Gender dan Feminisme(gerakan feminis Gelombang 2-3)
PEREMPUAN DALAM KAJIAN BUDAYA FEMINIS
Simone the beauvoir mencoba memaknai perempuan lewat pertanyaan-pertanyaan tesis yang di urai di dalam pendahuluan bukunya the second sex, pertanyaan ini merupakan pertanyaan paling mendasar tentang hakikat perempuan , pertanyaan ini tertuang dalam kalimat
“what is a women?”(apakah perempuan?), “Are there women, really?”(apakah perempuan benar- benar ada?), pertanyaan ini yang membuka jalan mengenai eksistensi perempuan, bagaimana perempuan itu di definisikan, dikontruksi serta dinvestasikan.
Perempuan, apa yang menjadikannya berbeda? Hal yang menarik dalam membahas persoalan perempuan adalah ketidakberdayaan perempuan untuk terbebas dari pembalutnya. Dari zaman hawa sampai kleopatra, dari zaman hepatia hingga simone the beauvoir, dari zaman madona hingga Angelina joli. Setiap zaman memiliki cerita keindahan yang berbeda yang ditoreh oleh beberapa perempuan istimewa. Mereka saya kelompokkan sebagai perempuan yang melampaui lelaki (more then men). bagaimana statement ini muncul? saya akan coba urai sebelum Satu pertayaan yang sama juga akan segera muncul dari puluhan atau ribuan mulut lelaki yang tidak hanya mencoba menjatuhkan dengan argument yang berbeda, tapi juga mampu mematahkah rasionalitas perempuan yang baru bertunas.
Tunas ini muncul bagai daun pakis yang tergilas oleh mesin-mesin penggilas ditengah rimbunan pohon besar yang terus menerus ditebangi oleh manusia rakus yang lahir dari rahim kapitalisme. Apabila kita melihat lebih lebih dekat sejarah, akan terlihat bagaimana tiap zaman bermetamorfosis secara tidak sempurna, mitos bermetamorfosis menjadi mitos baru yang dinamakan logos, dimana kematian mitos diawali dengan kemunculan bahasa baru, defisini- definisi baru dari beragam statement yang mencoba mempertanyakan kembali tentang hakikat manusia, alam dan tuhan, bagaimana hubungan diantara mereka dimaknai lagi. Fenomena ini muncul dan membuat dunia menjadi terbagi-bagi lewat perbedaan yang sengaja di kontruksi.
Situasi ini melahirkan beragam kebudayaan dan sistem nilai yang berkembang di dalam kebudayaan itu.
Sistem ini merupakan perwujudan dari interaksi manusia dengan alam dan tuhannya, di satu sisi manusia menjadi makhluk yang ideal dimana sistem nilai dan norma yang di buat dapat mengatur manusia menjadi lebih beradab melampaui makhluk lainnya. Namun disisi lain, tafsiran manusia hanyalah sebatas pengetahuan yang parsial, jika di telusuri lebih jauh bagaimana sistem nilai itu terbentuk, akan ditemukan banyaknya perbedaan pemikiran yang menghasilkan argument dan hipotesa yang beragam, hal ini yang mengakibatkan terbelahnya realitas kehidupan menjadi baik dan buruk, hitam dan putih, mitos dan logos, ilmiah dan mistik, dan sebagainya. Lewat sistem ini pun kekuasaan dapat dilegitimasi oleh manusia yang memiliki kepentingan dengan dorongan hasrat yang tak mampu dikendalikan. Manusia menjadi buas, saling menguasai dan kacau seperti yang di kemukakan hobbes yang melihat wujud paling konkrit kehidupan yang disebutnya sebagai homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya), karena melihat sisi agresifitas dari manusia itu sendiri (Huizinga, 1990: XII).
Manusia yang pada realitasnya terbelah, saling mendominasi satu dengan yang lain. Dominasi ini teraktualisasikan lewat hubungan antara subjek dan objek, dimana “aku” sebagai subjek dan kamu sebagai “objek”, “Aku” tidak sama dengan yang lain(the others).
Dalam pemahaman mendasar, “aku” merupakan sebuah identitas, yang membedakan
“aku” dengan orang lain. Seperti yang dijelaskan oleh Freud bahwa, terbentuknya “aku” hanya terjadi atas ‘wacana orang lain’ – maksudnya melalui kemampuan bahasa – namun “aku” harus dikaitkan dengan tubuh sebagai wilayah tindakan (Gidden, 2010: 67). Dari pernyataan Freud di atas maka “aku” merupakan sebuah kesadaran diri, yang proses terbentuknya melalui kemampuan bahasa. Dari pernyataan Freud di atas dapat diilustrasikan bahwa “aku” hanya ada ketika ada “kamu”, begitu sebaliknya bahwa “kamu” juga ada ketika ada “aku”.
Namun lebih jauh lagi, Lacan menjelaskan bahwa “aku” atau subjektivitas terbentuk melalui hasrat akan yang lain (the others). Lacan menjelaskan bahwa terbentuknya “aku” karena adanya hasrat untuk menghasrati yang lain, Lacan membagi hasrat menjadi empat kategori yaitu hasrat narsistik pasif yaitu, kehendak atau keinginan seseorang untuk menjadi objek yang dihasrati dan dicintai oleh liyan (the others). Kedua yaitu hasrat narsistik aktif, merupakan keinginan dan kehendak seseorang untuk menghasrati atau mencintai liyan (the others). Ketiga
yaitu hasrat anaklitik aktif, merupakan seseorang berkehendak untuk memiliki dan menguasai yang lain, sebagai cara untuk mendapatkan kepuasan. Sementara yang terakhir yaitu Hasrat anaklitik pasif merupakan, seseorang bisa berhasrat untuk menjadi hasrat orang lain atau dimiliki liyan (Bracher, 2009: 31).
Lacan menjelaskan bahwa yang liyan (the others) tidak selalu harus berwujud orang lain, tetapi bisa terwujud kepada benda (objek material), maupun nilai-nilai ideal di dalam konteks sosial. Untuk itu terbentuknya “aku” dipengaruhi oleh interaksi-interaksi seseorang dengan lingkungan sosial dan lingkungan alamnya. Lacan menambahkan terbentuknya subjektifitas maupun “aku” tersebut dipengaruhi oleh: identifikasi di dalam diskursus, interpelasi melalui penanda utama dan interpelasi melalui citra (Bracher, 2009: 44).
Identifikasi di dalam diskursus merupakan sebuah sistem nilai dan norma yang berkembang di dalam wacana sosial mengenai yang ideal, pada tatanan ini seseorang mengambil sebuah disposisi pada dirinya untuk mengambil keputusan kepada orientasi nilai yang dituju.
Faktor lain yang mempengaruhi proses terbentuknya “aku” adalah Interpelasi melalui penanda utama. Penanda utama merupakan sebuah nama yang berfungsi sebagai pembeda. Nama tersebut di dalam interpelasi merupakan panggilan yang dibentuk dari sebuah perbedaan, semisal perempuan dengan laki-laki. Dalam interpelasi, perbedaan antara perempuan dan laki-laki tidak didasari oleh substansi, tetapi lebih kepada pembedaan yang dimunculkan dari kedua penanda tersebut serta fakta biologis diantara keduannya. Perbedaan ini menjadi akar dari terciptanya dominasi oleh laki-laki terhadap perempuan dimana perempuan dalam perkembangannya menjadi objek yang mengalami penekanan yang sangat hebat, semisal eksploitasi seksualitas perempuan, pornografi dan kekerasan terhadap perempuan. Hal in juga dilegitimasi oleh sosial budaya dimana kontruksi sosial lebih meninggikan nilai-nilai maskulin dan mengabaikan kepentingan perempuan serta merendahkan nilai-nilai feminin.
Namun keadaan ini tidak serta merta di terima perempuan sebagai sesuatu kebenaran mutlak, banyak perempuan yang tadinya hanya menjadi the second sex mencoba menganalisa dan mempertanyakan ulang tentang eksistensinya di tengah masyarakat yang di kuasai oleh kaum patriarki. Disini lahir berbagai ideologi seperti yang dijelaskan rosemary Putnam Tong dalam bukunya feminist thought, diantaranya adalah: feminisme liberal, radikal, marxis sosialis, psikoanalisis, eksistensialis, postmodern, global dan multicultural, serta ekofeminisme, yang
masing-masing kelompok memiliki keunikan sendiri sesuai situasi, kondisi kelahirannya serta latar belakang yang spesifik, termasuk persoalan barat, timur, ras, kelas, ekonomi dan sebagainya. Pemilihan itu bergantung kepada apa yang menjadi bagian yang difokuskan oleh masing-masing kelompok.
Seperti yang diurai Julia Kristeva dalam bukunya women’s Time memahami feminisme bergerak dalam gelombang, Subjektivitas perempuan berhubungan dengan waktu yang berulang(cyclical-repetition) dan waktu monumental(keabadian). Keduanya merupakan cara untuk mengonseptualisasi waktu berdasarkan perspektif motherhood dan reproduksi. Waktu dalam sejarah dilain pihak waktu yang linier. Tiga gelombang feminisme itu, menurut Kristeva adalah:
1. Feminis egalitarian yang menuntut hak yang sejajar dengan laki-laki, dengan perkataan lain, hak-haknya untuk memperoleh tempat dalam waktu yang linier, misalnya feminisme liberal danfeminisme marxis.
2. Yang kedua, yang muncul setelah tahun 1968, yang menekankan perbedaan radikal perempuan dari laki-laki dan menuntut hak perempuan untuk tetap berada diluar waktu linier sejarah dan politik, misalnya feminisme radikal.
3. Generasi ketiga adalah yang mendorong eksistensi yang parallel yang menggabungkan ketiga pendekatan feminisme yang memungkinkan perbedaan individual untuk tetap ada tanpa menjadi kehilangan kefeminisannya, misalnya, feminisme posmodernisme.
Mempertanyakan feminisme, berarti menanyakan efek atau manfaat serta siapa yang bisa merasakan manfaatnya dan apakah kita juga ikut terlibat memikirkannya, merasakannya atau ikut terlibat sebagai pelaku dari pergerakan feminisme tersebut.
Sejarah dan keanekaragaman pemikiran feminis
Berbicara feminisme berarti membicarakan ideologi bukan wacana. Hakikat feminisme adalah perlawanan, anti, dan bebas dari penindasan, dominasi, hegemoni, ketidakadilan dan kekerasan. Feminisme membongkar pengalaman ketertindasan perempuan terhadap kuasa patriarki laki-laki, mempertanyakan relasi-relasi kekuasaan yang berlangsung pada perempuan, memperjuangkan perempuan sebagai manusia merdeka menuju penataan hubungan-hubungan sosial baru dimana perempuan mendapat kesetaran dengan laki-
laki. Perempuan menjadi subjek utuh dalam membuat keputusan dalam alokasi kekuasaan dan sumber- sumbernya. Feminisme dimulai sejak perempuan mulai secara sadar mengorganisasikan diri dalam skala yang cukup untuk memperbaiki kondisi ketertindasan mereka. Awal abad 17 istilah feminisme mulai digunakan, maknanya dipahamidalam konteks waktu itu, berakar pada analisis politik tahun 1970-an. Dalam buku Encyclopedia of Feminism, yang ditulis Lisa Tutle, 1986.
Jika ditelusuri, pergerakan feminisme pertama yang lahir adalah feminis liberal, Feminisme liberal menekankan, pertama-tama bahwa keadilan gender menuntut kita untuk membuat aturan permainan yang adil, sedangkan kedua, untuk memastikan tidak satupun dari pemain dirugikan secara sistematis, keadilan gender tidak menuntut kita untuk memberikan hadiah bagi pemenang dan yang kalah. Tujuan umum dari feminis liberal adalah untuk menciptkan masyarakat yang adil dan peduli terhadap kebebasan. Namun kelompok feminisme liberal menuai kritikan dari para pemikir kelompok radikal, Feminisme radikal melihat tegas hubungan atau relasi kekuasaan laki-laki dan perempuan.“Personal is Political” menjadi kata kunci bagi feminisme radikal. Jika feminisme liberal melihat sumber masalahnya adalah diskriminasi terhadap kebebasan, hak individu dan kesempatan perempuan, maka feminisme radikal melihat sumber masalahnya adalah ideologi patriarki.
F e m i n i s m e radikal percaya pada pentingnya otonomi dan gerakan perempuan.
Mereka melihat dan memahami persoalan personalitas perempuan tidak boleh dipisahkan dengan persoalan publik. Apapun yang menyangkut perempuan adalah politik, misalnya menilai perkawinan atau tidak mau menggunakan alat kontrasepsi. Politik bagi mereka bukan hanya sekedar jadi anggota legislatif atau partai. Feminisme radikal juga menolak dipisahkan publik otoritas sosial ekonomi perempuan, dan tawaran solusi. Selanjutnya adalah feminisme marxis dan sosial feminisme marxis. Kelompok ini mengidentifikasi bahwa kelasisme merupakan penyebab opresi kepada perempuan. Opresi tersebut merupakan produk dari struktur politik, sosial, dan ekonomi. Pekerjan perempuan dianggap sebagai pekerjaan yang tidak pernah selesai sehingga terdapat konsepsi terhadap perempuan bahwa jika mereka tidak melakukan pekerjaan seperti itu, maka mereka bukanlah perempuan. Feminis marxis menjelaskan pula bahwa untuk mengetahui mengapa perempuan teropresi oleh laki-laki harus melakukan analisa pada hubungan diantara status pekerjaan perempuan dan citra diri perempuan.
Yang menjadi menarik dari pembahasan mengenai pemikiran feminis adalah ketidak bisaan para pemikir feminis memberi nama pergerakaannya, nama-nama yang di berikan selalu dibayang-bayangi oleh pemikir dari kaum patriarki sebelumnya, semisal, feminisime psikoanalisis tidak bisa terlepas dari pemikir prancis, semisal frued yang terkenal dengan psikoanalisnya. Namun terlepas dari itu, para pemikir Feminisme Psikoanalisis cukup memberi kontribusi, mereka melihat masalah ketidaksetaraan gender berakar dari pengalaman masa kanak-kanak yang mengakibatkan cara laki-laki memandang dirinya sebagai maskulin, sedangkan perempuan sebagai feminin serta cara masyarakat memandang bahwa maskulinitas adalah lebih baik dari pada feminitas.
L a i n h a l n y a d e n g a n f e m i n i s e k s i s t e n s i a l i s , m e r e k a h a d i r d e n g a n k o n s e p J e a n P a u l S a r t r e . Analisis Beauvoir yang idealismenya yaitu fokusnya pada mitos dan citra serta kurangnya strategi praktis untuk mencapai kebebasan. Pandangannya yang etnosentris dan adrosentris yaitu kecendurangannya untuk mengeneralisasi berdasarkan pengalaman kaum perempuan borjuis Prancis. Beauvoir mengemukakan bahwa laki-laki dinamai laki-laki dengan ’sang diri’ sebagai subjek aktif dan perempuan sebagai
‘sang liyan’. Jika liyan adalah bagi diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki.
Karena itu jika laki-laki ingin bebas, ia harus mengsubordinasi perempuan terhadap dirinya.
B e a u v o i r m e n g a t a k a n b a h w a m e s k i p u n f a k t a b i o l o g i s d a n p s i k o l o g i s
t e n t a n g p e r e m p u a n a d a l a h r e l a t i f t e r h a d a p p e r a n a k t i f l a k i - l a k i . B a h w a p e r e m p u a n a d a l a h m a k h l u k y a n g m e n g a t a s i k e c e n d r u n g a n n a f s u s e k s u a l i t a s n y a d a n k e c e n d r u n g a n f e m i n i m n y a y a n g p e r t a m a d i e k s p r e s i k a n m e l a l u i e r o t i s m e k l i t o r a l , y a n g k e d u a m e l a u i e r o t i s m e v a g i n a l , n a m u n d i a m e n o l a k a n g g a p a n i n i d a n m e n g a n g g a p n y a s e b a g a i s i m p l i s t i k . Beauvoir juga m e n o l a k p e n d a p a t y a n g m e n g a t a k a n a d a l a h a n a t o m i p e r e m p u a n y a n g menempatkan perempuan sebagai manusia dan warga negara kelas dua. Dia menganggap penjelasan Marxis mengenai alasan mangapa perempuan adalah Liyan hampir sama tidak memuaskan.
Engels berargumentasi bahwa sejak awal perempuan melakukan pekerjaan yang tampak sebagai jenis pekerjaaan ada dalam dirinya sendiri. Sebagai akibat dari pembagian pekerjaan yang seperti itu, laki-laki menguasai alat produksi laki-laki sebagai kaum borjuis dan perempuan menjadi kaum proletar. Menurut Engels, hanya jika itu semua sudah tercapai barulah jenis pekerjaan akan dibagi bukan berdasarkan gender seseorang, tetapi berdasarkan kemampuan, kesiapan, dan kebersediaan seseorang untuk melakukan pekerjaan itu.
D e n g a n b e r k e m b a n g n y a kebudayaan, laki-laki mendapatkan bahwa mereka dapat menguasai perempuan dengan menciptakan mitos tentang perempuan, irasionalisasinya, kompleksitasnya, dan mitos bahwa perempuan sulit dimengerti. Perempuan yang ideal dan yang dipuja laki-laki adalah perempuan yang percaya bahwa tugas mereka adalah mengorbankan diri untuk menyelamatkan laki-laki. Menurut Beauvoir, laki- laki dan perempuan memiliki kemampuan untuk memiliki rasa cinta yang mendalam, namum menyatakan bahwa lembaga perkawinan merusak hubungan suatu pasangan . Jika perempuan ingin menghentikan kondisinya sebagai jenis kelamin k e d u a , L i y a n , p e r e m p u a n h a r u s d a p a t m e n g a t a s i k e k u a t a n - k e k u a t a n d a r i lingkungan. Ada empat strategi yang dapat dilancarkan oleh perempuan yaitu :Yang pertama, perempuan dapat bekerja. Kedua, perempuan dapat menjadi seorang intelektual, anggota dari kelompok yang akan membangun perubahan bagi perempuan. Kegiatan intelektual, adalah kegiatan ketika seorang berpikir, melihat, dan mendefiisi, dan bukanlah nonaktivitas.
Ketika seseorang menjadi objek pemikiran, pengamatan, dan pendefinisian. Ketiga, perempuan dapat bekerja untuk mencapai transformasi sosial masyarakat. Seperti Sartre, Beauvoir yakin bahwa satu kunci bagi pembebasan perempuan adalah kekuatan ekonomi, suatu poin yang ditekankannya dalam diskusinya mengenai perempuan mandiri. Akhirnya, untuk mentransendensi batasan- batasannya perempuan dapat menolak menginternalisasi ke-liyanannya yaitu dengan mengidentifikasi dirinya melalui pandangan kelompok dominan dalam masyarakat. Kemanapun perempuan pergi, perempuan tampaknya tidak akan dapat melepaskan diri dari pandangan laki-laki.
Begitu juga dengan kelompok feminis postmodern, kelompok ini mengundang setiap perempuan yang berefleksi dalam tulisannya untuk menjadi feminis dengan cara yang diinginkannya. Seperti halnya pemikir postmodern yang lain dimana dekontruksi merupakan sebuah pilihan untuk memahami diri yang pada dasarnya adalah terbelah antara dimensi
kesadaran dan ketidaksadaran secara berbeda. Keyakinan dekontrusi dan feminisme postmodern memiliki persamaan yaitu menentang gagasan diri yang menyatu dan terintegrasi, identitas diri maupun kebenaran dalam kehidupan kita dan bahasa kita merupakan struktur yang dipaksakan kepada kita.
Jacques lacan memahami setiap masyarakat diatur oleh rangkaian tanda, peran dan ritual yang tidak saling berhubungan. Dalm hal ini lacan mengistilahkannya dengan tatanan simbolik yang berfungsi secara memadai didalam masyarakat, tatanan simbolik mengatur masyarakat melalui pengaturan individu. Lacan membagi melalui 3 tahap,yaitu fase pra-oedipal, fase cermin,dan fase oedipal. Dalam fase oedipal, anak laki-laki menolak identifkasi dengan ibunya dan mendekatkan diri dengan ayahnya yang mempunyai anatomi yang lebih mirip.
Berbeda dengan perempuan yang tidak menyeluruh menyelesaikan fase Oedipalnya. Dan dapat ditarik kesimpulan disatu sisi, perempuan disingkirkan dari tatanan simbolik dan dikucilkan pada bagian margin, disisi lain, perempuan direpresi dalam tatanan simbolik, dan dipaksa untuk tunduk dalam tatanan itu diluar keinginannya. Freud dan Lacan sama- sama tidak menemukan ruang yang nyaman bagi perempuan dalam kerangka pikir ini. Oleh karena itu perempuan tidak dapat dipahami atau diketahui.
Berbeda dengan Jacques Derrida, Meskipun Derrida disalahkan karena meromantisir perempuan, feminis postmodern menekan bahwa secara keseluruhan kritik Deri da terhadap tatanan simbolik bermanfaat untuk tujuan tertentu. Derrida mengkritisi 3 aspek tatanan simbolik yaitu: pertama,Logosentrisme, keutamaan bahasa lisan, kurang tunduk terhadap interpresi dari pada tulisan.kedua,Falosentrisme, keutamaan falus yang mengkonotasi suatu dorongan uniter terhadap satu tujuan yang dianggap dapat dicapai. Ketiga,Dualisme, ekpresi yang menempatkan segala sesuatu dalam posisi biner.Derrida ingin membebaskan pikiran dari sumsi singularitas, pandangna bahwa s atu kebenaran atau esensi, suatu pertanda transcendental adalah ada dalam dan karena dirnya sendiri sebagai pemberi makna.
Dari semua pemikran feminis postmodern, Julia kristeva adalah yang paling kontraversional. Ia secara eksplisit menolak feminisme sebagaimana yang dipahami di Prancis, tidak berarti ia menolak tujuan dan strategi feminisme sebagaimana feminisme di pahami di AS.
Dengan kerangka kerja psikoanalisis lacan, Kristeva mengkontraskan tahap semiotic atau
praoedipal dan tahap simbolik atau posOedipal. Tatanan semiotik ada di dalam dan sekaligus di luar tatanan simbolik. Menurut Kristeva tatanan simbolik, yang merupakan tatanan penandaan, atau ranah sosial adalah terdiri dari dua elemen, elemen semiotik yang merembes melalui daerah kekuasaan praoedipal dn elemen simbolik yang hanya ada pada tatanan simbolik. Elemen simbolik adalah aspek penciptaan makna yang memungkinkan kita untuk mampu membuat argument rasional, elemen ini menghasilkan tulisan yang linier, rasional, objektif dan sngat tunduk pada tata bahasa. Yang simbolik adalah elemenstatis dalam tatanan simbolik. Sedangkan elemen semiotic adalah aspek penciptaan makna yang memungkinkan kita untuk mengeksprsikan perasaan, elemen inilah yang yang merupakan pendorong ketika elemen semiotic ini melangsungkan proses penandaan, elemen semiotic menghasilkan penulisan yang melanggar aturan baik dalam sintaks maupun tata bahasanya. Kristeva menentang identifikasi feminim dengan perempuan biologis dan maskulin dengan laki-laki biologis. Penekanan Kristeva adalah pada perbedaan secara umum, dan bukan perbedaan seksual secara khusus. Meskipun menolak gambaran tradisional atas dua jenis kelamin biner dan atas dua identitas gender yang berlawanan, K r i s t e v a m e n g a k u i k e b e n a r a n b a h w a p a d a d a s a r n y a a d a perbedaan seksual antara laki-laki dan perempuan. Kristeva mengakui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai identitas seksual yang berbeda, tidak berarti ia berpendapat bahwa identitas ini dimanifestasikan dengan cara yang sama oleh setiap feminis sebelumnya telah berhasil mencanangkan istilah perempuan untuk meningkatkan keadaan
kebanyakan perempuan, Kristeva menegaskan bahwa feminis masa kini harus memanfaatkan istilah itu dengan lebih bijaksana karena jika tidak politik pembebasan akan dapat berubah menjadi politik peminggiran dan perlawanan balik kekuatan.
Karena itu, Kristeva hanya mendukung beberapa aspek dari gerakanfeminis yang menghancurkan atau tunduk pada identitas yang ambigu, terutama identitas seksual.
Beralih kepada pemikiran feminisme Multikultural dan Global, dimana kedua kelompok ini menentang esensialisme perempuan, yaitu pandangan bahwa gagasan tentang perempuan ada sebagian bentuk platonic, mereka juga menafikan ‘chauvinisme perempuan’ yaitu kecendrungan dari segelintir perempuan yang diuntungkan karena ras dan kelas mereka. Feminisme multicultural hadir dengan sebuah kesadaran bahwa ketertindasan perempuan tidak bersifat satu definisi sehingga luput dari keterkaitan dengan kelas, ras, preferensi, seksual, umur, agama,
pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan. Menurutnya feminisme harus memberitekanan pada perbedaan, misalnya pada perbedaan ras antara perempuan kulit putih dan kulit hitam. Adalah fakta bahwa ada dimensi lain (politik, ekonomi) dalam ketertindasan perempuan kulit hitam disingkirkan dari kemerdekaannya. Karena pendidikan dan stereotip yang merendahkan, multikulturalisme menuntut bahwa semua kebudayaan kelompok harus diperlakukan dengan penuh penghargaan dan sebagai orang yang setara dengan yang lainnya. Berbeda dengan feminisme global, kelompok ini lebih cenderung menekankan bahwa operasiterhadap perempuan di satu bagian di dunia sering kali disebabkan oleh apa yangterjadi di bagian dunia yang lain, dan bahwa tidak akan ada perempuan yang bebas hingga semua kondisi operasi terhadap perempuan dihancurkan dimana pun juga.
Dengan keyakinan perempuan Dunia Kesatu hanya tertarik pada isu seksual, atau pada usaha untuk meyakinkan bahwa diskriminasi gender adalah bentuk operasi terburuk yang dapat dialami seorang perempuan, banyak perempuan Dunia Ketiga menekankan bahwa mereka lebih tertarik pada isu politik dan ekonomi daripada isu seksual.. Feminis global adalah mengenai perempuan dari penjuru dunia, bersama-sama sebagai orang yang setara untuk membicarakan persamaan dan perbedaan mereka. Feminis global, yakin bahwa apa yang disebut sebagai isu politik atau isu perempuan pada dasarnya tidak saling berlawanan.
Gillian berkomentar bahwa untuk perempuan masalahnya bukanlah operasi laki-laki terhadap perempuan, tetapi bagaimana sistem perburuhan internasional yang tidak adil telah mengkonstruksi hubungan keluarga yang tidak sehat. Mengabaikan fakta bahwa perempuan yang bekerja pada perusahaan-perusahan multinasional dipergunakan sebagai sumber buruh murah, dan tidak diberikan training sebagaimana yang diberikan kepada buruh laki-laki.
Lain halnya dengan Ekofeminisme, kelompok ini ada dalam konteks kekinian dimana tidak hanya membahas efek dari globalisasi, mereka juga dihadapkan dengan problem modernitas, yakni maskulinitas (sebuah ideologi yang menonjolkan sifat kompetitif, ambisi, dan memenuhi kepentingan pribadi). yang menghegemoni konstruksi pemikiran manusia modern termasuk konstruksi pemikiran gerakan feminis yang seharusnya menjadi pembela ideologi feminitas. Hal ini berdampak pada terjadinya kekerasan terhadap perempuan, meningkatnya kriminalitas, menurunnya solidaritas sosial, kurangnya kepedulian terhadap keluarga, hancurnya lingkungan.
Teori ekofeminisme merupakan teori yang melihat individu secara lebih komprehensif,yaitu
sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya. Pola piker ini sejalan dengan ecophilosophy atau deep ecology yang mengajarkan kesatuan dari segala sesuatu.
Para feminis yang di pengaruhi oleh pola piker ini berpendapat bahwa perempuan secara intrinsic dianugrahi kapasitas untuk merasakan ketertarikan diri dengan alam. Ekofeminisme muncul pertama kali pada tahun 1974 dalam buku Francoise dÉaubonne yang berjudul Le Feminisme ou la mort. Dalam buku ini mengungkap pandangan bahwa ada hubungan lansung antara operasi terhadap perempuan dan operasi terhadap alam. Lalu dilanjutkan oleh Karen J.
Warren yang menspesifikasi lebih jauh asumsi dasar dari ekofeminisme. Menurutnya:pertama, ada keterkaitan penting antara operasi terhadap perempuan dan operasi terhadap alam, kedua, pemahaman terhadap alam dalam keterkaitan ini adalah penting untuk mendapatkan pemahaman yang memadai atas operasi terhadap perempuan dan operasi terhadap alam, ketiga, teori dn praktek femini harus memasukkan perspektif ekologi, dan yang keempat, pemecahan masalah ekologi harus menyertakan perspektif feminis. Aliran keras ekofeminisme (sosialis) menuduh bahwa laki-laki yang paling banyak berperan dalam merusak alam, apalagi bila dikaitkan dengan dengan karakter maskulin dan budaya patriarki. Vandana shiva dalam dalam konsep ekofeminismenya menegaskan perlunya pemulihan nilai feminine melalui konsep ekofeminisme sebagai landasan pengarusutamaan gender dn sebagai counter attack atas hegemoni maskulinitas yang didasarkan pada prinsip keseluruhan yaitu memandang alam sebagai organisme hidup, dan perempuan adalah makhluk yang produktif dan aktif terhadap laki-laki adalah pengalihan konstruksi pemikiran dari tindakan penghancuran menuju kepedulian. Ekofeminisme memiliki nilai lebih karena tidak hanya memfokuskan diri pada subordinasi perempuan, tetapi juga subordinasi alam-lingkungan (ekosistem) di bawah kepentingan manusia.
Kelebihan ekofeminisme juga mampu menerangkan latarbelakang kerusakan lingkungan hidup global. Ekofeminisme melihat masalah sosial, kultural dan struktural, yang berupa dominasi yang sangat kuat dalam relasi.
DAFTAR PUSTAKA
Lacan, Jacques. Diskursus dan Perubahan sosial: pengantar kritik budaya psikoanalisis.
Jalasutra: Yogyakarta. 2009.
Lathief, Supaat l. Psikologi Fenomenologi Eksistensialisme. Pustaka Pujangga: Lamongan. 2010.
Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought;Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Jalasutra: Yogyakarta. 2008.
Prabasmoro, Priyatna Aquarini. Kajian Budaya Feminis:Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Jalasutra: Yogyakarta.2006.