9 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Verbal Abuse Body Shaming
2.1.1 Pengertian Verbal Abuse Body shaming
Kekerasan verbal yaitu kekerasan yang dilakukan melalui tutur kata seperti membentak, memaki, menghina, mencemooh, meneriaki, memfitnah, berkata kasar dan mempermalukan didepan umum dengan kata kata kasar (Erniwati dan Fitriani, 2020). Menurut Johnson (2000) dalam Cahyo, Ikashaum dan Pratama (2020) Kekerasan verbal (Verbal Abuse) adalah setiap ucapan yang ditujukan kepada seseorang yang mungkin dianggap merendahkan, tidak sopan, menghina, mengintimidasi, rasis, seksis, homofobik, egoism atau menghujat terutama masalah fisik tubuh seseorang atau dikenal dengan istilah Body Shaming.
Body shaming merupakan bentuk komentar terhadap penampilan, tipe tubuh, atau citra diri seseorang (Muhajir, 2019). Ungkapan atau lelucon sederhana yang digunakan dalam kasus body shaming seringkali menimbulkan reaksi negatif dari orang lain, namun pelaku body shaming mungkin menganggap hal tersebut sebagai hal yang sepele. Ini disebut reaksi negatif. Ini karena body shaming bisa membuat orang lain merasa tersinggung atau tidak nyaman.
Ketidaknyamanan setelah perawatan body shaming menyebabkan korban body shaming percaya bahwa tubuhnya memiliki ketidaksempurnaan yang perlu diperbaiki sehingga membuat mereka merasa tidak percaya diri dan sulit menerima diri sendiri. Body shaming adalah tindakan kekerasan atau bullying verbal (fisik), dan segala bentuk penghinaan di media sosial dianggap sebagai tindakan kriminal. Pelaku dapat menggunakan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang
Transaksi Informasi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (Presiden RI, 2016).
2.1.2 Aspek-Aspek Verbal Abuse Body shaming
Menurut Vargas (dalam Chairani, 2018), tindakan body shaming memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
2.1.2.1 Komentari diri Anda dan bandingkan diri Anda dengan orang lain yang Anda anggap ideal. Misalnya, orang yang merasa dirinya lebih gemuk dari orang lain.
2.1.2.2 Mengomentari penampilan atau tubuh seseorang secara terbuka dan membandingkannya dengan orang lain. Ini seperti mengatakan bahwa seseorang perlu menggunakan pemutih wajah karena kulitnya gelap.
2.1.2.3 Mengomentari penampilan tanpa korban mengetahuinya. Ini seperti bergosip tentang penampilan seorang teman yang berpenampilan buruk atau berpakaian tidak pantas.
2.1.3 Jenis Verbal Abuse Body shaming
Menurut Doleza (2015), ada dua jenis body shaming: body shaming akut dan body shaming kronis.
2.1.31 Acute Body Shame
Acute body shame / mempermalukan tubuh akut melibatkan aspek perilaku tubuh, seperti gerakan, ucapan, tingkah laku, dan kenyamanan yang terkait dengan ekspresi diri. Biasanya ini disebut malu atau malu. Permaluan tubuh akut terjadi dalam situasi interaksi sosial, seperti ketika seseorang berbicara dan kemudian gagap atau gagal berperilaku seperti yang diharapkan
dalam lingkungan sosial, seringkali mengarah pada pelanggaran perilaku, penampilan, atau perilaku. tubuh dan fungsinya.
Acute body shame biasanya terjadi secara tak terduga dan tanpa persiapan yang tidak pasti. Contoh dari jenis body shame ini mungkin terkait dengan beberapa aspek fisik tubuh atau pada waktu lain berkaitan dengan perilaku atau tingkah laku. Acute body shame bertindak sebagai pengatur keberhasilan dalam interaksi sosial. Ketika seseorang mengalami acute body shame, itu menandakan individu tersebut telah melampaui batas sosial mengenai penampilan dan kenyamanan yang dapat diterima lingkungannya. Akibatnya, acute body shame menghambat interaksi sosial yang diwujudkan.
Acute body shame adalah sesuatu yang normal dialami dan kadang diperlukan. Tidak ada yang terhindar dari kasus-kasus rasa malu tubuh ini. Acute body shame terjadi secara rutin dan menjadi bagian dari proses sosial. Acute body shame memainkan peran penting dalam keterampilan, representasi diri, manajemen tubuh dan pembentukan skema tubuh, belum lagi dalam masalah-masalah yang lebih luas dari kontrol sosial dan ketertiban tubuh.
2.1.3.2 Chronic Body Shame
Chronic body shame ini berkaitan dengan tubuh seseorang yang lebih berkelanjutan atau permanen, seperti berat badan, tinggi badan, atau warna kulit. Chronic body shame juga dapat timbul karena beberapa stigma atau kelainan tubuh, seperti bekas luka atau cacat. Di luar penampilan, chronic body shame sering dikaitkan dengan fungsi dan kecemasan tubuh di sekitar bagian tubuh seperti jerawat, penuaan, dan sebagainya. Selain itu,
mungkin timbul dalam masalah kontrol tubuh, seperti dalam kasus gagap atau kekakuan kronis. Apa pun yang menyebabkannya, jenis body shaming ini datang secara kronis dan berulang-ulang ke dalam kesadaran seseorang dan membawa rasa sakit yang berulang atau mungkin terus- menerus. Rasa malu dalam hal ini akan menjadi lebih akut mungkin pada saat seseorang menginternalisasi penilaian diri, menyebabkan pengalaman tubuh berkurang sehingga memhubungani harga diri dan penilaian diri.
2.1.4 Dampak Verbal Abuse Body shaming
Setiap individu memiliki respon yang berbeda terhadap treatment body shaming, dan efek yang dihasilkan juga berbeda-beda. Rasa malu pada tubuh memengaruhi individu ketika mereka atau orang lain terus- menerus memandang tubuh mereka secara negatif. Efek ini meliputi:
2.1.4.1 Gangguan Makan
Merasa tidak puas dengan bentuk tubuhnya membuat banyak orang salah paham dengan bentuk tubuhnya. Seseorang yang menilai tubuhnya dan merasa tidak sesuai dengan tubuh idealnya cenderung akan mencoba berbagai cara untuk mencapai tubuh idealnya dengan cara berdiet untuk menurunkan berat badan atau sebaliknya, dengan mengonsumsi makanan yang bervariasi meskipun berisiko mengalami kenaikan berat badan, sehingga diharapkan mereka dapat diterima di lingkungannya dan terhindar dari body shame.
Namun, selain itu, mengubah tubuh membuat seseorang hanya terpaku pada keinginan mengubah tubuh tanpa memperhatikan efek pola makan terhadap kesehatan. Juga, tindakan mengubah bentuk tubuh cenderung gagal, yang justru akan menyebabkan perawatan body shaming lebih banyak dari sebelumnya. Seperti yang dikemukakan oleh Noll & Fredrickson (1998: 623),
kegagalan untuk mencapai bentuk tubuh yang ideal karena upaya seperti penurunan berat badan dapat menjadi penyebab lebih banyak lagi rasa malu pada tubuh.
Body shaming dapat menuntun seseorang untuk melakukan perubahan-perubahan pada tubuhnya. Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara body shame dengan gangguan makan (Chairani, 2019). Hal ini memberikan gambaran bahwa body shaming dapat menjadi antisipasi yang meyakinkan dalam memprediksi gangguan makan. Sejalan dengan penelitian (Mustapic, Marcinko, Vargek, 2015) terdapat hubungan yang positif body shaming dan perilaku makan. Dimana semakin tinggi tingkat body shaming maka cenderung memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perilaku makan. Selain memberikan dampak pada gangguan makan, body shaming memiliki dampak pada kesehatan seseorang, seperti melakukan diet mati- matian, minum obat pelangsing, memakai obat pemutih instan, dan berbagai macam upaya lain yang justru akan berdampak lebih serius pada tubuhnya. Lamont (2018) dalam penelitiannya menjelaskan adanya hubungan yang positif antara body shame dengan infeksi maupun gejala dari suatu penyakit yang disebabkan karena perhatian pada kesehatan tubuh yang rendah.
2.1.4.2 Depresi
Hidup dalam budaya yang menghargai keberadaan tubuh ideal dan non-ideal membuat seseorang lebih cenderung menerima pandangan orang lain tentang tubuhnya. Jadi, ketika orang lain mengatakan hal-hal buruk tentang tubuh mereka, orang itu mendengarkan komentar yang tidak menyenangkan itu dan merusak pandangan mereka sendiri tentang tubuh mereka. Terus
menerus menerima komentar buruk membuat individu merasa tidak berharga, keadaan ini membuat individu tersebut merasa stres yang berujung pada depresi. Dalam tindakan yang lebih ekstrim, korban body shaming mungkin mempertimbangkan bunuh diri dengan cara bunuh diri.
2.1.4.3 Body shaming dan Self-Esteem
Orang yang merasa malu akan menilai dirinya sendiri dengan terus memeriksa tubuh atau penampilannya, selain itu tentunya orang juga akan menilai harga dirinya. Ketika seseorang malu dengan keadaan tubuhnya, mereka merasa tidak aman dan memiliki harga diri yang rendah. Menurut (Noser & Zeigler- Hill, 2014:703), ketika seseorang sering menilai penampilannya sendiri, kondisi ini cenderung mempengaruhi harga diri yang rendah. Seperti yang dijelaskan Baumeister (dalam Santrock, 2007) bahwa orang dengan harga diri rendah mengira mereka memiliki batasan, merasa bersalah atas kekurangan mereka, dan menemukan diri mereka dalam keadaan tidak aman yang konstan.
2.1.5 Standar Tubuh Ideal
Menurut Sari (2020) kemunculan kriteria standar tubuh ideal dihubungani oleh faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi, dan ekologi yang memhubungani pandangan masyarakat terhadap konsep tubuh ideal. Kelompok masyarakat di berbagai belahan dunia memiliki penilaian berbeda-beda dalam kriteria yang dianggap menarik atau tidak menarik, tinggi atau pendek, gemuk atau kurus, berkulit gelap atuh putih.
Menurut Wolf (Sari (2020) mitos-mitos kecantikan yang berlaku dalam masyarakat juga ikut memhubungani konsep tubuh ideal. Standar tubuh ideal dalam msyarakat bisa saja berbeda, misalnya individu yang
dianggap berkulit gelap oleh masyarakat di lingkungannya, bisa jadi dianggap normal oleh masyarakat di luar lingkungannya. Media ikut memberikan hubungan besar dalam pandangan masyarakat terkait standar tubuh ideal, iklan-iklan yang ditampilkan oleh media seolah memberi kesan memiliki tubuh gemuk atau berkulit gelap adalah sesuatu yang memalukan dan harus diubah. Menurut Kulick dan Meneley (Sari (2020) tanpa disadari hal tersebut mengubah persepsi konsep tubuh ideal di masyarakat sehingga menciptakan ketidakpuasan individu terhadap tubuhnya dan berkeinginan untuk memenuhi standar ideal yang berlaku dalam lingkungan sosial dan budayanya.
2.2 Konsep Citra Tubuh (Body Image) 2.2.1 Definisi Citra Tubuh
Citra tubuh adalah pengalaman seseorang dalam hal pandangannya terhadap berat dan bentuk tubuh, serta perilaku yang mengarah pada evaluasi atau perbaikan penampilan fisiknya (Cash and Pruzinsky, 2002).
Hal ini sesuai dengan pandangan Amalia (2007) yang menjelaskan bahwa setiap orang memiliki gambaran diri yang ideal seperti yang diharapkan, termasuk tubuh ideal yang ingin dimiliki. Jika bentuk tubuh yang dimilikinya tidak sesuai dengan keinginan atau cita-citanya, maka akan timbul ketidakpuasan terhadap keadaan tubuhnya.
Menurut Bell dan Rushforth (2008), deskripsi body image adalah gambaran individu tentang penampilan (bentuk dan ukuran) tubuh dan sikap terhadap ciri-ciri tubuh yang dimiliki orang tersebut. Pada umumnya seseorang akan dinilai secara fisik dari penampilan. Body image sendiri memiliki tiga komponen, yaitu attitude yaitu bagaimana perasaan individu terhadap penampilannya, persepsi yaitu bagaimana individu mempersepsikan tubuhnya, dan perilaku khususnya dimana persepsi dan sikap saling berhubungan. perilaku pribadi. Body image
adalah gambaran tentang ukuran tubuh, bentuk dan karakteristik bagian tubuh lainnya (Bell and Rushforth, 2008).
Secara umum, dibandingkan dengan anak laki-laki, anak perempuan cenderung kurang puas dengan tubuhnya dan memiliki citra tubuh yang lebih negatif selama masa pubertas (Febriani dan Rahmasari, 2022). Hal ini sesuai dengan pendapat Santrock (2007) yang mengemukakan bahwa dengan adanya perbedaan gender dalam persepsi remaja terhadap tubuhnya, remaja putri seringkali merasa tidak puas dengan kondisi fisik dan tubuhnya akibat bertambahnya kalori atau lemak, sedangkan anak laki-laki akan merasa puas pada masa puber karena massa ototnya meningkat.
Berdasarkan beberapa uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa body image adalah persepsi seseorang terhadap pandangan tubuhnya baik bentuk tubuh maupun ukuran, dan perilaku yang mengarah pada body image. Pengetahuan tentang citra diri dapat memungkinkan seseorang untuk melakukan rekonsiliasi secara efektif. Citra tubuh juga mencakup apa yang individu pikirkan tentang penampilannya, termasuk pernyataan dan pendapat secara umum, serta bagaimana mereka melihat dan merasakan tubuh mereka sendiri.
Jadi, dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa citra tubuh memiliki beberapa aspek mengenai evaluasi penampilan seperti evaluasi penampilan, orientasi penampilan, kepuasan terhadap bagian tubuh, kecemasan berat badan, pengkategorian tipe tubuh.
2.2.2 Faktor-faktor yang Memhubungani Citra Tubuh
Banyak hal yang berkaitan dengan pembentukan body image, termasuk media yang secara konsisten menampilkan wanita cantik atau pria
tampan dengan tubuh yang proporsional. Selain itu, seringkali orang memandang seseorang sesuai dengan standar kecantikan yang berlaku di daerahnya.
Menurut (Bell dan Rushforth, 2008), beberapa faktor dapat dikaitkan dengan citra tubuh, antara lain sebagai berikut:
2.2.2.1 Budaya (Culture)
McCarthy (Bell dan Rushforth, 2008) mengemukakan bahwa salah satu hubungan terpenting dengan citra tubuh adalah budaya. Hal ini dikarenakan masyarakat memiliki standar ideal seperti kecantikan yang diukur dari postur tubuh, warna kulit, hidung mancung, dan lain-lain. Norma sosial tersebut menyebabkan individu dengan tubuh yang tidak memenuhi harapan akan kehilangan rasa percaya diri, merasa rendah diri, dan mengembangkan emosi negatif. membuat citra tubuh.
Menurut penelitian yang dilakukan Musyarrifani (2022) budaya membuat tubuh wanita dikonstruksikan sebagai objek yang harus memenuhi fungsi estetika agar terhindar dari perilaku body shaming. Perempuan memandang tubuh mereka dengan cara yang jauh lebih negative daripada laki-laki sehingga citra tubuh mereka rentan terhubungan oleh budaya.
2.2.2.2 Media
Banyak media massa seperti iklan televisi, majalah, dan pertunjukkan yang saat ini sering menghadirkan perempuan kurus sebagai sosok yang ideal (Nemeroff dalam Bell dan Rushforth, 2008). Pendapat lain dijelaskan oleh Ogden (2000), bahwa majalah, koran, televisi, film dan sebagian novel menggunakan perempuan yang memiliki tubuh kurus. Karakter yang diperankan oleh model tersebut mengilustrasikan dalam dunia nyata, padahal dalam kenyataannya tidak semua orang
kurus. Sosok model yang ditunjukkan dalam media massa ataupun media elektronik memhubungani individu untuk meniru, sehingga berusaha untuk mengubah dan memperbaiki penampilannya agar sesuai dengan idolanya. Jika harapan yang diinginkan tidak tercapai maka akan membuat individu tidak puas dengan apa yang dimiliki.
2.2.2.3 Jenis Kelamin (Gender)
Guiney dan Furlong (dalam Bell dan Rushforth, 2008)), ”female selfesteem is often conditional on preceived attractiveness”.
Yang dapat diartikan bahwa harga diri pada perempuan biasanya terletak pada seberapa besar dirinya merasa menarik. Perasaan puas remaja terhadap tubuh mereka dapat memprediksi tingkat penerimaan diri (self- acceptance) terutama pada wanita. Citra diri sangat berkaitan dengan citra tubuh yang dimiliki, hal tersebut dapat memhubungani perkembangan jati dirinya. Citra diri mengacu pada persepsi individu tentang tubuh yang dibentuk dalam pikirannya dan lebih banyak dihubungani oleh penerimaan diri individu itu sendiri, serta dihubunganioleh keyakinan dan sikapnya terhadap tubuhnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Prameswari (2020) pada perempuan remaja akhir mendapatkan hasil bahwa 124 subjek memiliki body image sedang yang berarti bahwa individu masih bisa menerima penampilan fisiknya namun memiliki kekuatiran terhadap penampilan fisik sehingga melakukan upaya untuk mengurangi kekurangan yang dirasakan. Hasil berbeda diperoleh pada penelitian yang dilakukan Maulani (2019) yaitu wanita masa dewasa awal memiliki pandangan negative terhadap body image yang dimilikinya, masalah body image
secara luas dilihat sebagai masalah perempuan dengan asumsi bahwa masalah tersebut tidak relevan untuk laki-laki.
2.2.2.4 Usia (Age)
Di usia muda terutama remaja biasanya perempuan cenderung sangat memperhatikan fisik dan berusaha untuk memperbaiki penampilannya. Remaja sering mendapat kritikan tentang penampilanya, hal tersebut menjadi penentu identitas dirinya dan akhirnya akan berusaha memperbaiki penampilannya.
Lewis & Whitbourne, dkk (dalam Bell dan Rushforth (2008)) mengatakan “Body dissatisfaction or its salience tends to decreas with age ...”. Perasaan puas terhadap tubuh akan berkurang seiring bertambahnya usia, semakin tua individu maka tidak akan terlalu mempermasalahkan penampilannya.
Meskipun ada ketidakpuasan terhadap tubuh namun tidak akan separah seperti masa puber.
2.2.2.5 Keluarga dan Sosial (Family and Social)
Proses pembelajaran citra tubuh sering kali lebih banyak dibentuk oleh lingkungan dan orang lain di luar individu sendiri, seperti keluarga. Harapan dan pendapat mengenai tubuh secara verbal maupun non verbal terjadi selama berinteraksi didalam keluarga, teman sebaya dan orang yang ditemuinya, hal tersebut dapat membentuk standar untuk membandingkan diri. Diungkapkan juga oleh Cash and Pruzinsky (2002) bahwa hubungan dengan sosial juga menetapkan standar mengenai penampilan fisik, hal tersebut mengakibatkan individu membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Harapam, pandangan maupun pesan secara verbal atau non verbal dalam keluarga juga berkontribusi terhadap pembentukan body image. Interaksi dalam keluarga,
teman maupun orang asing yang terjadi berpotensi membangun standar bagi individu untuk membentuk pencitraannya sendiri.
2.2.2.6 Kasih Sayang (Attachment)
Bell dan Rushforth (2008) mengatakan bahwa “insecure attachment, where by individuals are seeking love and acceptance yet feel unworthy, may fosternegative body image”.
Kurangnya kasih sayang ketika seseorang mencari cinta dan kurangnya penerimaan sosial dapat menciptakan citra tubuh yang negatif. Individu yang sering mendapat pujian serta penerimaan yang baik dari orang lain akan memiliki konsep diri yang baik sehingga dapat melahirkan citra tubuh yang positif.
2.2.2.7 Berat Badan (Weight)
Menurut Slade (dalam Bell dan Rushforth (2008)) mengungkapkan bahwa individu yang gemuk merasa tidak menarik dengan tubuh mereka, dan body image negatif lebih mendominasi dimiliki oleh perempuan dan anak yang obesitas.
Salah satu penentu utama ketidakpuasan dalam tubuh adalah berat badan. Ketika orang tidak puas dengan berat badannya, mereka cenderung mengubah tubuh mereka sesuai keinginan mereka. Kekhawatiran berat badan biasanya dikaitkan dengan gangguan makan atau gangguan makan. Seringkali, ketidakpuasan yang dihasilkan mengarahkan individu untuk menyimpulkan bahwa menurunkan berat badan meningkatkan kualitas dan penampilan tubuh, dan membuat mereka merasa lebih baik.
Sebuah penelitian yang dilakukan Sunartio, Sukamto dan Dianovinina (2012) menemukan bahwa tipe tubuh wanita lain
yang lebih menarik adalah tipe tubuh yang paling sering dijadikan pembanding oleh orang lain dan mereka yang kelebihan berat badan atau obesitas. Tren ini meningkatkan ketidakpuasan tubuh dan memotivasi orang yang kelebihan berat badan dan obesitas untuk menurunkan berat badan, karena objek pembandingnya adalah tipe tubuh yang lebih menarik.
2.2.2.8 Konsep Diri (Self Consept)
Orang dengan konsep diri yang baik mampu mengkomunikasikan persepsi positif secara keseluruhan tentang tubuh mereka dan lebih mampu menghadapi peristiwa yang dapat mengancam citra tubuh mereka.
2.2.3 Aspek-aspek Citra Tubuh
Citra tubuh adalah sesuatu yang menarik untuk dibahas, karena setiap individu tentu ingin memiliki penampilan yang sesuai agar menarik di mata orang lain. Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap kondisi fisik dan tubuh dapat diukur dengan beberapa aspek pada body image. Menurut Cash dan Pruzinsky (2002) mengemukakan ada lima aspek atau dimensi yang ada dalam citra tubuh adalah sebagai berikut:
2.2.3.1 Evaluasi penampilan (appearance evaluation)
Penilaian kebugaran fisik, kepuasan dan kenyamanan sehubungan dengan penampilan umum. Perasaan tertarik atau tidak tertarik baik terhadap evaluasi diri maupun terhadap reaksi orang lain.
2.2.3.2 Orientasi penampilan (appearance orientation)
Perhatian individu terhadap penampilan diri sendiri dan upaya pribadi untuk memperbaiki dan menyempurnakan penampilan seseorang.
2.2.3.3 Kepuasan terhadap bagian tubuh (body area satisfaction) Kepuasan bagian tubuh tertentu dan seluruh tubuh, seperti tubuh bagian atas (wajah, dada, bahu, tangan), inti (perut, pinggul), tubuh bagian bawah (pinggul, pantat, paha, kaki).
2.2.3.4 Kecemasan terhadap berat badan (weight preoccupation) Menggambarkan kecemasan pribadi tentang berat badan, seperti menjadi gemuk atau kurus, dengan kecenderungan diet atau membatasi kebiasaan makan.
2.2.3.5 Pengkategorian ukuran tubuh (self-classified weight)
Persepsi pribadi terhadap berat badan, apakah tergolong sangat kurus, kurus, gemuk atau sangat gemuk.
2.2.4 Respon terhadap Citra Diri 2.2.4.1 Body Image Positive
Setiap individu memiliki body image yang berbeda-beda terhadap penampilan fisiknya, dan kebanyakan individu peka terhadap segala perubahan tubuh yang terjadi pada dirinya.
Dalam menyikapi perubahan tubuhtentu setiap individu memiliki pola pikirnya masing- masing, ketika individu mempunyai gambaran mental yang benar mengenai tubuhnya, beserta pengukuran, perasaan, dan hubungan dengan tubuhnya sendiri secara positif, peduli dan percaya diri terhadap tubuh, individu akan memiliki body image yang positif.
Menurut Priyatna (2009) mempunyai body image positif berarti bahwa individu sudah memiliki kepuasan dengan penampilannya saat ini, menghargai segala yang diberikan oleh tubuhnya, dan menerima segala kekurangan dari tubuhnya.
Body image biasanya ditunjukkan dengan perasaan puas
terhadap tubuh, individu yang puas terhadap apa yang dimiliki akan lebih mudah menerima dan mensyukuri apa yang dimiliki.
Menurut Januar dan Putri (dalam Andiyati (2016) Individu yang memiliki body image positif ditunjukkan dengan beberapa perilaku seperti kepuasan terhadap tubuh yang dimiliki, penerimaan diri terhadap tubuh, dan kepercayaan diri yang tinggi terhadap tubuh yang dimiliki. Penggambaran tubuh yang positif juga berarti individu merasa bangga dan merasa perlu untuk memberi penghargaan pada tubuh, sehingga individu yang memiliki kepuasan terhadap diri sendiri akan memberikan segala terbaik untuk tubuhnya seperti menjaga kesehatan tubuh dan menghindari hal yang bisa merusak tubuh. Selain itu, body image positif juga bisa membuat seseorang lebih mudah menerima diri sendiri, percaya diri dan memiliki kesehatan mental yang baik.
Body image menentukan dalam penerimaan diri individu, karena mempunyai hubungan terhadap sudut pandang individu melihat dirinya, dan kemudian menilai dirinya positif atau negatif. Apabila individu menilai dirinya secara positif maka dirinya akan bisa menerima keadaan diri baik dari kekurangan maupun kelebihannya. Penggambaran body image yang positif juga berarti bahwa individu merasa bangga dan merasa perlu utnuk memberi penghargaan pada tubuh, artinya individu akan memberikan yang terbaik untuk tubuhnya seperti menjaga kesehatan tubuuh dan menghindari hal yang bisa merusak.
Selain itu, body image positif juga bisa membuat seseorang menjadi lebih percaya diri dan memiliki kesehatan mental yang baik. Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki body image yang positif secara
keseluruhan memiliki perilaku puas terhadap keadaan tubuh, penerimaan diri terhadap tubuh, merasa nyaman,percaya diri, dan menghargai apa yang dimiliki.
2.2.4.2 Body Image Negative
Ketidakpuasan body image dapat dilihat dari bagaimana individu menilai tubuhnya, jika individu menilai penampilan tidak sesuai dengan standar pribadinya maka individu akan menilai rendah tubuhnya. Belgrave dan Faye (2009) menjelaskan bahwa body image yang negatif dimiliki oleh individu dengan ketidakpuasan pada penampilan fisiknya (body dissatisfaction). Body dissatisfaction atau ketidakpuasan citra tubuh merupakan pandangan yang salah terhadap bentuk tubuh sendiri, dimana individu meyakini tubuhnya tidak menarik dan merasa ukuran atau bentuk tubuh adalah sebagai kegagalan, merasa malu, tidak percaya diri, kecemasan serta merasa tidak nyaman atau aneh dengan tubuh yang dimiliki (Sunartio, Sukamto dan Dianovinina, 2012). Body dissatisfaction pada dewasa awal dapat menyebabkan rendahnya kepercayaan diri serta sulit menerima keadaan tubuh sendiri, akibatnya individu akan cenderung membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain yang menurutnya memiliki tubuh proporsional.
Perbandingan yang tidak memuaskan dapat menjadi sumber dari kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap tubuhnya (body dissatisfaction) (Iswari dan Hartini, 2005).
Hurlock (dalam Pancoko (2007)) mengemukakan bahwa citra diri negatif akan menciptakan perasaan individu tidak mampu dan rendah diri, sehingga dapat menumbuhkan
penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk. Individu yang menilai tampilan fisiknya secara negatif, akan memiliki citra diri yang negatif pula. Individu yang merasa kurang dengan kondisi tubuhnya cenderung akan menutupi kekurangan dengan cara seperti olahraga dan melakukan perawatan pada dokter kecantikan.Hal tersebut dikarenakan individu membangun persepsi atas tubuhnya untuk mengikuti standar agar bisa diterima oleh masyarakat terutama dari segi idealitas kecantikan dan ekspektasi bentuk tubuh. Dalam jangka panjang, body image negatif dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan. Pada umumnya seseorang akan lebih rentan terhadap efek psikologis yang negatif, seperti harga diri, tingkat kepercayaan diri mereka terhadap interaksi sosial, dan identitas mereka dalam tahap formatif yang genting. Bahkan kasus jerawat ringan pun mungkin akan membuat tekanan bagi individu. Hal tersebut juga berkaitan dengan studi kasus dan cross sectional yang dilakukan oleh Williams, Dellavalle dan Garner (2012) yang menilai efek jerawat pada kesehatan psikologis menemukan berbagai kelainan antara lain depresi dan bunuh diri.
2.3 Konsep Remaja
2.3.1 Pengertian Remaja
Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, istilah yang digunakan untuk merujuk pada masa dari awal pubertas menuju masa dewasa, biasanya antara usia 14 tahun pada anak laki-laki dan usia 12 tahun pada anak perempuan. Ambang batas
remaja dalam hal ini adalah antara usia 10 dan 19 tahun menurut klasifikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) (Normate, Nur dan Toy, 2017). Menurut Hurlock (1992) dalam Fhadila (2017) remaja berasal dari kata latin adolensence yang artinya berkembang atau menjadi dewasa. Istilah remaja memiliki arti yang lebih luas yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.
2.3.2 Karakteristik Remaja
Sebagai periode yang paling penting, masa remaja ini memiliki karakterisitik yang khas jika dibanding dengan periode-periode perkembangan lainnya. Menurut Ahyani dan Astuti (2018) adapun rinciannya adalah sebagai berikut:
2.3.2.1 Masa remaja sebagai periode yang penting
Tahapan ini dianggap penting karena memiliki pengaruh langsung dan bertahan lama terhadap apa yang terjadi selama periode ini. Selain itu, masa ini juga berdampak besar pada perkembangan fisik dan psikis individu, dimana terjadi perkembangan fisik dan psikis yang pesat dan signifikan.
Kondisi ini menuntut individu untuk beradaptasi secara mental dan melihat pentingnya membangun sikap, nilai, dan preferensi baru.
2.3.2.2 Masa remaja sebagai periode peralihan
Peralihan tidak berarti terputus atau berubah dari yang terjadi sebelumnya tetapi peralihan dari tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya. Menurut Osterrieth “struktur psikis anak remaja berasal dari masa kanak-kanak dan banyak ciri yang umum dianggap sebagai ciri khas masa remaja sudah ada pada akhir masa kanak-kanak”. Dalam periode peralihan status individu tidak jelas dan terdapat keraguan akan peran yang
harus dilakukan. Pada masa ini remaja bukan seorang anak-anak atau seorang dewasa. Status remaja yang tidak jelas ini menguntungkan karena status memberi waktu kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya.
2.3.2.3 Masa remaja sebagai periode perubahan
Perubahan sikap dan perilaku dalam periode remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. 4 perubahan yang sama yang bersifat universal : 1) meningginya emosi : yang intensitasnya bergantung pada perubahan fisik dan psikologisnya. Karena perubahan emosi lebih cepat pada masa awal remaja dan meningginya emosi lebih menonjol pada masa remaja akhir. 2) perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan kelompok sosial. Bagi remaja muda, masalah baru yang timbul tampaknya lebih sulit diselesaikan dibanding masalah sebelumnya. Remaja masih merasa di timbun masalah sampai ia dapat menyelesaikan dengan kepuasannya sendiri. 3) dengan berubahnya minat dan perilaku maka nilai-nilai juga berubah. Apa yang pada masa anak-anak di anggap penting sekarang masa remaja tidak penting lagi. 4) mereka menginginkan dan menuntut kebebasan, tapi mereka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.
2.3.2.4 Masa remaja sebagai usia bermasalah
Masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat 2 alasan bagi kesulitan itu : 1) sepanjang masa kana-kanak, masalah anak- anak sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru, sehingga
kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. 2) karena para remaja merasa diri mandiri, menolak bantuan orang tua dan guru. Karena ketidakmampuan mereka untuk mengatasi sendiri masalahnya menurut cara yang mereka yakini, banyak remaja akhirnya menemukan bahwa penyelesaiannya tidak selalu sesuai dengan harapan mereka.
Menurut Anna freud “ banyak kegagalan yang sering kali disertai akibat yang tragis, bukan karena ketidakmampuan individu tetapi karena kenyataan bahwa tuntutan yang diajukan kepadanya justru pada saat semua tenaganya telah dihabiskan untuk mengatasi masalah pokok yang disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan seksual”.
2.3.2.5 Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Seorang remaja lambat laun mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-teman dalam segala hal seperti sebelumnya. Salah satu cara untuk mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status dengan bentuk mobil, pakaian, dan pemilikan barang- barang lain yang mudah terlihat. Dengan cara remaja menarik perhatian pada diri sendiri dan agar dipandang sebagai individu, sementara pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya.
2.3.2.6 Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan Tanggapan stereotip remaja adalah mereka lancang, tidak dapat diandalkan, destruktif dan nakal, menyebabkan orang dewasa harus membimbing dan mengawasi kehidupan mereka. Remaja takut tanggung jawab dan tidak bersimpati dengan perilaku normal remaja. Stereotip juga terkait dengan
konsep diri dan sikap terhadap diri sendiri.
2.3.2.7 Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis
Cita-cita yang tidak realistis menimbulkan emosi yang tinggi.
Semakin tidak realistis cita-citanya, semakin marah dia. Remaja terluka dan frustrasi jika orang lain mengecewakan mereka atau jika mereka tidak mencapai tujuan yang mereka tetapkan sendiri. Dengan meningkatnya pengalaman pribadi dan sosial serta meningkatnya kemampuan berpikir rasional, remaja yang lebih tua melihat diri mereka sendiri, keluarga, teman, dan kehidupan secara umum dengan cara yang realistis. Remaja tidak tahu terlalu banyak frustrasi.
2.3.3 Ciri-ciri Remaja
Menurut Ahyani dan Astuti (2018) ada beberapa ciri-ciri lain remaja yang dijelaskan lebih rinci, yaitu :
2.3.3.1 Perkembangan Fisik
Perubahan signifikan dalam bentuk dan karakteristik fisik sangat terkait dengan awal pubertas. Aktivitas kelenjar hipofisis saat ini menyebabkan peningkatan sekresi hormon, yang memiliki efek fisiologis umum. Hormon pertumbuhan menginduksi ledakan pertumbuhan yang cepat, membawa tubuh mendekati tinggi dan berat orang dewasa dalam waktu sekitar dua tahun. Pertumbuhan terjadi lebih awal pada jantan daripada perempuan, yang juga menunjukkan bahwa perempuan dewasa lebih awal dari laki-laki..
Pencapaian kematangan seksual pada gadis remaja ditandai oleh kehadiran menstruasi dan pada pria ditandai oleh produksi semen. Hormon- hormon utama yang mengatur perubahan ini
adalah androgen pada pria dan estrogen pada wanita, zat-zat yang juga dihubungkan dengan penampilan ciri-ciri seksual sekunder : rambut wajah, tubuh, dan kelamin dan suara yang mendalam pada pria; rambut tubuh dan kelamin, pembesaran payudara, dan pinggul lebih lebar pada wanita. Perubahan fisik dapat berhubungan dengan penyesuaian psikologis; beberapa studi menganjurkan bahwa individu yang menjadi dewasa di usia dini lebih baik dalam menyesuaikan diri dari pada rekan- rekan mereka yang menjadi dewasa lebih lambat.
2.3.3.2 Perkembangan Kognitif
Kekuatan pemikiran remaja yang sedang berkembang membuka cakrawala kognitif dan cakrawala sosial yang baru. Pemikiran mereka semakin abstrak, logis, dan idealistis; lebih mampu menguji pemikiran diri sendiri, pemikiran orang lain dan apa yang orang lain dan apa yang orang lain pikirkan tentang mereka. Perkembangan anak sangat dihubungani oleh stimulus yang di berikan pada anak tersebut, semakin banyak anak mendapatkan stimulus, semakin banyak anak belajar hal baru dan mengakibatkan semakin kuat juga sinapsis neuron yang ada di dalam otak anak, hal tersebut dapat merangsang anak tumbuh dengan kemampuan yang jauh lebih baik dan optimal.
2.3.3.3 Perkembangan Seksual
Perkembangan awal kemasakan seksual secara biologis dapat terjadi pada usia 10 tahun hingga 14 tahun. Hal tersebut diiringi perubahan yang terjadi terkait hormonal maupun secara fisik (Tanner, 1967). Selain itu proses perubahan hormonal pada remaja juga mengakibatkan meningkatnya interaksi sosial remaja dengan lawan jenis, serta lebih merani memunculkan
ekspresi psikoseksual pada lawan jenisnya (Udry, 1988).
2.3.3.4 Perkembangan Emosional
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak- kanak ke masa dewasa. Pada masa ini, remaja mengalami perkembangan mencapai kematangan fisik, mental, sosial dan emosional. Umumnya, masa ini berlangsung sekitar umur 13-18 tahun, yaitu masa anak duduk di bangku sekolah menegah. Masa ini biasanya di rasakan sebagai masa sulit, baik bagi remaja sendiri maupun bagi keluarga, atau lingkungan. Berada pada masa peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa, status remaja agak kabur, baik bagi dirinya maupun bagi lingkunganya.
Conny Semiawan (1989) (dalam Ali dan Asrori, 2008) mengibaratkan : terlalu besar untuk serbet terlalu kecil untuk taplak meja karna sudah bukan anak- anak lagi, tetapi juga belum dewasa. Masa remaja biasanya memiliki energi yang besar, emosi berkobar-kobar, sedangkan pengendalian diri belum sempurna. Remaja juga sering mengalami perasaan tidak aman, tidak tenang, dan khawatir kesepian.
2.3.4 Tugas Perkembangan Remaja
Menurut Willian Kay (dalam Jahja, 2011) mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja itu sebagai berikut :
2.3.4.1 Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya.
2.3.4.2 Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau figur-figur yang mempunyai otoritas.
2.3.4.3 Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik
secara individual maupun kelompok.
2.3.4.4 Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya.
2.3.4.5 Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuan sendiri.
2.3.4.6 Memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atas dasar skala nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup.
2.3.4.7 Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku) kekanak-kanakan.
2.3.5 Permasalahan Remaja
Menurut Ahyani dan Astuti (2018) Permasalahan yang timbul pada remaja diantaranya adalah :
2.3.5.1 Problema berkaitan dengan perkembangan fisik dan motorik.
Masa remaja ditandai dengan pertumbuhan fisik yang pesat.
Kebugaran remaja dianggap penting, tetapi ketika kebugaran tidak memenuhi harapan (perbedaan antara citra tubuh dan citra diri) dapat menimbulkan perasaan tidak puas dan kurang percaya diri. Apalagi pembangunan fisiknya tidak proporsional.
Pematangan organ reproduksi pada masa remaja membutuhkan upaya untuk memuaskannya dan jika tidak berpedoman pada standar dapat menimbulkan penyimpangan perilaku seksual.
2.3.5.2 Problema berkaitan dengan perkembangan kognitif dan bahasa.
Pada masa remaja awal ditandai dengan perkembangan kemampuan intelektual yang pesat. Namun ketika remaja tidak mendapatkan kesempatan pengembangan kemampuan intelektual, terutama melalui pendidikan di sekolah, maka boleh jadi potensi intelektualnya tidak akan berkembang optimal. Begitu juga masa remaja, terutama remaja awal merupakan masa terbaik untuk mengenal dan mendalami
bahasa asing. Namun dikarenakan keterbatasan kesempatan dan sarana dan pra sarana, menyebabkan remaja kesulitan untuk menguasai bahasa asing.
Tidak bisa dipungkiri, dalam era globalisasi sekarang ini, penguasaan bahasa asing merupakan hal yang penting untuk menunjang kesuksesan hidup dan karier seseorang. Namun dengan adanya hambatan dalam pengembangan ketidakmampuan berbahasa asing tentunya akan sedikit-banyak berhubungan terhadap kesuksesan hidup dan kariernya.
Terhambatnya perkembangan kognitif dan bahasa dapat berakibat pula pada aspek emosional, sosial, dan aspek-aspek perilaku dan kepribadian lainnya.
2.3.5.3 Problema berkaitan dengan perkembangan perilaku sosial, moralitas dan keagamaan.
Masa remaja disebut pula sebagai masa social hunger (kehausansosial), yang ditandai dengan adanya keinginan untuk bergaul dan diterima di lingkungan kelompok sebayanya (peer group). Penolakan dari peer group dapat menimbulkan frustrasi dan menjadikan dia sebagai isolated dan merasa rendah diri. Namun sebaliknya apabila remaja dapat diterima oleh rekan sebayanya dan bahkan menjadi idola tentunya ia akan merasa bangga dan memiliki kehormatan dalam dirinya. Problema perilaku sosial remaja tidak hanya terjadi dengan kelompok sebayanya, namun juga dapat terjadi dengan orang tua dan dewasa lainnya, termasuk dengan guru di sekolah. Hal ini disebabkan pada masa remaja, khususnya remaja awal akan ditandai adanya keinginan yang ambivalen, di satu sisi adanya keinginan untuk melepaskan ketergantungan dan dapat menentukan
pilihannya sendiri, namun di sisi lain remaja masih membutuhkan orang tua, terutama secara ekonomis. Sejalan dengan pertumbuhan organ reproduksi, hubungan sosial yang dikembangkan pada masa remaja ditandai pula dengan adanya keinginan untuk menjalin hubungan khusus dengan lain jenis dan jika tidak terbimbing dapat menjurus tindakan penyimpangan perilaku sosial dan perilaku seksual. Pada masa remaja juga ditandai dengan adanya keinginan untuk mencoba- coba dan menguji kemapanan norma yang ada, jika tidak terbimbing, mungkin saja akan berkembang menjadi konflik nilai dalam dirinya maupun dengan lingkungannya.
2.3.5.4 Problema berkaitan dengan perkembangan kepribadian, dan emosional.
Masa remaja juga dikenal sebagai masa identitas diri. Upaya pencarian jati diri juga sering terjadi melalui trial and error, peniruan, atau perilaku identitas. Ketika remaja gagal menemukan jati dirinya, mereka mengalami krisis identitas atau kebingungan identitas, sehingga dapat terbentuk sistem kepribadian yang tidak mencerminkan jati diri mereka yang sebenarnya. Reaksi dan ekspresi emosi yang tidak stabil dan tidak terkontrol pada masa remaja dapat mempengaruhi kehidupan pribadi dan sosialnya. Dia sering merasa tertekan dan murung atau dia berubah menjadi orang yang agresif.
Argumen dan perkelahian sering muncul karena ketidakstabilan emosi. Selain yang telah dijelaskan di atas, tentunya masih banyak lagi permasalahan lain yang dihadapi remaja. Munculnya permasalahan remaja berkaitan dengan berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Agar generasi muda terhindar dari berbagai kesulitan dan masalah,
diperlukan kearifan dari segala sisi.
2.4 Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat di komunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antar variabel yang dihubungani (Variabel Dependen) dan variabel hubungan (Variabel independen) yang akan membantu peneliti menghubungkan hasil penemuan dengan teori (Nursalam, 2017)
Kerangka konsep pada penelitian ini, sebagai berikut:
Variabel Independent Variabel Dependent Verbal Abuse
Body Shaming
Citra Tubuh Remaja
Aspek Citra Tubuh:
- Evaluasi penampilan - Orientasi penampilan - Kepuasan terhadap bagian tubuh
- Kecemasan terhadap berat badan
- Pengkategorian ukuran tubuh
Gambar 2.1 Kerangka konsep hubungan verbal abuse body shaming dengan citra tubuh remaja di SMK Muhammadiyah 1 Banjarmasin.
2.5 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara atau dugaan sementara terhadap suatu masalah. Dugaan sementara dalam penelitan ini adalah:
H0 : tidak ada hubungan verbal abuse body shaming dengan citra tubuh remaja di SMK Muhammadiyah 1 Banjarmasin
H1 : ada hubungan verbal abuse body shaming dengan citra tubuh remaja di SMK Muhammadiyah 1 Banjarmasin