Toxic Beauty standards yang Meningkatkan Kasus Eating disorder
Belakangan ini, remaja dan dewasa awal di seluruh dunia dipengaruhi oleh bagaimana penampilan fisik agar lebih menarik untuk dilihat baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang menyebabkan informasi dapat tersebar dengan cepat dan dapat diakses oleh siapa pun dan kapanpun. Informasi yang tersebar bukan tidak mungkin dapat merubah pandangan dan persepsi masyarakat mengenai suatu hal, salah satunya standar tubuh ideal atau biasa disebut beauty standard. Beauty standard yang berlaku tidak hanya berdampak positif, tetapi juga dapat memberikan dampak yang negatif karena semua orang berlomba -lomba untuk menjadi sesuai dengan beauty standard yang berlaku dengan melakukan segala cara, sekalipun itu menyakiti diri mereka sendiri. Meskipun beauty standard dapat meningkatkan kepercayaan diri individu, tetapi saya tidak setuju dengan masyarakat yang terlalu berpatokan pada beauty standard sehingga mereka melakukan eating disorder agar dapat sesuai dengan beauty standard yang berlaku.
Beauty standard adalah standar yang ditetapkan oleh masyarakat untuk memberikan label cantik atau tampan kepada seseorang. Beauty standard berbeda-beda tergantung dengan persepsi yang diyakini masyarakat kebanyakan, contohnya seperti di daerah Timur Tengah cantik itu ketika seseorang memiliki alis yang tebal, di daerah Amerika cantik itu ketika memiliki kulit yang eksotis, mata almond, dan bibir tebal, atau di daerah Thailand cantik itu ketika seseorang memiliki kulit putih atau cerah dan memiliki leher yang jenjang. Beauty standard yang sangat populer saat ini adalah beauty standard yang berlaku di Korea Selatan (Korean Beauty standard/KBS) yang menggambarkan kecantikan dengan badan yang langsing, wajah yang kecil, rahang berbentuk huruf V, hidung kecil dan lancip, bibir plumpy atau penuh, kulit yang pucat, kaki yang panjang dan jenjang, kelopak mata ganda, serta pinggul dan pinggang yang ramping. Sedangkan
untuk pria, beauty standard yang berlaku adalah dengan memiliki bentuk tubuh yang ramping, berotot, dan sehat.
Dari banyaknya beauty standard yang ada di seluruh dunia, kebanyakan remaja dan dewasa awal pada saat ini lebih condong kepada beauty standard yang berlaku di Korea Selatan karena pengaruh K-Pop Idol yang sangat diminati pada zaman sekarang, termasuk di Indonesia. Banyak remaja dan dewasa awal di Indonesia yang memiliki kiblat kecantikan ke arah Korea Selatan dengan melihat contoh dari K-Pop Idol maupun influencer yang berasal dari Korea Selatan. Mereka terobsesi dengan beauty standard tersebut dan berusaha mencocokkan diri mereka dengan hal tersebut tanpa memperhatikan hal-hal yang mungkin saja tidak bisa dipaksakan. Anak muda sekarang kebanyakan menjadikan model-model, artis, atau orang berpengaruh lainnya sebagai standar mereka, dimana model dan idola tersebut sudah melalui banyak hal untuk mendapatkan standar tersebut sehingga mereka bisa aesthetically unachivable seperti yang terlihat di media (Juli, 2019). Banyak remaja dan dewasa awal yang tidak memperhatikan tersebut, dan melakukan segala hal untuk sesuai dengan beauty standard yang berlaku bahkan dengan melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri mereka sendiri hanya untuk terlihat cantik di mata masyarakat atau orang lain. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Dove (dalam Kaur dkk., 2023), hanya 4% wanita di seluruh dunia yang menganggap diri mereka cantik, sedangkan 72% dari wanita merasa tertekan untuk menjadi cantik.
Beauty standard sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang membuat semua orang bisa mengakses informasi apapun tanpa batas, terutama melalui media sosial. Dengan adanya media sosial, secara tidak langsung menyebarluaskan bagaimana standar untuk menjadi cantik bagi seorang perempuan dan bagaimana seseorang harus terlihat dan bersikap yang sesuai dengan pembentukan realita yang ada di media, seperti
wanita itu harus cantik, memiliki kulit yang mulus, bertubuh kurus dan ramping, dan bersikap anggun. Hal ini tentunya akan menjadi salah satu sumber stressor bagi individu yang tidak sesuai dengan standar tersebut sehingga menyebabkan mereka merasa rendah diri, tidak percaya diri, merasa terhakimi dan akhirnya mereka memilih untuk menahan rasa lapar, diet yang ketat, bahkan sampai menyebabkan eating disorder (Kurniawati &
Karina, 2022). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Derenne & Beresin (2018) bahwa media telah menyebabkan berkembangnya perfectionism yang mengarahkan kepada negatif body image dan eating disorder. Selain itu, media juga menyebabkan banyaknya content creator yang mempromosikan konten yang berisi mengenai bagaimana diet ketat yang dia lakukan sehingga bisa mendapatkan hasil tubuh yang sesuai dengan standar kecantikan sehingga banyak penonton tertarik dan juga mengikuti hal tersebut tanpa menimbang bahwa hal tersebut bisa saja tidak baik bagi kesehatan fisik maupun kesehatan mental mereka (Marks dkk., 2020).
Beauty standard yang berlaku di masyarakat sangat erat kaitannya dengan body image dan dapat mempengaruhi body image seseorang, khususnya remaja dan dewasa awal. Body image adalah bagaimana individu memandang atau melihat, termasuk persepsi, perasaan, dan aspek fisik, diri atau tubuhnya sendiri. Body image terdiri dari body image positif dan body image negatif. Seseorang yang memiliki body image negatif biasanya akan cenderung merasa rendah diri akan tubuhnya, merasa tidak percaya diri, dan sering membandingkan tubuhnya dengan orang lain. Individu yang memiliki body image negatif ini dapat memunculkan body shame terhadap dirinya sendiri ataupun menerima body shame dari orang lain. Karena mendapatkan body shame tersebut, individu dengan body image negatif akan melakukan diet untuk mengurangi berat badan dan memperbaiki bentuk tubuhnya. Tetapi, diet yang tidak sesuai dan persepsi mengenai body image yang negatif dapat menimbulkan permasalahan lain, yaitu eating disorder.
Berdasarkan hasil studi dari Chairani (2018) yang menunjukkan bahwa terdapat peran yang sangat kuat dari body shame terhadap gangguan makan atau eating disorder, bahkan lebih kuat dibandingkan dengan konsep malu secara umum. Hal ini didukung juga oleh penelitian dari Sari & Rosyidah (2020) yang menghasilkan remaja perempuan yang mengalami body shame tinggi memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami anorexia nervosa atau semakin tinggi body shame yang dialami seseorang maka semakin tinggi juga resikonya untuk mengalami anorexia nervosa.
Masyarakat yang masih awam sering memiliki ekspektasi yang berlebih mengenai bagaimana rupa dari anak remaja atau dewasa awal maupun bagaimana seorang remaja atau dewasa awal berpenampilan. Ketika ada individu yang tidak sesuai dengan standar tersebut, masyarakat biasanya akan mengejek atau memberikan komentar yang kurang bijak. Banyak perkataan masyarakat yang terkadang membuat kepercayaan diri remaja dan dewasa awal yang menjadi target semakin menurun, seperti “liat deh badan kamu gendut gitu, nanti gaada yang bakal mau sama kamu tau”, “liat deh si itu, badannya bagus, kurus gitu, makanya jangan makan doang kerjaannya, biar bisa jadi kayak dia, jelek tau kalau gendut”, atau “percuma cantik kalau gendut”. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Goel dkk. (2021) yang meneliti mengenai eating disorder yang dialami oleh wanita Asia Selatan-Amerika dimana penelitian ini menunjukkan bahwa adanya body shame yang diberikan mayarakat kepada wanita tersebut dengan mengatakan “you can’t win” dibandingkan dengan wanita yang sesuai dengan beauty standar disana, bahkan menyamakan seorang wanita dengan istilah “Yeti” sambil menunjuk bagian paha wanita tersebut, sehingga menyebabkan kasus eating disorder semakin meningkat.
Eating disorder adalah gangguan makan yang biasanya dialami oleh wanita dan terdiri dari anorexia nervosa, bulimia nervosa, binge eating disorder, dll. Eating disorder biasanya dialami oleh individu yang merasa tidak puas akan body image mereka. Eating
disorder juga bisa disebabkan karena merasa tidak percaya diri akibat toxic beauty standard yang berlaku di masyarakat. Beauty standard akan menjadi toxic atau racun bagi masyarakat ketika sudah tidak lagi terkendali dalam memberikan label pada seseorang yang tidak memenuhi kriteria cantik menurut mereka, seperti demi memenuhi ekspektasi beauty standard seseorang harus melakukan perbaikan pada tubuhnya dengan menjalani operasi plastik, melakukan diet yang berlebihan, menyakiti diri sendiri dengan menahan rasa lapar. Toxic beauty standard juga dapat menyebabkan remaja atau dewasa awal merasa tidak berdaya dan berguna sehingga menyebabkan mereka melakukan self-harm.
Penelitian Goel dkk. (2021) memaparkan bahwa ada responden penelitiannya yang mendapatkan perlakuan dan perkataan tidak menyenangkan dari anggota keluarga besarnya dan akhirnya menganggap bahwa seorang wanita akan terlihat membanggakan apabila mereka melakukan diet, menahan rasa lapar atau kelaparan, membatasi diri dari makanan, sedangkan apabila wanita itu makan terlalu banyak atau terlalu gendut mereka menjadi hal yang memalukan atau aib.
Meskipun penyebab pasti dari eating disorder belum diketahui, tetapi banyak penelitian yang telah mengungkapkan bahwa perilaku makan yang menyimpang ini memiliki kaitan erat dengan ketidak puasan akan bentuk tubuh atau body dissatisfaction.
Individu yang memiliki body dissatisfaction akan merasa malu dan tidak puas dengan bentuk tubuhnya sehingga mereka melakukan diet yang ketat, merasa bersalah ketika memamakan makanan kemudian akhirnya memuntahkan makanan tersebut, maupun memakan makanan sebanyak mungkin agar berat badannya bertambah sehingga bisa sesuai dengan beauty standard yang ada. Hal-hal tersebut jika dilakukan secara terus menerus tentu saja akan berdampak bagi kesehatan individu tersebut dan sudah termasuk dalam eating disorder. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Marks, Foe, & Collett (2020) dimana terdapat asumsi yang tersebar di media sosial bahwa dieting improves
physical health atau diet itu akan meningkatkan kesehatan fisik seseorang karena dapat mengurangi berat badan, padahal belum ada penelitian yang bisa membuktikan bahwa hal tersebut benar adanya.
Banyaknya kasus eating disorder yang dialami oleh wanita baik itu remaja mapun dewasa awal atau dewasa pertengahan dipicu oleh mereka yang ingin menjadi cantik seperti selebriti atau model yang memiliki tubuh yang kurus. Hal ini digambarkan dalam lagu dari Alessia Cara yang berjudul “No Scars to Your Beautiful” dimana terdapat lirik she has dream to be an envy so she’s starving, you know cover girl eat nothing. She says,
“beauty is pain, and there’s beauty in everything. What is little bit of hunger, I can go a little while longer”, she fades away… Dalam lagu tersebut dapat dilihat gambaran bagaimana seorang wanita ingin menjadi cantik dengan mengikuti pola makan model yang tidak makan apapun dan dia berkata bahwa cantik itu harus ada pengorbanannya, yaitu rasa sakit, jadi tidak masalah dengan dia yang menahan rasa laparnya, padahal hal tersebut sangat tidak baik untuk kesehatannya baik kesehatan mental maupun kesehatan fisiknya.
Untuk melawan toxic beauty standard bagi para wanita di seluruh dunia, peran selebriti atau model bisa menjadi salah satu cara yang dapat dijadikan pertimbangan. Hal ini karena tidak hanya dapat menyebarkan beauty standard yang tidak dapat diterima akal sehat dan tidak melambangkan arti cantik yang sesungguhnya, selebriti atau model juga bisa mengkampanyekan agar semua wanita di dunia adalah cantik, dan cantik itu tidak terbatas hanya pada satu standar saja. Contohnya adalah lagu dari Alessia Cara yang berjudul “No Scars to Your Beautiful” yang memiliki penggalan lirik there’s a hope that’s waiting for you in the dark. You should know you’re beautiful just the way you are.
And you don’t have to change a thing the world could change it’s heart. No scars to your beautiful, we’re star and we’re beautiful. Dari lagu tersebut, dapat terlihat bahwa ia
mengatakan bahwa kita hanya perlu menjadi diri kita sendiri, karena bukan kita yang harus berubah tetapi kita yang membuat dunia berubah.
Beauty standard adalah standar kecantikan yang berlaku di masyarakat dalam menilai seseorang. Beauty standard menjadi semakin populer karena perkembangan teknologi sehingga masyarakat menjadikan seseorang di media sosial, seperti selebriti, model, atau influencer, sebagai patokan kecantikan untuk seseorang, baik itu laik-laki maupun perempuan. Dengan adanya beauty standard yang berkembang di masyarakat, ekspektasi masyarakat terhadap penampilan dan attitude atau sikap invidu semakin tinggi yang terkadang tidak terkontrol sehingga menimbulkan masalah lain. Individu yang tidak sesuai dengan beauty standard akan menerima body shame yang menyebabkan mereka merasa tidak percaya diri dan tidak puas dengan citra tubuh atau body image mereka.
Beauty standard yang tidak terkendali ini bisa menjadi toxic beauty standard karena masyarakat terlalu memaksakan diri mereka untuk menjadi seperti standar tersebut.
Remaja dan dewasa awal akan melakukan segala cara agar mereka bisa fit the standard meskipun cara tersebut menyakiti diri mereka sendiri, seperti diet yang ketat dan berkelanjutan, memuntahkan makanan yang telah dimakan, dan makan d alam jumlah yang sangat banyak, dan hal ini termasuk dalam eating disorder. Mereka menganggap bahwa untuk menjadi cantik itu harus memerlukan pengorbanan, tanpa melihat bahwa mereka tidak perlu melakukan hal-hal yang menyakiti diri mereka karena setiap manusia sudah diciptakan dengan bentuk dan keadaan yang sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Z., & Tiggeman, M. (2021). Celebrity influence on body image and eating disorders: a review. Journal of Health Psychology, 00(0). 1-19.
Chairani, Lisya. (2018). Body shame dan gangguan makan kajian meta-analisis. Buletin Psikologi, 26(1). 12-27.
Derenne, J., & Beresin, E. (2018). Body image, media, and eating disorder-a 10 year update. Acad Psychiatric, 42. 129-134.
Goel, N. J., & Kaur, B. (2021). Body image and eating disorders among South Asian American women: what are we missing?. Qualitative Health Research, 00(0). 1-16.
Juli, Maria Rosalia. (2019). The “imperfect beauty” in eating disorder. Psychiatric Danubina, 31(3). 447-451.
Kaur, J. dkk. (2023). Beauty standards: ideologies and stereotypes. Eur Chem Bull, 12(5).
2264-2278.
Marks, R. J., Foe, A. D., & Collett, J. (2020). The pursuit of wellness: social media, body image and eating disorders. Children and Youth Services Review, 119. 1-34.
McLean, S. A., & Paxton, S. J. (2018). Body image in the context of eating disorder.
Psychiatric Clinics of North America, 42, (1). 145-156.
Sari, T. I., & Rosyidah, R. (2020). Pengaruh body shaming terhadap kecenderungan anorexia nervosa pada remaja perempuan di Surabaya. Personifikasi: Jurnal Ilmu Psikologi, 11(2). 125-223.
Yuliani, F., Kurniawati, J., & Karina, M. E. (2022). Konsep cantik dan realitas kecantikan bentukan media. Idea Jurnal Ilmiah 1(2). 123-132.