• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIFITAS SCIENTIFIC INVESTIGATION DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PERZINAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "EFEKTIFITAS SCIENTIFIC INVESTIGATION DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PERZINAAN"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

i

EFEKTIFITAS SCIENTIFIC INVESTIGATION DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PERZINAAN

TESIS

Oleh :

AGUNG ARISTYAWAN ADHI

NIM : 20302100004

Konsnetrasi : Hukum Pidana

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

2023

(2)

ii

EFEKTIFITAS SCIENTIFIC INVESTIGATION DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PERZINAAN

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Mencapai Derajat S2 Dalam Ilmu Hukum

Oleh:

AGUNG ARISTYAWAN ADHI

NIM : 20302100004

Konsentrasi : Hukum Pidana

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

2023

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v

(6)

vi

(7)

vii

Motto:

Sukses adalah guru yang buruk. Sukses menggoda orang yang tekun ke dalam pemikiran bahwa mereka tidak dapat gagal.

Bill Gates

Jangan terlalu ambil hati dengan ucapan seseorang, kadang manusia punya mulut tapi belum tentu punya pikiran.

Albert Einstein

Persembahan:

Tesis ini penulis persembahkan untuk:

1. Orang tuaku (Bp Alm H. Soedarmo, BSc dan Ibu Almh Hj. Rr. Siti Soelastri);

2. Istriku Tercinta (Sulis Ayu Permata Sari, SE) dan Kedua Anak-anakku Tersayang (drg. Amalia Asri Ayuningtyas dan Andika Aryasatya Adhipratama);

3. Teman-teman Magister Ilmu Hukum;

4. Civitas Akademika UNISSULA.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta‟ala atas segala rahmat, hidayah, dan inayah-Nya yang telah memberikan kelapangan, kelancaran dan kemudahan bagi penulis di dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. Shalawat dan salam dihaturkan kepada junjungan Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi wasallam sebagai suri tauladan umat.

Alhamdulillah, penulis sangat bersyukur karena tesis yang berjudul:

Efektifitas Scientific Investigation Dalam Penyidikan Tindak Pidana Perzinaan, dapat diselesaikan dengan baik. Dalam penyelesaian tesis ini berbagai pihak telah memberikan bimbingan, motivasi dan bantuan moril kepada penulis. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaannya kepada: orang tua penulis (Bp Alm H. Soedarmo, BSc dan Ibu Almh Hj. Rr. Siti Soelastri), Istriku (Sulis Ayu Permata Sari, SE) dan Kedua anakku (drg. Amalia Asri Ayuningtyas dan Andika Aryasatya Adhipratama), serta Keluarga Besar penulis yang telah mendoakan dan membantu penulis dalam segala hal untuk selesainya penulisan tesis ini.

Selain itu, tak lupa penulis menyampaikan rasa terima kasih dan juga penghargaan tertinggi kepada:

1. Prof. Dr. H. Gunarto, S.H.,S.E.Akt.,M.Hum. selaku Rektor Universitas Islam Sultan Agung Semarang;

(9)

ix

2. Dr. Bambang Tri Bawono, S.H.,M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Univer- sitas Islam Sultan Agung Semarang;

3. Wakil Dekan I dan Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang;

4. Dr. Andri Winjaya Laksana, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini;

5. Dr. Bambang Tri Bawono, S.H.,M.H. dan Dr. R. Sugiharto, S.H.,M.H. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan arahan bagi penulis;

6. Dr. H. Denny Suwondo, S.H.,M.H. selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang;

7. Bapak dan Ibu Dosen serta Karyawan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuannya selama ini;

8. Rekan-rekan mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang yang telah membantu hingga terselesaikannya tesis ini;

9. Teman-teman yang selama ini telah membantu dan tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.

Dalam penyelesaian penulisan tesis ini, penulis sangat menyadari masih terdapat kekurangan baik dari isi maupun tulisan, oleh karena itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya, selanjutnya penulis mohon saran dan kritiknya guna perbaikan penulisan tesis ini. Akhirnya hanya kepada Allah S.W.T, penyusun me-

(10)

x

mohon bimbingan dan kemudahan dalam penyusunan tesis ini, semoga selama penulis belajar dan menimba ilmu di Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang ini, mendapatkan ilmu yang bermanfaat bagi agama, negara, dan masyarakat serta mendapat rahmat dan hidayah baik di dunia maupun di akhirat. Aamiin.

Wassalamu‟alaikum Wr.Wb.

Semarang, 23 Februari 2023 Penulis

Agung Aristyawan Adhi

20302100004

(11)

xi Abstrak

Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui dan Menganalisa dalam pelaksanaan scientific investigation dalam penyidikan tindak pidana perzinaan serta efektifitas dalam penyidikan tindak pidana perzinaan dengan metode scientific investigation

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan, kemudian dianalisis secara kualitatif menggunakan teori keadilan Islam dan teori hukum progresif.

Hasil penelitian ini adalah: 1.Penerapan Scientific Crime Invesitigation dalam pembuktian penyidikan tindak pidana perzinahan merupakan jaminan mutu dan kendali mutu, dimana dalam pembuktian penyidikan tindak pidana, penerapan tersebut berperan penting untuk meminimalisir kesalahan yang sering terjadi saat pengolahan alat bukti, namun tanpa adanya sarana dan fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenagamanusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, serta pembiayaan.

Berdasarkan teori efektifitas hukum bahwa faktor penegakan hukum dalam penyidikan tindak pidana perzinaan dengan metode scientific investigation dipengaruhi oleh faktor hukum Jika ditinjau dari Pasal 14 ayat (1) Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, mengamanatkan Polri wajib melakukan identifikasi, laboratorium forensik dan psikologi untuk tugas kepolisian, penjabarannya melakukan olah TKP dengan metode Scientific CrimeInvestigation (SCI), metode ini digunakan Polri untuk mengungkap kasus kejahatan pidana dengan mengaplikasikan ilmu dan teknologi yang dirangkum dengan analisa kriminalistik, faktor penegak hukum: Dalam era globalisasi dan transparansi sekarang ini penyidik harus sudah meninggalkan cara-cara penyidikan konvensional yang hanya mengandalkan pengakuan tersangka atau saksi dan harusber pindah dengan cara SCI, faktor sarana prasarana:

diperlukannya laboratorium forensic demi mendukung penyidikan SCI, faktor masyarakat: Dalam penyidikan kasus perzinahan dengan metode Scientific Crime Investigation perlu peran serta masyarakat dalam keberhasilan penyidikan, faktor kebudayaan: Perzinahan adalah perbuatan yang dianggap kotor oleh masyarakat Indonesia, akan tetapi perzinahan di kalangan masyarakat Indonesia cukup banyak terjadi. Aparat kepolisian dalam menertibkan hukum dengan melakukan sidak di tempat hotel tidak jarang menemukan laki-laki dan perempuan yang ana bukan suami isteri berada dalam satu kamar, berdasarkan teori efektifitas hukum maka efektifitas dalam penyidikan tindak pidana perzinaan dengan metode scientific investigation diperlukan untuk membuat terang suatu peristiwa dalam penyidikan perkara perzinahan.

Kata Kunci: Efektifitas, Penyidikan, Tindak pidana Perzinahan

(12)

xii ABSTRACT

The purpose of this study is to know and analyze the implementation of scientific investigation in the investigation of adultery crimes and the effectiveness of the investigation of adultery crimes using the scientific investigation method.

This study uses a normative juridical approach, with descriptive analytical research specifications. The data used in this study are secondary data obtained through literature studies, then analyzed qualitatively using Islamic justice theory and progressive legal theory.

The results of this study are: 1. The application of Scientific Crime Investigation in proving the investigation of the crime of adultery is a guarantee of quality and quality control, where in proving a criminal investigation, the application plays an important role in minimizing errors that often occur when processing evidence, but without any means and certain facilities, it is impossible for law enforcement to proceed smoothly. These facilities or facilities include, among others, educated and skilled human resources, good organization, adequate equipment, and financing. Based on the theory of legal effectiveness, law enforcement factors in the investigation of the crime of adultery using the scientific investigation method are influenced by legal factors. If viewed from Article 14 paragraph (1) of Law Number 2 of 2002 concerning the Police, mandates that the National Police be obliged to carry out identification, forensic and psychological laboratories for police duties, the elaboration is conducting crime scene investigations using the Scientific Crime Investigation (SCI) method, this method is used by the National Police to uncover criminal crime cases by applying knowledge and technology which is summarized by criminalistic analysis, law enforcement factors: In this era of globalization and transparency, investigators must have leaving conventional investigative methods that rely solely on the confessions of suspects or witnesses and having to move to the SCI method, infrastructure factors: the need for a forensic laboratory to support SCI investigations, community factors:

in the investigation of adultery cases with m the Scientific Crime Investigation method requires community participation in the success of the investigation, cultural factors: Adultery is an act that is considered dirty by the Indonesian people, however adultery among Indonesian people is quite common. Police officers in enforcing the law by carrying out inspections at hotel premises often find men and women who are not husband and wife in one room, based on the theory of legal effectiveness, effectiveness in investigating the crime of adultery using the scientific investigation method is needed to shed light on an incident in the investigation of adultery.

Keywords: Effectiveness, Investigation, Crime of Adultery

(13)

1 DAFTAR ISI

EFEKTIFITAS SCIENTIFIC INVESTIGATION DALAM PENYIDIKAN TINDAK

PIDANA PERZINAAN ... i

DAFTAR ISI... 1

BAB I ... 3

PENDAHULUAN ... 3

A. Latar Belakang ... 3

B. RUMUSAN MASALAH ... 14

C. TUJUAN PENELITIAN ... 14

D. KERANGKA KONSEPTUAL ... 14

E. KERANGKA TEORITIS ... 21

1. Teori Efektifitas Hukum ... 21

2. Teori Kepastian Hukum ... 23

F. METODE PENELITIAN ... 27

G. SISTEMATIKA ISI TESIS ... 33

BAB II ... 34

TINJAUAN PUSTAKA... 34

A. Tinjauan Umum Tindak Pidana Perzinaan ... 35

B. Tinjauan Umum Tentang Penyidikan Tindak Pidana ... 48

C. Tinjauan Umum Scientific Investigation ... 60

D. Tindak Pidana Perzinaan dalam Perspektif Hukum Islam ... 71

BAB III ... 80

HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN ... 80

A. Pelaksanaan Scientific Investigation Dalam Penyidikan Tindak Pidana Perzinaan. . 80

B. Efektifitas Dalam Penyidikan Tindak Pidana Perzinaan Dengan Metode Scientific Investigation ... 99

BAB IV ... 113

(14)

2

PENUTUP ... 113

A. Kesimpulan ... 113

B. Saran ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 128

(15)

3 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kasus perzinaan merupakan kasus yang masih marak terjadi di Indonesia. Maraknya kasus perzinaan menjadi topik hangat dan masalah komplek didalam masyarakat karena menyangkut moral dan etika dalam pergaulan di masyarakat yang akan berdampak ke generasi berikutnya1. Menurut aspek pendekatan nilai (valueoriented approach), perzinahan tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan masyarakat indonesia yang religius, dan mayoritas memeluk agama Islam. Oleh karena itu, kasus perzinahan tidak dapat dipandang sebagai perbuatan yang hanya melanggar hukum tetapi juga melanggar perintah Tuhan Yang Maha Esa.

Sistem hukum pidana tentang tindak pidana yang ada di Indonesia tidak memandang delik perzinahan sebagai bagian dalam delik-delik mengenai kesusilaan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan perspektif dan nilai-nilai hukum pidana peninggalan colonial yang liberal. Perzinahan dipandang sebagai sebuah bentuk perbuatan yang bisa tergantung kemauan tiap individu dan dipandang tercela jika hal itu dilakukan dalam bingkai perkawinan serta bukan dianggap sebagai pelanggaran kejahatan terhadap hukum tuhan yang harus dibasmi. Kondisi hukum seperti ini pada akhirnya menjadi pembicaraan

1 Arina Silviana, Kendala Dalam Penegakan Hukum Bagi Pelaku Pidana Perzinahan, Tolis Ilmiah: Jurnal Penelitian Vol. 1, No. 2, November 2019, Hlm. 121

(16)

4 menarik bagi banyak kalangan terutama para ahli hukum dan penegak hukum.

Meskipun perzinaan tampak sebagai kegiatan yang bersifat sangat pribadi, namun pada dasarnya perzinaan adalah kegiatan pribadi yang memiliki dimensi sosial luas sehingga intervensi negara mempunyai landasan kokoh untuk menanggulangi kejahatan perzinaan karena bertentangan dengan nilai- nilai dan norma hukum.

Dading menyatakan bahwa perbuatan zina hanya dapat dilakukan oleh seorang yang telah menikah karena perbuatan berzina dianggap sebagai pelanggaran terhadap kesetiaan dalam perkawinan. Larangan terhadap perbuatan itu didasarkan atas pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan.

Akan tetapi perzinaan tidak berlaku bagi seorang yang belum menikah meskipun orang yang belum menikah melakukan segala perbuatan oleh orang yang telah menikah akan tetapi hanya dapat dipersalahkan sebagai perbuatan turut serta melakukan. Dengan uraian tersebut dapat dinyatakan, bahwa perbuatan persetubuhan diluar perkawinan antara dua orang yang masing- masing belum menikah tidak dapat dihukum.

Sahetapy memiliki pandangan yang berbeda terkait perzinaan, bahwa menurut pendapatnya perbuatan bersetubuh yang tidak sah berarti persetubuhan yang bukan saja dilakukan oleh suami atau isteri di luar lembaga perkawinan, tetapi juga persetubuhan yang dilakukan oleh pria dan wanita di mana keduanya belum menikah, kendatipun sudah bertunangan.

Sah di sini harus ditafsirkan sah dalam ruang lingkup lembaga perkawinan.

Sehingga zina meliputi pula fornication yaitu persetubuhan yang dilakukan

(17)

5 secara suka rela antara seorang yang belum menikah dengan seseorang dari sex yang berlawanan (yang belum menikah juga). Meskipun persetubuhan itu bersifat volunter, atas dasar suka sama suka, namun perbuatan bersetubuh itu tetap tidak sah. Dengan demikian pengertian berzinah mencakup pengertian overspel, fornication dan prostitusi2.

R. Soesilo. dalam penjelasannya mengungkapkan bahwa supaya masuk pasal 284 tersebut, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak. Adapun maksud

“persetubuhan” ialah peraduan antara anggota kelamin laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki- laki harus masuk kedalam anggota perempuan. Berzina di sini terdiri dari atas perbuatan persetubuhan antara orang yang telah menikah dan seorang yang bukan isterinya atau suaminya, persetubuhan mana dilakukan dengan sukarela. Apabila terjadi paksaan, maka ia menjadi obyek suatu kejahatan.3 Walau seorang isteri yang digerakkan oleh suaminya untuk bersetubuh dengan laki-laki lain tergolong tidak melakukan perbuatan zina.

Pengertian perzinaan menurut para ahli di atas diperkuat dalam pengertian Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa perzinaan dimaknai sebagai persetubuhan yang dilakukan oleh laki- laki dan perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki- laki yang bukan istri atau suaminya. Perumusan tindak pidana perzinaan di

2 Sahetapy Dan B. Mardjno Reksodiputro. Parados Dalam Kriminologi. Jakarta: Rajawali.

1989. Hlm 62

3 H. Iman Hidayat, Analisis Normatif Tindak Pidana Perzinahan Dilihat Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.1 Tahun 2016, hlm. 121

(18)

6 dalam KUHP termasuk didalam Bab XII yaitu tentang Kejahatan terhadap kesusilaan yang diatur dalam pasal 284 KUHP. Adapun teks lengkap pasal 284 tentang tindak pidana perzinaan adalah sebagai berikut :

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan :

l.a.seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,

b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;

2.a.seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;

b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah- meja dan ranjang karena alasan itu juga.

(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

(19)

7 Berdasarkan uraian Pasal 284 KUHP tersebut kejahatan zina atau perbuatan persetubuhan di luar perkawinan yang dapat di masukkan dalam perbuatan pidana adalah4:

a. Persetubuhan di luar perkawinan yang di lakukan oleh seorang laki- laki dan seorang perempuan yang kedua-duanya atau salah seorang pelakunya sedang dalam ikatan perkawinan yang sah dengan orang lain.

b. Persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki- laki terhadap perempuan yang dalam keadaan pingsan.

c. Persetubuhan di luar perkawinan yang di lakukan oleh seorang laki- laki terhadap perempuan yang dalam keadaan tidak berdaya.

d. Persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki- laki terhadap perempuan yang diketahuinya atau sepatutnya atau diduganya belum berumur 15 tahun.

e. Persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki- laki terhadap perempuan yang diketahuinya atau sepatutnya harus di duganya belum masanya untuk dikawini.

f. Seorang laki-laki yang telah kawin melakukan zina, padahal Pasal 27 BW (asas monogami) berlaku baginya.

g. Seorang perempuan yang telah kawin melakukan zina, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW (asas monogami) berlaku baginya;

Kejahatan zina sebagaimana menurut KUHP diidentikkan dengan overspel yang pengertiannya jauh lebih sempit dari pada zina itu sendiri.

Overspel hanya dapat terjadi jika salah satu pelaku atau kedua pelaku telah terikat tali perkawinan. Tindak pidana perzinahan yang dimaksud dalam Pasal 284 KUHP ayat (1) KUHP itu merupakan suatu tindak pidana yang harus dilakukan dengan sengaja. Ini berarti bahwa unsur kesengajaan itu harus terbukti pada si pelaku agar ia dapat terbukti sengaja dalam melakukan salah satu tindak pidana perzinahan dari tindak pidana-tindak pidana perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP. Adapun mengenai kesengajaan

4 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politeia, 1980, Hlm. 181

(20)

8 ini, KUHP tidak memberikan definisi secara jelas. Petunjuk untuk mengetahui arti kesengajaan dapat diambil dari Memorie van Toelchting (MvT) yang mengartikan kesengajaan (opzet) sebagai menghendaki dan mengetahui (willens en wettens). Sehingga dapat dikatakan bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang ia lakukan.5

Penegakan hukum dalam mengungkap dan menyelesaikan kasus tindak pidana perzinahan dituntut untuk profesinal yang disertai kematangan intelektual dan integritas moral yang tinggi. Hal tersebut diperlukan agar proses penegakan hukum dalam menyelesaikan kasus tindak pidana perzinahan dapat berjalan dengan tuntas dan pelaku dikenai pidana yang seadil-adilnya. Secara yuridis, sub-sistem Sistem Peradilan Pidana (SPP) sebagai pengemban kekuasaan penegakan hukum tidak hanya bernaung dalam satu atap kekuasaan yudikatif pengadilan tetapi juga 2 (dua) pilar penegakan hukum yaitu Kepolisian dan Kejaksaan dalam fungsi penyidikan dan penuntutan.

Penyidik Polri merupakan bagian tidak terpisahkan dari fungsi dan kedudukan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai aparatur Negara di bawah Presiden. Fungsi penyidikan menjalankan sebagian tugas Polri, khususnya di bidang penegakan hukum. Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia menegaskan bahwa tugas pokok Polri adalah: a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b.

menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan

5 Lamintang. Delik-Delik Khusus: Tindak Pidana-Tindak Pidana Yang Melanggar Norma- Norma Kesusilaan Dan Norma. Bandung: Penerbit Adi Cipta, 1990. Hlm. 89

(21)

9 pelayanan kepada masyarakat. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Fungsi penyidikan di tubuh Polri dilaksanakan oleh satuan reserse yang oleh peraturan perundang-undang mempunyai kewenangan melaksanakan penyelidikan, penyidikan dan koordinasi serta pengawasan terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Secara rinci menurut Pasal 16 (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia jo Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :

a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

h. mengadakan penghentian penyidikan;

i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Fungsi penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan kepolisian adalah bagian dari pelaksanaan proses penegakan hukum pidana. Secara integral

(22)

10 merupakan bagian dari keseluruhan sub-sistem sistem peradilan pidana.

Posisi sentralnya dalam fungsi penyidikan adalah bertindak sebagai penegak hukum. Dalam penegakan hukum pidana di Indonesia sangat berkaitan dengan kejahatan atau kriminalitas.

Pada prakteknya penegakan hukum terhadap kasus perzinahan sangat jarang diproses secara hukum mengingat sistem pembuktiannya yang sangat rumit. Berbagai hambatan dialami oleh penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana perzinaan, salah satunya adalah metode pembuktian berbasis konvensional. Menurut Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, alat bukti yang sah ialah Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan Terdakwa.

Dalam hukum pidana selain alat bukti dikenal juga istilah barang bukti.

Pasal 39 ayat (1) KUHAP, terdapat 2 jenis barang bukti, yaitu:

1. Benda berwujud, yang berupa:

a. Benda yang digunakan dalam melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya

b. Benda yang dipakai menghalang-halangi penyidikan

c. Benda yang dibuat khusus atau diperuntukkan melakukan tindak pidana

d. Benda-benda lainnya yang mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan berlakunya tindak pidana

2. Benda tidak berwujud berupa tagihan yang diduga berasal dari tindak pidana.

Fungsi barang bukti dapat menunjang alat bukti, sehingga keabsahan barang bukti yang turut menentukan keabsahan alat bukti Fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan, yaitu:

(23)

11 1) Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah

2) Mencari dan menemukan kebenaran materill atass perkara sidang yang ditangani

3) Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah, maka barang bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum

Perzinaan merupakan suatu peristiwa yang sulit dibuktikan walapun pada kasus tersebut telah dilakukan pemeriksaan dan pengumpulan barang bukti yang lengkap. Sebagaimana rumusan delik dalam Pasal 284 KUHP dan pendapat ahli, mengungkapkan bahwa perzinaan adalah suatu persetubuhan yaitu peraduan antara anggota kelamin laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk kedalam anggota perempuan. Oleh karenanya, persetubuhan harus dapat dibuktikan, jika persetubuhan tidak dapat dibuktikan maka tidak dapat dikatakan telah terjadi tindak pidana perzinaan.

Pentingnya pembuktian dalam mengungkap kejahatan perzinaan, seringkali penyidik melakukan suatu Tindakan paksa yaitu operasi tangkap tangan atau penggrebekan. Pada saat operasi tangkap tangan atau melakukan penggerebekan yang merupakan cara yang terbaik dalam pengungkapan kasus perzinahan akan tetapi tidak semua tindakan pengrebekan atau operasi tangkap tangan terhadap pelaku perzinaan selalu membuahkan hasil atau menemukan barang bukti yang cukup. Seringkali para pelaku perzinaan cukup rapi menyembunyikan dan menghilangkan barang bukti sehingga penyidik kesulitan menemukan barang bukti baik berupa alat kontrasepsi maupun cairan sperma yang ada dalam tempat kejadian perkara, Dalam situasi seperti ini, tindak pidana perzinaan akan sulit diungkap mengingat

(24)

12 penyidik kesulitan memperoleh barang bukti sebagai tidak ada dasar atau butki permulaan yang cukup untuk menerapkan upaya hukum bagi terduga pelaku pidana perzinaan. Pembuktian berbasis konvensional tersebut selalu mengalami berbagai kendala dan hambatan dalam mengungkap suatu kejahatan perzinaan jika dihadapkan dalam kondisi kekuarangan barang bukti.

Crime Science Investigation (CSI) adalah suatu metode pendekatan penyidikan dengan mengedepankan berbagai disiplin ilmu pengetahuan guna mengungkap suatu kasus yang terjadi. Dengan menggunakan metode CSI, pengakuan tersangka ditempatkan pada urutan terakhir dari alat bukti yang akan diajukan ke pengadilan, karena metode CSI menitikberatkan analisis yang melibatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan guna mengungkap suatu tindak kejahatan6. salah satu alat bukti menggunakan Scientific investigation dalam mengungkap tindak pidana perzinaan yaitu uji lab sperma pada alat kelamin perempuan.

Metode Scientific Crime Investigation, dalam Pasal 34 dan Pasal 35 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (selanjutnya disingkat Perkap 6/2019) yang menyatakan bahwa “Penyidik dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana didukung dengan bantuan teknis penyidikan untuk pembuktian secara ilmiah (Scientific Crime Investigation)”

6 Riza Sativa., Scientific Investigation Dalam Penyidikan Tindak Pidana Pembunuhan, Jurnal Ilmu Kepolisian, Vol. 15/ No. 1/ April 2020, Hlm 58

(25)

13 Bantuan teknis penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, antara lain:

a. laboratorium forensik, digunakan dalam hal Penyidik memerlukan pemeriksaan dan pengujian barang bukti yang harus mendapat penanganan dan/atau perlakuan khusus;

b. identifikasi, digunakan dalam hal Penyidik memerlukan kepastian identitas Tersangka/Saksi/Korban tindak pidana dan sebagai alat bukti;

c. kedokteran forensik, digunakan dalam hal Penyidik memerlukan pemeriksaan tersangka/saksi/korban yang harus mendapatkan penanganan/perlakuan fisik secara khusus;

d. psikologi forensik, digunakan dalam hal Penyidik memerlukan pemeriksaan tersangka/saksi/korban yang harus mendapatkan penanganan/perlakuan psikis secara khusus; dan

e. digital forensik, digunakan dalam hal Penyidik memerlukan pemeriksaan dan pengujian barang bukti Digital yang harus mendapat penanganan dan/atau perlakuan khusus.

Ilmu bantu tersebut di atas digunakan oleh pihak Kepolisian Republik Indonesia dalam pengungkapan suatu kasus pidana. Hal ini dikarenakan tidak semua kasus pidana dapat terungkap dengan mudah, misalnya dalam kasus pidana pembunuhan dengan cara peracunan disertai penganiayaan dan masih banyak contoh kasus lainnya yang sangat rumit untuk dipecahkan oleh penyidik dalam hal kasus criminal. Metode Scientific Crime Investigation sangat berguna dalam membantu penyidik dalam hal pembuktian suatu tindak pidana.

Dari latar belakang di atas, maka penulis berkesimpulan terdapat isu hukum mengenai hambatan penegakan hukum terhadap tindak pidana perzinaan berbasis pembuktian konvensional dan bagaimana merekonstruksi penegakan hukum terhadap tindak pidana perzinaan berbasis Scientific Investigation. Untuk itu perlu dilakukan penelitian hukum yang berjudul

(26)

14

EFEKTIFITAS SCIENTIFIC INVESTIGATION DALAM

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PERZINAAN

B. RUMUSAN MASALAH

1) Bagaimana pelaksanaan scientific investigation dalam penyidikan tindak pidana perzinaan?

2) Bagaimana efektifitas dalam penyidikan tindak pidana perzinaan dengan metode scientific investigation?

C. TUJUAN PENELITIAN

Bertolak belakang dari masalah yang dirumuskan, tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah:

1) Untuk mengetahui dan Menganalisa dalam pelaksanaan scientific investigation dalam penyidikan tindak pidana perzinaan

2) Untuk mengetahui dan Menganalisa efektifitas dalam penyidikan tindak pidana perzinaan dengan metode scientific investigation.

D. KERANGKA KONSEPTUAL

Kerangka Konseptual adalah bangunan konsep yang terdiri dari konsep- konsep dasar yang saling berkaitan dengan masalah penelitan dan judul penelitian. Konsep-konsep dasar menjadi titik tolak peneliti dalam mengumpulkan data dan bahan-bahan hukum yang dibutuhkan dalam rangka menjawab permasalahan dan tujuan penelitian.

Konsepsi merupakan salah satu bagian terpenting dari teori konsepsi yang diterjemahkan sebagai usaha membawa suatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit yang disebut dengan Operational Definition. Pentingnya definisi

(27)

15 operasional tersebut adalah untuk menghindari perbedaan pengertian atau penafsiran yang bersifat multi tafsir, dari suatu istilah yang dipakai dan dapat ditemukan suatu kebenaran.7

Untuk memberikan gambaran yang lebih skematis atas uraian kerangka pemikiran dapat dilihat skema di bawah ini :

1. Tinjauan Umum Scientific Investigation

Proses penyidikan tindak pidana pada masa sekarang telah banyak mengalami kemajuan dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang modern. Salah satu dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap penyidikan dengan menggunakan scientific crime investigation atau penyidikan berbasis ilmiah yang diterapkan sebagai terobosan dalam proses pembuktian.

Scientific Investigation berasal dari kata scientific dan investigation. Scientific sendiri adalah keilmuan, atau secara ilmiah.

Sedangkan investigation adalah upaya penelitian, penyelidikan, pengusutan, pencarian, pemeriksaan dan pengumpulan data, informasi, dan temuan lainnya untuk mengetahui/ membuktikan kebenaran atau bahkan kesalahan sebuah fakta yang kemudian menyajikan kesimpulan atas rangkaian temuan dan susunan kejadian.8

Dalam penyidikan tindak pidana, Polri dituntut untuk senantiasa menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah, menghormati Hak Asasi

7Rusdi Malik, Penemu Agama Dalam Hukum Di Indonesia, Jakarta,: Universitas Trisakti, 2000, Hlm. 15.

8 Riza Sativa, Scientific Investigation Dalam Penyidikan Tindak Pidana Pembunuhan, Jurnal Ilmu Kepolisian ISSN : 2620-5025 E-ISSN : 2621-8410, Volume 15 Nomor 1 April 2021, Hlm. 58

(28)

16 Manusia, mendasari pada pembuktian ilmiah (scientific investigation) menghindari penggunaan kekerasan, tidak mengejar pengakuan dan hendaknya lebih memperhatikan sisi phisological dan empati.

Pada proses pembuktian secara ilmiah (scientific investigation) tersebut, peran ilmu pengetahuan sangatlah besar dalam membantu pengungkapan dan proses penyidikan tindak pidana tersebut. Salah satu yang berperan adalah ilmu forensik, yang merupakan suatu ilmu pengetahuan yang menggunakan multi disiplin ilmu untuk menerapkan ilmu pengetahuan alam, kimia, kedokteran, biologi, psikologi, dan kriminologi dengan tujuan untuk membuat terang atau membuktikan ada tidaknya kasus kejahatan atau pelanggaran dengan memeriksa Barang bukti dari kasus tersebut.

“Scientific investigation is a quest to find the answer to a question using the scientific method. In turn, the scientific method is a systematic process that involves using measurable observations to formulate, test or modify a hypothesis. Finally, a hypothesis is a proposed explanation for some observed phenomenon, based on experience or research. Scientific investigation is what people like you and me use to develop better models and explanations for the world around them9

2. Tinjauan Umum Penyidikan

9 Bevel, Tom Dan Ross M. Gardner. Bloodstain Pattern Analysis With An Introduction To Crime Scene Reconstruction. Wahington: CRC PRESS. 2001. Hlm. 41

(29)

17 Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undangundang.10

Pengertian penyidikan tercantum dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP yakni dalam Bab I mengenai Penjelasan Umum, yaitu:

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

Penyidikan atau biasa disebut pengusutan dalam istilah asingnya disebut "osporing" dalam bahasa Belandanya adalah merupakan persiapan perlengkapan untuk melakukan suatu penuntutan (Verpolging) dengan kata lain merupakan dasar untuk melaksanakan penuntutan. Oleh karena itu tidak dapat dilakukan penuntutan sebelum dilakukan penyidikan atau pengusutan itu. Perbuatan menyidik atau mengusut adalah merupakan usaha dan tindakan untuk mencari dan menemukan kebenaran tentang apakah betul terjadi suatu tindak pidana, siapa yang melakukanperbuatan itu. Suatu penyidikan atau pengusutan diakhiri dengan suatu kesimpulan bahwa atas perkara tersebut akan diadakan penuntutan atau tidak.11

10 Husein, M. harun. Penyidik dan penuntut dalam proses pidana. (Jakarta : PT rineka Cipta,1991) hlm 56

11 Watjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1997), hlm. 48-49

(30)

18 Dapat diisimpulkan bahwa penyidikan merupakan suatu proses atau langkah awal yang merupakan suatu proses penyelesaian suatu tindak pidana yang perlu diselidik dan diusut secara tuntas di dalam sistem peradilan pidana, dari pengertian tersebut, maka bagian-bagian dari hukum acara pidana yang menyangkut tentang Penyidikan adalah ketentuan tentang alat- alat bukti, ketentuan tentang terjadinya delik, pemeriksaan di tempat kejadian, pemanggilan tersangka atau terdakwa, penahan sementara, penggeledahan, pemeriksaan dan introgasi, berita acara, penyitaan, penyampingan perkara, pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembalian kepada penyidik untuk disempurnakan.

3. Tinjauan Umum Tindak Pidana Perzinaan

Zina secara etimologis berasal dari bahasa Arab yang artinya persetubuhan di luar pernikahan12. Pengertian zina secara umum adalah persetubuhan pria- wanita tanpa ikatan perkawinan yang sah. Dari segi tata susila perbuatan ini sangat kotor, hina dan tercela dalam pandangan masyarakat, sedangkan dari segi agama perbuatan ini terhukum dosa.

Tidak ada yang mengingkari dalam memberikan hukuman kecuali mereka yang pikirannya beda di bawah kendali hawa nafsunya. Mereka menganggap setiap pelanggaran hukum dan peraturan adalah suatu ciptaan baru hasil falsafah hidup manusia.13

12 Erman Sulaeman, Delik Perzinaan Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Walisongo Press, Semarang, 2008, Hlm. 47.

13 Abdul A‟la Almaududi, Kejamkah Hukum Islam, Jakarta : Gema Insani Press, 1979, Hlm. 36-37.

(31)

19 Pengaturan perzinaan dan sanksi diatur dalam Pasal 284 KUHP yang lengkapnya mengatur bahwa (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: 1.a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan mukah (overspel) padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya; b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan mukah.

2.a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin. b. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya. (2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pidah meja atau ranjang karena alasan itu juga.

(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, pasal 73, pasal 75 KUHP (4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai. (5) Jika bagi suami isteri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja atau ranjang menjadi tetap.

Sangat jelas pengaturan Pasal 284 KUHP hanya mengatur masalah perselingkuhan, yang di mana pasal tersebut hanya berlaku jika salah satu pelaku atau keduanya masih terikat oleh perkawinan sah dengan orang lain. Kemudian pada ayat (2) menjelaskan zina merupakan pelanggaran

(32)

20 pengaduan, yang hanya bisa dituntut jika pasangan sah melakukan keberatan atau aduan. Sedangkan untuk kasus hubungan seksual di luar konteks pasal ini, akan berlaku asas legalitas, Adagium Nullum delictum nulla poena sine lege praevia lege poenali (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya). Pasal 1 ayat (1) KUHP menekankan pada asas, bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dilarang atau diharuskan kecuali hal tersebut telah dinyatakan dengan tegas pada suatu ketentuan undang–undang, sehingga sanksi hukuman harus telah diatur sebelumnya dalam peraturan perundang–undangan yang mana terlebih dahulu telah ada daripada pelanggaran tersebut.

Tindak pidana zina merupakan kejahatan yang menyangkut kehormatan seseorang yang seharusnya dihukum berat namun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya diancamkan hukuman maksimal 9 (sembilan) bulan penjara dan harus memenuhi beberapa syarat, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bahwa seorang laki-laki atau perempuan dikatakan melakukan kejahatan zina, yaitu14 :

1) Melakukan persetubuhan dengan perempuan atau laki-laki bukan suami atau isterinya;

2) Bagi dirinya berlaku Pasal 27 Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia (BW);

14 Andi Hamzah, KUHP Dan KUHAP, Jakarta : Rineka Cipta, 2011, Hlm. 114.

(33)

21 3) Dirinya sedang berada dalam perkawinan.

Berdasarkan Pasal 284 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), seseorang tidak bisa dikenakan tindak pidana perzinaan bila dilakukan oleh seorang laki-laki lajang dengan perempuan yang juga lajang. KUHP hanya mendefinisikan zina adalah perbuatan persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya.

Tindak pidana perzinaan atau overspel yang dimaksudkan dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP merupakan suatu opzettleijk delict atau suatu tindak pidana yang harus dilakukan dengan sengaja. Itu berarti unsur kesengajaan tersebut harus terbukti ada pada diri pelaku, agar ia dapat dinyatakan terbukti telah memenuhi unsur kesengajaan dalam melakukan salah satu tindak pidana perzinaan dari tindak pidana perzinaan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a atau b dan angka 2 huruf a atau b KUHP. Jika unsur kesengajaan dalam bentuk kehendak atau dalam bentuk maksud untuk melakukan perzinaan pada diri pelaku ternyata tidak dapat dibuktikan, maka hakim akan memberikan putusan bebas dari tuntutan hukum atau ontslag vanrechtsvervolging bagi pelaku

E. KERANGKA TEORITIS 1. Teori Efektifitas Hukum

Efektivitas mengandung arti keefektivan pengaruh efek keberhasilan atau kemanjuran/kemujaraban, membicarakan keefektifan hukum tentu tidak terlepas dari penganalisisan terhadap karakteristik dua variable

(34)

22 terkait yaitu: karakteristik/dimensi dari obyek sasaran yang dipergunakan.15

Ketika berbicara sejauh mana efektivitas hukum maka kita pertama- tama harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati, jika suatu aturan hukum ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya maka akan dikatakan aturan hukum yang bersangkutan adalah efektif.16

Derajat dari efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto, ditentukan oleh taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya, sehingga dikenal asumsi bahwa, ”taraf kepatuhan yang tinggi adalah indikator suatu berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya hukum merupakan pertanda hukum tersebut mencapai tujuan hukum yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungimasyrakat dalam pergaulan hidup.”17 Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa dalam sosiologi hukum masalah kepatuhan atau ketaatan hukum terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam mengukur efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hukum ini.18

Beberapa pendapat mengemukakan tentang teori efektivitas seperti Bronislav Molinoswki, Clerence J Dias, Allot dan Murmer. Bronislav

15 Barda Nawawi Arief, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, ctk Ketiga, Citra Aditya, Bandung, h. 67.

16 Salim,H.S dan Erlis Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Tesis dan Disertasi, Edisi Pertama, ctk Kesatu, Rajawali Press, Jakarta, h. 375

17 Soerjono Soekanto, 1985, Efektivitas Hukum dan Peranan Saksi, Remaja Karya, Bandung, h. 7.

18 Soerjono Soekanto,1996, Sosiologi Suatau pengantar, Rajawali Pers, Bandung , h. 20

(35)

23 Malinoswki mengemukakan bahwa teori efektivitas pengendalian sosial atau hukum, hukum dalam masyarakat dianalisa dan dibedakan menjadi dua yaitu: (1) masyarakat modern, (2) masyarakat primitif, masyarakat modern merupakan masyarakat yang perekonomiannya berdasarkan pasar yang sangat luas, spesialisasi di bidang industri dan pemakaian teknologi canggih, didalam masyarakat modern hukum yang di buat dan ditegakan oleh pejabat yang berwenang.19

2. Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis. Jelas dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.

Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara factual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk.20

Kepastian hukum merupakan jaminan mengenai hukum yang berisi keadilan. Norma-norma yang memajukan keadilan harus sungguh- sungguh berfungsi sebagi peraturan yang ditaati. Menurut Gustav

19 Salim H.S dan Erlies Septiani, op.cit, h. 308.

20 C.S.T Kansil, Kamus Istilah Hukum, Jakarta, 2009, hlm. 385

(36)

24 Radbruch keadilan dan kepastian hukum merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum. Beliau berpendapat bahwa keadilan dan kepastian hukum harus diperhatikan, kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dan ketertiban suatu negara. Akhirnya hukum positif harus selalu ditaati.

Berdasarkan teori kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai keadilan dan kebahagiaan.21 Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliranpemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yangmandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum.

Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu:

a. Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-undangan.

b. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan.

c. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan.

d. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah.

21 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Penerbit Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002, hlm. 82-83

(37)

25 Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri.

Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan. Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut Gustav Radbruch, hukum positif yang mengatur kepentingan- kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati meskipun hukum positif itu kurang adil.

Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.22

Kepastian hukum akan menjamin seseorang melakukan perilaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sebaliknya tanpa ada kepastian hukum maka seseorang tidak memiliki ketentuan baku dalam menjalankan perilaku. Dengan demikian, tidak salah apabila Gustav Radbruch mengemukakan kepastian sebagai salah satu tujuan dari hukum. Dalam tata kehidupan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum. Kepastian hukum merupakan sesuai yang

22 Bolmer Hutasoit, Artikel Politik Hukum: Tujuan Hukum Menurut Gustav Radbruch, https://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/10/07/artikel-politik-hukum-tujuan-hukummenurut- gustav-radbruch

(38)

26 bersifat normatif baik ketentuan maupun keputusan hakim. Kepastian hukum merujuk pada pelaksanaan tata kehidupan yang dalam pelaksanaannya jelas, teratur, konsisten, dan konsekuen serta tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif dalam kehidupan masyarakat.23

Kepastian hukum yang dituangkan dalam putusan hakim merupakan hasil yang didasarkan pada fakta-fakta persidangan yang relevan secara yuridis serta dipertimbangkan dengan hati nurani. Hakim selalu dituntut untuk selalu dapat menafsirkan makna undang-undang dan peraturan- peraturan lain yang dijadikan dasar untuk diterapkan. Penerapan hukum harus sesuai dengan kasus yang terjadi, sehingga hakim dapat mengkonstruksi kasus yang diadili secara utuh, bijaksana dan objektif.

Putusan hakim yang mengandung unsur kepastian hukum akan memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum. Hal ini disebabkan putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, bukan lagi pendapat dari hakim itu sendiri yang memutuskan.24

23 Jaka Mulyata, “Keadilan, Kepastian, Dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 100/Puu-X/2012 Tentang Judicial Review Pasal 96 Undang-Undang Nomor: 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan”, Tesis, Universitas Negeri Surakarta, Surakarta, 2015, hlm. 25

24 Ibid

(39)

27 F. METODE PENELITIAN

Ilmu hukum memiliki karakter yang khas yang direfleksikan dalam sifat normatifnya25. Fokus perhatian ilmu hukum yang normative adalah sebagai ilmu praktis yang menawarkan penyelesaian terhadap problem kongkret di masyarakat. Penelitian hukum menurut Morris L. Cohen adalah :

“…..Legal research is the process of finding the law that governs activities in human society, it involves locating both the rules which are enforced by the state and commentaries which explain or analyze these rule26….”

Peter Mahmud Marzuki merumuskan bahwa penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.27

Dalam melakukan pencarian guna menemukan hukum, suatu penelitian hukum membutuhkan suatu metode, cara, atau teknik sebagai piranti bagi peneliti yang dapat memandu pada setiap aktifitas penelitiannya. Sudikno mertokusumo merumuskan penemuan hukum dilakukan menggunakan metode interpretasi, baik menurut bahasa, sistematis, historis, teleologis, perbandingan hukum dan futuris. Karena hampir sebagian besar permasalahan hukum yang sering dihadapi adalah tentang interpretasi hukum, kekosongan hukum, maupun norma hukum yang kabur28

Jenis hukum yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian yuridis normative (normative law research) yaitu penelitian yang didasarkan

25 Ibid.

26 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet.2, Jakarta: Kencana, 2008, Hlm. 29

27 Ibid, Hlm. 35

28 Johny Ibrahim, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Cet. I, (Malang : Banyumedia Publishing, 2005), Hlm. 33

(40)

28 pada suatu kaidah norma yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku hukum bagi setiap orang. Fokus penelitian hukum normative adalah pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto atau putusan pengadilan, sistematik hukum, sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum.29

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian hukum normatif atau doktrinal. Doktrinal berasal dari kata “doctrine” yang berarti prinsip, asas hukum, yang ditaati30. Ian Dobinson and Francis Johns menjelaskan bahwa penelitian hukum doktrinal adalah penelitian yang menanyakan hukum dalam bidang tertentu atau dikenal dengan penelitian teoritik murni (sui generis{ XE "sui generis" })31. Paul Chynoweth mengatakan bahwa penelitian hukum doktrinal terkait dengan perumusan doktrin hukum melalui analisis berdasarkan aturan hukum. Doktrin hukum menjelaskan ambiguitas dalam aturan, menempatkan dalam struktur yang logis dan koheren dan menghubungkan dengan aturan hukum lainnya.

Melalui doktrin hukum yang relevan maka dapat memutuskan aturan mana yang dapat diterapkan dalam situasi tertentu32.

29 Menurut Abdulkadir Muhammad Penelitian Hukum Dibagi Menjadi Tiga Yaitu Penelitian Hukum Normative, Penelitian Hukum Normative-Empiris, Dan Penelitian Hukum Empiris. Dalam Abdulkadir Muhammad, Hukum Dan Penelitian Hukum, Cet I, Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 2004, Hlm. 52

30 Bryan A Garner, Black‟s Law Dictionary 9th Ed. (USA : Thomson West. 2009), Hlm.

553

31 Ian Dobinson & Francis Johns, Qualitative Legal Research, In Research Methods For Law, Edinburgh University Press, Edinburgh, Hlm. 18-19

32 Paul Chynoweth, Legal Research In The Built Environment: A Methodological Framework, In Advanced Research Methods In The Built Environment, Wiley-Blackwell, UK, (Andrew Knight & Les Ruddock Eds., 2008), Hlm. 29, Dalam Amrit Kharel, Doctrinal Legal

(41)

29 S.N Jain menjelaskan bahwa penelitian doktrinal adalah penelitian yang mensistematisasikan proposisi hukum atau konsep hukum melalui penalaran hukum secara deduktif yang memberikan penjelasan sistematis tentang aturan ke dalam kategori hukum tertentu33. Proposisi hukum penelitian doktrinal meliputi dari undang-undang, prinsip hukum, peraturan administrasi dan regulasi, kasus-kasus hukum. Dengan demikian, penelitian hukum doktrinal adalah penelitian teoritik murni yang merumuskan konsep hukum melalui analisis yang sistematis dari proposisi hukum dalam struktur yang logis dan koheren sehingga dapat menjawab persoalan tertentu dalam realitas masyarakat.

2. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian hukum terdapat berbagai jenis pendekatan yang digunakan, antara lain adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Peter Mahmud Marzuki menelaah pendekatan-pendekatan penelitian hukum tersebut sebagai berikut:

a) Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani

Research, Article In SSRN Electronic Journal, Securities Board Of Nepal Silver Jubilee Publication, Lalipur, Nepal: SEBON, 2018, Hlm. 237-252.

33 S.N.Jain, Doctrinal Research And Non-Doctrinal Legal Research, Reprinted From 17 Journal Of The Indian Law Institute, (1975) Dalam Vijay M Gawas, Doctrinal Legal Research Method A Guiding Principle In Reforming The Law And Legal System Towards The Research Development, International Journal Of Law, Volume 3; Issue 5; September 2017, Hlm. 128-130

(42)

30 b) Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi dengan menggunakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

c) Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum

d) Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi

e) Pendekatan perbandingan, pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan undang-undang suatu negara dengan undang-undang dari negara lain mengenai hal yang sama34.

Dalam menelaah permasalahan terkait isu hukum penelitian tesis ini, peneliti akan mengelaborasi pada tiga pendekatan yaitu pendekatan konsep, pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus. Melalui pendekatan konsep yang berasal dari konsep-konsep hukum dan asas atau doktrin hukum yang relevan dan proporsional dengan isu hukum yang terjadi. Asas-asas, doktrin, konsep tentang penegakan hukum, perzinaan, hukum pembuktian, scientific crime investigation digunakan sebagai proposisi dalam membuat premis-premis dalam kajian penelitian ini.

Kemudian dengan pendekatan undang-undang (Statute Approach) yang dilakukan dengan inventarisasi peraturan perundang-undangan dan regulasi yang terkait dengan isu hukum. Peneliti akan membuat sistematika perundang-undangan secara menyeluruh baik secara vertikal maupun horisontal sehingga dapat menelaah dan menganalisis dengan komprehensif. Selanjutnya melalui pendekatan kasus (case approach), bahwa produk hukum in concreto berupa putusan-putusan pengadilan

34 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit. Hlm 268

(43)

31 digunakan sebagai rujukan dalam memberikan pertimbangan yang komprehensif dalam penelitian ini.

3. Jenis dan Sumber Data

Penelitian hukum normatif menggunakan bahan hukum sebagai jenis dan sumber datanya. Jenis bahan hukum dalam penelitian normatif dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber bahan hukum antara lain

a) Bahan Hukum Primer adalah bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat35. Antara lain terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan resmi, risalah dalam pembuatan perundang-undangan, maupun putusan hakim. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah sebagai berikut :

1) Undang-Undang Dasar 1945.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

3) Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 4) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik

Indonesia

5) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana

6) Yurisprudensi Putusan-Putusan Pengadilan

35 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI-Press, 2007, Hlm. 52

(44)

32 7) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer36. Antara lain adalah buku teks atau buku-buku ilmiah dibidang hukum, makalah- makalah, Jurnal ilmiah dan Artikel ilmiah

8) Bahan Hukum Tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder37. Antara lain adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus hukum, e-books, maupun sumber dari internet yang berkaitan dengan autensitas akta notaris dan pertanggungjawaban jabatan notaris.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penelitian ini adalah studi dokumen (studi kepustakaan). Studi dokumen adalah suatu alat pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis dengan mempergunakan content analisys38. Teknik ini berguna untuk mendapatkan landasan teori dengan mengkaji dan mempelajari buku- buku, peraturan perundang-undangan, dokumen, laporan, arsip dan hasil penelitian lainnya baik cetak maupun elektronik yang berhubungan dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana perzinaan berbasis

36 Ibid.

37 Ibid.

38 Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit, hlm. 21

(45)

33 pembuktian konvensional dan rekontruksi hukum penegakan hukum terhadap tindak pidana perzinaan berbasis scientific crime investigation.

5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor (pernyataan yang bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion. Akan tetapi di dalam argumentasi hukum, silogisme hukum tidak sesederhana silogisme tradisional39. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif, logika deduktif atau pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umum kemudian menariknya menjadi kesimpulan yang lebih khusus.

Analisis dilakukan dengan melakukan penafsiran hukum baik secara gramatikal, otentik, historis, sistematis dari berbagai sumber hukum antara lain peraturan perundang-undangan, maupun putusan hakim mengenai kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi. Hasil elaborasi peraturan perundangundangan, putusan hakim kemudian ditarik kesimpulan untuk menjawab isu hukum dalam penelitian ini.

G. SISTEMATIKA ISI TESIS

Sistematika Penulisan disusun kedalam 4 (empat) bab, beberapa sub bab.

Adapun urutan bab dan pembahasan disusun sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN

39 Ibid, hlm. 47

(46)

34 Dipaparkan uraian mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran terdiri atas kerangka konseptual dan kerangka teoritik, metode penelitian yang terdiri dari metode pendekatan, spesifikasi penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisa data

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tentang Tinjauan Umum Tindak Pidana Perzinaan, Tinjauan umum penyidikan tindak pidana, Tinjauan Umum Scientific Investigation , tinjauan zina dala perspektif hukum Islam.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab III yang berisikan analisis dan identifikasi mengenai pelaksananan, efektifitas dalam penyidikan tindak pidana perzinahan dengan Scientific Investigation yang dianalisis dengan teori-teori efektifitas hukum dan teori kepastian Hukum.

BAB IV PENUTUP

Berisi kesimpulan sebagai hasil penelitian dan saran dari pembahasan yang telah diuraikan sebagai rekomendasi berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh dalam penelitian.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Referensi

Dokumen terkait

PERANAN LABORATORIUM FORENSIK POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (STUDI KASUS DI LABORATORIUM FORENSIK POLRI CABANG SEMARANG). Jurusan Hukum Pidana

a. Setiap ada laporan atau pengaduan terhadap anggota Polri yang melakukan tindak pidana selalu di tindak lanjuti ke proses hukum yaitu penyelidikan dan penyidikan.

Hambatan dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana penipuan secara online oleh orang asing yaitu proses penyidikan dalam mengungkap tindak pidana

Proses penyidikan terhadap kasus Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga dilakukan berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Undang-undang No 23 tahun2004

Yaitu; Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31

Setelah diketahui tentang lembaga yang berwenang dalam penegakan hukum pada perkara tindak pidana korupsi berdasarkan sistem peradilan pidana sebagaimana telah diuraikan pada sub

Berdasarkan hasil penelitian penegakan hukum tingkat penyidikan terhadap tindak pidana Standar Nasional Indonesia dalam menanggulangi tindak pidana Standar

Fenomena penegakan hukum pidana dewasa ini semakin kehilangan arah bahkan dinilai telah mencapai titik terendah, masyarakat pencari kadilan mengeluhkan proses penyidikan