan hukum sekunder, dan badan hukum tersier Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data sekunder terutama melalui studi kepustakaan atau dokumenter.

5 Muladi, Kapita Salekta Hukum Pidana, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995, hal. 125

6 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensionalisme dan Abolosionisme, Bandung, Bina Cipta, 1996, hal. 101

(5)

C. Hasil dan Pembahasan

Pelaksanaan Peradilan Anak Berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur tentang perlakuan terhadap anak yang melanggar hukum yang berlaku saat ini. Sehubungan dengan penanganan kasus pidana anak di bawah peradilan restoratif harus sesuai dengan Bagian 52 Undang-Undang Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Ini adalah contoh situasi di mana seorang anak di bawah hukum saat ini, yaitu, seorang anak di bawah penyelidikan polisi, ditahan bersama dengan orang dewasa di penjara dewasa. Prosedur peradilan yang harus ditegakkan dan penahanan membutuhkan waktu yang lama, dan pemenjaraan (pelatihan) anak masih sering terjadi dalam jangka waktu yang lama. Dalam proses peradilan pidana anak diharapkan kondisi yang lebih baik bagi anak pada akhirnya akan tercapai setelah anak melakukan tindak pidana.

Pembinaan anak pemasyarakatan diharapkan mendapat pengajaran yang dapat bermanfaat bagi anak setelah dibebaskan, serta kegiatan yang menyita waktu tanpa pengawasan perkembangan anak, seperti hak atas pendidikan selama di penjara. Namun kegiatan yang dilakukan di lembaga tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan bakat anak serta hak atas pendidikan. Hal ini dikarenakan perkembangan anak didik dan perkembangan narapidana dewasa tidak dapat dibedakan secara jelas, sehingga anak-anak yang masih dalam usia wajib belajar tidak dapat menerima pendidikan di lembaga pemasyarakatan.

Sesuai dengan Undang-Undang Peradilan Pidana Anak No. 11 Tahun 2012, penanganan kasus pidana anak melalui keadilan restoratif adalah demi kepentingan terbaik anak, dan keadilan terhadap korban sangat diperhatikan dan dijamin serta dihormati.

martabat anak. Ketika seorang anak melakukan tindak pidana, tiga orang pelaku/orang tua, korban/orang tua, dan tokoh masyarakat ikut serta dalam kegiatan penyidikan/penyidikan pidana dengan tujuan untuk memulihkan pelaku/korban/korban. masyarakat. Sesuai dengan ketentuan pasal 10(1) dari Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik, penyelesaian kasus pidana anak adalah untuk kepentingan pelaku sebagai tujuan dari pendekatan peradilan tambahan. Semua orang yang dirampas kebebasannya diperlakukan secara manusiawi dengan menghormati martabat yang melekat pada diri mereka. Keadilan restoratif adalah upaya memperlakukan anak yang melanggar hukum sesuai dengan harkat dan martabatnya. Keadilan restoratif adalah transisi dari peradilan pidana formal ke peradilan pidana informal sebagai alternatif terbaik untuk memperlakukan anak sebagai penjahat oleh semua pihak yang terlibat. Upaya penerapan keadilan restoratif tidak mengembalikan semua kejadian anak kepada orang tua. Karena hakim tentunya harus memperhatikan kriteria tertentu., yaitu:

1. Anak telah melakukan tindak pidana terhadap pertama kali;

2. Anak masih bersekolah;

3. Kejahatan yang dilakukan bukan merupakan kejahatan moral yang berat, kejahatan yang mengakibatkan kematian, cedera serius atau cacat tetap, atau

(6)

kejahatan yang dapat dituntut yang menghalangi/menghambat kepentingan umum.

Asas kepentingan terbaik bagi anak itu baik bagi peradilan anak itu sendiri, tetapi sistem yang buruk itu tetap bermuara pada kemauan dan kemampuan penegak hukum untuk mengutamakan penyelesaian dan perlindungan serta memberikan yang terbaik bagi anak yang berselisih dengan hukum.

Untuk perkara yang diselesaikan secara restoratif justice seperti yaitu perkara pencurian, sajam, narkotika, penadahan, laka lantas, kekerasan, penipuan, dan penganiayaan bisa dilakukan penanganan perkara pidana anak melalui restorative justice tersebut dilakukan untuk menjamin dan menghormati martabat anak, dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak dan dengan mempertimbangkan keadilan bagi korban.

Berdasarkan Undang-Undang Peradilan Anak No. 3 Tahun 1997 diatur dengan asas-asas yang berbeda dengan peradilan pidana orang dewasa. Penanganan anak yang bermasalah dengan hukum berawal dari anak tersebut ditangkap, disidik dan sampai dengan menjadi tersangka. Proses tersebut dimulai dari tingkatan Kepolisian, Bapas, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Anak-anak yang berproses di Kepolisian atau dalam sistem peradilan pidana belum mendapatkan pelayanan yang baik, masih perlu diperhatikan aspek kenyamanan. Bahkan masing-masing anak harus dilihat kasus per kasus. Jadi, ada pembedaan dalam arti perlakuan bagi anak yang hanya pelaku kenakalan atau sudah mengarah ke perbuatan kriminal. Ada kecenderungan perlakuan aparat terhadap anak sama seperti ketika yang dihadapi adalah pelaku dewasa, apalagi kalau anak berasal dari kelompok marginal, belum ditangani secara baik, sedangkan dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat asas “non diskriminasi” dalam pemberian hak-hak anak, artinya bahwa siapapun anak sebagai pelaku harus mendapatkan perlakuan yang sama dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak.

Setiap tahun, kejahatan yang melibatkan anak-anak semakin meningkat. Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), antara 2011 hingga akhir 2018, 11.116 anak terlibat dalam kejahatan di Indonesia. Kejahatan seperti kejahatan jalanan, pencurian, perampokan, geng motor, dan pembunuhan mendominasi. Direktur KPAI Putu Elvina mengatakan jumlah pelaku anak mencapai 695 pada tahun 2011. Sementara itu, jumlah pelaku kejahatan anak pada 2018 melonjak menjadi 1.434.7

Padahal, perlakuan terhadap anak dalam kesulitan hukum didasarkan pada sistem peradilan pidana bagi anak, bukan demi kepentingan terbaik bagi anak. Sejak anak diperiksa di kepolisian mereka berhak untuk tidak ditahan, hal ini telah diatur pada undang- undang, tetapi pada kenyataannya anak-anak sudah ditahan sejak awal pemeriksaan. Pada berbagai kasus yang lain penanganan terhadap pelaku delinkuensi anak menggambarkan bagaimana kondisi penegakan hukum terhadap anak saat ini. Bukan permasalahan yang sederhana dalam pelaksanaan hukum, selain peraturan yang menjadi landasan hukum (substansi), selain itu dibutuhkan aparat penegak hukum yang memadai (struktural),

7https://nasional.sindonews.com/read/1386542/13/tindak-kriminalitas-anak-sangat-memprihatinkan 1552524624, diakses tanggal 25 Juli 2022, Pukul: 10.06 WIB

(7)

Infrastruktur yang memadai dan ramah anak bukanlah kondisi yang mudah untuk disediakan. Budaya hukum masyarakat (kultural) merupakan faktor yang ikut berperan karena masyarakat merupakan salah satu faktor dalam upaya penegakan hukum.

Dalam menangani suatu perkara hakim berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Pada perkara anak meski kasus tersebut tergolong ringan karena fungsi pengadilan bersifat menerima suatu perkara mau tidak mau harus disidangkan.

Keberpihakan terhadap anak belum menjadi kerangka berfikir para aparat penegak hukum yang menangani kasus-kasus anak. Ketika berhadapan dengan dan menangani berbagai tindakan dan perilaku anak-anak nakal, penting untuk mempertimbangkan posisi anak dengan semua ciri dan karakteristiknya yang khas, meskipun anak mungkin telah mengidentifikasi perilaku itu sendiri. alasan sendiri. pikiran, perasaan dan kemauannya, tetapi keadaan sekitar dapat mempengaruhi perilakunya.

Oleh karena itu, ketika menghadapi anak preman, orang tua dan masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama dalam membimbing, mendidik dan mengembangkan perilaku anak. Hubungan antara orang tua dan anak merupakan hubungan yang esensial baik secara psikis maupun spiritual, sehingga ketika melakukan kejahatan dan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak, kita harus berusaha agar anak tidak terpisah dari orang tuanya, dalam kondisi pemaksaan yang mengarah pada pemidanaan anak atas kejahatan atau tindakan memisahkan anak dari orang tuanya, itu adalah demi kebaikan anak dan mempertimbangkan pertumbuhan dan perkembangan anak di lingkungan yang aman, sekolah yang adil dan wajar.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menjelaskan bahwa jangka waktu penahanan ditentukan menurut kepentingan anak dan pembedaan ancaman pidana terhadap anak sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dimana sanksi pidana ditetapkan sebesar (setengah) ancaman maksimum kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa, sedangkan hukuman mati diterapkan dan penjara seumur hidup tidak diterapkan pada anak-anak perbedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam undang-undang ini diharapkan dapat lebih melindungi dan melindungi anak agar dapat mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Artinya, perbedaan itu ditujukan untuk menciptakan peluang bagi anak-anak untuk, melalui pelatihan, memperoleh jati diri menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi dirinya, keluarga, komunitas, negara, dan negaranya.8. khusus untuk bentuk sanksi terhadap anak dalam undang-undang ditentukan menurut umur anak, khusus untuk anak yang berumur 8 (delapan) tahun sampai dengan 12 (dua belas) tahun, hanya anak yang berumur 8 (delapan) tahun sampai dengan 12 (dua belas) tahun akan ditangani sesuai dengan umurnya, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan di fasilitas sosial, atau ditempatkan di fasilitas sosial Negara, sedangkan anak yang berusia 12 (dua belas) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun semuanya dipidana.

Perbedaan perlakuan didasarkan pada pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak. Mengingat keunikan dan karakteristik anak serta untuk melindungi

8 Darwan Prist, Hukum Anak Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 152

(8)

anak, perkara tentang anak disidangkan di Pengadilan Anak, sebuah divisi dari Peradilan Umum. Proses penanganan perkara anak mulai dari penangkapan, penahanan, persidangan dan konsultasi lainnya semuanya dilakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar memahami permasalahan anak, penggunaan sarana pidana dalam proses peradilan dilakukan dengan sangat selektif dalam proses peradilan yang harus dilakukan oleh anak karena bukan merupakan proses jangka pendek, oleh karena itu dalam hal pembatasan perbuatan yang ditangani di pengadilan, sanksi dikenakan serta tempat di mana tindak pidana itu dilakukan, atau lebih bersifat mendidik daripada sanksi yang tidak memperhitungkan dampak yang diderita oleh anak yang harus ditanggung oleh pelanggar.

Peran sistem peradilan pidana pada umumnya dan sistem peradilan anak pada khususnya dari segi kriminologi dipertanyakan karena dalam beberapa kasus apa yang terjadi selama persidangan telah memperburuk kedudukan sosial pengarang.9.

Faktor korelasi dan regresi yang mendukung dan menghambat berjalannya hukum pidana anak harus diperhatikan dalam menetapkan hukum pidana anak sebagai upaya penanggulangan kenakalan remaja. Komunitas. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa apabila ditemukan perlakuan terhadap pelaku anak dengan tindakan hukuman karena sebab lain (aparat penegak hukum kurang personal daripada profesional di bidang anak) justru merugikan perkembangan mental anak. ke depan dalam bentuk diskriminasi, perlu dibentuk fasilitas non lembaga pemasyarakatan untuk mengatasi situasi anak-anak nakal di masyarakat10.

Karena terbatasnya peran peradilan pidana anak dalam pemanfaatan lembaga pemasyarakatan, maka langkah-langkah politik melalui lembaga pemasyarakatan tidak dapat mencapai tujuannya secara optimal sehingga harus didukung dengan cara-cara non pidana. Pemenjaraan anak, dengan perlakuan yang sesuai dalam penyelidikan sampai dengan pemenjaraan, berdampak buruk baik pada perkembangan mental anak di masa depan maupun dampak sosial, yang mengakibatkan trauma pada anak dan interaksi timbal balik dengan Teman Bermain dan masyarakat sekitar.

Dalam pembahasan kebijakan kejahatan, masyarakat melakukan upaya yang wajar untuk mencegah dan menanggapi kejahatan. Hasil logis dari pengembangan kebijakan yang mencakup berbagai upaya dari semua lapisan masyarakat dan memberikan rekomendasi untuk solusi hukum dan tindakan non-hukum adalah upaya yang wajar. Oleh karena itu, kebijakan kriminal merupakan bagian penting darinya11 dari kebijakan publik12.

Kegiatan pencegahan kejahatan secara sistematis dan terpadu dilakukan dalam rangka menyeimbangkan Upaya Perlindungan Masyarakat (Social Protection) dan Upaya

9 Paulus Hadisuprapto, Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya, Malang, Bayumedia Publising, 2008, hal. 217

10 Ibid

11Fransiska Novita Eleanora, “White Collar Crime Hukum dan Masyarakat”, Forum Ilmiah, Vol. 10, No. 2, Tahun 2013, hal 250

12 Iza Fadri, “Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia”, Jurnal Hukum, Vol.

17, No. 3, Juli 2010, hal 445.

(9)

Kepentingan Umum (social welfare)13. Dapat dikatakan bahwa kebijakan kriminal (criminal policy) pada hakekatnya merupakan bagian integral dari kebijakan sosial (social policy) dalam rangka memadukan upaya kriminal dan non kriminal untuk mencapai tujuan pemidanaan. Kebijakan pencegahan kejahatan (criminal policy) menjadi bagian menurut kebijakan penegakan hukum (criminal charge policy.)14.

Ukuran pencegahan yang merupakan upaya rasional untuk memerangi kejahatan dengan cara pidana dan non kejahatan adalah G. Terlihat dalam teori pencegahan Peterhoff Nagel15. Lantaran pencegahan kejahatan non-pidana lebih bisa menangani faktor-faktor penyebab & bisa mencegah kejahatan yg serius dalam atau syarat sosial yg bisa secara pribadi atau nir pribadi berkembang & memelihara 16. Sebelum kejahatan terjadi (pencegahan atau pencegahan kejahatan), atau dapat juga dilakukan setelah kejahatan terjadi, misalnya pelaksanaan perlindungan sosial (social defense), perdamaian imigrasi, rehabilitasi sosial dan kegiatan lainnya, tidak dapat dilakukan tindakan pidana17.

Permasalahan yang muncul dalam masyarakat Indonesia merupakan fenomena sosial yang sudah ada sejak awal manusia, karena manusia adalah makhluk sosial dengan keinginan atau kepentingan yang berbeda antara manusia dengan manusia, dengan kompleksitas dan persaingan dalam kehidupan sosial yang tinggi. cenderung meningkat atau setidaknya berpotensi menimbulkan berbagai masalah. Keadilan restoratif oleh karena itu merupakan bentuk pendekatan baru untuk penyelesaian kasus pidana. Model akses keadilan restoratif ini sudah digunakan di sejumlah negara dengan fokus pendekatannya kepada pelaku, korban dan masyarakat dalam penyelesaian kasus hukum muncul di antara mereka. Meskipun pendekatan ini masih diperdebatkan secara luas di tingkat teoretis oleh para ahli, dalam praktiknya terus berkembang dan bertahan dan memengaruhi kebijakan, hukum, dan praktik di banyak negara Vietnam.18

Karena masih adanya ketidakpastian tentang dasar hukum yang akan dijadikan acuan untuk menjustifikasi pelaksanaan restorative justice, wacana restorative justice nampaknya masih menjadi persoalan. Namun, penyelidikan lebih lanjut diperlukan apakah tindakan ayah dan polisi dalam penyelesaian sengketa, mediasi, atau konsiliasi dapat memenuhi syarat untuk keadilan restoratif dalam sistem peradilan anak. Pendekatan humanistik terhadap kebijakan/reformasi hukum pidana dapat dilihat pada beberapa fakta berikut ini:19

13 Muhammad Natsir, KoesnoAdi, PrijaDjatmika, dan Rodliyah, “Communal Conflict Resolution Model in Bima Regency West Nusa Tenggara Province”, International Journal of Education and Research, Vol. 1, No. 12, Tahun 2013, hal 4.

14 Pranggi Siagian, Alvi Syahrin, Mahmud Mulyadi, dan Marlina, “Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Kejahatan”, USU Law Journal, Vol. 3, No. 2, Tahun 2015, hal 171.

15Rina Melati Sitompul, M. Hamdan, Edy Ikhsan, dan Mahmud Mulyadi, “Kebijakan Non Penal Dalam Upaya Pencegahan Dan Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafiking) (Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara)”, USU Law Journal, Vol. 2, No. 3, Tahun 2014, hal 197.

16 Muhammad Natsir, dkk., “Communal Conflict Resolution Model in Bima Regency West Nusa Tenggara Province”, International Journal of Education and Research, Vol. 1, No. 12, Tahun 2013, hal 3

17 Rina Melati Sitompul, M. Hamdan, Edy Ikhsan, dan Mahmud Mulyadi, Op.cit., hal 191.

18 Henny Saida Flora, op cit, hal 143

19 Sudarto, Hukum Pidana I, Edisi Revisi, Semarang, Yayasan Soedarto, 2018, hal. 3

(10)

“Jadi kalau soal kejahatan, kita harus bicara tentang orang yang melakukan kejahatan, sehingga reformasi hukum pidana selalu berputar di sekitar manusia agar kita tidak pernah melepaskan nilai-nilai kemanusiaan, yaitu kasih sayang kepada orang lain, demikian fungsi pidana atau hukum adalah untuk mengatur masalah-masalah kehidupan sosial atau pelaksanaan pemerintahan dalam masyarakat”.

Reformasi hukum tidak lepas dari persoalan nilai, karena kejahatan digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan pembetulan, maka pendekatan humanistik juga harus diperhatikan. Pendekatan yang manusiawi dalam penerapan sanksi pidana juga harus diterapkan untuk menyelesaikan kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku, oleh karena itu nilai-nilai kemanusiaan harus dijunjung tinggi.

1. Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Keadilan restoratif dapat ditegakkan dengan keadilan restoratif. Ini adalah proses dimana semua orang yang terlibat dalam kejahatan tertentu bekerja sama untuk memecahkan masalah bagaimana menghadapi konsekuensi di masa depan. Ini juga merupakan pelanggaran terhadap orang dan hubungan, seperti kejahatan yang dilakukan oleh seorang anak. Ketika kejahatan menciptakan kewajiban untuk memperbaiki situasi dengan mendorong korban, pelaku, dan masyarakat untuk mencari solusi untuk kompensasi, rekonsiliasi, dan ketenangan pikiran.20.

Peradilan restoratif mempunyai prinsip-prinsip berbeda dengan model peradilan konvensional, yaitu antara lain 21:

a. Membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya;

b. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya di samping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif;

c. Melibatkan para korban, orang tua, keluarga, sekolah dan teman sebaya;

d. Menciptakan forum untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah;

e. Menetapkan hubungan langsung

Keadilan restoratif dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan seperti: Mediasi antara korban dan pelaku/penjahat. Pertemuan keluarga; pengabdian masyarakat yang merehabilitasi baik korban maupun pelaku kejahatan. Tujuan penerapan sistem peradilan pidana tergantung pada model sistemnya: model keadilan retributif atau model keadilan restoratif.

Model keadilan retaliatory dan model keadilan restoratif merupakan model keadilan.

Ciri-ciri peradilan restoratif sebagai berikut 22:

20 Apong Herlina, dkk., Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan dengan Hukum Manual Pelatihan Untuk POLISI, Jakarta: Polri dan Unicef, 2004, hal.5

21 Ibid

22 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Edisi Revisi, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002, hal. 40

(11)

1. Dianggap sebagai perselisihan yang dapat mengarah pada kejahatan di mana satu orang dilukai oleh orang lain.

2. Fokus pada pemecahan masalah tanggung jawab dan kewajiban di masa depan.

3. Karakter normatif didasarkan pada dialog dan negosiasi.

4. Tujuan utamanya adalah pemulihan, rekonsiliasi dan pemulihan sebagai sarana pemulihan para pihak.

5. Ekuitas dirumuskan sebagai hubungan antara hak-hak yang dinilai sebagai hasilnya.

6. Fokus pada penyembuhan luka sosial dari kejahatan.

7. Masyarakat memoderasi proses pemulihan.

8. Diakui peran baik korban maupun pelaku dalam mengidentifikasi masalah dan menangani hak dan kebutuhan mereka. Pelanggar harus dimintai pertanggungjawaban.

9. Tanggung jawab penjahat dirumuskan sebagai hasil dari pemahaman perilakunya dan dirancang untuk membantunya memutuskan apa yang terbaik.

10. Kegiatan kriminal dipahami dalam konteks moral, sosial dan ekonomi yang komprehensif.

11. Stigma dapat dihilangkan dengan tindakan korektif.

Pokok–pokok pemikiran dalam paradigma peradilan anak Restoratif (restorative paradigm) menurut Gordon Bazemore adalah sebagai berikut:23

a) Tujuan pemberian sanksi

Korban berhak untuk terlibat secara aktif dalam proses peradilan, karena korban harus dilibatkan untuk mencapai tujuan sanksi. Indikator pencapaian tujuan sanksi dicapai dengan memeriksa pemulihan korban, kepuasan korban, kompensasi, kesadaran akan perilaku kriminal, jumlah kontrak perbaikan yang dibuat, kualitas pekerjaan, dan keseluruhan. Proses, kinerja.

b) Rehabilitasi penjahat

Penjahat, korban, masyarakat, dan aparat penegak hukum proaktif dalam proses pemberian sanksi seperti pembebasan, mediasi korban, dukungan korban, pemulihan masyarakat, dukungan korban langsung, atau denda pemulihan. Pelaku secara aktif berupaya memulihkan kerugian korban dan menangani korban/wakil korban. Korban aktif di semua tahap proses dan membantu menentukan sanksi terhadap penjahat. Masyarakat berperan sebagai perantara, membantu korban dan membantu pelaku memenuhi kewajibannya. Lembaga penegak hukum memfasilitasi mediasi. Anak-anak dan keluarganya adalah sumber utama dan fokus keadilan restoratif untuk kesejahteraan dan perkembangan positif, karena anak-anak dianggap

23 Paulus Hadisuprapto, Op.Cit.

(12)

sebagai keterampilan yang kompeten dan positif, profilaksis dan positif.

Untuk rehabilitasi pelaku kejahatan perlu dilakukan perubahan sikap sistem sosial dan perilaku orang dewasa. Rehabilitasi pidana dilakukan dengan pembelajaran pidana, penyuluhan, dan pengobatan untuk mendorong partisipasi aktif para pemangku kepentingan.

c) Aspek perlindungan masyarakat

Keadilan restoratif terbatas pada pemenjaraan hanya sebagai upaya terakhir, karena sistem peradilan dan masyarakat harus mencapai perlindungan masyarakat melalui upaya terkoordinasi untuk mengembangkan pencegahan. Masyarakat secara aktif bertanggung jawab untuk membantu pelaksanaan restorasi. Menurunnya residivisme merupakan salah satu indikator tercapainya perlindungan masyarakat. Sementara itu, pelaku kejahatan harus berada dalam pengawasan masyarakat agar masyarakat merasa aman dan percaya dengan peran sistem peradilan anak. Diharapkan peran pelaku kejahatan, korban, masyarakat dan ahli peradilan anak dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan perlindungan masyarakat. Penjahat perlu dilibatkan secara konstruktif dalam program pengembangan keterampilan dan kegiatan pemulihan secara seimbang dengan mengembangkan kontrol internal dan keterlibatan dengan teman sebaya dan organisasi anak.

UU No.11 Sistem Peradilan Anak (UU SPPA) November 2012 mengatur keadilan transformasional dan restoratif yang mengutamakan perdamaian daripada proses peradilan formal. Perubahan yang signifikan antara lain penerapan pendekatan keadilan restoratif dengan sistem diversi. UU SPPA menetapkan tanggung jawab lembaga penegak hukum mencari diversi (pengalihan penyelesaian kasus anak dari pengadilan ke pengadilan eksternal) di semua tahap proses peradilan. Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Diversi, Penerbitan PP, Turunan dari UU SPPA Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Anak. Poin penting dari PERMA adalah bahwa hakim berkewajiban untuk menyelesaikan masalah anak yang melanggar hukum dengan diversi dan mencakup langkah-langkah untuk melakukan diversi untuk membantu hakim menyelesaikan kasus pidana anak24.

2. Penataan Pelaku dan Korban dalam Acara Pidana Anak di Lapas

Pada kenyataannya, pelaku atau keluarganya biasanya memerlukan proses lebih lanjut dari kasus ini, sehingga masalah pidana diselesaikan dengan kesepakatan bersama. Hal ini sebagai upaya untuk memenangkan hati korban dan menghentikan korban untuk menuntut lebih jauh, sebagaimana keluarga pelaku pada umumnya memberikan ganti rugi kepada korban. Korban/keluarga korban menyatakan ada pertemuan antara korban (keluarga korban) dengan pelaku (keluarga pelaku), dan

24 Yul Ernis, Diversi Dan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Anak Di IndonesiaI, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, ISSN:1978-2292, Volume 10 Nomor 2, Juli 2016, Jakarta, 2016, hal 163

(13)

korban damai antara korban dengan pelaku, saya membuat pernyataan ada. Korban kemudian memberitahukan kepada penyidik bahwa penyelesaian tidak boleh dilanjutkan, yaitu prosedurnya akan ditarik kembali. Biasanya terjadi situasi yang sangat erat antara pelaku dengan korban, ada kemesraan emosional antara keluarga pelaku dengan korban/keluarga korban, biasanya berupa: penggelapan; Penipuan;

pencemaran dan penggelapan, dan kejahatan terbatas martabat.

Dalam hal ini, keikutsertaan penyidik dalam penyelesaian yang bersahabat dan di luar pengadilan ini berbentuk:

1. Penyidik (polisi) menghubungkan pelaku dengan korban atau keluarga korban.

2. Penyidik memberi waktu kepada pelaku dan korban untuk memberikan nasihat.

3. Penyidik memutuskan apakah akan mengizinkan perdamaian antara pelaku dan korban dan terus menyelidiki kepentingan masyarakat atau keseimbangan kepentingan dan hubungan yang sebenarnya antara pelaku dan korban.

4. Penyidik menangguhkan atau menghentikan pendelegasian anak ke tingkat penegakan hukum dalam keadaan sebagai berikut:

a) Pengaduan telah ditarik.

b) bukti yang tidak cukup;

c) Korban diberi ganti rugi.

d) Karena ada saran dari tokoh masyarakat.

e) Ada instruksi dari pimpinan untuk menutup kasus.

Bentuk penyelesaian secara NonLitigasi yang berupa penyelesaian perdamaian secara kekeluargaan dan selanjutnya pelakunya atau keluarganya untuk memberikan ganti rugi, saling memaafkan ataupun perbuatan yang harus dilakukan sesuai dengan hasil musyawarah, misalnya pihak keluarga diwajibkan membimbing anak pelaku tindak pidana tersebut.

Tindakan agar anak dikembalikan pada orangtuanya dapat di sarankan oleh pihak BAPAS, apabila terdapat kondisikondisi yang melekat pada kasus yang bersangkutan, seperti:

1) kondisi anak masih muda;

2) anak perlu sekolah;

3) orang tuanya sanggup membimbing;

4) tindak pidana termasuk ringan;

5) pihak korban sudah diberi ganti rugi dan memaafkan;

6) kondisi lingkungan masyarakat sekitarnya dinilai layak;

7) untuk pembinaan anak tersebut.

Penyelesaian secara non-litigasi pada kasus pidana adalah jalur alternatif, pada samping jalur primer yaitu : jalur litigasi. Dalam kenyataannya eksistensi non-litigasi diakui sang warga sebagai akibatnya dipakai menjadi galat satu cara penyelesaian kasus pidana walaupun jalur non-litigasi ini sebenarnya nir masih ada pada anggaran utama aturan program pidana (KUHAP).

(14)

Beberapa hal yg berakibat penyelesaian kasus pidana melalui jalur non-litigasi, yaitu Pertama, merupakan adanya konvensi antara para pihak buat menuntaskan kasus pidana, baik melalui peradilan dalam termin pertama (kepolisian) juga melalui peradilan. Kedua, adanya konvensi buat memakai atau memakai jasa seseorang atau beberapa orang mediator. Ketiga, pada proses itu terjadi perundingan atau tawar menawar tentang jumlah ganti rugi atau tindakan lain yang wajib diberikan atau dilakukan sang pelaku kejahatan pada pihak korban. Proses perundingan atau tawar menawar ini adalah proses yang umumnya masih ada pada aturan perdata.

Penyelesaian kasus pidana melalui jalur non-litigasi bisa dilakukan pada luar peradilan pidana & pada pada peradilan pidana. Penyelesaian non-litigasi yg dilakukan pada luar peradilan pidana berarti kasus pidana tadi belum dilaporkan atau diadukan ke kepolisian, sebagai akibatnya ini terdapat campur tangan kepolisian. Semua kendali penyelesaian kasus terdapat para pihak. Pada penyelesaian non-litigasi yang dilakukan pada pada kerangka peradilan pidana (taraf kepolisian), berarti kasus tadi telah dilaporkan atau diadukan ke kepolisian dan masuk pada daftar register.

3. Faktor-faktor yang menghambat penerapan restorative justice sebagai sarana perilaku non kriminal untuk mengatasi perilaku tercela pada anak

Fakta-fakta yang mencirikan kegagalan proses penegakan hukum Indonesia dapat dilihat pada kurangnya independensi hukum, kurangnya integritas aparat penegak hukum, kondisi masyarakat yang rapuh, dan pertumbuhan hukum yang stagnan. Memang, persoalan utama penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Faktor-faktor tersebut memiliki arti yang netral, sehingga pengaruh positif atau negatifnya terletak pada kandungan faktor-faktor tersebut. Keadilan restoratif merupakan salah satu upaya untuk mencapai penyelesaian sengketa secara damai di luar pengadilan, namun masih sulit untuk dilaksanakan.

Munculnya gagasan restorative justice ini merupakan kritik terhadap penerapan sistem peradilan pidana penjara yang dinilai tidak efektif dalam menyelesaikan sengketa sosial. Adapun penyebabnya, pihak-pihak yang bersengketa tidak dilibatkan dalam penyelesaian sengketa. Korban tetaplah korban, dan pelaku yang dipenjara juga menimbulkan masalah baru bagi keluarga. Keadilan restoratif bersifat konseptual dan bertujuan untuk mengatasi beberapa permasalahan anak yang melanggar hukum:

pencegahan, pengobatan, rehabilitasi, dan rehabilitasi. Namun mengingat semakin banyaknya masyarakat yang berhadapan langsung dengan anak yang melanggar hukum, tidak semua pihak dapat melaksanakan keempat aspek tersebut yang dapat menimbulkan implikasi teknis dan hambatan.

Akibatnya, proses rehabilitasi dan reintegrasi hanya membutuhkan inti dan komponen lainnya sebagai tingkat dukungan dan pencegahan. Mekanisme hukum, aparat penegak hukum, dan masyarakat merupakan unsur-unsur yang perlu mendapat perhatian untuk memberikan perhatian dan perlindungan terhadap hak-hak dasar anak yang berkonflik dengan hukum.

(15)

Oleh karena itu, mengacu pada dokumen nasional dan internasional, serta Ordonansi Bersama tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 3 tentang Pengadilan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Aparat Penegak Hukum Yang Menangani Anak Harus berusaha untuk mematuhinya. Tidak hanya undang- undang yang terkait dengan aturan ini, tetapi mereka juga menghadapi keinginan aparat penegak hukum yang menangani masalah anak untuk memprioritaskan perdamaian daripada proses peradilan formal. Demi kepentingan terbaik bagi anak, dan berdasarkan nilai-nilai Pancasila, negara memberikan perhatian dan perlindungan kepada anak melalui transaksi dengan anak yang melanggar hukum. Karena dari perspektif perlindungan anak, ini adalah tentang menciptakan kondisi kerangka kerja yang melindungi anak agar mereka dapat menjalankan hak dan kewajibannya. Penegakan/penerapan hukum harus membantu tercapainya tujuan dari upaya penanggulangan kejahatan anak. Untuk itu kriteria ketidakabsahan juga harus dicari faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan restorative justice. Faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto adalah25:

1. Faktor hukum

2. Faktor penegak hukum 3. Faktor sarana atau fasilitas 4. Faktor masyarakat

5. Faktor kebudayaan.

Inti dari keberhasilan implementasi penanggulangan kenakalan anak adalah bahwa kelima faktor di atas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yang pada akhirnya berfungsi sebagai alat kebijakan non-pidana untuk penanggulangan kejahatan pada anak. Secara rinci, faktor-faktor ini dapat dinyatakan sebagai:

a. Faktor hukum

Meskipun konsep keadilan merupakan rumusan yang abstrak, kepastian hukum merupakan prosedur yang ditentukan secara preskriptif, sehingga dalam praktik keadilan dapat terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Akibatnya rule of law atau ketidakjelasan hukum menjadikan rule of law kurang optimal pada tahap implementasi, sebagai berikut:

a) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak belum jelas tentang larangan pemenjaraan anak. Lapas anak bahkan bukan tempat yang baik bagi anak untuk berhadapan dengan hukum.

b) Revisi hukum pidana belum sepenuhnya direvisi. Secara khusus, pasal-pasal tentang pemerkosaan dan pencabulan masih lemah dan spesifik gender dan dapat memprioritaskan perlindungan hak-hak anak.

Kurangnya mediasi dalam hal anak perlu disosialisasikan dalam masyarakat luas.

Kita perlu menambah jumlah aparat penegak hukum untuk menangani anak yang melanggar hukum melalui sosialisasi, pendidikan dan pelatihan khusus agar mereka dapat memahami bentuk peradilan anak dan hak-hak anak terhadap anak. Pengadilan dapat melindungi dan menegakkan hak-hak anak yang melakukan kejahatan. Di beberapa negara

25 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 5

(16)

common law, konsep restorative justice merupakan paradigma baru dalam penegakan hukum, namun telah lama dikembangkan dan dipraktikkan dalam penyelesaian perkara pidana. Oleh karena itu, tidak heran jika praktik penegakan hukum pidana di Indonesia, khususnya upaya Polri untuk menerapkan konsep ini, menghadapi banyak kendala. Salah satu kendalanya adalah kurangnya pemahaman tentang konsep restorative justice di kalangan anggota Polri.

Bahkan, cukup banyak anggota yang tidak memahami istilah tersebut, apalagi menggunakannya. Karena dalam pemberlakuan KUHP konsep ini dianggap sebagai yang relatif baru. Selain itu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian hanya mengenalkan konsep diskresi polisi. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 sudah mencantumkan kewenangan diskresi untuk memberikan kesempatan kepada aparat kepolisian untuk menggunakan kewenangan diskresinya sebagai non-deviasi, namun dalam menjalankan tugasnya, masih banyak aparat kepolisian yang enggan. Untuk memanfaatkan kekuatan ini, terutama ketika berhadapan dengan proses pidana.

Selengkapnya Pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan:

(1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Selanjutnya, Penjelasan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan:

Yang dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.”

Karena pemahaman yang buruk tentang diskresi polisi, diskresi yudisial yang termuat dalam Pasal 2 Pasal 18 Peradilan 2002 dianggap tidak sah. Hal ini menjadi salah satu keragu- raguan anggota Polri dalam menjalankan diskresinya, khususnya dalam penyidikan acara pidana. Selain itu, polisi prihatin dengan penilaian negatif dari masyarakat umum, karena menjalankan diskresi polisi sering dianggap sebagai taktik untuk mendapatkan keuntungan yang signifikan dari pihak-pihak yang terlibat dalam persidangan.

Agar anggota Polri memahami konsep restorative justice, pemahaman tentang konsep diskresi polisi perlu dibarengi, karena ada keterkaitan antara diskresi dan restorative justice.

b. Faktor Penegak Hukum

Beberapa peraturan tentang bagaimana menangani anak yang melanggar hukum telah menyerukan pembentukan keadilan restoratif, meskipun tidak komprehensif. Namun demikian ada berbagai dokumen hukum, namun pada kenyataannya tidak cukup untuk membuat perubahan bagi anak-anak yang melanggar hukum. Aturan penanganan anak

(17)

yang berkonflik dengan hukum, kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam peradilan anak, juga tidak memberikan mekanisme alternatif penerapan restorative justice (seperti diversi dan mediasi), yang dengan jelas menyatakan bahwa: Berfungsi seperti. Panduan untuk penegakan hukum dapat membantu pejabat.

Perhatian dan kepekaan aparat penegak hukum terhadap anak yang melanggar hukum dapat mengatasi kekurangan peraturan yang ada. Kita bisa melakukan itu karena kita memiliki hak untuk menciptakan alternatif penjara yang lebih baik untuk melindungi masa depan anak-anak kita. Namun, karena paradigma hukum terutama dipertahankan oleh aparat penegak hukum, mereka telah dilatih di dalamnya dan oleh karena itu hanya mengandalkan hukum tertulis.

Memang, undang-undang itu sendiri memungkinkan fleksibilitas dalam menangani anak-anak ilegal. Banyak aparat penegak hukum yang masih menganut paradigma, kekakuan, dan pemahaman yang minim tentang bagaimana menghadapi anak ketika berhadapan dengan hukum, karena aparat penegak hukum menerapkan pendekatan keadilan restoratif, yang menjadi kendala. Hukum, jiwa dan kepribadian aparat penegak hukum berfungsi dengan baik, karena tidak hanya regulasi yang baik tetapi juga kualitas staf yang berperan penting, terutama agar tidak menimbulkan masalah dalam penanggulangan kejahatan anak saat ini.

Beberapa hambatan dalam menerapkan keadilan restoratif sebagai sarana perilaku non kriminal untuk mengatasi perilaku menyimpang pada anak adalah:

a. Pihak Kepolisian

1) Belum efektifnya penerapan diversi dan restorative justice terhadap kasus-kasus yang melibatkan anak yang melanggar hukum.

2) Polisi tidak membentuk pokja baik di Polres hingga Polsek untuk menangani anak yang melanggar hukum dan tidak melaksanakan sosialisasi internal.

b. Jaksa

1) Kejaksaan Tinggi tidak memberikan pembinaan dan pengawasan yang efektif terhadap penuntutan anak yang melanggar hukum.

2) Penuntutan tidak mengefektifkan Pokja penanganan anak nakal dan tidak melaksanakan sosialisasi internal anak nakal.

c. Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia

1) Kepala Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia menetapkan kebijakan pelayanan, penyuluhan, penyuluhan, dan perlindungan anak yang melanggar hukum.

2) Kanwil Hukum dan HAM belum menerbitkan SE dan SOP untuk menangani anak yang melanggar hukum secara restoratif justice.

3) Kantor wilayah untuk keadilan dan hak asasi manusia belum melakukan pengawasan yang efektif terhadap proses di wilayah tanggung jawabnya.

4) Kanwil Hukum dan HAM belum membentuk kelompok kerja penanganan anak yang melanggar hukum.

5) Kanwil Kehakiman dan HAM meningkatkan kualitas pelayanan, penyidikan masyarakat, penyuluhan dan pengawasan, dan pengawasan tindak pidana,

(18)

dukungan terhadap anak yang dipidana secara hukum, serta orang tua dan anak yang membutuhkan.

6) Dinas Hak Korporat Daerah perlu meningkatkan kualitas perlindungan, pelayanan dan pembinaan terhadap anak berhadapan dengan hukum di RUTAN dan Lembaga Pemasyarakatan (LP).

7) Kanwil Hukum dan HAM mengembangkan PUSDATIN tentang pendataan dan registrasi siswa lapas, narapidana anak, dan klien community center.

8) Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Daerah tidak secara optimal melatih pusat-pusat komunitas dan staf lembaga pemasyarakatan tentang diversi dan keadilan restoratif.

Sinkronisasi program yang mendesak dilaksanakan dan dibutuhkan untuk menangani anak yang melanggar hukum belum optimal bagi forum lintas sektoral untuk mengedepankan keadilan restoratif dalam menangani kasus yang dilakukan oleh anak, oleh karena itu sangat diperlukan.

Pencapaian perlindungan anak memerlukan koordinasi dan kerjasama yang tepat untuk mencapai keseimbangan upaya perlindungan anak secara menyeluruh, terutama yang berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, menurut penulis, aparat penegak hukum yang menangani anak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan pekerjaan.

2. Memperhatikan, mendedikasikan, dan memahami masalah anak.

3. Aparat hukum harus memiliki pengalaman memahami kasus kriminal yang dilakukan oleh anak.

c. Faktor Fasilitas

Peran yang sangat penting dalam penerapan hukum dimainkan oleh fasilitas atau keberadaan fasilitas. Adanya fasilitas atau fasilitas dapat menyelaraskan peran yang seharusnya dengan peran yang sebenarnya.

d. Faktor Masyarakat

G Pieter Hoefnagels menyatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan upaya rasional masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, oleh karena itu peran masyarakat dalam kebijakan penanggulangan kejahatan sangat penting Oleh karena itu, perencanaan yang rasional dan menyeluruh untuk menangani kejahatan dilaksanakan sebagai kebijakan pencegahan kejahatan.

Menurut penulis, beberapa faktor masyarakat yang menghambat pelaksanaan restorative justice sebagai wahana kebijakan non kejahatan dalam upaya pemberantasan kejahatan anak adalah:

a) Masih adanya persepsi sosial yang negatif bahwa anak yang melanggar hukum adalah penjahat yang tidak bisa membedakan antara kenakalan remaja dan kenakalan

b) Persepsi masyarakat tidak mendukung reintegrasi Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), reunifikasi keluarga dan reintegrasi sosial (Anak yang berkonflik dengan hukum).

(19)

c) Pengecualian dan stigmatisasi atau pelabelan pelaku kejahatan terhadap ABH bahkan setelah mereka menjalani hukuman atau menyelesaikan hukumannya.

e. Faktor Kebudayaan

Masyarakat memiliki pengaruh terhadap penegakan hukum karena penegakan hukum itu sendiri berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk menciptakan ketentraman dalam masyarakat. Model masyarakat bahwa semua kejahatan harus ditanggulangi (recidivism) menjadi salah satu penghambat implementasi restorative justice. Oleh karena itu, ketika anak-anak memiliki ekspresi yang menyimpang, mereka harus melaporkannya ke polisi agar dapat diproses secara hukum. Menurut penulis, ada beberapa faktor budaya yang menghambat penundaan penegakan hukum sebagai upaya politik non-pidana untuk memperbaiki kenakalan remaja, sebagai berikut:

a) Masyarakat masih berpandangan negatif bahwa anak yang berhadapan dengan hukum adalah penjahat, tidak dapat membedakan antara kenakalan remaja dan kenakalan remaja.

b) Persepsi masyarakat tidak mendukung reintegrasi, reunifikasi keluarga dan reintegrasi sosial anak yang melanggar hukum

c) Pengecualian dan stigmatisasi atau pelabelan pelaku kejahatan terhadap anak, bahkan setelah mereka menjalani hukuman atau menyelesaikan orientasi lanjutan (after care).

D. Kesimpulan dan Saran

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 sebagai dasar penyelenggaraan peradilan anak mengatur bahwa penanganan anak bermasalah dengan hukum didasarkan pada sistem penyelenggaraan peradilan anak didasarkan pada sistem peradilan pidana bagi anak.

tidak memihak kepentingan anak. Sistem peradilan pidana anak didasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 yang mengatur bahwa keadilan restoratif dilaksanakan sebagai penyelenggara perkara pidana anak dengan tujuan untuk menjamin dan menghormati harkat dan martabat anak, demi kepentingan terbaik bagi anak dan berkenaan dengan untuk keadilan bagi korban. Tiga pihak yaitu pelaku/orang tua, korban/orang tua, dan tokoh masyarakat yang terlibat dalam upaya penanggulangan tindak pidana ketika anak melakukan tindak pidana, dengan tujuan menjadi langkah perbaikan bagi pelaku, korban dan masyarakat. Faktor penghambat pelaksanaan restorative justice sebagai wahana kebijakan non pidana dalam upaya penanggulangan kenakalan remaja dalam sistem peradilan pidana adalah faktor hukum, faktor penegakan hukum, factor atau fasilitas terkait, faktor masyarakat dan faktor budaya. Kelima faktor tersebut di atas saling terkait, dan oleh karena itu berkaitan dengan esensi keberhasilanpelaksanaan penanggulangan kenakalan remaja selain itu keadilan restoratif sebagai wahana kebijakan non-kriminal dalam upaya mengatasi kenakalan anak harus dikembangkan sebagai model peradilan untuk masalah anak yang diakui oleh pemerintah dan masyarakat memfasilitasi proses tanpa keterlibatan polisi. Dalam kajian reformasi hukum pidana, model restorative justice yang diusulkan bersifat informal,

(20)

dalam arti tidak melibatkan lembaga keagamaan, adat dan kelembagaan aparatur desa yang dioptimalkan fungsi dan perannya sebagai struktur peradilan, khususnya bagi anak.

E. Ucapan Terimakasih

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada civitas akademika Sekolah Pascasarjana Prodi Ilmu Hukum Universitas Pakuan Bogor, dan kepada Pengelola Jurnal Pakuan Justice journal of law, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini dengan baik.

F. Biodata Singkat Penulis

Yenny Febrianty, lahir di Padang 3 Februari 1974. . Mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada tahun 1997 dari Universitas Bung Hatta, mendapatkan Gelar Magister Hukum dari Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Andalas pada tahun 2002, dan mendapatkan gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hukum pada Pascasarjana Universitas Diponegoro. Yenny Febrianty mengajar mata Hukum Perdata, Hukum Apartemen &

Kondominium, dan Sosiologi Hukum.

Krisna murti, Pemimpin kantor hukum krisna murti & patners yang beracara sejak tahun 2010 sebagai pengacara praktek/advokat, yang didukung oleh latar belakang pendidikan hukum dan seminar-seminar hukum dan bisnis baik yang bersifat lokal maupun nasional.

Sekarang lagi menempuh pendidikan pada program doktor ilmu hukum universitas jayabaya jakarta

(21)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Apong Herlina, dkk., Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan dengan Hukum Manual Pelatihan Untuk POLISI, Jakarta: Polri dan Unicef, 2004

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta, Kencana, 2008.

Darwan Prist, Hukum Anak Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1997

DS. Dewi, Fatahillah A.Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restoratif Justice di Pengadilan Anak di Indonesia, Depok, Indhie Publishing, 2011.

Marlina, Hukum Penintensier, Bandung, PT Refika Aditama, 2011

Muladi, Kapita Salekta Hukum Pidana, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995.

---, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Edisi Revisi, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002

Paulus Hadisuprapto, Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya, Malang, Bayumedia Publishing, 2008.

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensionalismedan Abolosionisme, Bandung, Bina Cipta, 1996.

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007.

Sudarto, Kapita Salekta Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1981.

---, Hukum Pidana I, Edisi Revisi,Semarang, Yayasan Soedarto, 2018.

B. Jurnal

Desy Maryani, Politik Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Jurnal Hukum SEHASEN, Bengkulu, 2017

Dodik Prihatin AN, Urgensi Non Penal Policy Sebagai Politik Kriminal Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Korupsi, (Jember: Universitas Jember-UNEJ Digital Repository, 2014).

Henny Saida Flora, Keadilan Restoratif Sebagai Alternatif Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Dan Pengaruhnya Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Jurnal UBEKAJ, Volume 2, Oktober 2018, Fakultas Hukum Universitas Katolil St. Thomas Medan Sumatera Utara, 2018.

Fransiska Novita Eleanora, “White Collar Crime Hukum dan Masyarakat”, Forum Ilmiah, Vol.

10, No. 2, Tahun 2013.

Iza Fadri, “Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia”, Jurnal Hukum, Vol. 17, No. 3, Juli 2010.

Muhammad Natsir, dkk., “Communal Conflict Resolution Model in Bima Regency West Nusa Tenggara Province”, International Journal of Education and Research, Vol. 1, No. 12, Tahun 2013

(22)

Pranggi Siagian, Alvi Syahrin, Mahmud Mulyadi, dan Marlina, “Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Kejahatan”, USU Law Journal, Vol. 3, No. 2, Tahun 2015.

Rina Melati Sitompul, M. Hamdan, Edy Ikhsan, dan Mahmud Mulyadi, “Kebijakan Non Penal Dalam Upaya Pencegahan Dan Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafiking) (Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara)”, USU Law Journal, Vol. 2, No. 3, Tahun 2014.

Setya Wahyudi, 2007, Penelitian dan Pengembangan Diversi dalam Sistem Peradilan Anak dalam Sistem Peradilan Anak di Indonesia, Hasil Penelitian, Fakuktas Hukum Unsoed, Purwokerto.

Yul Ernis, Diversi Dan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Anak Di IndonesiaI, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, ISSN:1978-2292, Volume 10 Nomor 2, Juli 2016, Jakarta, 2016

C. Lainnya

Https:// Nasional. SindoNews. Com/Real/1386542/13/tindak-Kriminalitas-Anak- Sangat-Memprihatinkan.

Japansen Sinaga, Kebijakan Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Non Penal Dalam Rangka Perlindungan Hukum Terhadap Korban, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2016

D. Peraturan Perundang-Undangan Pancasila

Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang POLRI

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Perlindungan Anak

PERMA Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Referensi

Dokumen terkait

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.. Undang-Undang Nomor 35