Jurnal Mercatoria, 16 (1) Juni 2023 ISSN 1979-8652 (Print) ISSN 2541-5913 (Online) DOI: https://doi.org/10.31289/mercatoria.v16i1.8915
Jurnal Mercatoria
Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/mercatoria Dikirim: 19 Januari 2023; Ditinjau: 21 Mei 2023; Diterima: 22 Juni 2023
Dissenting Opinion oleh Hakim dalam Proses Pengambilan Putusan Perkara Tindak Pidana Korupsi sebagai Wujud
Kebebasan Hakim
Dissenting Opinion by Judges in The Process of Making Decisions on Corruption Cases as a Form of Judge Freedom
Louis Fernando Simanjuntak*, Elis Rusmiati, & Budi Arta Atmaja Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran Bandung,
Indonesia
*Coresponding Email: [email protected] Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk membahas isu penting mengenai penegakan hukum sebagai bagian dari pembangunan hukum di Indonesia, yaitu tentang bagaimana menjalankan kekuasaan kehakiman dengan sinkronisasi antara UUD 1945 dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Masalah difokuskan pada dissenting opinion yang mencerminkan kebebasan dan kemandirian individual hakim, termasuk dalam satu majelis atau pengadilan. Guna mendekati masalah ini digunakan acuan dari teori Pemidanaan sebagai acuan untuk mencapai kepastian hukum. Data-data dikumpulkan melalui sumber kepustakaan dan studi lapangan, serta diambil melalui studi dokumen dan wawancara, dan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Kajian ini menyimpulkan bahwa terdapat norma dalam UU Kekuasaan Kehakiman bahwa jika dalam sidang permusyawaratan majelis hakim belum mencapai mufakat bulat, maka pendapat hakim yang berbeda harus dimuat dalam putusan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan tersebut. Oleh karena itu, agar Dissenting Opinion dapat memiliki pengaruh yang lebih besar, harus menjadi bagian dari pertimbangan hakim dan diatur sebagai peraturan dalam Hukum Acara Peradilan di Indonesia.
Kata Kunci: Dissenting Opinion; Putusan Korupsi; Hakim; Mandiri.
Abstract
This study aims to discuss an important issue regarding law enforcement as a part of legal development in Indonesia, which is about how to carry out judicial power with synchronization between the 1945 Constitution and Law No. 48 of 2009 concerning Judicial Power. The focus of the problem in this article is on dissenting opinions that reflect the freedom and independence of individual judges, including those within a panel or court. To approach this issue, the theory of Criminal Law is used as a reference to achieve legal certainty. Data is obtained from literature sources and field studies, as well as through document analysis and interviews, then analyzed descriptively and qualitatively. This study concludes that there is a norm in the Law on Judicial Power that if a consensus is not reached in the deliberation of the judge assembly, dissenting opinions must be included in the verdict and become an inseparable part of it. Therefore, in order for Dissenting Opinion to have a greater influence, it must be part of the judge's consideration and regulated as a rule in the Indonesian Procedural Law.
Keywords: Dissenting Opinion; Corruption Decision; Judge; Independent.
How to Cite: Simanjuntak, L.F. Rusmiati, E. & Atmaja, A.A. (2023). Dissenting Opinion oleh Hakim dalam Proses Pengambilan Putusan Perkara Tindak Pidana Korupsi sebagai Wujud Kebebasan Hakim. Jurnal Mercatoria, 16 (1): 91-98.
92 PENDAHULUAN
Salah satu isu penting saat ini dalam membangun sistem hukum di Indonesia adalah bagaimana menyelaraskan kekuasaan kehakiman dengan UUD 1945 dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam kerangka negara hukum dan demokrasi, tujuan utama penegakan hukum adalah untuk mencapai kekuasaan kehakiman yang independen dan bebas, di mana hakim memiliki keyakinan kuat dalam menjalankan tugasnya tanpa terpengaruh oleh hal-hal yang dapat memengaruhi keadilan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu, peran hakim bukan hanya sebagai pihak yang mengaplikasikan undang-undang, tetapi juga sebagai corong hukum dan keadilan yang memberikan manfaat bagi masyarakat. Hal ini harus diwujudkan dan tidak hanya dianggap sebagai ide yang tidak realistis.
Di Indonesia, hakim diberikan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat yang berbeda (dissenting opinion) dalam putusan yang mereka buat. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Indonesia, seringkali terdapat pendapat yang berbeda di mana salah satu hakim memberikan alasan mengapa mereka memutuskan kasus dengan cara yang berbeda dari mayoritas hakim. Namun, meskipun dissenting opinion sering muncul, tujuan sebenarnya dari penggunaannya di Indonesia tidak pernah dijelaskan oleh hakim maupun akademisi.
Dalam sistem hukum di Indonesia, pendapat yang berbeda dengan putusan akan dicantumkan dalam putusan sebagai dissenting opinion. Seorang hakim dapat mengeluarkan dissenting opinion apabila ia tidak setuju dengan keputusan mayoritas dan alasan hukum yang digunakan. Julia Laffranque menjelaskan bahwa di negara- negara dengan sistem hukum common law, dissenting opinion sudah menjadi bagian yang biasa dalam proses pengambilan keputusan. Diakui bahwa tidak semua
hakim akan memiliki pandangan yang sama dalam membuat keputusan kolegial, dan keterbukaan dalam administrasi keadilan termasuk publikasi dissenting opinion.
Dissenting opinion diadopsi dalam sistem peradilan di Indonesia karena alasan-alasan berikut. Pertama, dissenting opinion mewakili kebebasan berpendapat hakim dan memastikan setiap hakim memiliki ruang untuk mengungkapkan pandangannya sendiri. Kedua, dissenting opinion memberikan perspektif alternatif yang memperkaya diskusi hukum, terutama dalam kasus-kasus yang kontroversial atau rumit. Ketiga, dissenting opinion membangun prinsip checks and balances dalam sistem peradilan dengan mengoreksi keputusan yang mungkin terlalu dominan atau tidak seimbang.
Keempat, dissenting opinion menjadi sumber pembelajaran bagi pemangku kepentingan hukum dan masyarakat umum, serta berkontribusi pada pengembangan hukum yang lebih baik.
Terakhir, adopsi dissenting opinion memperkuat transparansi dan akuntabilitas di dalam sistem peradilan dengan mengungkapkan perbedaan pendapat secara tertulis dan menjadi bagian dari putusan resmi.
Berbeda dengan KUHAP yang ditetapkan dalam UU Nomor 8 Tahun 1981, Pasal 182 ayat (6) KUHAP mengharuskan para anggota majelis hakim mencapai suara bulat dalam membuat putusan pengadilan, dan jika tidak dapat mencapai kesepakatan, putusan diambil berdasarkan suara terbanyak dengan memperhatikan prinsip
"yang paling menguntungkan terdakwa".
Selain itu, Pasal 182 ayat (6) KUHAP menetapkan bahwa keputusan ini harus dicatat dalam berita acara sidang majelis yang bersifat rahasia. Oleh karena itu, ketentuan dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang memperbolehkan dissenting opinion bertentangan dengan ketentuan dalam KUHAP. Sebelumnya, dalam Pasal 14 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman, dijelaskan bahwa ketika tidak mencapai mufakat
93 bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
Terjadi kontradiksi dalam penerapan dissenting opinion pada kasus korupsi, terutama dalam hukum acara yang berlaku di pengadilan tindak pidana korupsi yang diatur dalam KUHAP. Ada juga penegasan dalam Pasal 25 UU Pengadilan Tipikor yang menegaskan bahwa pemeriksaan sidang pengadilan tindak pidana korupsi harus mengacu pada hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ada ketentuan lain dalam undang-undang tersebut.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) merupakan salah satu lembaga pengadilan khusus yang dibentuk setelah reformasi dengan harapan dapat menjadi contoh pengadilan yang mandiri, berkualitas, adil, dan modern. Pengadilan ini awalnya diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan memiliki kewenangan untuk mengadili khusus dalam perkara tindak pidana korupsi yang dituntut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, terdapat perbedaan terutama dalam komposisi dan kriteria hakim yang hadir di pengadilan khusus ini. Berbeda dari pengadilan biasa, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri dari dua jenis hakim, yaitu hakim karier dan hakim ad hoc.
Adanya hakim ad hoc dianggap penting untuk memperkaya pengetahuan para hakim karier dalam menangani perkara korupsi.
Keputusan yang dihasilkan oleh pengadilan merupakan indikator penting dalam menilai kualitas suatu sistem peradilan. Proses pengadilan yang transparan, logis, independen, dan adil telah memberikan kontribusi yang besar terhadap kebenaran moral dan pencerahan pemikiran serta tindakan masyarakat yang ideal. Sebaliknya, putusan pengadilan yang tidak masuk akal dan bertentangan dengan
rasa keadilan masyarakat dapat menyebabkan hilangnya rasa akal sehat dalam masyarakat.
Beberapa penelitian terdahulu mengenai dissenting opinion yang menjadi sumber referensi penelitian ini serta posisi penelitian dituliskan dalam Matrix.
Berdasarkan pengamatan peneliti, sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian tentang Dissenting Opinion oleh Hakim Dalam Proses Pengambilan Putusan Perkara Tindak Pidana Korupsi sebagai Wujud Kebebasan Hakim, namun berkaitan dengan permasalahan pada penelitian ini adapun beberapa contoh-contoh penelitian yang dapat digunakan sebagai bahan perbandingan:
1. “Dissenting Opinion sebagai Bentuk Kebebasan Hakim dalam Membuat Putusan Pengadilan guna Menemukan Kebenaran Materiil”. Penelitian tersebut dilakukan oleh Henny Handayani Sirait (NIM: 100200174) Tahun 2014.
2. “Dissenting Opinion dalam Concurring Opinion dalam Putusan Mahkamah Konstitusi.” Penelitian tersebut dilakukan oleh Haidar Adam dalam Jurnal Al-Jinayah, Vol. 3, No. 2, Tahun 2017.
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisis dissenting opinion oleh Hakim dalam pengaturan sistem peradilan pidana di Indonesia mengacu pada UU No.
46 tahun 2009 tentang UUKK terhadap proses pengambilan putusan perkara tindak pidana korupsi.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atau doktrinal.
Disebut sebagai penelitian hukum normatif karena sumber data utamanya berupa data sekunder yang merupakan bahan hukum.
Penelitian ini memiliki sifat deskriptif, yang bertujuan untuk memberikan data yang sejelas mungkin mengenai manusia atau fenomena tertentu. Penulis ingin
94 memperoleh gambaran yang jelas dan nyata tentang bagaimana dissenting opinion oleh hakim diterapkan dalam proses pengambilan keputusan dalam perkara tindak pidana korupsi.
Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Jalan Dipatiukur No. 35 Bandung.
Sumber bahan hukum dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer, yaitu berupa meliputi seluruh peraturan perundang- undangan yang mengikat dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain:
a) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana b) Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP)
c) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
d) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
e) Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
f) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
g) Putusan Perkara Nomor 1555 K/Pid.Sus/2019.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu data sekunder yang memberikan penjelasan dan pemahaman terkait dengan bahan hukum primer, diantaranya:
a) Buku-buku teks yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan dissenting opinion.
b) Jurnal dan Majalah hukum yang membahas tindak pidana korupsi.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu data sekunder yang digunakan untuk melengkapi dan memenuhi kebutuhan
informasi lainnya yang relevan dengan permasalahan yang dibahas, seperti seperti Kamus Black’S Law Dictionary, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Internet.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Jenis penelitian kualitatif biasanya melibatkan pengumpulan data yang terdiri dari kata-kata, gambar, dan informasi verbal atau normatif, dari pada data berupa angka.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam suatu negara yang berlandaskan hukum, kekuasaan kehakiman memiliki peran penting dalam menentukan isi dari kaidah hukum positif melalui putusan-putusan hakim di hadapan pengadilan. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman memiliki kewenangan yang mandiri dan bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Namun, dalam konteks putusan tindak pidana korupsi, eksistensi dissenting opinion menjadi suatu pertanyaan yang penting karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku tindak pidana. Hal ini disebabkan karena pendapat hakim minoritas yang menyatakan seseorang tidak bersalah (not guilty) dapat berseberangan dengan putusan mayoritas yang mempersalahkan pelaku tindak pidana.
Kekuasaan kehakiman memiliki peran yang penting dalam menentukan isi dari kaidah hukum positif dan mengkristalisasikannya dalam putusan- putusan hakim di hadapan pengadilan.
Undang-undang Dasar 1945 pasal 24 ayat (1) menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman mempunyai kekuasaan yang merdeka dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Namun, keberadaan dissenting opinion dalam putusan tindak pidana korupsi menjadi permasalahan yang memunculkan ketidakpastian hukum bagi pelaku tindak pidana. Terdapat dua sudut pandang dalam hal ini, di mana keputusan mayoritas hakim dapat menjatuhkan hukuman terhadap seseorang,
95 sementara sudut pandang minoritas dari hakim dapat memutuskan bahwa orang tersebut tidak bersalah. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis lebih lanjut tentang pengaruh dan prospek penerapan dissenting opinion oleh hakim dalam putusan tindak pidana korupsi serta kejelasan pengaturannya dalam peraturan hukum di Indonesia.
Pelaksanaan sistem peradilan di Indonesia memakai sistem majelis hakim yang terdiri dari beberapa anggota, dengan jumlah yang harus berjumlah ganjil. Hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) Pasal 17, yang menyatakan bahwa semua pengadilan wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan sekurang- kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali ada undang-undang yang menentukan lain.
Dengan sistem ini, pengambilan keputusan dalam proses peradilan dapat lebih objektif, karena mempertimbangkan pandangan dari beberapa hakim yang berbeda.
Sistem peradilan di Indonesia mengadopsi sistem majelis hakim yang terdiri dari beberapa hakim yang bekerja secara kolektif dalam memutuskan suatu perkara. Hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa semua pengadilan di Indonesia wajib menunjuk sekurang- kurangnya tiga hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara, kecuali undang-undang menentukan lain.
Penunjukan hakim dalam jumlah ganjil bertujuan untuk menghindari terjadinya kebuntuan atau perselisihan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam majelis hakim, para hakim saling berkonsultasi dan mengambil keputusan secara kolektif, sehingga diharapkan dapat memperoleh keputusan yang lebih objektif dan adil. Sistem ini juga menunjukkan pentingnya kerja sama dan kolaborasi antar hakim dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya
dalam memutuskan suatu perkara secara tepat dan akurat.
Sejak diberlakukannya UU Kekuasaan Kehakiman, terdapat norma yang mengatur hubungan antara para anggota majelis hakim.
Jika pada sidang permusyawaratan majelis hakim belum mencapai suara bulat, maka pendapat hakim minoritas yang berbeda harus dimuat dalam putusan. Hal ini menunjukkan bahwa dissenting opinion merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan tersebut.
Dalam praktik pengadilan, dissenting opinion mengacu pada keadaan dimana hakim minoritas memiliki pendapat yang berbeda dengan hasil rapat permusyawaratan hakim.
Dissenting opinion mencerminkan kebebasan dan kemandirian individual hakim, baik sesama anggota majelis hakim maupun sesama hakim dalam satu peradilan.
Pemberlakuan dissenting opinion dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) Indonesia didasarkan pada alasan filosofis yang mencerminkan prinsip-prinsip penting dalam sistem peradilan yang demokratis. Pertama, dissenting opinion menghormati kebebasan berpendapat. Prinsip ini merupakan pilar utama demokrasi, yang memberikan hakim kebebasan untuk mengemukakan pendapat yang berbeda dan mendorong pluralisme ide dan pandangan.
Kedua, dissenting opinion melibatkan sistem checks and balances. Dengan adanya pendapat minoritas, keputusan mayoritas dapat diperiksa dan dievaluasi secara kritis, mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan keadilan yang lebih baik.
Ketiga, dissenting opinion juga berperan dalam pengembangan hukum. Dalam kasus-kasus kompleks atau kontroversial, pendapat minoritas dapat membuka jalan bagi interpretasi hukum baru, memperkaya pemahaman tentang hukum, dan mendorong diskusi serta kemajuan dalam hukum.
Keempat, pemberlakuan dissenting opinion menunjukkan transparansi dan akuntabilitas.
Dengan mewajibkan pendapat minoritas diungkapkan secara tertulis dan menjadi bagian dari putusan resmi, sistem peradilan
96 menunjukkan komitmen terhadap transparansi serta memberikan pemangku kepentingan dan masyarakat umum kemampuan untuk memahami dan mengevaluasi proses pengambilan keputusan.
Terakhir, dissenting opinion juga berkontribusi pada keadilan dan kepercayaan publik dengan menghargai keberagaman pandangan, menjaga integritas sistem peradilan, dan memperkuat kepercayaan publik terhadap keputusan peradilan. Dengan demikian, dissenting opinion dalam UU Kekuasaan Kehakiman mencerminkan alasan filosofis yang penting untuk memastikan penghargaan terhadap kebebasan berpendapat, checks and balances, pengembangan hukum, transparansi, akuntabilitas, keadilan, dan kepercayaan publik dalam sistem peradilan Indonesia.
UU Kekuasaan Kehakiman memiliki perbedaan dengan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam hal persetujuan para anggota majelis hakim dalam pengambilan suatu putusan. Pasal 182 ayat (6) KUHAP menetapkan bahwa putusan harus dilandasi dengan persetujuan bulat para anggota majelis hakim, dan jika tidak bisa dicapai maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak dengan memperhatikan kepentingan terdakwa. Namun, UU Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 14 ayat (3) mengatur bahwa pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan jika sidang permusyawaratan tidak dapat mencapai persetujuan bulat. Dengan adanya dissenting opinion, yang merupakan bentuk kebebasan dan mandiri dari hakim dalam sebuah peradilan, maka diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak yang terlibat dalam perkara.
Ada kesamaan filosofis antara pemberantasan tindak pidana korupsi dan penerapan dissenting opinion, karena keduanya berkontribusi pada misi keadilan dalam putusan di pengadilan. Oleh karena itu, adanya dissenting opinion terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Pengadilan Tipikor dapat membuktikan bahwa keadilan benar-benar diwujudkan dalam putusan tersebut.
Penerapan dissenting opinion oleh hakim dalam proses pengambilan putusan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia telah terlihat dalam beberapa kasus seperti putusan
Mahkamah Agung Nomor
1555K/Pid.Sus/2019 yang melibatkan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung, putusan Mahkamah Agung Nomor 1052 K/Pid.Sus/2022 dengan terdakwa Fakhri Hilmi, dan putusan Mahkamah Agung Nomor 942 K/Pid.Sus/2022 dengan terdakwa Edhy Prabowo. Namun, kedudukan atau pengaruh penerapan dissenting opinion menjadi perdebatan dalam putusan tindak pidana korupsi, karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku tindak pidana. Hal ini terjadi ketika seorang pelaku tindak pidana dipersalahkan oleh hakim mayoritas, sedangkan pendapat hakim minoritas menyatakan bahwa orang tersebut tidak bersalah.
Penerapan dissenting opinion oleh hakim dalam putusan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia, seperti dalam kasus-kasus yang disebutkan (putusan Mahkamah Agung Nomor 1555K/Pid.Sus/2019, Nomor 1052 K/Pid.Sus/2022, dan Nomor 942 K/Pid.Sus/2022), memperlihatkan adanya perbedaan pendapat di antara hakim-hakim yang memeriksa kasus tersebut. Adanya dissenting opinion mencerminkan kebebasan berpendapat hakim dan perspektif yang berbeda dalam memahami fakta dan hukum yang terkait dengan kasus korupsi tersebut.
Namun, perdebatan muncul terkait kedudukan atau pengaruh penerapan dissenting opinion dalam putusan tindak pidana korupsi. Hal ini disebabkan karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku tindak pidana. Dalam situasi di mana seorang pelaku tindak pidana dipersalahkan oleh hakim mayoritas sementara hakim minoritas berpendapat bahwa orang tersebut tidak bersalah, hal ini menciptakan situasi di mana terdapat perselisihan dalam penafsiran fakta dan hukum yang mendasari putusan.
Ketidakpastian hukum ini dapat menimbulkan implikasi penting, terutama
97 dalam konteks tindak pidana korupsi yang seringkali melibatkan dampak yang merugikan bagi masyarakat dan negara. Terdapat risiko bahwa adanya dissenting opinion dapat mengaburkan kejelasan mengenai pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi dan menimbulkan keraguan terhadap integritas sistem peradilan.
Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan dan mengkaji dengan cermat peran dan dampak dissenting opinion dalam putusan tindak pidana korupsi.
Diperlukan pendekatan yang hati-hati untuk memastikan bahwa ketidakpastian hukum yang mungkin timbul dari dissenting opinion dapat dikelola secara efektif, sambil tetap menjaga keadilan, integritas, dan tujuan pemberantasan korupsi yang lebih luas.
Dari analisis ketiga putusan, terlihat bahwa penerapan keputusan tersebut belum memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terdakwa karena dipengaruhi oleh suara minoritas dan mayoritas serta faktor-faktor yang menguntungkan. Oleh karena itu, agar keputusan tersebut memiliki pengaruh yang efektif, perlu dipertimbangkan oleh hakim dan diatur sebagai bagian dari peraturan dalam Hukum Acara Peradilan di Indonesia.
SIMPULAN
Pasal 17 dari Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) menyatakan bahwa setiap pengadilan harus memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara dengan minimal tiga hakim, kecuali ada ketentuan undang- undang yang menetapkan lain. Namun, hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 182 ayat (6) dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menyatakan bahwa putusan pengadilan harus disepakati oleh seluruh anggota majelis hakim. Jika tidak ada kesepakatan, putusan diambil berdasarkan suara terbanyak dengan memperhatikan prinsip "yang paling menguntungkan terdakwa". Dengan demikian, terdapat
kontradiksi antara UU Kekuasaan Kehakiman dan KUHAP dalam hal adanya dissenting opinion. Sebelumnya, Pasal 14 ayat (3) dari UU Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa jika tidak ada kesepakatan dalam sidang musyawarah, pendapat yang berbeda dari hakim wajib dimasukkan dalam putusan.
Terdapat kesamaan dalam filosofi antara pemberantasan tindak pidana korupsi dan penerapan dissenting opinion dalam pemeriksaan perkara di pengadilan.
Keduanya memiliki tujuan yang sama untuk mewujudkan keadilan, sehingga dengan adanya dissenting opinion terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Pengadilan Tipikor, dapat lebih memperkuat keberadaan esensi keadilan dalam putusan tersebut. Namun, agar dissenting opinion memiliki pengaruh yang efektif, perlu menjadi bagian dari pertimbangan hakim dan seharusnya diatur sebagai peraturan dalam Hukum Acara Peradilan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdoellah, O. (2016). Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
Adam, H. (2017). Dissenting Opinnon dalam Concurring Opinion dalam Putusan Mahkamah Konstitusi.
Jurnal Al-Jinayah: Vol. 3, No. 2.
Alkostar, A. (2008). Dissenting Opinion, Occuring Opinion dan Pertanggungjawaban Hakim. Varia Peradilan No. 268.
Manan, B. (2006). Dissenting Opinion dalam Sistem Peradilan Indonesia. Jakarta: IKAHI.
Rahardjo, S. (2010). Penegakkan Hukum Progresif.
Jakarta: Kompas.
Ratna, D. (2018). Kedudukan Dissenting Opinion dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Jurnal:
Pascasarjana UNAIR, Vol.2, No. 2.
Simon, B. (2018). The Function of Judicial Dissent in Indonesia’s Constitutional Court. Journal Constitutional Review, Vol.4, No.1.
Soeroso. (2011). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT.
Sinar Grafika.
Waluyo, B. (2006). Pidana dan Pemidanaan. Jakarta:
Sinar Grafika.
Wantu, Y. (2016). Kendala Hakim dalam Menciptakan Kepastian Hukum Keadilan dan Kemanfaatan di Peradilan. Jurnal Mimbar Hukum: Vol.25, No. 2.
Yahya, M. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
98 Pengadilan Banding Kasasi dan Peninjauan
Kembali. Jakarta: Sinar Grafika. Zainal, A. (2012). Pengantar Tata Hukum Indonesia.
Jakarta: Rajawali Press.