• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Asas Pembuktian Sederhana dalam Penjatuhan Putusan Pailit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Penerapan Asas Pembuktian Sederhana dalam Penjatuhan Putusan Pailit"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

I

I

DALAM PENJATUHAN PUTUSAN PAILIT

TESI S

OLEH:

VICTORIANUS M.H. RANDA PUANG

047011071 / MKn

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2006

(2)

PENERAPAN ASAS PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM PENJATUHAN PUTUSAN PAILIT

TESI S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan Pad.a Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

OLEH:

VICTORIANUS M.H. RANDA PUANG 047011071 / MKn

SEKOLAHPASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2006

(3)

Nama

Nomor Pokok Program Studi

: VICTORlANUS M.H. RANDA PUANG : 047011071

: Magister Kenotariatan

Menyetujui isi Pembimbiug

Kurilia Y ani Darmono, SH, M.llull!

Ketua

Dr. Sunarli}:ti, SH, M.Hum Ang~:ota

Prof. Dr. Runtung Sit u. SH M.Hum Anggota

Kctua Program Studi

Dr. Mhd. Yamin Lubis, SH, CN, MS ·. T. Chairun Nisa R M.Sc

Tanggal Lulus: 5 Mei 2006

(4)

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI

Telah Diuji Pada Tanggal:

5 Mei2006

Panitia Penguji Tesis Ketua

Anggota

: Kurnia Yani Dannono, SH, M.Hum : Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum Dr. Pendastaren Tarigan, SH, M.Hum

(5)

IDENTITAS PRIBADI:

Nama : Victorianus Maria Harjono Randa Puang

Tempat dan Tanggal Lahir : Malang, 22 Maret 1965 Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Menikah

Alamat : Komp. Griya Marelan Blok K - 24

Kel. Rengaspulau - Kee. Medan Marelan Medan20255

Telpon : 6841101 / 77151887

Handphone :08153027210

RIWAYAT PENDIDIKAN:

1990: S 1 Hukum Universitas Brawijaya Malang 1993: Spiritualitas

1995: Filsafat pada Philosophisch - theologische Hochschule SVD Sankt Augustin di Jerman

1999: Teologi pada Philosophisch - theologische Hochschule SVD Sankt Augustin di Jerman ·

2006: Program Magister Kenotariatan SPs Universitas Sumatera Utara Medan

RIW A YA T PEKERJAAN:

Agustus 1999-Agustus 2000:

September 2000 - Maret 2003:

April 2003 - Desember 2004 : Januari 2005 - sekarang

Lembaga Sosial-Keagamaan di Jerman Sekretaris Keuskupan Agung Medan HRD Quality Suites Medan

Guru pada SMA St. Maria Medan

(6)

PENERAPAN ASAS PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM PENJATUHAN PUTUSAN PAILIT

Victorianus M.H. Randa Puang1 Kurnia Yani Darmono2

Sunarmi2 Runtung Sitepu2

INTISARI

Pembuktian secara sederhana lazim disebut dengan pembuktian secara sumir.

Hal ini diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan, bahwa permohonan pemyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana, yakni adanya fakta dua atau lebih Kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Hanya saja patut disayangkan, bahwa Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini tidak memberikan penjelasan yang rinci mengenai bagaimana pembuktian sederhana itu dilakukan dalam memeriksa permohonan pailit. Tidak adanya definisi serta batasan yang jelas atau indikator- indikator yang dapat menjadi pegangan apa yang dimaksud dengan pembuktian sederhana inilah, akhimya membuka ruang perbedaan yang lebar diantara para hakim dalam menafsirkan pengertian pembuktian sederhana dalam menyelesaikan permohonan kepailitan. Sehingga dalam hal ini muncul permasalahan, bagaimana sebenamya sistem pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan itu.

Dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah, maka penelitian bertujuan untuk mengetahui penerapan asas pembuktian sederhana dalam praktik Peradilan Niaga, mengetahui kendala atau hambatan yang ditemui oleh Pengadilan Niaga dalam penerapan asas pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan dan mengetahui upaya yang dapat dilakukan oleh Pengadi1an Niaga dalam mengatasi kendala atau hambatan dalam penerapan asas pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan. Sesuai dengan masalah yang telah ditentukan, maka penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif analitis dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Data sekunder diperoleh melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan - baik Perpustakaan di USU maupun Perpustakaan di Pengadilan Niaga - yang berupa literatur dan dokumen-dokumen yang ada dan dibantu dengan data-data lapangan yang didapat dari dokumen-dokumen yang berupa putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan dengan mempergunakan pedoman wawancara langsung ataupun dengan sistem pemakaian

1 Mahasiswa Magister Kenotariatan USU Medan

2 Staf Pengajar Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana USU Medan

2 Staf Pengajar Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana USU Medan

2 Staf Pengajar Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana USU Medan

1

(7)

mengartikan terbukti secara sederhan (sumir) tersebut. Dalam suatu kasus, Pengadilan Niaga memberikan putusan bahwa "sudah terbukti secara sederhana", tetapi setelah dilimpahkan ke Mahkamah Agung temyata "dibatalkan" dan dinyatakan bahwa

"tidak terbukti secara sederhana". Atau sebaliknya, kadang di Pengadilan tingkat pertama suatu fakta atau keadaan adanya utang "tidak terbukti secara sederhana", namun di tingkat Mahkamah Agung dinyatakan "sudah terbukti secara sederhana".

Disamping itu variasi pendapat antara majelis hakim mencapai tingkat yang luar biasa. Hambatan-hambatan yang sering kali dihadapi dalam penerapan asas pembuktian sederhana dalam praktik di Pengadilan Niaga adalah adanya perbedaan cara pandang yang melahirkan perbedaan putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga - baik yang setingkat maupun dengan tingkat di atasnya - dalam memeriksa kasus- kasus permohonan kepailitan. Perbedaan tersebut dikarenakan tidak adanya kesamaan Majelis Hakim dalam mengartikan sesuatu, misalnya pengertian utang, pengertian utang jatuh waktu dan pengertian Kreditor. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Pengadilan Niaga dalam mengatasi kendala atau hambatan dalam penerapan asas pembuktian sederhana dalam penjatuhan putusan pailit selama ini, pada dasarnya Pengadilan Niaga memanggil Saksi Ahli. Yang dimaksud dengan saksi ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan khusus dibidang tertentu. Tujuan pengangkatan seorang ahli tidak lain adalah untuk menghindari Hakim salah atau keliru dalam mengambil kesimpulan yang benar dan adil. Disarankan agar para majelis hakim mempunyai satu pandangan, pengertian dan persepsi yang sama dalam memutuskan perkara yang sama, agar Pemerintah menambah jumlah hakim Pengadilan Niaga dan membekali mereka dengan pengetahuan yang cukup serta terns menerus memberikan sosialisasi kepada para Hakim tentang cara mengatasi hambatan yang ada.

Kata Kunci: Pembuktian Sederhana Penjatuhan Putusan Pailit

11

(8)

APPLICATION OF SIMPLE VERIFICATION PRINCIPLE IN JUDGMENT OF BANKRUPTCY

Victorianus M.H. Randa Puang1 Kurnia Yani Darmono2

Sunanni2 Runtung Sitepu2

ABSTRACT

The simple verification is often called succinct. This has been regulated in the aw on Bankruptcy and deferral of Debt Repayment stating, that the application of ankruptcy statement should be agreed if there is a fact or a simple vericable situation, .e., there is a fact of two or more creditors and due debt but unpaid. But it is unfortunate, hat the Law on Bankruptcy and Deferral of Debt Repayment does not present the etailed explanation of how the simple verification is implemented in checking for ankruptcy application. The lack of clear definition or appropriate indicators for use to be uidence of what the simple verification is, has opened the wide gap of difference among udges in interpreting the meaning of simple verification to complete the application for ankruptcy. Thus in this case there is a problem, i.e., what is the appropriate system of imple verification in the matter of bankruptcy.

To answer the question, thus the objective of this research will be to know the pplication of simple verification principle in practice of commercial court, to know both bstacles and hindrances encountered by commercial court in applying the simple erification principle in matter of bankruptcy and to know the measures taken by ommercial court to solve both obstacles and hindrances in application of simple erification principle in matter of bankruptcy. According to the defined problem, the search done is analytical descriptive study by using normative and yuridical approach method. The secondary data is gained through document study on library materials - ther library of North Sumatera University or library in Commercial Court - in the form

literatures and documents supported by field data gained· from documents in the form judgements of Commercial Court in Medan by using a direct interview as guidance or stributing the questionnaire to competent and trustable respondents.

From the research made, it indicates that there is inconsystency between judgment Commercial Court judge and High Court Judge in checking the application for ptcy, particularly in interpreting the simple (succinct) verification principle. In one e, the Commercial Court make a judgment that "has been verified simply", but after ing delegated to High Court in fact "it is cancelled" and stated that "it is not verified ply". Or in contrast, sometimes in the Court level I there is a fact or situation that

1 Student of Magister Program ofNotariate North Sumatera University

2 Teaching StaffofMagister Program ofNotariate Sumatera University

2 Teaching Staff of Magister Program ofNotariate Sumatera University

2 Teaching Staff of Magister Program ofNotariate Sumatera University

111

(9)

level or a level upper - in checking the application for a bankruptcy. The difference is largely due to the lack of uniformity in judges to define something, for example the definition of debt, due debt and creditor. The measure taken by Commercial Court in overcoming both obstacles and hindrance in applying the simple verification principle in judgment of bankruptcy so far, is that the Commercial Court calls the expert witness. The , expert witness is someone with special knowledge in certain discipline. The goal of

assigning an expert witness is merely to prevent the fault or mistakes of Judges from occuring in taking the appropriate and equal conclusion. It is suggested that Judges should assume the same (one) perspective, definition and perception in judging the same matter, government should add number of judges in Commercial Court and provide them with sufficient knowledges regularly by realizing the socialization to Judges of how to overcome the existing obstacles and hindrances.

Keywords: Simple Verification Judging

Bankruptcy

(10)

KATAPENGANTAR

Im Namen des Vaters und des Sohnes und des heiligen Geistes.

Penulis mengucapkan Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, perlindungan dan kasihNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul: "Penerapan Asas Pembuktian Sederhana Dalam Penjatuhan Putusan Pailit".

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besamya kepada:

Bapak Kurnia Y ani Darmono, SH Mhum., selaku pembimbing pertama lbu Dr. Sunarmi, SH Mhum., selaku pembimbing kedua

Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH Mhum, selaku pembimbing ketiga yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dengan penuh kesabaran, ketekunan dan keikhlasan dari awal penyusunan proposal sampai selesainya penulisan tesis ini.

Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Chairudin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. lbu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., selaku Ketua Program Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

V

(11)

penguJl.

6. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS., selaku dosen tarnu sekaligus penguJ1.

7. Bapak Harwan Byrin, SH, MH., selaku ketua Pengadilan Negeri Medan yang memberikan ijin kepada Penulis untuk mengadakan penelitian di Pengadilan Negeri.

8. Ibu Ellita Ras Ginting, SH, L.L.M., Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan yang memberikan data-data penelitian kepada Penulis.

9. Para Pegawai Administrasi dan pegawai perpustakaan Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga mengucapkan limpah terima kasih yang setulus-tulusnya kepada kedua orang tua Penulis, Bapak Adrianus (Alm) dan Ibu Adriana Ma'dika Mengan yang telah menghidupi, mendidik dan membekali ilmu pengetahuan kepada Penulis mulai dari pendidikan dasar hingga menyelesaikan pendidikan Magister Kenotariatan

!Ill.

Tak lupa juga ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada istri tercinta Esteria Simbolon, S.Sos, yang sangat mendukung dan membantu penulis dalarn menyelesaikan pendidikan Magister Kenotariatan ini. Terlebih-lebih pada saat terjadi

VI

(12)

benturan antara tugas-tugas pekerjaan dengan kuliah, tanpa bantuannya tidak mungkin pendidikan Magister Kenotariatan ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak luput dari kekurangan dan kelemahan, baik dari sudut substansi maupun dari cara penyajiannya, karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis. Maka dsri itu segala kritik dan saran yang bersifat membangun, akan penulis terima dengan senang hati. Harapan Penulis, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi semua pihak.

Gott segne uns alle. Amen.

vu

Medan, 5 Mei 2006 Penulis

Victorianus M.H. Randa Puang

(13)

ABSTRAK ... 1

KATAPENGANTAR ... V DAFTAR ISI ... viii

BAB I: BAB II: BAB III: PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang Masalah . . . .. 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Peneli tian ... . D. Manfaat Penelitian ... . E. Keaslian Penelitian ... . 14 14 15 TINJAUAN PUST AKA... 16

A. Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata . . . 16

1. Definisi Pembuktian ... . 2. Behan Pembuktian ... . 3. Macam-macam Alat Bukti Dalam Perkara Perdata ... . a. Bukti Tulisan ... . b. Bukti Saksi ... . 16 19 24 25 29 c. Bukti Persangkaan . . . 33

d. Bukti Pengakuan . . . .. 36

e. Bukti Sumpah . . . .. 40

f. Bukti Pemeriksaan Setempat. .. .. . .. . .. . . .. ... .. .. ... 42

g. Keterangan Ahli . . . 43

B. Pembuktian Dalam Hukum Acara Pada Pengadilan Niaga . . . 45

1. Pembuktian Yang Sederhana ... 45

2. Fakta Dua atau Lebih Kreditor . . . ... 51

3. Fakta Utang ... 54

4. Definisi Jatuh Tempo . . . .. 59

C. Putusan Pengadilan . . . 62

METODE PENELITIAN . . . 68

A. Sifat Penelitian . . . 68

B.Metode Pendekatan . . . 69

C. Sumber Data . . . 70

Vlll

(14)

D. Teknik Pengumpulan Data... 71

E. Alat Pengumpul Data . . . 72

F. Analisis Data . . . 72

BAB IV: BASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penerapan Asas Pembuktian Sederhana Dalam Praktik Peradilan Niaga . . . .. 75

B. Kendala Atau Hambatan Dalam Penerapan Asas Pembuktian Sederhana Dalam Penj atuhan Putusan Pailit . . . 110

C. Cara Mengatasai Kesulitan Dalam Penerapan Asas Pembuktian Sederhana ... 122

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ... 125

A. Kesimpulan ... 125

B. Saran ... 127

DAFTARPUSTAKA ... 129

lX

(15)

A. Latar Belakang Masalah

Krisis Moneter yang melanda hampir seluruh belahan dunia khususnya beberapa negara Asia, terutama di Indonesia pada bulan Juli 1997, memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap kehidupan perekonomian negara dan menimbulkan kesulitan yang besar di kalangan dunia usaha untuk meneruskan kegiatannya. Kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya sangat terganggu, bahkan untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya juga tidak mudah. Hal tersebut sangat mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya.

Inti daripada krisis moneter pada waktu itu sebenarnya adalah persoalan nilai tukar rupiah yang jauh merosot, sehingga benar-benar memperlemah kemampuan pembiayaan di kalangan dunia usaha. 1 Kegiatan produksi riienurun, kegiatan penjualan menurun dan perdagangan jasa terkait atau pendukungnya juga ikut melemah. Pemenuhan kewajiban pembayaran terganggu, karena mata uang asing

1 Bambang Kesowo, PERPU No. I Tamm 1998 Latar Belakang dan Arahnya, dalam: Rudhy A.

Lontoh, dkk, Penyelesaian Utang - Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT Alumni, Bandung, 2001, hal. 99.

1

(16)

2

yang diperlukan barns dibeli dengan rupiah yang nilai tukarnya telah sangat jauh d . . 2

ter epres1as1.

Situasi tersebut pasti akan berdampak terhadap aspek kehidupan lainnya yang pada gilirannya merambah ke bidang sosial. Hilangnya pekerjaan yang pada akhimya mengakibatkan timbulnya pengangguran dan turunnya daya beli masyarakat semakin memperburuk kondisi sosial. Kekacauan sosial tersebut telah pula merembet dan meluas meajadi gejolak politik yang berat.

Dalam menghadapi hal semacam 1m, tentunya dipandang perlu untuk mengambil langkah-langkah perbaikan khususnya kepastian hukum guna menyeimbangkan kepentingan perusahaan ataupun kepentingan di antara Debitor maupun Kreditor. Salah satu sarana hukum yang meajadi landasan bagi penyelesaian utang piutang adalah peraturan tentang kepailitan, termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang.

Sebelum terjadinya krisis moneter, sebenamya telah ada peraturan yang mengatur tentang Kepailitan, yakni Failliessement Verordening3 yang diundangkan

2 Pada waktu itu merosotnya nilai tukar sempat anjlok ke titik yang amat rendah, kira-kira sekitar antara Rp 15 .000 sampai Rp 17 .000,00 per US Dollarnya. Apa yang dialami para Debitor pada waktu itu adalah suatu keadaan yang tidak mampu diduga pada saat perjanjian kredit ditandatangani atau surat utang diterbitkan, melemahnya nilai tukar rupiah. Akibat dari keadaan yang tidak mampu diduga atau diperkirakan tersebut menjadi tidak tertanggungkan pula oleh Debitor.

3 Merupakan singkatan dari Verordening op het Fai/issement en de Surseance van Beta/ing voor de Europeanen in Nederlands lndie, yang artinya Peraturan untuk Kepailitan dan Penundaan Pembayaran bagi orang-orang Eropa di Hindia Belanda. Sebelum Failliessement verordening ini berlaku, hukum Kepailitan dulu diatur di dua tempat, yaitu:

1. Dalam Wetboek van Koophandel (W.V.K buku ketiga, yang berjudul "van de voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden" I peraturan tentang ketidakmampuan pedagang).

Peraturan ini adalah peraturan kepailitan bagi pedagang termuat dalam Pasal 749 - 9 I 0 KUHD yang dicabut oleh Pasal 2 Verordening terinvoering vanfailliessements verordening (Stb. 1906 - 348).

(17)

dalam Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 3484 yang hanya berlaku untuk "golongan Eropa" serta diberlakukan juga untuk "golongan Timur Asing" (Cina dan bukan Cina). Hal ini sesuai dengan Staatsblad 1924 Nomor 556 dan Staatsblad 1917 Nomor 129.5 Jadi , secara formal peraturan kepailitan pada saat itu tidak berlaku untuk golongan Indonesia asli (pribumi). 6

Namun Undang-Undang ini kurang efektif dan kurang teruji, karena prosedur yang diatur di dalarnnya hampir-hampir tidak pemah dipakai, sehingga kurang dikenal dan dipahami oleh masyarakat. Sedang lembaga pendukungnya tidak terlatih untuk melaksanakan undang-undang itu, sehingga akibatnya perundang-undangan tersebut boleh dikatakan lumpuh. Disamping itu juga urusan kepailitan merupakan suatu yang jarang muncul ke permukaan. Kekurangpopuleran masalah kepailitan ini, terjadi karena selama ini banyak pihak yang kurang puas terhadap urusan kepailitan.

2. Dalam Reglement op de Rechtsvordering (RV), Stb. 1847 - 52 bsd 1949 - 63, Buku Ketiga Bab Ketujuh, yang berjudul "Van den staat van Kennelijk Onvermogen" I tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu, Pasal 899 - 915 yang dicabut oleh Stb. 1906 - 348. Peraturan ini adalah peraturan Kepailitan bagi orang-orang bukan pedagang.

Akan tetapi temyata dalam pelaksanaannya, kedua aturan tersebut justru menimbulkan banyak

kesulitan, antara lain adalah: ,

a. Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya;

b. Biaya tinggi

c. Pengaruh kreditor terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan d. Perlu waktu yang cukup lama

Disamping itu masih ada peraturan sejenis yang mengatur Kepailitan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pendudukan Belanda pada tahun 1947, yaitu Moordregeling Failliessement 1947, Stb.

1947 - 214 tapi sekarang tidak berlaku. Adanya dua buah peraturan ini temyata banyak menimbulkan kesulitan, sehingga kemudian timbul keinginan untuk membuat peraturan Kepailitan yang sederhana dengan biaya yang tidak banyak sehingga memudahkan pelaksanaannya.

4 Elijana S., Pengadilan Niaga, Pelaksanaan dan Dampaknya, dalam: Rudhy A. Lontoh, dkk, Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit hal.

13.

5 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisinis Kepailitan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, ha!. 3

6 Bagir Manan, Mengenal Perpu Kepai/itan, dalam: Rudhy A. Lontoh. dkk, Penyelesaian Utang- Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit. ha!. 70

(18)

4

Oleh karena sebagian besar materi Faillissement verordening ini merupakan peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda dan sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan huk:um masyarakat untuk:

penyelesaian utang-piutang sekarang ini, 7 maka pada tanggal 22 April 1998 Pemerintah mengadakan penyempumaan dan perubahan terhadapnya dengan mengundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang / PERPU8 No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan yang berlaku secara effektif pada tanggal 20 Agustus 1998 dan kemudian pada tanggal 9 September 1998

7 Foilliessement Verordening, terdiri dari 2 (dua) Bab, yaitu:

a. Bab I: Tentang Kepailitan, Pasal I s/d 211;

b. Bab II : Tentang Penundaan Pembayaran (Surseance van Betaling), Pasal 212 s/d 279. Apabila dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor I Tahun 1998, maka PERPU tersebut terdiri dari 3 (tiga) bab, yaitu:

a. Bab I : Tentang Kepailitan, Pasal 1 s/d 211;

b. Bab II: Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran, Pasal 212 s/d Pasal 279;

c. Bab III : Tentang Pengadilan Niaga, yaitu Pasal 280 s/d 289

8 PERPU merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang berkedudukan sederajat dengan undang-undang (lihat TAP MPRS No. XX/MPRS/1966). Pasal 22 ayat (l) UUD 1945 menyatakan: Dalam hal-ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang. Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 menyatakan: Peraturan Pemerintah itu harus- mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang·

berikut. Dan Pasal 22 ayat (3) menyatakan: Jika tidak mendapat -persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut. Jadi PERPU itu ditetapkan oleh Presiden dalam "hal ikhwal kepentingan yang memaksa". Dalam Penjelasan Pasal 22 tersebut disebutkan antara lain: "Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan semacam ini memang perlu diadakan agar keselamatan negara dapat dijamin oleh Pemerintah dalam keadaan genting, yang memaksa Pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Pengertian noodverordeningsrecht adalah hak atau wewenang yang diberikan kepada Presiden untuk membuat aturan-aturan dengan tata cara yang menyimpang dari tata cara dalam keadaan normal, karena suatu keadaan darurat atau suatu kegentingan yang memaksa. Hal ini dimaksudkan sebagai suatu "exception", dengan harapan agar supaya keselamatan Negara dapat dijamin oleh Pemerintah. Disini tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan "keadaan kegentingan yang memaksa (staatsnood atau state emergency) itu". Menurut doktrin, yang dimaksud dengan kegentingan yang memaksa, tidak hanya dalam arti terdapat suatu ancaman kekacauan akibat suatu pemberontakan. Dalam kegentingan yang memaksa dimasukkan pula unsur-unsur "keadaan mendesak" seperti keterdesakan waktu, keterdesakan kebutuhan, atau keterdesakan yang timbul karena suatu krisis ekonomi, krisis bencana alam dan sebagainya. PERPU harus diajukan ke DPR, selambat- lambatnya dalam masa sidang berikut untuk memperoleh pengesahan oleh DPR. Dalam ha! disahkan, Perpu tersebut berubah bentuk menjadi undang-undang. Dalam hal DPR menolak, Perpu tersebut harus dicabut.

(19)

PERPU tersebut ditetapkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998 yang untuk selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut dengan UU Kepailitan.9 Dalam UU Kepailitan ini akan lebih dijamin faktor fairness bagi kreditor dan debitor agar tidak merugikan salah satu pihak. Undang-Undang ini akan mengatur empat hal pokok, yaitu prosedur untuk menyatakan pailit, pembentukan pengadilan komersial, Balai Harta Peninggalan (BHP) dan mekanisme penundaan utang. 10 Ada beberapa pertimbangan yang melandasi UU Kepailitan melakukan penyempumaan terhadap Faillissement

Verordening, di antaranya:

Pertama, adanya kebutuhan yang besar dan mendesak sifatnya untuk dapat secepatnya mewujudkan sarana hukum bagi penyelesaian yang cepat, adil, terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan perekonomian nasional.

Kedua, dalam rangka penyelesaian akibat-akibat daripada gejolak moneter yang terjadi sejak pertengahan 1997, khususnya terhadap masalah utang-piutang di kalangan dunia usaha nasional. Penyelesaian yang cepat mengenai masalah ini akan sangat membantu mengatasi situasi yang tidak menentu di bidang perekonomian. Upaya penyelesaian masalah utang-piutang dunia usaha perlu segera diberi kerangka hukumnya agar perusahaan-perusahaan dapat segera beroperasi secara normal. Dengan demikian, selain aspek ekonomi, berjalannya kembali kegiatan ekonomi akan mengurangi tekanan sosial yang disebabkan oleh hilangnya banyak lapangan pekerjaan dan kesempatan kerja. I I

Ketiga, untuk memberikan kesempatan kepada pihak Kreditor dan perusahaan sebagai Debitor untuk mengupayakan penyelesaian yang adil, diperlukan sarana hukum yang dapat digunakan secara cepat, terbuka dan efektif.

Keempat, Faillissementsverordening memerlukan penyempurnaan dan penyesuaian dengan keadaan dan kebutuhan bagi penyelesaian utang piutang. 12

9 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepai/itan: Memahami Fail/issementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, ha!. 31

JO Andi Muhammad Asrun, A. Prasentyatoko, dkk, Ana/isis Juridis dan Empiris Peradi/an Niaga, Centre for Information & Law- Economic Studies, Jakarta, 2000, hal.14

11 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op.cit, ha!. 4-5

12 Sutan Remy Sjahdeini, Op cit, hal 32

(20)

6

Akan tetapi UU Kepailitan tidak melakukan perubahan secara total terhadap Faillisements verordening, melainkan hanya mengubah pasal-pasal tertentu yang perlu diubah dan menambah berbagai ketentuan barn ke dalam undang-undang yang sudah ada. 13 Sehingga UU Kepailitan ini mengandung banyak kelemahan yang mendasar, di antaranya beberapa hal dalam UU Kepailitan itu yang tidak memadai pengaturannya. 14

13 Aria Suyudi, Eryanto Nugroho, Hemi Sri Nurbayanti, Kepailitan di Negeri Pai/it, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 26 - 27, menyatakan bahwa, pokok-pokok penyempumaan UU Kepai]itan tersebut meliputi segi-segi penting yang dinilai perlu untuk mewujudkan penyelesaian masalah utang piutang secara cepat, adil, terbuka dam efektif, antara lain:

1. Penyempumaan di sekitar syarat-syarat dan prosedur permintaan pemyataan kepailitan.

Termasuk didalamnya, pemberian kerangka waktu yang pasti bagi pengambilan putusan pemyataan pailit.

2. Penyempurnaan pengaturan yang bersifat penambahan ketentuan tentang tindakan sementara yang dapat diambil oleh pihak-pihak yang berkepentingan, khususnya oleh kreditor atas kekayaan debitor sebelum adanya putusan pailit.

3. Pengubahan fungsi kurator dan penyempurnaan yang memungkinkan berfungsinya pemberian jasa-jasa tersebut disamping instansi yang selama ini telah dikenal, yaitu Balai Harta Peninggalan. Ketentuan yang ditambahkan antara lain mengatur syarat-syarat untuk dapat melakukan kegiatan sebagai kurator berikut kewajiban mereka.

4. Penegasan upaya hukum yang dapat diambil terhadap putusan pemyataan kepailitan, yaitu dapat langsung diajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

5. Dalam rangka kelancaran proses kepailitan dan pengamanan berbagai kepentingan secara adil, juga ditegaskan adanya mekanisme penangguhan pelaksanaan hak- kreditor dengan hak preferens yang memegang hak tanggungan, hipotik, gadai atau agunan lainnya. ,

·· 6. Penyempumaan terhadap ketentuan tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagaimana diatur dalam Bab Kedua Undang-Undang Kepailitan.

7. Penegasan dan pembentukan peradilan khusus yang disebut dengan Pengadilan Niaga, dengan hakim-hakim yang juga akan bertugas secara khusus. Pembentukan Pengadilan Niaga ini merupakan langkah diferensiasi atas Peradilan Umum, yang dimungkinkan pembentukannya berdasarkan UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam ketentuan yang dituangkan dalam Perpu No. l Tahun 1998 dikatakan bahwa peradilan khusus yang disebut Pengadilan Niaga tersebut akan khusus bertugas menangani permintaan pemyataan kepailitan.

14 Sutan Remy Sjahdeini, Op cit, hal. 35. lihat Aria Suyudi, Eryanto Nugroho dan Hemi Sri Nurbayanti, Op.cit, ha! 25. mengatakan inisiatif Pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Kepailitan, sebenamya timbul karena ada "tekanan" dari Dana Moneter lntemasional (International Monetary Fund) yang mendesak supaya Indonesia menyempumakan sarana hukum yang mengatur permasalahan pemenuhan kewajiban oleh debitor kepada kreditor. IMF merasa bahwa peraturan kepailitan yang merupakan warisan Pemerintahan Kolonia! Belanda selama ini kurang memadai dan kurang dapat memenuhi tuntutan zaman. Dari sini nampak adanya keterdesakan dan ketergesaan yang luar biasa yang dapat dilihat dari cara pengundangan UU Kepailitan dalam bentuk Peraturan

(21)

Oleh karena UU Kepailitan belum juga memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, maka perlu dibentuk suatu undang-undang yang baru.

Sehingga pada tanggal 18 Oktober 2004 diundangkan "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang" yang untuk selanjutnya dalam penulisan ini akan disebut dengan UU Kepailitan dan PKPU. 15

Jika dilihat dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun proses penyelesaian utang-piutang, UU Kepailitan dan PKPU ini mempunyai cakupan yang lebih luas. Diperlukannya cakupan yang lebih luas tersebut, karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Sedangkan ketentuan yang selama ini berlaku, belum memadai sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. 16

Salah satu persoalan yang sangat mendesak dan memerlukan pemecahan

-

sampai saat ini adalah menyelesaikan utang perusahaan; dengan demikian adanya peraturan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran dapat digunakan oleh para debitor dan kreditor secara adil, cepat, efektif segera terwujud. Mekanisme penyelesaian utang piutang itu melalui pengadilan khusus dilingkungan Peradilan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU). Sehingga tidak dapat dipungkiri lagi bahwa UU Kepailitan yang barn tersebut sebenamya sarat dengan misi untuk membantu pemulihan krisis ekonomi.

15 Tercantum dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 131 Tahun 2004.

16 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, BP Panca Usaha Putra, Jakarta, 2004, hal. 120

(22)

8

Umum disebut dengan Pengadilan Niaga.17 Pembentukan lembaga Pengadilan Niaga merupakan deferensiasi atas peradilan umum. Pengadilan Niaga ini menunjukkan Pembentukan perkembangan sejarah peradilan Indonesia telah mengalami peningkatan yang cukup berarti.18

Pasal 306 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan, bahwa Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 281 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup tugas Pengadilan Niaga Pembentukan Pengadilan Niaga selain sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ), dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan.

Adapun dasar pertimbangan ataupun tujuan utama dibentuknya Pengadilan Niaga ini adalah agar dapat menjadi sarana hukum bagi penyelesaian utang piutang diantara para pihak yaitu debitor dan kreditor secara cepat, adil, terbuka dan efektif di

17 Sebagai suatu Pengadilan Khusus dalam lingkungan Peradilan Umum, Pengadilan Niaga tersebut bukanlah merupakan pengadilan baru sebagai tambahan pengadilan yang telah ada seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Selanjutnya penjelasan Pasal 15 ayat (I) UU No. 4/2004 ini menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan

"Pengadilan Khusus" dalam ketentuan ini, antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.

Disamping itu, Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum (UUPU), juga merupakan landasan yuridis bagi pembentukan Pengadilan Niaga.

18 Bismar Nasution dan Sunarmi, Diktat Hukum Kepai/itan, Program Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2003, hal. 126

(23)

bawah pengawasan seorang Hakim Pengawas, sehingga dengan demik:ian dapat meningkatkan penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pengaturan mengenai masalah penundaan kewajiban pembayaran utang merupakan salah satu masalah yang harus segera diselesaikan, dengan cara mewujudkan aturan main yang menjaga kepentingan pihak-pihak yang berpiutang dan yang berhutang secara seimbang, adil, adanya mekanisme penyelesaian yang cepat dan transparan serta implementasi yang efektif. 19

Pada dasamya Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan Niaga ditentukan dalam Pasal 284 UU No. 4 Tahun 1998 adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan Negeri, kecuali ditentukan lain dengan undang-undang.20 Hal ini berarti Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan Niaga yang ada di Jawa dan Madura adalah HIR dan untuk Pengadilan yang ada diluar Jawa adalah Rbg.

19 lihat Elijana., S, Loe cit, hal. 16. Penyelesaian utang piutang secara cepat disini maksudnya jangka waktu penyelesaian perkara di Pengadilan Niaga telah ditetapkan dengan cepat, yang berbeda dengan Pengadilan Negri yang tidak menentukan jangka waktunya. Sedangkan maksud dari penyelesaian utang piutang secara efektif, adalah putusan perkara permohonan Kepailitan bersifat serta merta

20 Lebih lanjut Pasal 284 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1998 menjelaskan, Ketua Mahkamah Agung memberikan bimbingan dan melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat pertama dan apabila ada, di tingkat banding agar pelaksanaan persidangan dalam Pengadilan Niaga berjalan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang kepailitan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. Sehubungan dengan hal tersebut, Ketua Mahkamah Agung megambil langkah-langkah sehingga dapat terjamin:

a. penyelenggaraan persidangan Pengadilan Niaga secara berkesinambungan;

b. prosedur persidangan yang cepat, efektif dan terekam dengan baik;

c. tersedianya putusan tertulis pada saat ditetapkan, dan memuat pertimbangan yang mendasari putusan;

d. terselenggaranya pengarsipan putusan yang baik, dan agar putusan Pengadilan Niaga diterbitkan secara berkala.

(24)

IO

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang didasarkan pada beberapa asas. Asas-asas tersebut antara lain adalah:

1. Asas Keseimbangan

Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu disatu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur. Dilain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.

2. Asas Kelangsungan Usaha

Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debi tor yang prospektif tetap dilangsungkan.

3. Asas Keadilan

Dalam Kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang- wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya.

4. Asas Integrasi

Asas Integrasi dalam Undang-undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil clan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. 21

Di samping keempat asas tersebut di atas, Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini juga menerapkan asas Pembuktian sederhana yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang No.37 Tahun 2004 yang menyatakan, bahwa permohonan pemyataan pailit hams dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk

21 Penjelasan atas UU No. 37 Tahun 2004

(25)

dinyatakan pailit sebagaimana dimak:sud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.22 Dari pernyataan Pasal 8 ayat (4) tersebut dapat dilihat bahwa, untuk memahami pasal tersebut tidak: dapat lepas dari pengertian Pasal 2 ayat (1). Bisajuga dikatak:an bahwa, Pasal 8 ayat (4) tersebut hams dibaca senafas dengan Pasal 2 ayat (1).

Adapun persyaratan yang dimak:sud menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 adalah debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh wak:tu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditomya. Yang dimak:sud dengan '\!tang yang telah jatuh wak:tu dan dapat ditagih" adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh wak:tu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan wak:tu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase.23 Sedangkan yang dimaksud dengan fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fak:ta dua atau lebih Kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar.24 Perbedaan besamya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak: menghalangi dijatuhkannya putusan pemyataan pailit.

22 Pasal 2 ayat (I) UU No. 37/2004 jo. Pasal 6 ayat (3) UU No. 4/1998.

23 Penjelasan Pasal 2 ayat (I) UU No. 37/2004

24 Penjelasan Atas UU No. 37/2004 Pasal 8 ayat (4) dan Pasal 2 ayat (l) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "Kreditor" dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pemyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan.

(26)

12

Dari pengertian asas pembuk:tian secara sederhana yang telah dipaparkan di atas, nampaknya sudah jelas dan mudah untuk dilaksanakan. Akan tetapi dalam kenyataannya tidaklah demikian, karena dalam suatu kasus Pengadilan Niaga memberikan putusan bahwa "sudah terbukti secara sederhana", tetapi setelah dilimpahkan ke Mahkamah Agung temyata "dibatalkan" dan dikatakan bahwa

"belum terbukti secara sederhana". A tau sebaliknya, kadang di tingkat pertama suatu fak:ta atau keadaan adanya utang tidak terbukti secara sederhana, namun di tingkat Mahkamah Agung / MA dinyatakan sudah terbukti secara sederhana. Di samping itu variasi pendapat antara majelis hakim mencapai tingkat yang luar biasa, misalnya permasalahan seputar pembuk:tian dari utang. Majelis Hakim dalam Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung memiliki perbedaan pendapat terhadap hal tersebut. Di satu sisi Mahkamah Agung pada tingkat kasasi berpendapat adanya perbedaan jumlah utang tidak dapat diselesaikan lewat rapat verifikasi. Penetapan jumlah utang harus melalui pembuk:tian yang cermat dan teliti dan merupakan kewenangan dari Pengadilan Negri. Disisi lain Mahkamah Agung pemah juga menyatakan bahwa perbedaan utang dapat diselesaikan dalam rapat verifikasi.25

Memang sangat patut disayangkan, bahwa Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tidak memberikan penjelasan yang rinci mengenai bagaimana pembuktian sederhana itu dilakukan dalam memeriksa permohonan pailit. Tidak adanya definisi serta batasan yang jelas atau indikator-indikator yang dapat menjadi pegangan apa yang dimaksud dengan pembuk:tian sederhana inilah, akhimya membuka ruang

25 Aria Suyudi, Eryanto Nugroho dan Hemi Sri Nurbayanti, Op.cit., hal. 158-159

(27)

perbedaan yang lebar di antara para hakim dalam menafsirkan pengertian pembuktian sederhana dalam menyelesaikan permohonan kepailitan. Sehingga dalam hal ini muncul permasalahan, bagaimana sebenarnya sistem pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan itu.

Oleh karena itu penulis berkeinginan meneliti sejauhmana penerapan asas ini dalam praktik peradilan dan diimplementasikan dalam sistem hukum kepailitan sekarang ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penerapan asas Pembuktian sederhana dalam praktik penjatuhan putusan pailit di pengadilan Niaga?

2. Kendala atau hambatan apa sajakah yang ditemui dalam penerapan asas pembuktian sederhan-dalam penjatuhan putusan pailit?

3. Upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan dalam mengatasi kendala atau hambatan dalam penerapan asas pembuktian sederhana dalam penjatuhan putusan pailit?

C. Tujuan Penelitian.

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

(28)

14

1. Untuk mengetahui penerapan asas pembuktian sederhana dalam praktik peradilan Niaga.

2. Untuk mengetahui kendala atau hambatan yang ditemui Pengadilan Niaga dalam penerapan asas pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan.

3. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan oleh Pengadilan Niaga dalam mengatasi kendala atau hambatan dalam penerapan asas pembuktian sederhana dalarn perkara kepailitan.

D. Manfaat Penelitian

Ada dua (2) manfaat yang dapat diharapkan dari penelitian ini, yaitu manfaat secara teoretis dan manfaat secara praktis, yaitu:

1. Secara Teoretis.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para akademik dalam memberikan penambahan ilmu pengetahuan hukum khususnya Hukum Kepailitan.

2. Secara Praktis.

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang bersengketa dalam proses peradilan niaga, khususnya bagi para Debitor pailit dalam menyikapi berbagai permasalahan dalam sistem penerapan asas pembuktian sederhana.

(29)

E Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan oleh penulis, baik dari hasil-hasil yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan, khususnya pada Sekolah Pascasajana - Magister Kenotariatan dan Ilmu Hukum - Universitas Sumatera Utara, temyata belum ada penulis sebelumnya yang melakukan penelitian dengan judul "Penerapan Asas Pembuktian Sederhana Dalam Penjatuhan Putusan Pailit. Tetapi telah ada ulasan ataupun penelitian tentang Kepailitan, yakni Syarat-syarat Pemyataan Pailit menurut Pasal 1 ayat (1) undang- undang Nomor 4 Tahun 1998 dan penerapannya oleh Pengadilan Niaga yang ditulis oleh Manahan M.P Sitompul, Efektivitas Perlindungan Hukum Kreditor Sebelum Putusan Penjatuhan Pailit Dalam Praktek Penegakan Hukum di Pengadilan Niaga yang ditulis oleh Kurnia Y ani Dannono dan Pertanggungjawaban Pengurus Perseroan Terbatas Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Ditinjau dari UU No. 1 Tahun 1995 dan UU No. 4 Tahun 1998 yang ditulis oleh Sunarmi. Oleh karena pembahasan / ulasannya berbeda, maka dari itu penelitian ini dapat dikatakan asli dan dapat dipertanggungjawabkan di kemudian hari.

MIL1K PER PUST A KA AN

UNIVEBSJT AS S :

(30)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata 1. Definisi Pembuktian

Hukum Acara Perdata sebenamya merupakan keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara bagaimana mempertahankan, melaksanakan menegakkan Hukum Perdata Materiil melalui proses peradilan. Di sini tugas seorang Hakim adalah menyelediki apakah hubungan yang menjadi dasar perkara benar-benar ada atau tidak. Hubungan inilah yang hams terbukti di muka Hakim. Tugas kedua belah pihak yang berperkara (baik Penggugat maupun Tegugat) hams memberi bahan-bahan bukti yang diperlukan oleh Hakim. Dengan bahan-bahan bukti ini, masing-masing pihak berusaha membuktikan dalilnya atau pendiriannya yang dikemukakan kepada Hakim dan Hakim diwajibkan memutusi perkara mereka itu.

Dapat dikatakan bahwa Hukum Pembuktian memegang peranan atau menduduki tempat yang amat penting dalam Hukum Acara Perdata, karena dikabulkan atau ditolaknya suatu gugatan bergantung pada terbukti atau tidaknya gugatan tersebut di depan pengadilan.26 Jadi secara formal, Hukum Pembuktian itu mengatur cara bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat di dalam HIR dan Rbg. Sedangkan secara materiel, Hukum Pembuktian itu mengatur dapat tidaknya

26 Darwan Prinst, Strategi Menyususn dan Menangani Gugatan Perdata, PT Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1996, ha!. 177 /

i-

16

(31)

diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti itu.27

Maksud kata "membuktikan" baik dari pihak Penggugat maupun pihak Tergugat itu, berarti memberi fakta-fakta sebanyak-banyaknya dari para pihak tersebut guna meyakinkan Hakim atas kebenaran dalil-dalil (posita) tuntutannya sebagaimana dalam gugatan Penggugat dan sebaliknya kebenaran dalil-dalil sangkalan / bantahannya dari Tergugat. Sehingga dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan membuktikan adalah: memberikan dasar-dasar yang cukup kepada Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara, agar dapat memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

"Membuktikan" dalam arti yang luas adalah memperkuat kesimpulan Hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Sedangkan dalam arti yang terbatas, pembuktian hanya diperlukan apabila apa yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat. Apa yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan.28 Hal-hal yang diajukan oleh satu pihak dan diakui oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan, karena tentang hal itu tidak ada perselisihan. Dalam Hukum Acara Perdata, sikap tidak menyangkal dipersamakan dengan mengakui.

Oleh karena membuktikan itu adalah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu perkara, maka dengan sendirinya segala sesuatu yang dilihat sendiri oleh Hakim di muka sidang tidak usah dibuktikan,

27 Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata, Class Action serta Arbitrase dan Alternatif, Grafitri, Bandung, 2003, hal. 67

28 Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal. 63

(32)

l

18

misalnya Hakim melihat sendiri di muka pengadilan, bahwa barang yang dibeli oleh penggugat mengandung cacat yang tersembunyi atau bagian tubuh penggugat cacat akibat ditabrak mobil tergugat, dan sebagainya. Apabila Hakim dalam putusannya menyatakan, bahwa sesuatu hal telah dilihatnya sendiri di muka sidang, maka pemyataan tersebut tidak dapat diganggu gugat.

Di samping hal-hal tersebut di atas, masih terdapat hal-hal yang tidak memerlukan pembuktian akan kebenarannya, yaitu apa yang dalam Hukum Acara Perdata disebut Notoire feiten I fakta - fakta notoir. Yang dimaksud dengan Fakta- fakta notoir I notoire feiten adalah hal-hal yang sudah lazimnya diketahui oleh umum,29 misalnya: Hari Minggu adalah hari libur, dalam satu hari ada 24 jam, tanggal 17 Agustus 1945 adalah Proklamasi Kemerdekaan Negara RI, setiap karyawan wajib menerima upah, lalu lintas di Medan selalu macet, harga ernas lebih mahal daripada tembaga, dan lain sebagainya. 30

Jadi, ada 3 (tiga) hal dalam Hukum Acara Perdata yang tidak memerlukan pembuktian, yaitu:31

29 Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hal. 17

30 Menurut Pitlo dalam bukunya, "Bewijs En Verjaring Naar Het Nederlands Burgerlijk Wetboek" sebagaimana dikutip oleh Retnowulan Sutantio dan lskandar Oeripkartawinata dalam karyanya "Hukum Acara Perdata da/am Teori dan Praktelc', Alumni, Bandung, 1985, hal. 41-42, mengatakan bahwa tidaklah tennasuk dalam notoire feiten itu peristiwa-peristiwa yang secara kebetulan diketahui oleh Hakim yang bersangkutan, atau ia menyaksikannya ketika terjadi atau Hakim yang bersangkutan mempunyai keahlian perihal suatu kejadian/keadaan. Pendapat itu dapat dibenarkan, karena hal-hal semacam itu sukar untuk dimasukkan dalam golongan "diketahui umum".

Dalam ha! timbul perselisihan-perselisihan hal-hal semacam itu masih harus dibuktikan.

31 Krisna Harahap, Op cit, hal. 71

(33)

a. Pengakuan.

Yang dimaksud dengan Pengakuan adalah tergugat mengakui apa yang digugat oleh Penggugat.

b. Procesueele feiten.

Yang dimaksud dengan Procesueele feiten adalah fakta-fakta yang ditemukan Hakim di muka sidang.

c. Notoire feiten.

Yang dimaksud dengan Notoire feiten adalah fakta / keadaan yang diperkirakan sudah diketahui oleh umum.

2. Behan Pembuktian32

32 Lihat I. Rubini, Pengantar Hukum Acara Perdata, Penerbit Alumni, Bandung, 1974, hal. 40- 42. yang menguraikan bahwa ada 3 (tiga) teori tentang beban pembuktian (Theorie Bewijstlasverdeling) yaitu (I) Teori Subjectiefrechtelijk: di sini penggugat hams membuktikan kenyataan specifiek yang merupakan dasar daripada haknya, sedangkat tergugat harus membuktikan hal-hal yang menghapuskan hak. (2) Teori Objectiejrechtelijk: dasamya-adalah Hukum. Menurut teori ini beban pembuktian·•itu ditentukan oleh peraturan-peraturan hukum yang dikehendaki oleh kedua belah pihak. Teori ini mengembalikannya kepada soal interpretasi hukum. Menurut Theorie Objectiefrechtelijk, peraturan hukum itu dibagi menjadi: Peraturan Umum (Regel voorschriften) dan Peraturan Pengecualian (uitzonderings voorschriften). (3) Teori Kelayakan (Billijkheid): Teori inilah yang dipergunakan di Indonesia. Menurut teori ini yang dibebani pembuktian itu dalam hal-hal konkrit, yaitu orang yang paling sedikit diberati dengan pembuktian. Bdg. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2002, hal. 136 - 137, ada lima teori pembebanan pembuktian yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim dalam meJakukan hukum pembuktian di pengadilan, yaitu: (1) Teori pembuktian yang hanya bersifat menguatkan: disini siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya, dan bukan yang mengingkari atau yang menyangkalnya. Dasar pertimbangan teori ini adalah bahwa sesuatu hal yang negatif tidak mungkin untuk dibuktikan (negativa non sunt probanda). Peristiwa negatif tidak dapat menjadi dasar untuk suatu hak meskipun pembuktiannya dimungkinkan, sehingga tidak dapat dibebankan kepada seseorang. (2) Teori hukum subyektif: menurut teori ini, suatu proses perdata selalu merupakan pelaksanaan hukum subjektif atau bertujuan mempertahankan hukum subjektif. Untuk mengetahui peristiwa mana yang harus dibuktikan, maka peristiwa tersebut perlu dibedakan atas peristiwa umum dan peristiwa khusus, yang dapat dibagi lagi atas: peristiwa khusus yang bersifat menimbu]kan hak, peristiwa khusus yang menghalangi timbulnya hak dan peristiwa khusus yang bersifat membatalkan hak. (3) Teori hukum objektif: disini, seorang penggugat yang mengajukan suatu gugatan berarti ia

(34)

20

Masalah beban pembuktian merupakan masalah yang dapat menentuk:an jalannya pemeriksaan perkara dan menentuk:an hasil perkara, yang pembuktiannya itu harus dilakukan oleh para pihak dengan jalan mengajukan alat-alat bukti. Sehingga dapat dikatakan, bahwa beban pembuktian merupakan salah satu bagian penting dalam sistem hukum pembuktian perkara perdata, karena di sini akan ditanyakan:

kepada pihak manakah akan dipikulkan beban pembuktian jika terjadi suatu perkara?

Masalah apa saja yang dibebankan pembuktiannya kepada Penggugat dan bagian mana yang menjadi beban tergugat? Apabila keliru memikulkan beban pembuktian tersebut, maka dapat menimbulkan ketidakadilan atau kerugian terhadap pihak yang dibebani dan memberikan keuntungan kepada pihak yang lain.

Pembagian beban pembuktian merupakan tugas Pengadilan atau Hakim semata-mata, artinya bahwa Hakimlah yang akan menentuk:an apa yang hams dibuktikan dan pihak mana yang akan memikul resiko beban pembuktian. Tugas ini bukanlah tugas yang mudah. Tugas ini harus sungguh-sungguh dijalankan, dalam arti tidak dilakukan dengan begitu saja, yaitu dengan memberikan kepada salah satu pihak suatu kewajiban pembuktian. Maka dari itu hakim dalam memikulkan

telah meminta kepada hakim agar menerapkan ketentuan-ketentuan hukum objektif terhadap peristiwa yang diajukan tersebut. Oleh karena itu, penggugat harus membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan tersebut. Selanjutnya hakim akan mencari hukum objektif untuk diterapkan pada peristiwa tersebut. Hakimlah yang bertugas menerapkan hukum objektif pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak. (4) Teori hukum publik: menurut teori ini, upaya mencari keadilan dan kebenaran suatu peristiwa di pengadilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu, hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran tersebut. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang bersifat hukum publik, yaitu untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini tentunya haru~. disertai dengan sanksi pidana. (5) Teori hukum acara: menurut teori ini, hakim harus membagikan beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak. Asas audi et alteram partem yang merupakan asas kedudukan prosesuil yang sama dari para pihak akan membawa akibat menang atau kalah yang sama. Oleh karena itu, hakim harus membagi beban pembuktian para pihak secara seimbang dan patut.

(35)

pembebanan pembuktian harus bersikap adil dan menjaga adanya keseimbangan dalam memberi beban pembuktian. Hal tersebut berarti, bahwa Hakim dalam memberi beban pembuktian tidak boleh berat sebelah.33 Hakim tidak boleh merugikan kepentingan salah satu pihak, tetapi secara bijaksana membaginya sesuai dengan sistem hukum pembuktian dengan cara memberi perhitungan yang sama kepada pihak yang berperkara.

Pedoman umum bagi Hakim dalam membagi beban pembuktian termuat dalam Pasal 1865 KUH Perdata34 dan Pasal 163 HIR.35 Inti dari kedua pasal tersebut pada hakekatnya adalah sama, yang menyatakan, bahwa orang yang mendalilkan adanya sesuatu hak atau kejadian untuk meneguhkan haknya itu, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. 36 Hal ini dikenal dengan asas siapa mendalilkan sesuatu, maka ia harus membuktikan. Secara sepintas lalu, asas tersebut kelihatannya sangat mudah. Sesungguhnya dalam praktek merupakan hal yang sangat sukar untuk menentukan secara tepat, siapa yang harus dibebani kewajiban untuk membuktikan sesuatu.

Berkaitan dengan pasal tersebut di atas Wirjono berpendapat, bahwa kedua pasal ini sama sekali tidak cukup terang untuk dapat dijadikan dasar penyelesaian

33 M. Yahya Harahap., Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan., Persidangan., Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, ha!. 519

34 Bunyi pasal 1865 KUH Perdata: "Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu."

35 Bunyi Pasal 163 HlR: "Barangsiapa yang mengatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu".

36 Teguh Samudera, Hukum Pembuktian da/am Acara Perdata, Alumni, Bandung, 2004, hal. 22

(36)

22

soal pembagian beban pembuk:tian, oleh karena baik penggugat maupun tergugat dapat masuk penyebutan orang yang oleh Pasal itu dibebankan membuktikan sesuatu hal. Kedua-duanya masing-masing dapat mengatakan mempunyai suatu hak untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah adanya hak orang lain.37

Walaupun kedua pasal tersebut menyatakan seperti itu, apabila hakim secara mutlak mengikuti aturan tersebut, maka menurut Teguh Samudera hal itu akan menimbulkan beban pembuktian yang berat sebelah bagi pihak yang mendalilkan adanya hak atau peristiwa. Sehingga pada akhimya tidak akan mencapai tujuan atau hasil yang baik, karena pada salah satu pihak disuruh membuktikan sesuatu keadaan yang negatif. 38 Padahal mengenai segala sesuatu yang konkret tidak hanya salah satu pihak saja yang harus membuktikan, melainkan kedua belah pihak harus pula mempunyai alasan-alasannya.

Dari pemyataan tersebut di atas dapat dikatakan, bahwa masalah beban pembuktian itu sebenamya bergantung kepada situasi dan kondisi masing-masing perkara yang dihadapi atau ditangani oleh Hakim di depan sidang pengadilan. Jadi di sini, Hakim harus benar-benar rnemperhatikan pada pertimbangan keadilan, walaupun di dalarn hukum material telah ditetapkan tentang pembagian beban pembuktian terse but. 39

37 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Penerbit Sumur Bandung, Bandung, 1975, hal. I 05

38 Ibid, hal. 23

39 Ibid, hal. 24

(37)

Malikul Adil dalam bukunya "Pembaharuan Hukum Perdata Kita"

sebagaimana dikutip Subekti dalam karyanya Hukum Pembuktian menyatakan, bahwa Hakim yang insaf akan kedudukannya tidak akan lupa bahwa dalam membagi- bagi beban pembuktian, ia harus bertindak jujur dan sportif, tidak akan membebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan hal yang tidak dapat dibuktikan. 40

Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal 163 HIR merupakan asas umum beban pembuktian. Di samping kedua Pasal tersebut, hukum materiil sendiri mengatur atau menetapkan suatu beban pembuktian, di antaranya:

a. Adanya keadaan yang memaksa / force mcif eure harus dibuktikan oleh pihak debitor (Pasal 1244 KUH Perdata);

b. Pihak yang menuntut penggantian kerugian akibat perbuatan melanggar hukum, hams membuktikan adanya kesalahan (Pasal 1365 KUH Perdata);

c. Adanya kwitansi yang berturut-turut tanggal pembayarannya sebanyak tiga kwitansi, membebaskan debitor untuk membuktikan pembayaran-pembayaran yang lebih dulu (Pasal 1394 KUH Perdata). Pasal ini membebankan pembuktian kepada penyewa tentang kebenaran pembayaran sewa.

d. Adanya bukti pembayaran pokok uang pinjaman dianggap terbukti telah membayar bunga dari pinjaman tersebut (Pasal 1769 KUH Perdata). Pasal ini secara tegas membebaskan debitor membuktikan kebenaran pembayaran bunga apabila dia mampu membuktikan pembayaran utang pokok.

40 Subekti, Op. cit, hal. 20

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kasus tersebut maka PT BANK DANAMON INDONESIA Tbk mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Negri Jakarta Pusat, tetapi permohonan pailit tersebut ditolak, dengan

Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh uraian dan pertimbangan hukum tersebut diatas Majelis Hakim berpendapat bahwa terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara

Adapun hasil penelitian penulis bahwa kedudukan hukum penjamin atau personal guarantee apabila debitor utama dinyatakan pailit maka penjamin wajib memberikan

Akibat hukum putusan pailit bagi kreditor preferen pemegang hak tanggungan apabila debitor dinyatakan pailit adalah tetap dapat menjalankan haknya sebagai

harus dilakukan secara efisien.11 Berdasarkan filosofi tersebut, debitor yang dapat dinyatakan pailit seharusnya adalah debitor yang tidak mampu insolvent keuangannya, artinya

Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, penjatuhan pailit pada para pihak yang dimohonkan pailit dapat dengan beberapa cara, dimana proses tersebut dapat dengan

Hak eksekusi kreditor khususnya pemegang Hak Tanggungan terhadap harta kekayaan debitor yang telah dijadikan jaminan oleh debitor pailit atas kewajiban–kewajibannya, diatur di

Pengertian kepailitan sendiri diatur dalam pasal 1 angka 1 UU Kepailitan, menentukan: “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan