Dengan kata lain, walaupun istilah-istilah yang ada sangat berbeda-beda, namun kesemuanya mempunyai hakikat dalam istilah Ikhwan as-Shafa’, ragamnya hanya menyangkut penafsiran tambahan. Ian Richard Netton memahami hal ini sebagai indikasi adanya pengaruh pemikiran Islam terdahulu terhadap Ikhwan as-Shafa'. Istilah atau nama “Ikhwan as-Shafa” berasal dari kisah burung merpati,15 salah satu kisah populer.
Kisah Burung Merpati di Kalilah wa Dimnah dipilih oleh para Ikhwan as-Shafa' sebagai sumber rujukan penamaan dirinya, karena mengandung hikmah moral yang bernilai tinggi. Lebih jauh, nampaknya Ikhwan as-Shafa' mempunyai maksud tertentu jika disebut sebagai Ikhwan as-. Secara internal, Ikhwan as-Shafa' bertujuan untuk meniru dan menginternalisasikan pesan moral cerita dalam dirinya.
Menurut Netton, pendapat Goldziher yang memaknai as-Shafa' sebagai keikhlasan (ikhlas) dapat diterima oleh para Ikhwan as-Shafa'. Selanjutnya ketika mereka menyebut dirinya Ikhwan as-Shafa', mereka juga menyertainya dengan penjelasan tambahan berupa asydiqa' wa ashfiya'.52.
Kelahiran dan Perkembangan
Sejarah Kemunculan Ikhwan As-Shafa’
Sebab hal ini akan sangat bermanfaat dalam setiap upaya menjelaskan lebih tepat dialog Ikhwan as-Shafa’. Berkaitan dengan permasalahan penentuan “tempat asal” dan pusat kegiatan (gerakan) Ikhwan as-Shafa’, maka dapat dikatakan sampai saat ini masih terjadi perdebatan di kalangan para ahli. Meski demikian, terdapat konsensus di kalangan ulama mengenai pentingnya peran dua kota metropolitan: Basrah dan Bagdad.
Berkaitan dengan hal tersebut, paling tidak dapat disebutkan tiga pendapat yang biasa dijadikan rujukan para ulama untuk menjelaskan pusat dan tempat asal usul Ikhwan as-Shafa', yaitu Basrah,62 Bagdad,63 serta Basrah dan Bagdad (tanpa ada satu pun). penjelasan perbedaan pusat/pusat dan apa yang dimaksud dengan cabang).64 Masing-masing pendapat mengandung nilai kebenaran, tentunya dengan bobot yang berbeda-beda, mengingat kedua tempat (kota) tersebut mempunyai hubungan dan kontribusi penting terhadap Ikhwan es-Shafa' . Namun ketiga pendapat di atas seolah-olah menyatu pada “satu” titik lemah yang sama, yaitu tidak dilengkapi penjelasan yang memenuhi syarat – kota mana yang menjadi pusat atau asal dan mana yang hanya merupakan cabang. Fakta di atas menunjukkan bahwa untuk mengetahui secara tepat tempat asal dan pusat kegiatan Ikhwan as-Shafa', perlu diberikan penjelasan kualitatif untuk masing-masing tempat tersebut – Basrah dan Bagdad –.
Dalam kitabnya, at-Tawhid menyebutkan bahwa Zaid Ibnu Rifa'ah – salah satu tokoh penting Ikhwan as-Shafa’ – sudah lama tinggal di Basra dan di sana.
ابىذمو لاوق ةع افر نبا ديز نم عسم أ لازأ لا
ماقأدقو
ملعلا ف انصلأةعماج ةعاجم ابه ف د اصو ،لايوط ناامز ةرصبلبا عانصلا عاونأو
Kondisi Sosial-Politik dan Religius Dunia Islam Zaman Ikhwan as-Shafa’
Dan kemudian eksistensi Ikhwanul Muslimin menjadi benar-benar nyata dan relatif populer di kalangan umat Islam, seiring dengan hasil kompilasi intelektualnya yang lengkap berupa Rasa’il Ikhwan as-Shafa’, pada paruh kedua tahun 4 H/10. . Pada abad Masehi, tepatnya sejak bangkitnya dinasti Buwaihi, dinasti ini menjadi pengendali kekuasaan politik Bani Abbasiyah. Berdasarkan hasil riwayat sejarah yang telah dijelaskan di atas, yang menyatakan bahwa Ikhwan as-Shafa' beserta Rasa'ilnya benar-benar ada dan bahkan populer pada pertengahan abad ke-4/10 M, keadaan sosial politik dan agama. Yang dimaksud di sini adalah masa Buwaihi abad ke-4 H/10 Masehi. Uraian di atas sungguh menggambarkan betapa keberadaan Ikhwan as-Shafa' baik sebelum maupun pada masa Dinasti Buwaihi benar-benar dilingkupi oleh kehidupan sosial politik yang kisruh.
Ikhwan al-Shafa' sendiri, dalam Rasa'il Ikhwan al-Shafa', pernah mengemukakan bahwa dekadensi moral dan kejahatan pada masa itu telah mencapai puncaknya,110 yang tidak hanya merambah ke lapisan masyarakat tertentu saja, namun sudah menyebar hampir ke seluruh lapisan masyarakat. kepada seluruh lapisan masyarakat, termasuk para ulama. Pertama, batasan waktu apa pun yang ditetapkan pada Ikhwan as-Shafa' sebagaimana dijelaskan di atas didasarkan pada dugaan yang kuat – paruh kedua abad ke-3 Hijriah/9 M, setelah al-Mutawakkil – atau kepastian –. Pengaruh pemikiran Yunani sangat nyata terlihat pada sejumlah risalah Ikhwan as-Shafa', baik secara tersurat maupun tersirat. 'il Ikhwan as-Shafa'.
Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa Ikhwan as-Shafa’ muncul pada masa setelah lahirnya berbagai disiplin ilmu Islam, khususnya ketiga ilmu tersebut di atas, yaitu Ilmu Kalam, Filsafat Islam, dan Tasawuf. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan aspek-aspek tertentu dari tradisi intelektual Islam tersebut akan mewarnai isi Rasa’il Ikhwan as-Shafa’ – tentunya, di samping sejumlah pemikiran asing lain yang dihasilkan dari kegiatan penerjemahan yang berlangsung di dalamnya. 87 oleh Ian Richard Netton.129 Dan meski hanya secara implisit, nuansa seperti itu memang dapat dirasakan tercermin dalam Rasa’il Ikhwan as-Shafa’.
Setidaknya misalnya terwakili dalam uraian Ikhwan as-Shafa' mengenai empat sumber rujukan utama atau acuan penyusunan Resa'il Ikhwan as-Shafa'.130. Berkenaan dengan fenomena relasi penguasa dengan beberapa ideologi agama di atas, ada hal khusus yang penting untuk dijelaskan mengenai keberadaan Ikhwan as-Shafa'. Uraian di atas sangat menggambarkan bahwa masa setelah al-Mutawakkil hingga berkuasanya dinasti Buwaihi merupakan kondisi yang sangat tidak menguntungkan bagi keberadaan Ikhwan as-Shafa'.
Artinya, Ikhwan as-Safa' ada pada saat dunia Islam sedang mengalami disintegrasi politik, kecuali dalam jangka waktu yang relatif singkat, dan juga pada masa dekadensi atau kemerosotan akhlak yang relatif parah. Faktanya, Ikhwan as-Shafa' tidak hanya diapresiasi sebagai penerus pemikiran rasional kaum Mu'tazilah,132 tetapi juga merupakan kelompok pemikir yang diduga kuat berideologi Syiah Ismaili. Ikhwan as-Shafa' memberikan alasan bahwa menyembunyikan rahasia tersebut bukan karena takut terhadap penguasa duniawi atau campur tangan masyarakat.
Ketika kekuasaan politik Bani Abbasiyah dikuasai Dinasti Buwaihi (334 H/945 M-447 H/1055 M), nampaknya angin segar berpihak pada Ikhwan as-shafa' – tentunya dibandingkan sebelumnya. periode. Pemaparan diri, ajaran dan jati diri yang dilakukan oleh Ikhwan as-shafa’ terkesan tidak sepenuh hati sehingga masih lebih bersifat kelompok yang tertutup.
Rasa’il: Sebuah Magnum Opus
Berdasarkan kerahasiaan identitas Ikhwan as-Shafa', hampir setiap upaya untuk mengungkap orang-orang yang terlibat dalam penyusunan Rasa'il selalu menemui kesulitan. Sharif, keberadaan Rasa'il pada saat itu telah tersebar relatif luas di kalangan umat Islam. Ibnu Sina meriwayatkan al-Baihaqi pernah dinasehati oleh ayahnya untuk membaca atau mempelajari Rasa'il Ikhwan as-Shafa'166, tentu saja demikianlah yang dimaksud.
Maka pada tahun itu – 380 H/990 M – sepuluh tahun setelah lahirnya Ibnu Sina, Rasa’il Ikhwan as-Shafa’ tersusun sedemikian sempurna sehingga memungkinkan bagi Ibnu Sina untuk mempelajarinya. Namun demikian, masih ada kemungkinan bahwa Rasa'il Ikhwan as-Shafa' sudah ada sebelum tahun 373 H/983 M, namun kemungkinan tersebut masih sebatas dugaan. Dari keterangan di atas tampak terdapat rentang waktu kurang lebih 40 tahun antara awal ketenarannya sebagai Rasa’il Ikhwan as-Shafa’ (awal Dinasti Buwaihi) hingga selesainya proses penyusunannya.
Tibawi menuturkan, proses penulisan dan penyusunan Rasa'il Ikhwan as-Shafa' berlangsung sejak tahun 338/949 hingga. Bersamaan dengan pernyataan tersebut, Tibawi bermaksud sebagai bantahan terhadap P. Dengan demikian, hingga saat ini, setidaknya ada tiga aspek penting permasalahan pacaran Rasa'il Ikhwan as-Shafa' yang kini berhasil diungkap. Berkaitan dengan informasi tersebut, maka hampir dapat dipastikan bahwa Rasa'il tersebut merupakan hasil pertemuan (majlis) yang diadakan oleh Ikhwan as-Shafa' untuk pembahasan filsafat.
Agaknya terdapat sedikit kesukaran untuk dapat menentukan jumlah tepat risalah yang dikumpulkan di Rasa'il. Di satu pihak, telah dinyatakan oleh Ikhwan as-Shafa' bahawa Rasa'il adalah himpunan 52 risalah. Terdapat hubungan fungsional yang mengikat Rasa‟il Ikhwan as-Shafa‟ dengan Ar-Risalah al-Jami„ah.
Ar-Risala al-Jami'a merupakan risalah tersendiri dan terpisah dari Rasa'il Ikhwan as-Shafa'. Implikasinya, pernyataan bahwa Ikhwan as-Syafa'i mempunyai 53 risalah tidak dapat dibenarkan,212 padahal yang dimaksud adalah 52 risalah dalam Rasa'il ditambah satu risalah berupa Ar-Risaleh al-Jami'. ah. 1 Karya intelektual yang terdiri dari empat jilid besar ini berjudul lengkap Rasa'il Ikhwan as-Shafa' wa Khullan al-Wafa'.
Poonawala, “Al-Qur’an dalam Rasa’il Ikhwan as-Shafa”, diterjemahkan oleh Ihsan Ali al-Fauzi, Ulumul Qur’an, Vol. Sementara itu, penulis akan membahas unsur Yunani dalam Rasa’il dalam tema khusus “Ikhwan as-Shafa” dan Filsafat Yunani.