M A K A L A H
KONSEP AKAD
Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ujian Komprehensif Kefakultasan Dosen Pengampu: Suci Hayati, M.S.I
Disusun Oleh:
M. RIDHO AL RAIS NPM. 1602040030
Jurusan Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
1444 H / 2022 M
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dengan ini penulis panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas ujian komprehensif Kefakultasan yang berjudul “Konsep Akad” ini.
Adapun makalah ini telah penulis usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan dari banyak pihak, sehingga dapat memperlancar proses pembuatan makalah ini. Oleh sebab itu, penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada pembaca. Makalah ini tentunya masih terdapat kekurangan. Untuk itu, penyusun membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Metro, Oktober 2022 Penulis,
M. Ridho Al Rais NPM. 1602040030
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
KATA PENGANTAR... ii
DAFTAR ISI... iii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah... 1
C. Tujuan Penulisan ... 2
BAB II PEMBAHASAN... 3
A. Pengertian Akad ... 3
B. Rukun dan Syarat Akad ... 3
C. Macam-Macam Akad ... 5
D. Pembatalan Akad ... 7
E. Hak Khiyar dalam Akad... 9
BAB III PENUTUP ... 13
A. Kesimpulan ... 13
B. Saran ... 13 DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan anusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatannya. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakan fitrah yang sudah ditakdirkan oleh allah. Karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak miliki. Islam sebagai agama yang sosial sejak manusia mulai engenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.
Dalam pembahasan fiqih, akad atau kontrak yang dapt digunakan berinteraksi sangat beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi kebutuhan yang ada sebelum membahas lebih lanjut tentang pembagian atau macam-macam akad secara spesifik, akan dijelaskan teori akad secara umum yang nantinya akan dijadikan sebagai dasar untuk melakukan akad-akad lainnya secara khusus. Maka dari itu dalam makalah ini kami akan mencoba untuk menguraikan mengenai berbagai hal yang terkait dengan akad dalam pelaksanaan muamalah di dalam keidupan kita sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat penulis rumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian akad?
2. Apa saja rukun dan syarat akad?
3. Apa saja macam-macam akad?
4. Bagaimana prosedur pembatalan akad?
5. Apa yang dimaksud hak khiyar dalam akad?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk memahami pengertian akad.
2. Untuk memahami rukun dan syarat akad.
3. Untuk memahami macam-macam akad.
4. Untuk memahami pembatalan akad.
5. Untuk memahami hak khiyar dalam akad.
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Akad
Secara etimologis akad dapat diartikan sebagai “Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan di mana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih”.1 Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi sepertiseutas tali yang satu.”2
Menurut Ahmad Wardi Muslich, menyatakan bahwa “akad itu adalah ikatan yang terjadi antara dua pihak, yang satu menyatakan ijab dan yang kedua menyatakan qabul, yang kemudian menimbulkan akibat-akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban antara dua pihak tersebut.”3
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi Lubis menyatakan bahwa “akad adalah suatu perbuatan kesepakatan antara seseorang atau beberapa orang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.”4
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa akad adalah suatu perbuatan kesepakatan antara seseorang atau beberapa orang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.
B. Rukun dan Syarat Akad 1. Rukun Akad
Menurut Jumhur (mayoritas) fukaha, rukun akad terdiri dari:
a. Pernyataan untuk mengikatkan diri (sighat al-aqd)
1 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 1
2 Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), 43 3 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2017), 112
4 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian., 1
b. Pihak-pihak yang berakad c. Objek akad5
Ulama Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukun akad itu hanya satu yaitu sighat al-aqd, sedangkan pihak-pihak yang berakad dan objek akad, tidak termasuk rukun rukun akad, tetapi syarat akad. Sighat al-aqd merupakan rukun akad yang terpenting, karena melalui akad inilah diketahui maksud setiap pihak yang melakukan akad (transaksi). Sighat al-aqd dinyatakkan melalui ijab dan qabul, dengan suatu ketentuan:
a. Tujuan akad itu harus jelas dan dapat dipahami b. Antara ijab dan kabul harus dapat kesesuaian
c. Pernyataan ijab dan kabul tu harus sesuai dengan kehendak masing- masing, dan tidak boleh ada yang meragukan.6
Sedangkan rukun akad/perjanjian dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yaitu sebagai berikut:
a. Pihak-pihak yang berakad b. Objek akad
c. Tujuan pokok akad;
d. Kesepakatan.7 2. Syarat Akad
Para ulama fikih menetapkan, ada beberapa syarat umum yang harus dipenuhi dalam suatu akad, disamping setiap akad juga mempunyai syarat-syarat khusus.8
Syarat-syarat umum suatu akad antara lain sebagia berikut:
a. Pihak-pihak yang melakukan akad telah dipandang mampu bertindak menurut hukum (mukallaf).
b. Objek akad itu, diakaui oleh syara’.
c. Akad itu tidak dilarang oleh nash syara’
5 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), 103
6 Ibid
7 Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009), 22
8 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi., 105
d. Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus dengan akad yang bersangkutan, disampng harus memenuh syarat-syarat umum.
e. Akad itu bermanfaat.
f. Ijab tetap utuh sampa terjadi kabul.
g. Ijab dan kabul dilakukan dalam majelis, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan proses suatu transaksi.
h. Tujuan akad itu harus jelas dan diakui oleh syara’.9
Sedangkan syarat-syarat sahnya perjanjian dalam kompilasi hukum ekonomi syariah terdapat pada Pasal 23, 24, dan 25 sebagai berikut:
Pasal 23
a. Pihak-pihak yang berakad adalah perseorangan, kelompok orang, atau badan usaha;
b. Orang yang berakad harus cakap hukum, berakal, tamyiz.
Pasal 24
a. Objek Obyek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak.
b. Objek akad harus suci, bermanfaat, milik sempurna dan dapat diserahterimakan.
Pasal 25
a. Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad.
b. Sighat akad dapat dilakukan dengan jelas, baik secara lisan, tulisan, dan/atau perbuatan. 10
C. Macam-Macam Akad
Menurut ulama fikih, akad dapat dibagi dari berbagai segi. Apabila dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, maka akad dibagi dua, yaitu:
1. Akad sahih, yaitu akad yang telah memenuhi syarat dan rukun. Dengan demikian, segala akibat hukum yang ditimbulkan oleh akad itu, berlaku
9 Ibid., 105-107
10 Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum., 22
kepada kedua belah pihak. Ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, membagi lagi akad Sahih ini menjadi dua macam:
a. Akad yang nafiz (sempurna untuk dlaksanakan), yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syarat dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
b. Akad mauquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang yang mampu bertindak atas kehendak hukum, tetapi dia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan.
Jika dilihat dari sisi mengikat atau tidak jual-beli yang Sahih itu, ulama fikih membaginya kepada dua macam:
1) Akad yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak, sehingga salah satu pihak tidak boleh membatalkan akad tu tanpa seizin pihak lain, seperti akad jual-beli dan sewa menyewa.
2) Akad yang tidak bersifat mengikat bagi kedua belah pihak.
2. Akad yang tidak sahih yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun dan syaratnya, sehingga akibat hukum tidak berlaku bagi kedua belah pihak yang melakukan akad itu. Kemudian Mazhab Hanafi membagi lagi akad yang tidak sahih ini kepada dua macam, yaitu: akad yang batil dan akad yang fasid.11
Suatu akad dikatakan batil, apabila akad itu tidak memenuhi salah satu rukun dan larangan langsung syara’. Suatu akad dikatakan fasid, adalah suatu akad yang pada dasarnya dibenarkan, tetap sifat yang diakadkan tidak jelas.
Namun, jumhur ulama fikih berpendapat, akad yang batil dan fasid, tetap tidak sah dan akad tersebut tidak mengakibatkan hukum apa pun bagi kedua belah pihak.12
D. Pembatalan Akad
11 Ibid, 110 12 Ibid., 111-112
Adapun prosedur pembatalan perjanjian ialah dengan cara: terlebih dahulu kepada pihak yang bersangkut dalam perjanjian tersebut diberitahu, bahwa perjanjan atau kesepakatan yang telah diikat akan dihentikan
(dibatalkan), hal ini tentu juga harus diberitahu alasan pembatalannya.
Setelah berlalu waktu yang memadai barulah perjanjian dihentikan secara total. Maksud setelah berlalu waktu yang memadai adalah agar pihak yang bersangkut dalam perjanjian mempunyai waktu untuk bersiap-siap menghadapi resiko pembatalan. Adapun dasar hukum ketentuan ini adalah dilandaskan kepada ketentuan hukum yang terdapat dalam surat Al-Anfal ayat 58 sebagai berikut:
ةَناَيِخ ٍم َق نِم ّنَفاَخَت اّمِإَو ۡو
ٗ اَوَس ٰىَلَع ِه َلِإ ِب َف
ٍۚء ۡم ۡي ۡذ ۢنٱ
َنيِنِئاَخ ّبِحُي َل َهّلل ّنِإ ۡلٱ ٱ ( ٥٨
,لافنلا ةروس ٥٨
)
Artinya: dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, Maka kembalikanlah Perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang baik,.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat. (Q.S. Al-Anfaal: 58)13
Menurut Kementerian Agama, asbabun nuzul dari ayat di atas yakni:
diriwayatkan oleh Abusy Syaikh yang bersumber dari Ibnu Syihab bahwa Jibril datang kepada Rasulullah saw. dan berkata: “Engkau telah meletakkan senjata dan tetap berusaha mengajak mereka melaksanakan perdamaian. Allah telah mengizinkan kamu untuk menggempur Bani Quraizhah yang telah mengkhianatimu. Berangkatlah dan gempurlah mereka.” Turunnya ayat ini (al-Anfaal: 58) sebagai izin kepada Rasulullah saw. untuk menggempur orang-orang yang mengkhianati perjanjian.14
Tasfir ayat di atas yaitu jika kaum Muslimin merasa ada gejala-gejala pengkhianatan dari satu golongan musuh, maka haruslah dikembalikan perjanjian itu kepada mereka dan hendaklah mereka berusaha untuk
13 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Diponegoro, 2005), 147
14 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemah Perkata; Asbabun Nuzul dan Tafsir Bil Hadis, (Bandung: Semesta Al-Qur’an, 2014), 147
menghalangi pengkhianatan itu sebelum terjadi dengan jalan mengembalikan perjanjian itu secara jujur disertai peringatan bahwa setelah adanya
pengkhianatan itu pihak kaum muslimin tidak terikat lagi dengan janji-janji apa pun terhadap mereka. Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat, dan juga tidak membolehkan pengkhianatan secara mutlak.15
Kaum Muslimin dilarang memerangi mereka sebelum ada
pengumuman, bahwa perjanjian antara mereka dengan pihak lawan tidak berlaku lagi, karena adanya pengkhianatan. Hal ini perlu diumumkan supaya tidak ada tuduhan dari pihak musuh bahwa kaum Muslimin yang melanggar perjanjian. Setelah itu Allah swt. memberi peringatan pula kepada orang- orang yang berkhianat itu dengan azab yang akan menimpa diri mereka sebagai akibat daripada pengkhianatannya.16
Dasar pembolehan tercakup dalam kalimat “Kembalikanlah perjanjian kepada mereka dengan cara yang baik”, cara yang baik di sini ditafsirkan sebagai pemberitahuan dan adanya tenggang waktu yang wajar untuk pemutusan perjanjian secara total.17
Secara umum tentang pembatalan perjanjian tidak mungkin
dilaksanakan, sebab dasar perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut. Namun demikian pembatalan perjanjian dapat dilakukan apabila:
1. Jangka waktu perjanjian telah berakhir
2. Salah satu pihak menyimpang dari apa yang diperjanjikan, dan 3. Jika ada bukti kelancaran dan bukti penghianatan (penipuan)18
Ulama fikih menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir, apabila terjadi hal-hal seperti berkut:
1. Berakhir masa berlaku akad itu, apabila akad tu memilki tenggang waktu.
2. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu mengikat.
3. Dalam suatu akad yang bersifat mengikat, akad dapat berakhir bila:
15 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 1865 16 Ibid
17 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian., 6-7 18 Ibid., 4
a. Akad itu fasid
b. Berlaku khiyar syarat, khiyar ‘aib
c. Akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak yang berakad d. Telah tercapai tujuan akad itu secara sempurna
e. Wafat salah satu pihak yang berakad.19
E. Hak Khiyar dalam Akad 1. Pengertian Khiyar
Secara etimologi, khiyar mempunyai arti memilih mana yang lebih baik dari dua hal atau lebih. Sedangkan secara terminologi khiyar adalah suatu keadaan yang emnyebabkan ‘aqid memiliki hak untuk memutuskan akadnya, yakni menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, ‘aib, dan ru’yah, atau hendaklah memilih di antara dua barang, jika khiyar
ta’yin.20
Khiyar merupakan salah satu akad yang berkaitan erat dengan akad jual beli. Khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya karena ada cacat pada barang yang dijual, atau ada perjanjian pada waktu akad, atau karena sebab yang lain. tujuan
diadakannya khiyar adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi kedua belah pihak, sehingga tidak ada rasa menyesal setelah akad selesai, karena mereka sama- sama rela atau setuju.21
Khiyar ditetapkan dalam Islam untuk menjamin kerelaan dan kepuasan timbal balik pihak-pihak yang melakukan jual beli. Dari satu segi memang khiyar (opsi) ini tidak praktis karena mengandung arti ketidakpastian
19 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi., h 112
20 Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam, (Depok: Rajawali Pers, 2017), 172 21 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat., 216-217
suatu transaksi, namun dari segi kepuasan pihak yang melakukan transasi, khiyar ini yaitu jalan terbaik.22
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa khiyar adalah hak memilih untuk melanjutkan atau
membatalkan jual beli untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak sehingga tidak ada rasa menyesal setelah akad selesai.
2. Dasar Hukum Khiyar
Khiyar hukumnya dibolehkan berdasarkan sunnah Rasulullah SAW. Di antara sunnah tersebut adalah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Umar:23
َلاَق :َلاَق اَمُهْنَع ُهّللا َيِضَر َرَمُع ِنْبا ْنَع
ِناَعّيَبْلا :َمّلَسَو ِهْيَلَع ُهّللا ىّلَص ّيِبّنلا اَمُهُدَحَأ ُلوُقَي ْوَأ اَقّرَفَتَي ْمَل اَم ِراَيِخْلاِب
َعْيَب ُنوُكَي ْو َأ :َلاَق اَمّبُرَو .ْرَتْخا ِهِبِحاَصِل
ٍراَيِخ
Artinya: “Dari Ibnu Umar, ia berkata: Nabi telah bersabda: Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah, atau salah seorang mengatakan kepada temannya: Pilihlah. Dan kadang-
kadang beliau bersabda: atau terjadi jual beli khiyar.” (H.R.
Al-Bukhari)
Berdasarkan hadis tersebut jelaslha bahwa khiyar dalam akad jual beli hukumnya dibolehkan. Apalagi bila dalam barang yang dibeli terdapat cacat (‘aib) yang bisa merugikan kepada pihak pembeli.24
3. Macam-macam Khiyar
22 Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), 98 23 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat., 217
24 Ibid., 218
Ulama membagi khiyar kepada beberapa macam, yaitu sebagai berikut:
a. Khiyar majelis, yaitu antara penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau
membatalkannya, selama keduanya masih ada dalam satu tempat (majelis). Khiyar majelis dapat dilakukan dalam berbagai jual beli.
b. Khiyar syarat, yaitu penjualan yang di dalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun oleh pembeli, seperti seorang berkata, “saya jual rumah ini dengan harga Rp. 100.000.000.00 dengan syarat khiyar selama tiga hari.”
c. Khiyar ‘aib, artinya dalam jual beli diisyaratkan kesempurnaan benda- benda yang dibeli, seperti seseorang berkata; “saya belimobil ini seharga sekian, bila mobil itu cacatakan saya kembalikan”, d. Khiyar ta’yin, yaitu hak memilih antara barang-barang yang
diperjualbelikan. Apabila seseorang mengadakan akad jual beli yang objeknya tidak hanya sebuah barang, tetapi sebenarnya yang akan menjadi objek hanya salah satu saja, dan oleh pihak penjual, pembeli diperbolehkan mana yang disenangi, hak pembeli untuk menentukan pilihan salah satu barang itu disebut khiyar ta’yin.
e. Khiyar Ru’yah, yaitu hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atas batalnya jual beli yang ia lakukan terhadap suatu objek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung.
f. Khiyar naqd, yaitu jual beli yang dilakukan oleh dua orang dengan syarat bila pembeli tidak melakukan khiyar ini dalam waktu tetentu, maka tidak terjadi jual beli antara keduanya. Dengan ungkapan lain, menjual sesuatu barang berdasarkan bahwa si pembeli akan membayar harga barang tersebut padda masa yang disetujui semasa akad.
Kemudian tiba-tiba si pembeli gagal membayar pada masa yang ditetapkan, maka penjual berhak membatalkan jual beli tersebut, begitu
juga sekiranya pembeli meninggal dalam masa berjalannya khiyar naqd, maka akad tersebut dengan sendirinya batal.
g. Khiyar Wasf, yaitu memilih membatalkan (fasakh) atau meneruskan jual beli pada saat ditemukan bahwa barang yagn dibeli tersebut tidak sesuai dengan sifat-sifat yang dikehendakinya. Dalam hal yang
demikian, si pembel boleh memilih antara membatalkan akad jual beli itu atau meneruskannya dengan harga yang ditetapkan semasa akad.25
Adanya hak khiyar dimaksudkan guna menjamin agar akad yang diadakan benar-benar terjadi atas kerelaan penuh pihak-pihak yang bersangkutan karena adanya kerelaan itu merupakan asas bagi sahnya suatu akad.
25 Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam., 172-173
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa akad adalah suatu perbuatan kesepakatan antara seseorang atau beberapa orang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.
Suatu akad dikatakan batil, apabila akad itu tidak memenuhi salah satu rukun dan larangan langsung syara’. Suatu akad dikatakan fasid, adalah suatu akad yang pada dasarnya dibenarkan, tetap sifat yang diakadkan tidak jelas.
Namun, jumhur ulama fikih berpendapat, akad yang batil dan fasid, tetap tidak sah dan akad tersebut tidak mengakibatkan hukum apa pun bagi kedua belah pihak.
Mengenai pembatalan akad, prosedur pembatalan akad ialah dengan cara: terlebih dahulu kepada pihak yang bersangkut dalam perjanjian tersebut diberitahu, bahwa perjanjan atau kesepakatan yang telah diikat akan
dihentikan (dibatalkan), hal ini tentu juga harus diberitahu alasan pembatalannya.
Setelah berlalu waktu yang memadai barulah perjanjian dihentikan secara total. Maksud setelah berlalu waktu yang memadai adalah agar pihak yang bersangkut dalam perjanjian mempunyai waktu untuk bersiap-siap menghadapi resiko pembatalan.
B. Saran
Penulisan makalah ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk perbaikan makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan kita tentang konsep akad. Atas kritik dan saran yang diberikan diucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV. Diponegoro, 2005.
Dewi, Gemala, dkk. Hukum Perikatan Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005.
Ghazaly, Abdul Rahman, dkk. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana, 2010.
Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Kementerian Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemah Perkata;
Asbabun Nuzul dan Tafsir Bil Hadis. Bandung: Semesta Al-Qur’an, 2014.
Mardani. Hukum Sistem Ekonomi Islam. Depok: Rajawali Pers, 2017.
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah, 2017.
Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi K. Lubis. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana, 2009.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002.