LAPORAN PRAKTIKUM
EVALUASI GIZI DALAM PENGOLAHAN ACARA IV
EVALUASI KADAR PROTEIN TERLARUT DALAM PRODUK SUSU
Disusun oleh:
KELOMPOK 1C
Aziza Jasmine (H0919023)
Belinda Sonata (H0919025)
Diinah Salwa Kamiilah (H0919037) Muhammad Naufal Salman (H0919068) Salsabila Dhia Khairunnisa (H0919091)
PROGRAM STUDI ILMU TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2022
ACARA IV
EVALUASI KADAR PROTEIN TERLARUT DALAM PRODUK SUSU A. Metodologi
1. Alat
a. Gelas beaker b. Gelas takar c. Kuvet d. Labu takar e. Neraca analitik f. Pillius
g. Pipet
h. Spektrofotometer i. Tabung reaksi
j. Tempat tabung reaksi k. Vortex
2. Bahan a. Aquades
b. Larutan stok protein (bovine serum albumin) c. Reagen A (Folin – Ciocalteu Reagent) d. Reagen D (Lowry Reagent)
e. Telur
3. Cara Kerja
a. Pembuatan sampel
Gambar 4.1 Diagram Alir Proses Pembuatan Sampel
b. Pembuatan seri pengenceran untuk stok protein
Gambar 4.2 Diagram Alir Proses Pembuatan Seri Pengenceran untuk Stok Protein
c. Pembuatan larutan uji
Gambar 4.3 Diagram Alir Proses Pembuatan Larutan Uji
d. Pengukuran dengan spektrofotometer
Gambar 4.4 Diagram Alir Pengukuran dengan Spektrofotometer
B. Hasil dan Pembahasan
Uji yang dilakukan dalam acara ini adalah uji kadar protein dengan Metode Lowry. Metode Lowry adalah metode penetapan kadar protein yang paling sering digunakan dalam berbagai penelitian. Metode Lowry merupakan pengembangan dari metode Biuret. Reaksi yang terlibat adalah kompleks Cu (II)-Protein akan terbentuk sebagai mana metode Biuret, yang dalam suasana alkalis Cu(II) akan tereduksi menjadi Cu(I). Ion Cu+ kemudian akan mereduksi reagen Folin Ciocalteu, kompleks phosphomolybdat–phospotungstate, menghasilkan heteropolymolybdenum blue akibat reaksi oksidasi gugus aromatik (rantai samping asam amino) terkatalis Cu, yang memberikan warna biru intensif yang dapat terdeteksi secara kalorimetri. Keuntungan metode Lowry adalah lebih sensitif dari pada metode biuret sehingga memerlukan sampel protein yang lebih sedikit. Batas deteksinya berkisar pada konsentrasi 0,01 mg/mL (Rahmawati dkk., 2019).
Akan tetapi, metode Lowry juga memiliki kelemahan yaitu rentan terhadap terjadinya interferensi oleh keberadaan senyawa lain yang bersifat mereduksi. Salah satu senyawa yang mampu menimbulkan interferensi terhadap hasil penetapan kadar protein dengan metode Lowry adalah senyawa yang memiliki gugus fenol. Selain mereduksi kompleks asam fosfomolibdat-fosfotungstat yang berasal dari pereaksi Folik
Ciocalteu (Folin and Ciocalteu,1927; Lowry et al, 1951), senyawa fenol juga mampu mereduksi kuprum secara langsung (Winters and Minchin, 2005). Kemudian, kadar protein dapat ditentukan dengan membaca kurva standar yang dibuat dengan larutan protein murni yang telah diketahui kadar proteinnya seperti BSA (Bouvine Serum Albmin) yang memiliki rentang kosentrasi tertentu (Sudarmadji dkk., 1981).
Gambar 4.5 Pengenceran 100x Gambar 4.6 Pengenceran 20x
Gambar 4.6 Pembuatan Larutan Standar
Gambar 4.7 Penambahan Reagen D
Berdasarkan video referensi dilakukan pengujian kadar protein putih telur menggunakan metode Lowry. Langkah awal yang dilakukan adalah persiapan sampel putih telur. Telur ayam dipecahkan dan dipisahkan dengan kuningnya. Kemudian digunakan sebanyak 1 gram putih telur untuk diencerkan menggunakan 100 ml aquades (pengenceran 100x) dan dilarutkan. Kemudian dilakukan pengenceran kembali dimana diambil 0,5 ml larutan yang telah diencerkan dan dicampurkan dengan aquades hingga volumenya menjadi 10 ml (pengenceran 20x) dalam labu takar. Selanjutnya dilakukan pembuatan seri pengenceran untuk stok protein guna pembuatan kurva standar dengan lima jenis konsentrasi setiap sampel bervolume 10 ml yaitu 0g/ml, 25g/ml, 50g/ml, 100g/ml, 150g/ml dan 200g/ml. Berdasarkan teori, pembuatan larutan standar protein bertujuan sebagai larutan pembanding karena memberikan tingkat keakuratan yang tinggi dalam menentukan kadar protein pada albumin
telur ayam. Hal ini dilakukan dengan memasukkan 1 ml larutan standar protein dengan kadar 1mg, 2mg, 3mg, 4mg dan 5mg per ml protein melalui pengenceran bertahap dengan larutan induk standar yang digunakan yaitu 10mg/ml (Azhar dkk., 2019). Tahapan proses selanjutnya pada video referensi adalah pengambilan 5 ml reagen D dan pemasukkan pada masing-masing enam tabung reaksi. Kemudian masing-masing sampel diambil 0,5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi reagen D. Tabung reaksi kemudian dihomogenkan menggunakan vortex dan diinkubasi selama 10 menit. Fungsi dilakukan inkubasi pada percobaanini adalah terjadi penyesuaian larutan dan reaksi yang terjadi pada suhu tersebut (Mulyono, 2005).
Gambar 4.8 Penambahan Reagen A
Gambar 4.9 Penghomogenan
Gambar 4.10 Pengukuran Panjang
Gelombang
Gambar 4.11 Analisis Kurva Standar
Setelah 10 menit inkubasi, kemudian masing-masing tabung reaksi ditambahkan dengan 0,5 ml reagen A. Selanjutnya dilakukan penghomogenan menggunakan vortex dan diinkubasi kembali selama 10 menit. Tahap berikutnya adalah pengukuran larutan dengan spektofotometer pada panjang gelombang 660 nm. Hal ini sesuai dengan teori pengukuran panjang gelombang, dimana pengukuran serapan panjang gelombang maksimum dilakukan dengan spektrofotometer UV-Visible
pada rentang 450-750 nm (Jongkon dkk., 2008). Urutan pengukuran pada spektofotometer diawali dengan larutan blanko dan dilanjutkan dengan pengukuran sampel kurva standar. Langkah-langkah penentuan kadar protein telah sesuai dengan penelitian Harjanto (2017), metode lowry diawali dengan pembuatan larutan standar protein Bovine Serum Albumine (BSA) dengan berbagai tingkat konsentrasi dari 30-300 µg/ml. Kemudian masing-masimg sampel kurva standar dan blanko diambil 1 ml untuk dimasukkan kedalam tabung reaksi. Tambahkan ke dalam masing-masing tabung 8 ml reagen Lowry B dan biarkan pada suhu kamar selama 10 menit. Kemudian tambahkan 1 ml reagen Lowry A, gojog dan biarkan selama 20 menit. Kemudian dibaca Absorbansi pada panjang gelombang 600 nm dengan menggunakan Spectronic 20D+ dan Spectrophotometer uv-vis T60U. Pengukuran panjang gelombang menghasilkan nilai absorbansi blanko sebesar 0,054, konsentrasi 0g/ml sebesar 0, konsentrasi 25g/ml sebesar 0,04, konsentrasi 50g/ml sebesar 0,05, konsentrasi 100g/ml sebesar 0,127, konsentrasi 150g/ml sebesar 0,177 dan 200g/ml sebesar 0,23. Berdasarkan nilai absorbansi tersebut kemudian pada video referensi dibuat grafik kurva standar untuk menetukan nilai persamaannya. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan pembuatan kurva standar berfungsi sebagai dasar penentuan konsentrasi kadar protein di dalam larutan, fungsi ditujukan pada kurva standar yang menghubungkan antara konsentrasi dengan absorbannya (Lowry dkk., 1951). Pembacaaan absorbansi dipilih dua buah kuvet yang mempunyai tingkat baca absorbansi yang sama atau hampir sama untuk sampel dan blanko (Sudarmadji dkk., 1989).
Tabel 4.1 Penentuan Kurva Standar Protein Terlarut Larutan Protein
BSA (ml)
Konsentrasi BSA (mg/ml)
Absorbansi Standar
0 0 0.06
0.2 0.095 0.315
0.4 0.19 0.524
0.6 0.285 0.735
0.8 0.38 0.876
Sumber: Laporan Sementara
Berdasarkan Tabel 4.1 terakait kurva standar proten terlarut, diperoleh hasil bahwa konsentrasi BSA (mg/ml) yang dicari dengan menggunakan rumus pegenceran pada konsentrasi awal 4,75 mg/10 ml (M1), volume total 10 ml (V2), dan V1 berturut-turut 0 ml, 0,2 ml, 0,4 ml, 0,6 ml dan 0,8 ml sehingga dihasilkan konsentrasi pengenceran BSA (M2) adalah 0 mg/ml, 0,095 mg/ml, 0,19 mg/ml, 0,285 mg/ml, dan 0,38 mg/ml. Setelah itu, lakukan regresi antara konsentrasi (M2) dengan absorbansi yang telah tertera dalam tabel sehingga diperoleh persaaan regresi sebagai berikut:
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1
f(x) = 2.16 x + 0.09 R² = 0.99
Kurva Standar Protein Terlarut
Gambar 4.12 Kurva Standar Protein Terlarut
Dari kurva nilai absorbansi standar BSA didapatkan kurva standar dengan persamaan regresi y = 2,16x + 0,0916 dan nilai R2 = 0,9908.
Selanjutnya, persamaan linier dipergunakan untuk menentukan kadar protein terlarut sampel. Menurut Hadinoto dan Syukroni (2019), kadar protein ditentukan berdasarkan persamaan linier yang diperoleh dari pembuatan kurva standar. Kurva standar yang diperoleh harus linier dan
nilai R2-nya mendekati 1, dimana korelasi antara nilai absorbandi dengan kadar protein berbanding lurus. Hal ini menunjukkan bahwa hasil data praktikum sesuai dengan teori yang telah ada. Selain itu, penggunaan larutan standar Bovine Serum Albumin (BSA) dalam pembuatan kurva standar memiliki keuntungan yakni mudah didapat, murah, mudah larut, dan relatif stabil.
Tabel 4.2 Analisis Kadar Protein Terlarut Sampel FP Absorbans
i
X (mg) % protein terlarut
Tempe Mentah 20 0,278 0,086 0,058%
Sari Kacang
Hijau
20 0,296 0,095 0,063%
Tahu Goreng 20 0,179 0,040 0,027%
Tempe Goreng 20 0,431 0,157 0,105%
Sari Kedelai 20 0,472 0,176 0,117%
Sari Kacang
Hijau
20 0,325 0,108 0,072%
Sumber: Laporan Sementara
Berdasarkan Tabel 4.2 mengenai hasil analisis kadar protein terlarut, didapatkan hasil sebagai berikut. Tempe mentah dengan absorbansi 0,278 memiliki 0,058% protein terlarut. Sari kacang hijau dengan absorbansi 0,296 memiliki 0,063% protein terlarut. Tahu goreng absorbansi 0,179 memiliki 0,027% protein terlarut. Tempe goreng absorbansi 0,431 memiliki 0,105% protein terlarut. Sari kedelai absorbansi 0,176 memiliki 0,117% protein terlarut. Sari kacang hijau absorbansi 0,108 memiliki 0,072% protein terlarut. Kadar protein terlarut akan sejalan dengan jumlah protein total dimana semakin banyak protein total maka kadar protein sederhana, asam amino dan protein terlarut akan semakin tinggi (Yazid dan Nuha. 2017). Pengolahan dengan panas (penggorengan dan perebusan) yang dilakukan berlebihan mengakibatkan berkurangnya protein karena terbentuknya ikatan silang dalam protein (Winarno, 1997).
Dalam hal praktikum dapat dilihat bahwa tahu goreng memiliki nilai protein terlarut paling kecil, sehingga teori tersebut sudah sesuai.
Sedangkan pada tempe goreng, didapatkan hasil yang berkebalikan, dimana nilai tempe mentah lebih rendah daripada tempe goreng. Menurut Mutmainna, dkk (2016), protein tempe semakin menurun dengan lama proses fermentasi karena kesempatan jamur untuk mendegradasi protein semakin lama. Kadar protein terlarut sari kacang hijau pada dua sampel juga berbeda signifikan. Menurut Kurniasari, dkk (2018), lama proses perendaman kacang hijau mengakibatkan ikatan struktur protein terlepas sehingga komponen protein terlarut dalam air. Menurut Sari, dkk (2020), kadar protein pada kacang kedelai lebih tinggi daripada kacang hijau. Pada hasil praktikum, didapatkan protein terlarut kacang kedelai lebih tinggi daripada dua sampel kacang hijau, yang berarti hasil praktikum sudah sesuai dengan teori.
DAFTAR PUSTAKA
Azhar, F.F., Elvinawati. Dan Nurhamidah. 2019. Perbandingan Sensitivitas Nanopartikel Perak dengan Reduktor Albumin dari Telur Ayam dan Bebek untuk Analisis Merkuri. Jurnal Pendidikan dan Ilmu Kimia.
3(2):213-224.
Folin, O, and Ciocalteu, V. 1927. On Tyrosine and Tryptophane Determination in Proteins. J. Biol. Chem., 73: 627-650.
Hadinoto, S., & Syukroni, I. (2019). Pengukuran protein terlarut air cucian gelembung renang dan kulit ikan tuna menggunakan metode Bradford.
Majalah Biam, 15(1), 15-20.
Harjanto, S. 2017. Perbandingan Pembacaan Absorbansi Menggunakan Spectronic 20 D+ dan Spectrophotometer UV-Vis T 60U dalam Penentuan Kadar Protein dengan Larutan Standar BSA. Jurnal Kimia dan Sains dan Aplikasi. 20(3):114-116.
Jongkon P., Siripen T and Richard D. L. 2008. Phytoremediation of Kitchen Wastewater by Spirulina platensis (Nordstedt) Geiteler: Pigment content, Production Variable Cost and Nutritonal Value. Maejo International Journal of Science and Technology. 2(2):159-171.
Kurniasari, Fuadiyah Nila, Kautsar Annisaa Sukoharsono, Leny Budhi Harti, dan Anggun Rindang Cempaka. 2018. Kandungan Protein Pada Minuman Fungsional Berbasis Jahe (Zingiber offinale) Dan Kacang-Kacangan Sebagai Antiemetik. Jurnal AcTion: Aceh Nutrition Journal, 3(1): 16-21 Lowry, O. H., Rosebrough, N. J., Farr, A. L. and Randall, R. J. 1951. Protein
Measurement with the Folin Phenol Reagent. J.Biol. Chem., 193: 265- 275.
Mulyono, H.A.M. 2005. Membuat Reagen Kimia di Laboratorium. PT Bumi Aksara. Jakarta.
Muthmainna, Sri Mulyani Sabang, dan Supriadi. 2016. Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Kadar Protein Dari Tempe Biji Buah Lamtoro Gung (Leucaena leucocephala). J. Akad. Kim, 5(1): 50-54
Rahmawati, Wintari Taurina, dan Mohamad Andrie. 2019. Pengaruh Minyak Cengkeh (Syzygium aromaticum L.) terhadap Stabilitas Protein Sediaan Salep Fase Air Ekstrak Ikan Gabus (Channa striata) dengan Penetapan Kadar Protein Menggunakan Metode Lowry. Jurnal Mahasiswa Farmasi Fakultas Kedokteran UNTAN, 4(1).
Sari, Annisa Millenda, Vitria Melani, Anugrah Novianti, Lintang Purwara Dewanti, dan Mertien Sa’pang. 2020. Formulasi Dodol Tinggi Energi
Untuk Ibu Menyusui dari Puree Kacang Hijau (Vigna radiata l), Puree Kacang Kedelai (Glycine max), Dan Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus). Jurnal Pangan dan Gizi, 10(02): 49-60
Sudarmadji, S., dkk. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty.
Yogyakarta
Sudarmadji, S., Haryono B., dan Suhardi. 1981. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian Cetakan ke-3. Pusat Antar Universitas: Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Winarno, F.G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Winters, A.L., and Minchin, F.R. 2005. Protein Concentration and Bound Fenol Assay. Anal.Biochem., 346 : 43-48.
Yazid, Edy Agustian, dan Badilatun Ulin Nuha. 2017. Kadar Protein Terlarut Pada Ampas Kedelaidari Hasil Proses Pembuatantempedengan Penambahan Ekstrak Kasar Papain (Crude Papain). Journal of Ners Community, 08(01): 45-52
LAMPIRAN PERHITUNGAN Perhitungan Tabel 4.1
M1 . V1 = M2 . V2
Keterangan:
M1 = konsentrasi larutan protein BSA (4,75 mg/10 ml) M2 = Konsentrasi larutan yang dicari
V1 = Volume larutan protein BSA V2 = Volume total (10 ml)
a) M1 . V1 = M2 . V2
4,75 mg . 0 ml = M2 . 10 ml M2 = 0 mg/ml
b) M1 . V1 = M2 . V2
4,75 mg . 0,2 ml = M2 . 10 ml M2 = 0,095 mg/ml
c) M1 . V1 = M2 . V2
4,75 mg . 0,4 ml = M2 . 10 ml M2 = 0,19 mg/ml
d) M1 . V1 = M2 . V2
4,75 mg . 0,6 ml = M2 . 10 ml M2 = 0,285 mg/ml
e) M1 . V1 = M2 . V2
4,75 mg . 0,8 ml = M2 . 10 ml M2 = 0,38 mg/ml
Perhitungan Tabel 4.2
A. Perhitungan Protein Terlarut Diketahui berat sampel yaitu 3000 mg Dicari:
 Nilai x
y = 2,16x + 0,0916
 % protein terlarut
%proteinterlarut= x(mg)x FP
berat sampel(mg)x100 % 1. Tempe Mentah
Diketahui:
FP = 20
Absorbansi (y)
= 0,278 Ditanya:
 Nilai x
y = 2,16x + 0,0916 0,278 = 2,16x + 0,0916 X = 0,086
 % protein terlarut
%proteinterlarut=0,086x20
3000 x100 %=0,058 % 2. Sari kacang hijau
Diketahui:
FP = 20
Absorbansi (y)
= 0,296 Ditanya:
 Nilai x
y = 2,16x + 0,0916 0,296 = 2,16x + 0,0916 X = 0,095
 % protein terlarut
%proteinterlarut=0,095x20
3000 x100 %=0,063 % 3. Tahu goreng
Diketahui:
FP = 20
Absorbansi (y)
= 0,179 Ditanya:
 Nilai x
y = 2,16x + 0,0916 0,179 = 2,16x + 0,0916 X = 0,040
 % protein terlarut
%proteinterlarut=0,040x20
3000 x100 %=0,027 % 4. Tempe goreng
Diketahui:
FP = 20
Absorbansi (y)
= 0,431 Ditanya:
 Nilai x
y = 2,16x + 0,0916 0,431 = 2,16x + 0,0916 X = 0,157
 % protein terlarut
%proteinterlarut=0,157x20
3000 x100 %=0,105 % 5. Sari kedelai
Diketahui:
FP = 20
Absorbansi (y)
= 0,472 Ditanya:
 Nilai x
y = 2,16x + 0,0916 0,472 = 2,16x + 0,0916 X = 0,176
 % protein terlarut
%proteinterlarut=0,176x20
3000 x100 %=0,117 %
6. Sari kacang hijau Diketahui:
FP = 20
Absorbansi (y)
= 0,325 Ditanya:
 Nilai x
y = 2,16x + 0,0916 0,325 = 2,16x + 0,0916 X = 0,108
 % protein terlarut
%proteinterlarut=0,108x20
3000 x100 %=0,072 %