• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETNOBOTANI DI INDONESIA DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "ETNOBOTANI DI INDONESIA DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1. Disampaikan pada kuliah umum OMPT Canopy UI pada hari Rabu Tanggal 4 November 2015

2. Dosen Pendidikan Biologi FKIP UKI Page 1

ETNOBOTANI DI INDONESIA DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA

1

Marina Silalahi2 marina_biouki@yahoo.com PENDAHULUAN

Saya merasa sangat terhormat diundang Kanopi untuk menyampaikan Kuliah Umum Etnobotani pada hari ini, Rabu 4 November 2015, sebagai bagian dari acara OMPT Canopy UI. Dalam kesempatan yang baik ini saya akan mengungkapkan apa yang kita ketahui tentang etnobotani/etnomedisin, potensi pemanfaatan tumbuhan Indonesia, dan pengembangan etnobotani.

Indonesia memiliki lebih dari 25.000-30.000 spesies tumbuhan dan memiliki lebih dari 17.000 pulau serta memiliki lebih dari 50 tipe ekosistem atau vegetasi alami (Kartawinata 2010). Di Indonesia juga diperkirakan dihuni oleh sekitar 300-700 etnis yang tersebar dari Sabang sampai Merauke yang mendiami pulau-pulau kecil maupun pulau besar. Keanekaragaman tumbuhan dan etnis Indonesia merupakan kekayaan dan kekuatan yang yang tidak dimiliki oleh Negara lain. Keragaman etnis dan daerah tempatan Indonesia menghasilkan keragaman budaya, tradisi, dan kearifan lokal yang berbeda antar satu etnis dengan etnis yang lain atau antar satu daerah dengan daerah yang lain.

Salah satu kearifan lokal yang dimiliki oleh etnis Indonesia adalah memanfaatkan sumber daya alam hayati nabati di sekitarnya. Setiap masyarakat lokal memanfaatkan sumber daya nabatinya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum tumbuhan dimanfaatkan oleh masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhannya seperti bahan pangan, obat-obatan, konstruksi, pewarna, sumber serat, ritual, ornamen, maupun manfaat lainnya. Pengetahuan lokal tersebut pada umumnya diwariskan secara lisan sehingga pengetahuan tersebut hanya terbatas pada sekelompok masyarakat tertentu padahal lebih 80% pemanfaatan obat yang beredar dalam industri farmasi diadaptasi dari pengetahuan lokal (Fabricant & Farnsworth 2001).

Begitu pentingnya sumber daya tumbuhan untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan untuk kesejaterahan manusia, hal tersebut sangat disadari oleh Belanda sejak masuk ke Indonesia. Kartawinata (2010) menyatkan bahwa pada zaman penjajahan Belanda, VOC mengeluarkan perintah khusus yang mengharuskan para apoteker dan dokter bedah dalam setiap pelayaran mengumpulkan dan membuat contoh kering tumbuhan yang dapat diperdagangkan dan juga semua tumbuhan yang dapat diperoleh, dilengkapi catatan dan gambarnya. Lebih lanjut Kartawinata (2010) menyatakan berdasarkan catatan spesimen bukti (voucher specimen) sebagian besar berasal dari pulau Jawa maupun Ambon dan sekitarnya, sedangkan untuk daerah Kalimantan, Sumatera dan Papua masih terbatas.

ETNOBOTANI

Untuk mengungkapkan pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat lokal/etnis maka lahirlah disiplin ilmu yang disebut dengan etnobotani. Secara harfiah etnobotani berasal dari kata ethnos= etnis; dan botani= tumbuhan, sehingga sering diartikan sebagai bidang ilmu yang menkaji hubungan antara etnis dengan tetumbuhan. Secara empirik ilmu etnobotani telah ada sejalan dengan perkembangan peradapan manusia, namun istilah etnobotani sendiri pertama kali dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan

(2)

1. Disampaikan pada kuliah umum OMPT Canopy UI pada hari Rabu Tanggal 4 November 2015

2. Dosen Pendidikan Biologi FKIP UKI Page 2

pada tahun 1895 yang diperkenalkan oleh Harshberger. Salah satu yang dianggap cukup representatif merekam tetumbuhan dalam lanskap Jawa adalah relief pada susunan batu yang membentuk kaki terbenam candi Borobudur (Kartawinata 2010). Di Indonesia secara fisik etnobotani ada sejak tahun 1983, dengan diresmikannya Museum Etnobotani di Herbarium Bogoriense.

Dalam prakteknya etnobotani menekankan bagaimana mengungkap keterkaitan budaya masyarakat (antropologi) dengan sumber daya tumbuhan (botani) di lingkunganya secara langsung ataupun tidak langsung. Hal tersebut mengutamakan presepsi dan konsepsi budaya kelompok masyarakat dalam mengatur sistem pengetahuan anggotanya menghadapi tumbuhan dalam lingkup hidupnya. Disiplin ilmu etnobotani berasosiasi sangat erat dengan ketergantungan manusia pada tumbuh- tumbuhan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Walujo 2009).

Filosofi yang mendasari pemikiran ahli etnobotani tentu bagaimana cara pandang seorang ahli tumbuh-tumbuhan (botanis) berlaku sebagai seorang etnograf dan sebaliknya seorang etnolog mampu memahami tumbuhan, bagaikan seorang ahli botani.

Etnobotani harus mampu mengungkapkan keterkaitan hubungan budaya masyarakat, terutama tentang persepsi dan konsepsi masyarakat dalam memahami sumber daya nabati di lingkungan dimana mereka bermukim. Pemaparan etnobotani harus diungkapkan “tempatan” (emik) untuk kemudian secara taat asas dibuktikan dari latar belakang ilmiah (etik). Pendekatan emik adalah pendekatan berdasarkan sudut pandang masyarakat, sedangkan pendekatan etik adalah pendekatan berdasarkan sudut pandang ilmu pengetahuan. Pendekatan emik bertujuan untuk memperoleh data mengenai pengetahuan masyarakat tentang objek yang sedang diamati menurut kacamata dan bahasa mereka, tanpa harus diuji kebenarannya (Martin 1995; Walujo 2004; Chevalier dkk. 2014)

Untuk pengembangan ilmu maka etnobotani sebaiknya dilakukan dengan multidisiplin ilmu meliputi disiplin Botani murni, seperti taksonomi, ekologi, sitologi, biokimia, fisiologi, tetapi juga ilmu sosial terutama antropologi budaya dan ilmu-ilmu lain dari Pertanian Kehutanan maupun Hortikultura yang banyak memperhatikan persoalan perbanyakan, budidaya, pemanenan, pengolahan, ekonomi produksi, dan pasar (Walujo 2008).

Saat ini, perkembangan penelitian etnobotani mengalami kemajuan di seluruh dunia, namun fokusnya bervariasi. Penelitian etnobotani di Asia lebih diarahkan pada pendokumentasian pengetahuan tumbuhan obat, sedangkan di Afrika lebih diarahkan pada pengetahuan pertanian tradisional yang dipadukan dengan program pengembangan wilayah pedalaman. Walaupun demikian bila ditelusur dari publikasi yang ada kemajuan penelitian etnobotani paling banyak terjadi di Amerika. Lebih dari 50%

publikasi penelitian yang dihasilkan berasal dari Benua Amerika sisanya berasal dari dengan wilayah lain (Cotton 1996). Hal tersebut menunjukkan bahwa penelitian di negara kita (Indonesia) masih tertinggal dari negara lainnya, padahal sejak jaman dahulu Indonesia terkenal dengan tanaman rempah dan jamu-jamuan, serta keragaman bahan pangan lokal.

Sejalan dengan hal di atas, menurut hemat saya penelitian etnobotani di Indonesia sebaiknya kita fokuskan terhadap pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat lokal atau sering disebut dengan etnomedisin.

(3)

1. Disampaikan pada kuliah umum OMPT Canopy UI pada hari Rabu Tanggal 4 November 2015

2. Dosen Pendidikan Biologi FKIP UKI Page 3

ETNOMEDISIN

Etnomedisin merupakan salah satu bidang kajian etnobotani yang berkembang dengan pesat, khusunya di daerah Asia Tenggara termasuk Indonesia. Etnomedisin adalah presepsi dan konsepsi masyarakat lokal dalam memahami kesehatan atau studi yang mempelajari sistem medis etnis tradisional (Bhasin 2007; Daval 2009). Pada awal etnomedisin merupakan bagian dari ilmu antropologi kesehatan (Bhasin 2007) dan mulai berkembang pada pertengahan tahun 1960-an (McElroy 1996). Studi etnomedisin dilakukan untuk memahami budaya kesehatan dari sudut pandang masyarakat (emic view), kemudian dibuktikan secara ilmiah (etik) (Walujo 2009).

Purwanto (2002) menyatakan bahwa penggunaan data tentang tumbuhan obat tradisional yang berasal dari hasil penyelidikan etnomedisin merupakan salah satu cara yang efektif dalam menemukan bahan-bahan kimia baru yang berguna dalam pengobatan terutama dari segi waktu dan biaya. Beberapa obat yang berasal dari pengetahuan lokal antara lain: (1) kuinin diadaptasi dari pengetahuan suku asli Incas yang telah lama menggunakan Chinchona sebagai obat malaria; (2) reserpin yang berasal Rauwolfia serpentina telah lama digunakan penduduk India sebagai obat untuk menurunkan tekanan darah.

Pada saat ini penelitian etnomedisin banyak ditujukan untuk menemukan senyawa kimia baru yang berguna dalam pembuatan obat-obatan modern penyakit berbahaya, seperti obat kanker (Fabricant & Farnsworth 2001). Silalahi dkk. (2015b) melaporkan bahwa Hoya sp. dan Dischidia sp. merupakan tanaman yang dimanfaatkan oleh tumbuhan obat di pasar Kabanjahe Sumatera Utara sebagi obat kanker. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak pengetahuan lokal pemanfaatan tumbuhan obat oleh etnis di Indonesia belum terpublikasi dengan baik.

Secara umum masayarakat membedakan dua jenis penyakit yaitu penyakit natural dan supranatural (William 2006; Nala 2007; Silalahi dkk. 2015a). Penyakit yang disebabkan oleh alami seperti demam dan panas, penyakit disebabkan oleh ketidakseimbangan elemen tubuh. Penyakit supranatural penyakit yang disebabkan oleh kekuatan supranatural seperti kekuatan setan, adanya dosa, pelanggaran tabu atau yang disebabkan oleh Tuhan. Walaupun demikian konsep sakit pada masyarakat lokal bervariasi antara satu etnis dengan etnis lainnya. Sebagai contoh masyarakat suku Dani di lembah Baliem dikatakan sakit apabila tidak dapat berladang dan berburu (Purwanto 2004), sedangkan pada orang Rejang (Darnaedi 1998), Kasepuhan (Darnaedi 1998), etnis Batak (Silalahi 2014) merupakan suatu keadaan tubuh yang lemah yang disebabkan oleh gangguan tubuh. Hal sama juga terjadi pada konsep sehat yaitu pada suku Dani Lembah Baliem sehat diekspresikan sebagai tubuh yang dingin, yang merupakan sifat yang berassosiasi dengan air sebagai sumber kehidupan Purwanto, 2002), sedangkan pada etnis Batak dinyatakan dengan enak makan, enak tidur, pikiran tenang dan hati senang (Silalahi 2014).

Penelitian etnomedisin maupun etnobotani sudah banyak dilakukan, namun masih terkonsentrasi pada etnis tertentu seperti yang terdapat pada gambar 1. Sebagian besar penelitian etnomedisin terkonsentrasi daerah pulau Jawa khusunya Kasepuhan maupun Baduy, dan daerah Bali. Khusus penelitian etnomedisin di Bali dihubungkan dengan lontar husodo (Suryadharma 2005), dan loloh (Sujarwo dkk. 2015). Penelitian- penelitian tersebut sebagian besar hanya mendokumentasikan pemanfaatannya dan terpisah secara parsial antara satu kajian ilmu dengan kajian ilmu yang lainnya, atau bahkan kajian saling over lapping antar satu peneliti dengan peneliti lainnya. Ristoja

(4)

1. Disampaikan pada kuliah umum OMPT Canopy UI pada hari Rabu Tanggal 4 November 2015

2. Dosen Pendidikan Biologi FKIP UKI Page 4

(Riset Tumbuhan obat dan Jamu) sejak tahun 2010 telah mencoba menkomplilasi dan menbuat database penelitian tumbuhan obat yang telah dilakukan di Indonesia sehingga dapat ditentukan kebijakan yeng lebih tepat.

Gambar 1. Peta yang menunjukkan penelitian etnobotani yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Walujo 2008).

POTENSI TUMBUHAN DI INDONESIA UNTUK PENGEMBANGAN ETNOMEDISIN

Dari sudut geografi tumbuhan, Indonesia, Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, Papua Nugini, Singapura, dan Timor Leste membentuk sebuah kawasan floristik yang koheren, yang disebut Malesia (Steenis 1950). Malesia merupakan kawasan fitogeografi yang khas, yang 40 % dari marga yang dikandungnya tidak terdapat di luar kawasan ini. Flora Malesia sangat kaya dan ditaksir terdiri atas 40.000 spesies tumbuhan berbunga, yang sebagian besar terdapat di Indonesia, yaitu sekitar 30.000 spesies. Jumlah ini sama dengan 10 % flora dunia.

Tumbuhan Indonesia penyebarannya tidak merata. Berikut ini merupakan penyebaran tumbuhan Indonesia terutama pada pulau-pulau besar (Lekitoo 2015).

 Papua (termasuk Papua Nugini) : antara 20.000-25.000 spesies

 Sumatera (Andalas) : antara 8.000-10.000 spesies

 Kalimantan (Borneo) : antara 10.000-15.000 spesies namun berbeda dari sumber lainnya yang memperkirakan 25.000 jenis tumbuhan berpembuluh

 Jawa (Java) : diperkirakan mencapai 4.500 spesies tumbuhan berpembuluh

 Sulawesi (Celebes) : diperkirakan 5.000 spesies tumbuhan tinggi dan 2.100 jenis diantaranya tumbuhan berkayu.

 Maluku (Moluccas) : belum dapat diperkirakan jumlahnya hanya tercatat 15.000 koleksi yang berasal dari maluku dan 2.900 berasal dari Maluku Utara

Salah satu manfaat tumbuhan yang menonjol di Indonesia adalah pemanfaatan sebgaia bahan obat atau yang dikenal dengan obat tradisional. Sebanyak 10% dari keseluruhan tumbuhan yang ditemukan di Indonesia merupakan tumbuhan obat (Kasahara 1986). Berdasarkan data yang ada, tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal Indonesia mulai diteliti secara ilmiah dilakukan oleh Rumphius pada abad ke-19 (Kartawinata 2010; Walujo 2013). Sejak saat itu, jumlah spesies tumbuhan yang bermanfaat sebagai obat terus bertambah sejalan dengan meningkatnya kegiatan penelitian. Pada tahun 1927, Heyne mencatat tidak kurang dari 1.040 jenis tumbuhan

(5)

1. Disampaikan pada kuliah umum OMPT Canopy UI pada hari Rabu Tanggal 4 November 2015

2. Dosen Pendidikan Biologi FKIP UKI Page 5

di Indonesia bermanfaat sebagai obat. Kemudian pada tahun 1986 meningkat jumlahnya menjadi 3.689 spesies, dan sekarang telah dicatat dalam buku Medical Herb in Indonesia sebanyak sekitar 7.000 spesies (Walujo 2013). Peningkatan jumlah spesies tumbuhan obat yang ditemukan ini membuktikan bahwa Indonesia kaya dengan spesies tumbuhan yang berkasiat sebagai bahan obat yang dikenali oleh berbagai kelompok etnis Nusantara.

Indonesia sangat kaya akan keanekaragaman tumbuhan, tetapi masih banyak yang belum terungkap secara ilmiah. Karena derasnya pemanenan sumberdaya hayati, khususnya penebangan ekosistem hutan dengan berbagai alasan, besar kemungkinan bahwa keanekaragaman hayati dalam ekosistem hutan ini tererosi, bahkan terancam punah. Di Indonesia dari sekitar 30.000 spesies tumbuhan berbunga ditaksir baru sekitar 60% yang telah dipertelakan secara ilmiah. Penelitian tumbuhan obat Indonesia sampai saat ini masih gencar dilakukan sebelum pengetahuan lokal tersebut benar- benar hilang. Kartawinata (2010) menyatakan bahwa laju kehilangan spesies sejalan dengan laju kehilangan pengetahuan lokal. Menurut dugaan saya, saat ini masuknya ilmu dan teknologi (internet, telepon selluler), akulturasi, kebakaran hutan akan mempercepat laju kehilangan pengetahuan lokal dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut menjadi ancaman serius pada eksistensi budaya lokal. Di Indonesia upaya seleksi dan penangkaran seperti itu untuk tumbuhan obat belum pernah dikerjakan (Rifai dan Kartawinata 1991). Sampai sekarang, belum pernah diterapkan upaya penangkaran untuk menghasilkan tumbuhan obat bermutu tinggi dengan sifat- sifat yang diinginkan seperti kandungan farmakologi kuat, produktivitas tinggi dan kandungan abu rendah (Kartawinata 2010).

METODE PENELITIAN ETNOBOTANI

Untuk mendokumentasikan pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat lokal, maka penelitian etnobotani merupakan pendekatan sampai saat ini yang dianggap paling sesuai. Secara umum metodologi yang digunakan dalam penelitia etnobotani maupun etnomedisin melalui survei, wawancara, eksplorasi bebas, maupun observasi parsipatori. Penelitian etnobotani tempat-tempat masayarakat lokal bermukim (desa), pasar, maupun lanskape yang dikenali oleh masayarakat. Silalahi (2014) melakukan pendekatan dengan tiga cara yaitu dengan survei pasar, survei masyarakat desa, dan kajian ekologi. Dalam tulisan ini difokuskan pada survei pasar dan survei masyarakat desa. Survei masayarakat desa merupakan cara yang paling banyak dilakukan oleh etnobotanis dibandingkan dengan survei pasar.

a. Survei pasar

Penggalian data pemanfaatan tumbuhan sebagai obat atau manfaat lainnya dapat dilakukan dengan survei pasar (Martin 1995; Hoang dkk. 2008). Metode survei pasar memiliki kelebihan dibandingkan dengan dengan metode lainnya seperti: dapat mengungkapkan berbagai pengetahuan masyarakat lokal (Lee dkk. 2008), sekaligus mengetahui manfaat, nilai, (Martin 1995; Betti 2002), status konservasi (Betti 2002;

van Andel dkk. 2012), dan rencana pengembangan tumbuhan obat (van Andel dkk.

2012). Kelebihan tersebut merupakan implikasi dari berbagai fungsi pasar bagi masyarakat lokal yaitu: sebagai tempat perdagangan, transaksi, pertukaran informasi pemanfaatan tumbuhan (Lee dkk. 2008), meningkatkan perekonomian (Revene dkk.

2008), dan mata pencaharian (Toksoy dkk. 2010).

(6)

1. Disampaikan pada kuliah umum OMPT Canopy UI pada hari Rabu Tanggal 4 November 2015

2. Dosen Pendidikan Biologi FKIP UKI Page 6

Untuk mendapatkan informasi kenekaragaman spesies tumbuhan yang diperjual- belikan dilakukan survei, wawancara, maupun observasi partisipatori. Survei dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan yang diperdagangkan. Wawancara dapat dilakukan kepada semua pedagang obat tradisional yang ada di pasar tersebut (Martin 1995; Betti 2002 & Idu dkk. 2010), maupun sebagian tergantung tujuan penelitian maupun cakupan penelitian, dana, dan tenaga. Wawancara dilakukan dengan wawancara bebas (open-ended interview) dan wawancara mendalam (depth interview).

Untuk mengetahui keseluruhan kegiatan yang dilakukan pedagang maka peneliti dapat juga ikut berpartisipasi dalam semua kegiatan/transaksi jual beli maupun cara meramu, menyusun tumbuhan obat yang diperdagangkan. Khusus untuk penelitian tumbuhan obat maupun tumbuhan lainnya maka hal-hal yang ditanyakan sesuai dengan tujuan penelitian. Silalahi (2014) dan Silalahi dkk. (2015b) menanyakan beberapa hal berikut:

nama lokal tumbuhan obat, bagian yang dimanfaatkan, manfaat, cara pemanfaataan, sumber perolehan, persediaan (stok), cara pengemasan (tunggal, ramuan), harga jual, permintaan pasar (tinggi, sedang dan rendah) dan lain-lain. Untuk mengetahui nama ilmiah dari tumbuhan yang diperdagangkan maka dibuat spesimen bukti (voucher specimen).

b. Survei masayarakat desa

Survei masyarakat desa merupakan cara mendapatkan cara mendapatkan data yang paling banyak digunakan oleh peneliti etnobotani. Hal tersebut berhubungan dengan anggapan bahwa etnobotani berhubungan dengan masyarakat primitip.

Anggapan ini tidak sepenuhnya benar karena beberapa manfaat spesies justru didapatkan dari survei pasar (Marin 1995), namun karena original pengetahuan lokal masih dipegang teguh oleh masyarakat yang tinggal di pedalaman. Penelitian pada umumnya dilakukan pada sekelompok atau beberapa kelompok masyarakat, etnis, desa.

Untuk mendpatkan data sebagian besar dilakukan dengan wawancara, eksplorasi bebas bersama informan, maupun observasi parsipatori. Dalam penelitian etnobotani lamanya penelitian menentukan kualitas hasil penelitian. Satu hal yang harus disiapkan oleh peneliti adalah kemapuan bahasa lokal maupun pengetahuan akan budaya (culture) masayarakat yang menjadai daerah/ etnis penelitian. Kedalaman informasi yang diperoleh salah satunya tergantung pada kemampuan berkomunikasi.

Wawancara dilakukan terhadap responden dan informan kunci. Pemilihan responden maupun informan didasarkan atas pertimbangan peubah demografi seperti:

dukun (pengobat tradisional), tokoh adat/masyarakat dan masyarakat biasa (pengguna obat tradisional) (Martin 1995). Dalam menetapkan kriteria informan yang perlu diperhatikan adalah: informan yang sudah lama dan secara intensif menyatu dengan kegiatan yang menjadi perhatian peneliti; masih terlibat secara intensif menyatu dengan kegiatan atau aktiivitas yang menjadi sasaran perhatian peneliti; mempunyai cukup waktu atau kesempatan untuk diminta keterangan.

Wawancara dilakukan secara semi structural dan open-ended. Cara pendekatan dengan menggunakan teknik purposive sampling dan snowball sampling. Untuk melengkapi data spesies tumbuhan yang dikenali oleh informan, dibuat beberapa catatan tentang habitat, habitus, nama lokal dan kegunaan serta bagian tumbuhan yang digunakan dan cara penggunaan. Untuk melengkapi data desa, beberapa hal penting yang perlu dikumpulkan adalah kondisi geografis dan sosial ekonomi dan budaya masyarakat (tingkat pendidikan, sumber pendapatan, mata pencaharian hidup, pandangan masyarakat tentang hutan dan ancaman yang terkait dengan keanekaragaman

(7)

1. Disampaikan pada kuliah umum OMPT Canopy UI pada hari Rabu Tanggal 4 November 2015

2. Dosen Pendidikan Biologi FKIP UKI Page 7

hayati). Awal penelitian mulai dari informan kunci yaitu dukun di setiap desa, kemudian dilanjutkan dengan tokoh adat serta masyarakat yang memanfaat berbagai jenis tumbuhan untuk pengobatan tradisional baik laki-laki maupun perempuan.

ANALISIS DATA ETNOBOTANI

Data etnobotani dapat dianalisis melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Analisis data secara kualitatif dapat dilakukan dengan mengelompokkan tumbuhan berdasarkan kategori guna, menyebutkan daftar tumbuhan bermanfaat beserta deskripsi cara pemanfaatannya. Untuk analisis kualitatif biasanya menggunakan statistika deskiptif (rata-rata, standart deviasi, modus, dll). Berikut ini merupakan contoh analisis deskriptif (Silalahi dkk. 2015a)

Gambar 2. Organ yang manfaatkan sebagai bahan obat pada sub-etnia Batak Simalungun Sumatera Utara.

Gambar 3. Famili tumbuhan obat dengan jumlah spesies tertinggi pada Sub-etnis Batak Simalungun Sumatera Utara.

(8)

1. Disampaikan pada kuliah umum OMPT Canopy UI pada hari Rabu Tanggal 4 November 2015

2. Dosen Pendidikan Biologi FKIP UKI Page 8

Gambar 4. Hubungan antara umur respionden dengan pengetahuan terhadap pemanfaatan tumbuhan obat pada sub-etnis Batak Simalungun Sumatera Utara.

Analisis data kuantitatif dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Analisis kuantitatif etnobotani dapat dilakukan melalui:

a. Total kegunaan

Pendekatan total kegunaan dilakukan dengan mencatat seluruh tumbuhan berguna dan tidak berguna yang ditemui selama pengambilan data. Masing-masing kegunaan dicatat, selanjutnya dikelompokkan berdasarkan kategori guna. Nilai dari setiap kegunaan selanjutnya dijumlahkan dan diberi peringkat (Hoffman & Gallaher 2007). Metode tersebut merupakan teknik yang paling mudah dan cepat dalam menganalisis data etnobotani secara kuantitatif. Kelemahan metode total kegunaan ialah tidak membedakan derajat kepentingan relatif untuk kegunaan yang berbeda, sehingga jenis tumbuhan yang paling penting diketahui berdasarkan jenis tumbuhan yang paling sering digunakan.

b. Penentuan PDM (Pebble Distribution Methods) Tumbuhan Obat (Sheil dkk.

2004; Boissiere dkk. 2009)

Nilai manfaat tumbuhan menurut masyarakat setempat ditentukan dengan metode distribusi kerikil (Pebble Distribution Methods/ PDM). PDM dilakukan dengan cara membagikan 100 buah (kerikil atu biji-bijian) diantara kartu-kartu berlabel dan bergambar sesuai dengan kepentingan mereka (responden). Beberapa PDM yang dilakukan adalah sebagai berikut:

- PDM umum setiap kategori guna

- PDM spesies tumbuhan yang terpenting menurut setiap kategori guna - PDM sumber tumbuhan

Perhitungan Nilai Indeks Kepentingan Lokal (LUVI)

Perhitungan nilai kepentingan lokal (LUVI) dihitung dengan rumus Sheil dkk. (2004):

(9)

1. Disampaikan pada kuliah umum OMPT Canopy UI pada hari Rabu Tanggal 4 November 2015

2. Dosen Pendidikan Biologi FKIP UKI Page 9

LUVI = Gij = ∑ kategori j Gij = RWj x Rwij LUVI = ∑i = spesies keseluruhan j, Gij

RWj = bobot yang diberikan untuk kelas kegunaan yang luas dimana kegunaan tertentu j berada.

Rwij = bobot relatif dalam kategori j dalam pemanfaatan spesies i yang memenuhi syarat anggota j.

c. Nilai manfaat (value use/ UV) setiap jenis dihitung berdasarkan rumus (Martin 1995; Philips 1996 dan Walujo 2004)

Keterangan

UVs = nilai guna jenis secara keseluruhan

UVis = nilai jenis s yang dideterminasi oleh informan i is = jumlah informan yang diwawancarai untuk jenis

d. Menentukan nilai indeks budaya (Index of Cultural Significance/ ICS)

Alokasi subjektif merupakan pendekatan yang dilakukan dengan menambahkan alokasi skor atau peringkat pada kelompok kegunaan tumbuhan oleh peneliti secara subjektif. Peneliti pada pendekatan tersebut membedakan kegunaan mayor dan minor dari setiap jenis tumbuhan dengan memberi skor pada setiap kategori guna. Salah satu metode dari pendekatan alokasi subjektif ialah nilai kultural (Index of Cultural Significance, ICS) (Cunningham 2001; Hoffman & Gallaher 2007). Menentukan nilai indeks budaya (Index of Cultural Significance/ ICS),

Perhitungan nilai ICS (Philips 1996; Walujo 2004) dihitung dengan rumus : ni

Bila kegunaan yang dimiliki suatu spesies tumbuhan lebih dari sekali maka formula perhitungan berkembang menjadi :

n n

nn Keterangan

ICS = Index of Cultural Significance yaitu persamaan jumlah nilai suatu spesies tumbuhan dari kegunaan 1 hingga ke n, dimana n menunjukkan kegunaan terahir dari suatu jenis tumbuhan

I: menunjukkan nilai 1 hingga ke n secara berurutan

q = nilai kualitas (quality value) sebagai contoh : pemberian nilai 5 = diberikan pada bahan makan utama; 4 = makanan tambahan dan bahan utama (secondary food + primary material); 3 = jenis makanan lainnya + bahan sekunder dan bahan obat-obatan (other food + secondary material + medicine); 2 = semua jenis tumbuhan yang digunakan dalam ritual, mitos, rekreasi dan lain-lain (ritual, mithologi, recreation, etc) dan nilai 1 hanya diketahui kegunaan saja (mere recognation)

(10)

1. Disampaikan pada kuliah umum OMPT Canopy UI pada hari Rabu Tanggal 4 November 2015

2. Dosen Pendidikan Biologi FKIP UKI Page 10

i: menunjukkan nilai intensitas (intensity value) penggunaan. Sebagai contoh nilai 5 = sangat tinggi intensitas penggunaan; nilai 4= secara moderat penggunaannya tinggi;

nilai 3 = intensitas penggunaan sedang-sedang; nilai 2 = intensitas pemanfaatan rendah;

nilai 1 = intensitas penggunaannya sangat sedikit.

e = simbol untuk menyatakan nilai ekslusivitas (exclusive value); sebagai contoh nilai 2:

menggambarkan pilihan yang paling disukai; nilai 1 = menggambarkan terdapat lebih dari satu dari beberapa pemanfaatan yang disukai; nilai 0,5 menggambarkan sumberdaya sekunder.

e. Konsensus informan

Metode pada konsensus informan yang umum digunakan ialah nilai guna (Use Values, UVs). Metode tersebut memiliki bias yang lebih kecil dari alokasi subjektif, namun tidak dapat membedakan tingkat kepentingan tumbuhan. Selain itu, analisis data dilakukan dengan cara memberi rata-rata kegunaan pada setiap jenis tumbuhan, sehingga jenis tumbuhan yang jarang dimanfaatkan namun memiliki lebih dari satu kegunaan dianggap lebih penting dari jenis tumbuhan yang sangat populer namun hanya memiliki satu kegunaan (Hoffman & Gallaher 2007).

Metode lain dari konsensus informan ialah nilai fidelitas (Fidelity Level, FL).

Nilai fidelitas dilakukan melalui kalkulasi rasio antara jumlah informan yang menyebutkan kegunaan tertentu suatu jenis tumbuhan (Np) dan jumlah total informan yang menyebutkan kegunaan lain dari jenis tumbuhan yang sama (N) (Andrade-Cetto &

Heinrich 2011; Evrizal dkk. 2013). Metode tersebut digunakan untuk mengetahui jenis tumbuhan yang paling disukai untuk kegunaan tertentu, sehingga tumbuhan yang banyak dimanfaatkan masyarakat lokal untuk kegunaan tertentu memiliki nilai fidelitas lebih tinggi dibanding tumbuhan lain yang kurang populer. Khan dkk. (2014) menambahkan bahwa nilai fidelitas menunjukkan persentase informan dalam memanfaatkan suatu jenis tumbuhan untuk tujuan utama yang sama.

PROSPEK KE DEPAN

Kenyataaan bahwa kehidupan manusia sangat bergantung kepada tumbuhan yang terdapat dilingkungan sektarnya tidak dapat dipungkiri dan kelangsungan hidup manusi sangat tergantung pada kelestarian sumber daya manusia. Tumbuhanmemang sumber daya hayati yang dapat diperbaharui, namuan adanya kenyataan bahwa alih fungsi hutan maupun derasnya arus globalisasi tidak dapat dapat dihambat. Masyarakat lokal yang selama ini bermukim dipinggiran hutan dan menggantungkan diri ke hutan mulai meninggalkan berbagai kearifan lokal tentang pemanfaatan tumbuhan. Penggalian pemanfaatan tumbuhan mulai tertinggalkan, dan kebudayaan lokal digantikan dengan moderisasi. Hal tersebut menjadi warning bagi kita semua bahwa kita harus secepatnya mendkumentasikan pengethuan lokal yang dimiliki oleh ratusan etnis di Indonesia sebelum pengetahuan itu menjadi lenyap. Peneliti-peneliti etnobotani atau etmomedisin merupakan jawaban utama masalah ini. Diharapkan akan lahir etnobotanis-etnobotanis baru dari mahasiswa yang berkolborasi dengan peneliti dibidang Kedokteran, Pembudidaya Tanaman, Farmasi, Pertanian sehingga hasil pengembangan pengethuan lokal etnis-etnis di Indonesia dapat dirasakan secepatnya.

DAFTAR PUSTAKA

(11)

1. Disampaikan pada kuliah umum OMPT Canopy UI pada hari Rabu Tanggal 4 November 2015

2. Dosen Pendidikan Biologi FKIP UKI Page 11

Andrade-Cetto, A. & M. Heinrich. 2011. From the field into the lab: useful approaches to selecting species based on local knowledge. Frontiers in Pharmacology 2: 1- 5.

Betti, J.L. 2002. Medicinal plants sold in Younde market, Cameroon. African Study Monographs 2(2): 47-64.

Bhasin, V. 2007. Medical anthropology : a review. Ethno.Med. 1(1): 1-20.

Boissiere, M., M. Van Heist, D. Sheil, I.Basuki, S. Frazier, U. Ginting, M. Wan, B.

Hariyadi, H.D. Kristianto, J.Bemei, R.Haruway, E.R. Ch. Marien. D.P.H.

Koibur, Y. Watopa, I. Rachman & N. Liswanti. 2009. Pentingnya sumber daya alam bagi masyarakat lokal daerah aliran sungai Mamberamo, Papua, dan implikasinya bagi konservasi. Journal of Tropical Ethnobiology 1(2): 76-95.

Cotton, C.M. 1996. Ethnobotany: principles and applications. John Wiley and Sons, West Sussex: ix + 424 hlm.

Cunningham, A.B. 2001. Applied ethnobotany: people, wild plant use & conservation.

Earthscan Publications Ltd., Abingdon: xx + 300 hlm.

Daval, N. 2009. Consevation and cultivation of ethnomedicinal plants in Jharkhand.

Dalam : Trivedi, P.C. Medicinal plants utilisation and conservation. Aavishkar Publishers Distributor, Jaipur. India: 130-136.

Darnaedi, S.Y. 1998. Perspektif dan kajian etnobotani tumbuhan obat orang Rejang.

Tesis. Program studi Biologi. Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok. 137 hlm.

Evrizal, R., E. Setyaningrum, Ardian, A. Wibawa & D. Aprilani. 2013. Keragaman tumbuhan dan ramuan etnomedisin Lampung Timur. Prosiding Seminar FMIPA Universitas Lampung, Lampung: 279-286.

Fabricant, D.S. & N.R. Farnsworth. 2001. The value of plant used medicine for drug discovery. Enviromental Health Perspective 109(1): 69-75.

Hoang, V.S., P. Bas & P.A.J. Keβler. 008. Traditional medicine plant in Ben En National Park, Vietnam. Blumea 53: 569-601.

Hoffman, B. & T. Gallaher. 2007. Importance indices in ethnobotany. Ethnobotany Research & Applications 5: 201-218.

Idu, McD., J.O. Erhabor & H.M. Efijuemue. 2010. Documentation on medicinal plant sold in market in Abeokuta, Nigeria. Tropical Journal of Pharmaceutical Research 9(2): 110-118.

Kartawinata, K. 2010. Dua abad mengungkap kekayaan flora dan ekosistem Indonesia.

Dalam: Sarwono Prawirohardjo memorial lecture X. LIPI. 23 Agustus 2010.

Jakarta: 1-38.

Khan, I., N.M. Abdelsalam, H. Fouad, A. Tariq, R. Ullah & M. Adnan. 2014.

Application of ethnobotanical indices on the use of traditional medicines against common diseases. Evidence-Based Complementary and Alternatives Medicine:1-21.

Lekitoo, K. 2015. Kekayaan, pelestarian dan pemanfaatan jenis flora di tanah Papua.

https://www.google.co.id/#q=lekitoo+papua+pdf. Diunduh 21 September pukul 21.00

Lee, S., C. Xiao & S. Pei. 2008. Ethnobotanical survey of medicinal plants at periodic markets of Honghe Prefecture in Yunnan Province, S.W. China. Journal of Ethnopharmacology 117: 362-377.

(12)

1. Disampaikan pada kuliah umum OMPT Canopy UI pada hari Rabu Tanggal 4 November 2015

2. Dosen Pendidikan Biologi FKIP UKI Page 12

McElroy, A. 1996. Medical Antropology. Dalam : Levinson, D. And M. Ember.

Encyclopedia of cultural anthropology. Henry Holt, New York: 1-10.

Martin, G.J. 1995. Ethnobotany: a methods manual. Chapman & Hall, London: xxiv + 268 hlm.

Nala, N. 2007. Usada Bali: Tinjauan filosofis dan peranannya dalam ekowisata.

Prosiding Seminar Konservasi Tumbuhan Usada Bali Dan Peranannya dalam Mendukung Ekowisata. Bali: 8-16.

Philips, O.L. 1996. Some quantitative methods for analyzing ethobotanical knowledge.

Dalam: Alexiades, M.N. 1996. Etnobotanical research: a field manual.

Scientific Publication Departemen the New York Botanical Garden, Bronx, New York: 171-197.

Purwanto, Y. 2002. Studi etnomedisinal dan fitofarmakope tradisional Indonesia.

Prosiding Seminar Nasional II Tumbuhan Obat dan Aromatik. LIPI, Bogor: 96- 109.

Revene, Z., R.W. Bussmann & D. Sharon. 2008. From Sierra to coast: tracing the supply of medicinal plants in Northern Peru plant collector’s tale. Ethnobotany Research & Applications 6: 015-022.

Rifai, M.A. & K. Kartawinata. 1991. Germplasm, genetic erosion and the conservation of Indonesian medicinal plants. Dalam: O Akarele, V Heywood and H Synghe (eds.), The conservation of medicinal plants, Cambridge University Press, Cambridge. pp. 281-95.

Sheil, D., R.K. Puri, I. Basuki, M. Van Heist, M. Wan, N. Liswanti, Rukmiyati, M.A.

Sardjono, I. Samsoedin, K. Sudiyasa, Chrisandini, E. Permana, E.M. Angi, F.

Gatzweiler, B. Johnson & A. Wijaya. 2004. Mengeksplorasi keanekaragaman hayati lingkungan dan pandangan masyarakat lokal mengenai berbagai lanskap hutan. CIFOR, Bogor. Indonesia. 101 hlm.

Silalahi, M. 2014. Tumbuhan Etnomedisin pada Etni Batak Sumatera Utara dan Persfektif Konservasinya. Disertasi. Program Pascasarjana, FMIPA, Universitas Indonesia, Depok. xxvi +165 hlm.

Silalahi, M., J.Supriatna, E.B. Walujo & Nisyawati. 2015a. Local knowledge of medicinal plants in sub-ethnic Batak Simalungun of North Sumatra, Indonesia.

Biodiversitas 16(1): 44-54.

Silalahi, M, Nisyawati, E.B. Walujo, J.Supriatna & W. Mangunwardoyo. 2015b. The Local Knowledge of Medicinal Plants Trader and Diversity of Medicinal Plants in The Kabanjahe Traditional Market, North Sumatra, Indonesia. Journal Ethnopharmacology. http://dx.doi.org/10.1016/j.jep.2015.09.009.

Steenis, C.G.G.J. van. 1950. The delimitation of Malaysia and its main plant geographic divisions. Hal lxxi-lxxv dalam CGGJ van Steenis (General Editor), Flora Malesiana Ser. I, Volume I, Noordhoff-Kolff, N.V. Djakarta.

Sujarwo, W., A.P. Keim, V. Savo, P.M. Guarrera & G. Caneva. 2015. Ethnobotanical study of Loloh: Traditional herbal drinks from Bali (Indonesia). Journal Ethnopharmacology 169: 34-48.

Suryadarma, I.G.P. 2005. Analisis Usada Taru Pramana sebagai penguatan pengetahuan masyarakat Bali di Kabupaten Tabanan. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.

Bogor: 56.

(13)

1. Disampaikan pada kuliah umum OMPT Canopy UI pada hari Rabu Tanggal 4 November 2015

2. Dosen Pendidikan Biologi FKIP UKI Page 13

Toksoy, D., M. Bayramoglu & S. Hacisalihoglu. 2010. Usage and the economic potential of the medicinal plants in Eastern Black Sea region of Turkey. Journal of Enviromental Biology 31(5): 623-628.

Van Andel, T., B. Myren & S. Van Onselen. 2012. Ghana herbal market. Journal of Ethnopharmacology 30: 1-11.

Walujo, E.B. 2004. Pengumpulan data etnobotani. Dalam: Rugayah, E.A. Widjaja &

Praptiwi. 2004. Pedoman pengumpulan data keanekaragaman tumbuhan. Puslit Biologi-LIPI, Bogor: 77-92.

Walujo, E.B. 2009. Etnobotani : memfasilitasi penghayatan, pemutakhiran pengetahuan dan kearifan lokal dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan.

Prosiding Seminar Etnobotani IV Cibinong Science Center-LIPI:12-20.

Walujo, E.K. 2011. Sumbangan ilmu etnobotani dalam memfasilitasi hubungan manusia dengan tumbuhan dan lingkungannya. Jurnal Biologi Indonesia 7(2): 375-391.

Walujo E.B. 2013. Etnofarmakologi, saintifikasi pengetahuan untuk pengembangan industri kimia obat dan farmasi di Indonesia. Makalah Disampaikan pada lustrum dan wisuda sarjana ke 5 tahun 2013 didepan Civitas Academika Sekolah Tinggi : 1-9.

Walujo, E.B. 2008. Review: research ethnobotany in Indonesia and the future perspectives. Biodiversitas 9(1): 59-63.

Williams, L.A.D. 2006. Ethnomedicine. Journal West Indian Med 55(4): 215.

Referensi

Dokumen terkait

داﺪﻌﺗ ﻦﻴﮕﻧﺎﻴﻣ ﻪﻛ داد نﺎﺸﻧ ﺞﻳﺎﺘﻧ يﺮﺘﻛﺎﺑ ﻞﻛ ﺎـﺑ رﺎـﺒﻳﻮﺟ هﺎﮕﺘﺴﻳا رد نﺎﺘﺴﻣز ﻞﺼﻓ رد يزاﻮﻫ يﺎﻫ 187 ﻲﻠﻴﻣ رد دﺪﻋ ﻞـﺼﻓ رد و ناﺰـﻴﻣ ﻦﻳﺮـﺘﻤﻛ رد ﺎـﻳرد بآ ﺮﺘﻴﻟ ﺎﺑ يرﺎﺳ هﺎﮕﺘﺴﻳا رد ﺰﻴﻳﺎﭘ 5800

Hasil penelitian ditemukan sebanyak empat jenis tumbuhan dari famili Poaceae dengan bagian tumbuhan yang digunakan yaitu buah dan batang, serta terdapat enam cara pengolahan tumbuhan