T.1.1 Resume
Nama : Gita Amalia Pratiwi NIM : 24811139
Kelompok : C
Kriteria seleksi atau pemilihan obat yang dapat dimasukkan dalam Formularium Rumah Sakit yaitu mengutamakan mengutamakan obat generik, karena lebih terjangkau dengan efektivitas yang setara, memiliki manfaat lebih besar daripada resikonya bagi pasien, terjamin mutunya, termasuk stabilitas dan ketersediaan dalam tubuh atau bioavailabilitas, mudah disimpan dan diangkut, sehingga praktis dalam distribusi, mudah digunakan dan diberikan kepada pasien agar tidak menyulitkan tenaga medis, mendukung kepatuhan pasien baik dari segi kemudahan konsumsi maupun penerimaan terhadap obat, efektif secara biaya baik dalam hal biaya langsung (harga obat) maupun tidak langsung (misalnya, biaya perawatan tambahan), terbukti paling efektif dan aman berdasarkan penelitian ilmiah (evidence based medicines), memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan dengan harga yang terjangkau.
Rumah Sakit harus mempunyai kebijakan terkait dengan penambahan atau pengurangan Obat dalam Formularium Rumah Sakit dengan mempertimbangkan indikasi penggunaaan, efektivitas, risiko, dan biaya (Kementerian Kesehatan RI, 2016).
Dalam kajian farmakoekonomi, biaya menjadi faktor penting karena keterbatasan sumber daya, terutama dana. Dalam produksi obat atau layanan kesehatan, biaya dapat dikategorikan sebagai berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2013):
1. Biaya rerata dan biaya marjinal
Biaya rerata adalah total biaya yang dibagi dengan jumlah hasil yang diperoleh, sedangkan biaya marjinal adalah perubahan biaya akibat penambahan atau pengurangan satu unit hasil (Bootman et al., 2005). Misalnya, jika metode pengobatan baru memungkinkan pasien pulang sehari lebih cepat, mungkin terlihat seolah-olah ada penghematan besar berdasarkan biaya rerata rawat inap. Namun, kenyataannya, biaya tetap seperti biaya laboratorium tidak berubah. Penghematan sebenarnya hanya terjadi pada biaya yang langsung berkaitan dengan lama rawat inap, seperti biaya makan, . 2. Biaya tetap dan biaya variabel
Biaya tetap adalah biaya yang tidak berubah meskipun jumlah layanan atau produk yang dihasilkan meningkat atau menurun dalam jangka pendek, seperti gaji karyawan dan penyusutan aset. Sebaliknya, biaya variabel berubah sesuai dengan jumlah hasil yang diperoleh, misalnya komisi penjualan dan biaya pembelian obat (Bootman et al., 2005).
3. Biaya tambahan (ancillary cost)
Biaya tambahan merujuk pada biaya yang timbul akibat pemberian layanan tambahan dalam suatu prosedur medis, seperti biaya laboratorium, pemeriksaan sinar-X, dan anestesi (Berger et al., 2003)
4. Biaya total
Biaya total merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan suatu rangkaian layanan kesehatan.
Biaya perawatan kesehatan tidak hanya mencakup biaya obat dan biaya langsung lainnya.
Selain itu, terdapat biaya tidak langsung yang juga perlu diperhitungkan, seperti biaya transportasi, hilangnya pendapatan karena pasien tidak dapat bekerja, serta dampak psikologis seperti depresi dan rasa sakit yang sulit diukur dalam bentuk uang. Secara umum, biaya dalam perawatan kesehatan terbagi menjadi (Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi, 2013):
1. Biaya langsung
Biaya langsung yaitu yang berkaitan langsung dengan pengobatan dan perawatan pasien, meliputi biaya medis dan biaya non-medis. Biaya medis seperti obat-obatan, konsultasi
dokter, jasa perawat, rawat inap, peralatan medis, dan pemeriksaan laboratorium, sedangkan biaya non-medis seperti transportasi pasien, biaya ambulans, dan biaya pendukung lainnya.
2. Biaya tidak langsung
Biaya tidak langsung mencakup pengeluaran yang timbul akibat hilangnya produktivitas akibat penyakit, seperti biaya transportasi, kehilangan pendapatan, serta biaya pendampingan oleh anggota keluarga (Bootman et al., 2005).
3. Biaya nirwujud (intangible cost)
Biaya nirwujud adalah biaya-biaya yang sulit diukur dalam unit moneter, namun sering kali terlihat dalam pengukuran kualitas hidup, misalnya rasa sakit dan rasa cemas yang diderita pasien dan/atau keluarganya.
4. Biaya terhindarkan (averted cost, avoided cost)
Biaya terhindarkan merujuk pada pengeluaran yang dapat dicegah berkat adanya suatu intervensi kesehatan, sehingga mengurangi beban finansial secara keseluruhan (Berger et al., 2003).
Penentuan komponen biaya dalam farmakoekonomi didasarkan pada prespektif yang dipilih yaitu perspektif masyarakat (societal), perspektif kelembagaan (institutional), dan erspektif individu (individual perspective). Perspektif masyarakat (societal) yaitu menilai dampak ekonomi dari intervensi kesehatan secara luas yang dapat meningkatkan produktivitas nasional atau menghemat biaya layanan kesehatan, contohnya program pengurangan konsumsi rokok. Perspektif kelembagaan (institutional) yaitu pehitungan efektivitas-biaya pengobatan dalam penyusunan Formularium Rumah Sakit, DOEN, atau Formularium Nasional. Perspektif individu (individual perspective) yaitu perhitungan biaya perawatan kesehatan yang dikeluarkan pasien untuk mencapai kualitas hidup tertentu, membantu mereka menilai manfaat intervensi kesehatan dibandingkan kebutuhan lainnya (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Komponen
Biaya Perspektif
Masyarakat Pasien Penyedia Yankes Pembayar Biaya Langsung Medis
Biaya pelayanan kesehatan + + + +
Biaya pelayanan kesehatan lainnya
+ Β± - Β±
Biaya cost sharing patient - + - -
Biaya langsung non medis
Biaya transportasi + Β± - Β±
Biaya pelayanan informasi (tambahan)
+ - - -
Biaya tidak langsung
Biaya hilangnya produktivitas + + - -
Dalam kajian farmakoekonomi, terdapat empat metode analisis yang digunakan untuk menilai efektivitas, keamanan, kualitas obat, serta aspek ekonomi. Aspek ekonomi, yang dinilai dalam satuan moneter, menjadi prinsip utama dalam kajian ini. Tujuannya adalah memberikan rekomendasi dalam penggunaan sumber daya kesehatan secara efisien, sehingga pengobatan yang dipilih tidak hanya efektif secara klinis tetapi juga menguntungkan dari segi biaya. Empat metode analisis tersebut yaitu (Kementerian Kesehatan RI, 2013) (Prodyanatasari, 2024):
1. Analisis Minimalisasi-Biaya (AMiB)/Cost-Minimization Analysis (CMA)
Analisis minimalisasi-biaya adalah metode paling sederhana untuk membandingkan dua atau lebih pilihan intervensi yang memberikan hasil kesehatan yang sama dengan tujuan menemukan pilihan yang membutuhkan biaya lebih rendah. Sebelum melakukan analisis ini harus ditentukan terlebih dahulu kesetaraan (equivalence) dari intervensi (misalnya obat) yang akan dikaji, oleh karena itu intervensi yang dapat dievaluasi dengan metode ini terbatas hanya untuk:
- Membandingkan obat generik berlogo dengan obat generik bermerek dengan bahan kimia obat sejenis dan telah dibuktikan kesetaraannya melalui uji bioavailabilitas-bioekivalensi (BA/BE). Analisis ini tidak layak digunakan apabila tidak ada uji BA/BE
- Membandingkan obat standar dengan obat baru yang memiliki efek setara 2. Analisis Efektivitas-Biaya (AEB)/ Cost-Effectiveness Analysis (CEA)
Analisis efektivitas-biaya adalah teknik ekonomi yang digunakan untuk membandingkan biaya dan hasil relatif dari dua atau lebih intervensi kesehatan. Dalam analisis ini, hasil diukur dalam satuan non-moneter, seperti jumlah kematian yang dapat dicegah, penurunan tekanan darah diastolik (dalam mm Hg), jumlah operasi katarak yang dapat dilakukan dengan biaya tertentu (menggunakan prosedur berbeda), atau jumlah kematian yang dapat dihindari melalui program seperti skrining kanker payudara, vaksinasi meningitis, dan upaya pencegahan lainnya. Dengan analisis ini, pengguna dapat mengidentifikasi intervensi kesehatan yang paling efisien dengan biaya terendah.
Contohnya:
- Membandingkan beberapa obat dalam kelas terapi yang sama tetapi dengan efektivitas yang berbeda, seperti dua obat antihipertensi yang memiliki tingkat penurunan tekanan darah diastolik yang berbeda.
- Membandingkan beberapa terapi dengan hasil pengobatan yang dapat diukur dalam satuan yang sama, meskipun cara kerjanya berbeda. Misalnya, membandingkan obat golongan proton pump inhibitor dan H2 antagonist dalam pengobatan refluks esofagitis parah.
3. Analisis Utilitas-Biaya (AUB)/Cost-Utility Analysis (CUA)
Analisis utilitas-biaya adalah metode ekonomi yang bertujuan menilai "utilitas" atau kepuasan yang diperoleh dari kualitas hidup setelah suatu intervensi kesehatan. Utilitas ini diukur dalam bentuk tahun hidup dalam kondisi sehat sempurna, bebas dari kecacatan, yang biasanya dinyatakan dalam satuan quality-adjusted life years (QALY) atau 'tahun hidup berkualitas yang disesuaikan'. Analisis ini sering digunakan untuk membandingkan pilihan intervensi dengan tujuan yang sama, seperti membandingkan operasi dengan kemoterapi atau membandingkan obat kanker baru dengan upaya pencegahan melalui kampanye skrining. Beberapa istilah yang umum digunakan dalam analisis ini meliputi : - Utilitas (utility)
Utilitas mengacu pada tingkat kepuasan atau manfaat yang dirasakan oleh pasien setelah menerima suatu layanan kesehatan. Utilitas ini diukur menggunakan satuan seperti Quality-Adjusted Life Years (QALY) atau dalam bahasa Indonesia disebut Jumlah Tahun yang Disesuaikan (JTKD)..
- Kualitas hidup (quality of life, QOL)
Kualitas hidup dinilai melalui dua pendekatan: kuantitas (lama hidup) dan kualitas (tingkat kenyamanan hidup). Konsep ini mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk fisik, politik, moral, dan lingkungan sosial, yang memengaruhi kesejahteraan seseorang.
- QALY (quality-adjusted life years)
QALY atau Jumlah Tahun yang Disesuaikan (JTKD) adalah ukuran yang menggabungkan kuantitas dan kualitas hidup. Misalnya, jika suatu intervensi kesehatan menambah usia seseorang, nilai tahun tambahan tersebut disesuaikan dengan kualitas hidup yang dialami selama tahun-tahun tersebut. Semakin tinggi kualitas hidup, semakin besar nilai QALY-nya.
4. Analisis Manfaat-Biaya (AMB)/Cost-Benefit Analysis (CBA)
Analisis manfaat-biaya yaitu teknik untuk menghitung rasio antara biaya intervensi kesehatan dan manfaat (benefit) yang diperoleh, dimana outcome (manfaat) diukur dengan unit moneter (rupiah). Suatu program kesehatan selalu dibandingkan dengan beberapa alternatif, baik dengan program/intervensi kesehatan lain maupun dengan tidak menyediakan program/intervensi. Nilai manfaat dari suatu program/intervensi adalah peningkatan hasil pengobatan bila dibandingkan dengan hasil yang serupa dari program/intervensi lain. AMB menggunakan perspektif sosial (masyarakat) dan mencakup seluruh biaya dan manfaat yang relevan.
5. Analisis Beban Penyakit/Cost of Illness (COI)
Analisis beban penyakit mengukur dampak ekonomi dan kesehatan dari suatu penyakit, mencakup biaya langsung maupun tidak langsung, serta pengaruhnya terhadap kualitas hidup. Studi ini membantu menentukan prioritas kebijakan kesehatan dengan mengestimasi beban ekonomi penyakit dan efektivitas intervensi. COI juga menilai hilangnya tahun hidup akibat kematian dini (YLL) dan kecacatan (YLD), yang digabung dalam DALYs sebagai ukuran total dampak penyakit.
6. Analisis Dampak Anggaran/Budget Impact Analysis (BIA)
Analisis Dampak Anggaran (BIA) adalah metode evaluasi ekonomi yang menghitung dampak finansial dari terapi atau teknologi baru dalam jangka pendek hingga menengah.
Beberapa negara mewajibkan BIA untuk pengajuan penggantian biaya (reimbursement).
Berbeda dengan CEA yang menilai efektivitas, BIA berfokus pada keberlanjutan anggaran, sehingga penting dalam perencanaan keuangan sistem kesehatan.
7. Analisis Sensitivitas/Sensitivity Analysis
Analisis sensitivitas digunakan dalam studi CBA dan CEA untuk menguji sejauh mana perubahan pada variabel tertentu dapat mempengaruhi hasil penelitian. Dengan melakukan analisis ini, peneliti dapat menilai apakah kesimpulan penelitian tetap konsisten meskipun ada perubahan asumsi.
Cara memilih sediaan farmasi yang cost-effective yaitu mengembangkan pertanyaan penelitian, merancang pohon analisis keputusan, mengukur biaya dan hasil, menghitung rasio efektivitas biaya (ACER) dan biaya tambahan-rasio efektivitas (ICER). Dalam analisis efektivitas biaya (CEA), terdapat dua jenis rasio utama, yaitu Average Cost-Effectiveness Ratio (ACER) dan Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER). ACER menghitung rata-rata biaya medis langsung per unit efektivitas terapi dengan membandingkan total pengeluaran suatu terapi terhadap tingkat keberhasilannya. Sementara itu, ICER membandingkan biaya dan efektivitas antara dua pilihan terapi, mengukur tambahan biaya yang diperlukan untuk setiap peningkatan satu unit efektivitas. Jika nilai ICER rendah atau negatif, terapi tersebut dianggap lebih efisien dan dapat menjadi alternatif yang lebih baik . ACER = π΅πππ¦π πππππ€ππ‘ππ πππ πβππ‘ππ (πππ‘π π’πππ)
ππ’π‘ππππ (π‘ππππ πππππ πππ‘π π’πππ)
ICER = π ππππ πβ ππππ¦π πππ‘πππ πππππππ π1 πππ π2 π ππππ πβ ππππππ π πππ‘πππ πππππππ π1 πππ π2
Dalam Analisis Efektivitas Biaya (AEB), untuk memudahkan pemilihan alternatif dengan efektivitas-biaya terbaik, dapat digunakan tabel efektivitas-biaya (Cost Effectiveness Grade) sebagai berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2013):
Efektivitas-biaya Biaya lebih rendah Biaya sama Biaya lebih tinggi Efektivitas lebih
rendah
A
(Perhitungan ICER)
B (Didominasi)
C (Didominasi)
Efektivitas sama D
(Dominan)
E (Seimbang)
F (Didominasi) Efektivitas lebih
tinggi
G (Dominan)
H (Dominan)
I
(Perhitungan ICER)
1. Posisi Dominan: Kolom G, D, dan H
Jika suatu intervensi kesehatan memberikan hasil yang lebih baik dengan biaya yang sama (Kolom H), hasil yang sama dengan biaya lebih rendah (Kolom D), atau hasil lebih baik dengan biaya lebih rendah (Kolom G), maka intervensi tersebut langsung dipilih karena lebih menguntungkan. Dalam kasus ini, tidak perlu dilakukan analisis efektivitas-biaya (AEB) lebih lanjut
2. Posisi Didominasi : Kolom C, B danF
Jika suatu intervensi kesehatan memberikan hasil yang lebih buruk dengan biaya yang sama (Kolom B), hasil yang sama dengan biaya lebih tinggi (Kolom F), atau hasil lebih buruk dengan biaya lebih tinggi (Kolom C), maka intervensi tersebut tidak perlu dipertimbangkan karena kurang menguntungkan. Intervensi dalam kategori ini juga tidak perlu dimasukkan dalam perhitungan AEB.
3. Posisi Seimbang: Kolom E
Jika suatu intervensi kesehatan memberikan hasil dan biaya yang sama (Kolom E), intervensi tersebut masih bisa dipilih jika ada faktor lain yang mendukung, seperti kemudahan penggunaan (misalnya, obat yang diminum sekali sehari dibandingkan tiga kali sehari), ketersediaan, aksesibilitas, atau kebijakan tertentu. Dalam kategori ini, pertimbangan tidak hanya terbatas pada biaya dan hasil, tetapi juga faktor-faktor praktis lainnya.
4. Posisi yang memerlukan pertimbangan efektivitas biaya: Kolom A dan I
Jika suatu intervensi kesehatan memberikan hasil yang lebih rendah dengan biaya lebih rendah (Kolom A) atau hasil yang lebih tinggi dengan biaya lebih tinggi (Kolom I), maka pemilihan intervensi harus mempertimbangkan ICER (Incremental Cost-Effectiveness Ratio). ICER digunakan untuk menilai apakah biaya tambahan yang dikeluarkan sebanding dengan peningkatan hasil yang diperoleh (Wulandari et al., 2023).
Selain tabel efektivitas-biaya, alat bantu lain yang dapat digunakan dalam AEB adalah diagram efektivitas-biaya/Effectiveness Plane sebagai berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2013):
1. Kuadran I
Trade off, intervensi kesehatan memiliki efektivitas lebih tinggi tetapi juga membutuhkan biaya lebih tinggi dibanding intervensi standar. Pemilihan intervensi Kuadran I memerlukan pertimbangan sumberdaya (terutama dana) yang dimiliki, dan semestinya dipilih jika sumberdaya yang tersedia mencukupi.
2. Kuadran II
Dominan, intervensi kesehatan memiliki efektivitas lebih tinggi dengan biaya yang lebih rendah dibanding intervensi standar, intervensi alternatif ini menjadi pilihan utama.
3. Kuadran III
Trade off, intervensi kesehatan memiliki efektivitas lebih rendah dengan biaya yang lebih rendah dibanding intervensi standar. Pemilihan intervensi alternatif yang berada di Kuadran III memerlukan pertimbangan sumberdaya pula, yaitu jika dana yang tersedia lebih terbatas.
4. Kuadran IV
Didominasi, intervensi kesehatan memiliki efektivitas lebih rendah dengan biaya yang lebih tinggi dibanding intervensi standar.
Metode Cost-Utility Analysis (CUA)/Analisis Utilitas-Biaya (AUB) membutuhkan cost effectiveness threshold yang digunakan sebagai pembanding dan untuk menentukan suatu teknologi kesehatan bersifat cost-effective atau tidak sehingga dapat direkomendasikan untuk penerapannya dalam intervensi kesehatan. Salah satu cara untuk menilai suatu intervensi kesehatan adalah dengan menghitung willingness to pay per quality-adjusted life year (WTP per QALY). Konsep ini menggambarkan rata-rata jumlah yang bersedia dibayarkan oleh masyarakat untuk memperoleh tambahan 1 QALY, yaitu peningkatan kualitas atau lama hidup akibat intervensi kesehatan (Melviani et al., 2021).
Perencanaan kebutuhan obat di rumah sakit dapat dilakukan dengan empat metode, yaitu metode konsumsi, morbiditas, kombinasi konsumsi dan morbiditas, serta proxy consumption (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
1. Metode Konsumsi
Metode konsumsi adalah pendekatan yang paling sering digunakan, yaitu dengan memperkirakan kebutuhan obat berdasarkan data pemakaian dari periode sebelumnya.
Perhitungan dilakukan dengan menyesuaikan jumlah konsumsi sebelumnya, ditambah dengan stok penyangga (buffer stock), stok untuk waktu tunggu (lead time), serta mempertimbangkan sisa stok yang masih tersedia (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
Rumus:
A = (B + C + D) - E A = Rencana kebutuhan
B = Stok kerja (pemakaian rata-rata x 12 bulan) C = Buffer stock (10% - 20%)
D = Lead time stock (lead time x pemakaian rata-rata) E = Sisa stok
Keterangan:
- Stok Kerja adalah kebutuhan obat untuk pelayanan kefarmasian selama satu periode.
- Buffer stock adalah stok pengaman
- Lead time stock adalah lamanya waktu antara pemesanan obat sampai dengan obat diterima
- Lead stock adalah jumlah obat yang dibutuhkan selama waktu tunggu (lead time) 2. Metode Morbiditas
Metode Morbiditas memperkirakan kebutuhan obat berdasarkan pola penyakit yang umum terjadi. Perhitungan dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah kasus penyakit dan standar pengobatan yang digunakan untuk masing-masing kondisi (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
3. Metode Proxy Consumption
Metode Proxy Consumption menggunakan data dari rumah sakit yang telah memiliki sistem pengelolaan obat untuk memperkirakan kebutuhan di rumah sakit lain, termasuk rumah sakit baru atau yang memiliki data konsumsi tidak lengkap. Perhitungan didasarkan pada kejadian penyakit, konsumsi, permintaan, atau pengeluaran obat, kemudian diekstrapolasikan sesuai cakupan populasi atau tingkat layanan. Sebagai contoh terdapat ketidaklengkapan data konsumsi diantara bulan Januari hingga Desember (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
4. Evaluasi Perencanaan
Evaluasi Perencanaan dilakukan melalui analisis ABC untuk aspek ekonomi, kriteria VEN untuk aspek medis/terapeutik, serta kombinasi keduanya. Evaluasi ini bertujuan untuk meninjau dan menyesuaikan kembali rencana kebutuhan obat (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
Penyesuaian anggaran dengan metode ABC-VEN merupakan metode gabungan yang digunakan untuk melakukan pengurangan obat. Analisis ABC adalah penamaan yang menunjukkan peringkat/rangking dimana urutan dimulai dengan yang terbaik/terbanyak.
Metode analisis ABC mengelompokkan obat berdasarkan besarnya anggaran yang diserap (Kementerian Kesehatan RI, 2019):
a. Kelompok A β Obat yang menyerap sekitar 70% dari total anggaran.
b. Kelompok B β Obat yang menyerap sekitar 20% dari total anggaran.
c. Kelompok C β Obat yang menyerap sekitar 10% dari total anggaran.
Langkah-langkah untuk menentukan kelompok A, B dan C antara lain:
a. Hitung total biaya setiap obat (jumlah obat Γ harga obat).
b. Urutkan dari yang menyerap dana terbesar hingga terkecil..
c. Hitung persentasenya terhadap total anggaran.
d. Kelompokkan obat sesuai kategori A, B, atau C berdasarkan akumulasi dana yang diserap.
e. Kelompokkan obat dalam aktegori:
- Kelompok A: Obat yang secara kumulatif menyerap hingga 70% dari total anggaran.
- Kelompok B: Obat yang menyerap anggaran dari >70% hingga 90% (sekitar 20% dari total anggaran).
- Kelompok C: Obat yang menyerap anggaran dari >90% hingga 100% (sekitar 10%
dari total anggaran).
Analisis VEN yaitu metode untuk meningkatkan efisiensi anggaran dengan mengelompokkan obat berdasarkan manfaatnya. Semua jenis obat yang tercantum dalam daftar obat dikelompokkan kedalam tiga kelompok berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2019):
a. Vital (V) β Obat yang menyelamatkan nyawa (life-saving), seperti obat syok anafilaksis.
b. Esensial (E) β Obat utama untuk mengatasi penyakit, seperti antidiabetes, analgesik, dan antikonvulsi.
c. Non-Esensial (N) β Obat tambahan untuk kenyamanan atau keluhan ringan, seperti suplemen.
Berdasarkan kelompok tersebut obat yang termasuk dalam kategori A berdasarkan analisis ABC adalah obat yang benar-benar dibutuhkan untuk menangani penyakit yang paling banyak terjadi. Dengan demikian, obat dalam kategori ini seharusnya memiliki status Esensial (E) dan sebagian Vital (V) menurut analisis VEN. Sebaliknya, obat dengan status Non-Esensial (N) sebaiknya masuk dalam kategori C. Kombinasi kedua analisis ini digunakan untuk menentukan prioritas dalam pengadaan obat, terutama saat anggaran yang tersedia tidak mencukupi, mekanismenya yaitu (Kementerian Kesehatan RI, 2019):
A B C
V VA VB VC
E EA EB EC
N NA NB NC
1. Jika dana terbatas, langkah pertama adalah mengurangi atau menghilangkan obat dalam kategori NA terlebih dahulu. Jika masih diperlukan pengurangan, maka obat kategori NB menjadi prioritas berikutnya, diikuti oleh kategori NC.
2. Jika setelah langkah ini anggaran tetap tidak mencukupi, maka pendekatan serupa dilakukan pada obat dalam kategori EA, EB, dan EC, dengan memulai pengurangan dari kategori yang dianggap paling tidak prioritas.
Pengendalian persediaan obat bertujuan untuk memastikan ketersediaan obat sesuai dengan kebutuhan rumah sakit, mencegah kekurangan atau kelebihan stok, serta mengelola obat yang hilang, rusak, atau kedaluwarsa. Beberapa langkah untuk mengatasi kekurangan obat meliputi (Kementerian Kesehatan RI, 2019):
a. Mengganti obat dengan alternatif yang memiliki zat aktif yang sama atau dalam kelas terapi yang serupa dengan persetujuan dokter yang bertanggung jawab
b. Rumah sakit dapat memperoleh obat dari apotek atau rumah sakit lain yang memiliki perjanjian kerja sama.
c. Jika obat yang diperlukan tidak tercantum dalam Formularium Nasional dan tidak tersedia dalam e-katalog, penggunaannya dapat disetujui oleh Ketua Komite Farmasi dan Terapi (KFT) dengan persetujuan komite medik atau Direktur rumah sakit.
d. Pengadaan obat di luar Formularium Nasional dan e-katalog harus mengikuti regulasi yang berlaku, seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
e. Obat yang tidak tercantum dalam Formularium Nasional atau e-katalog dapat dimasukkan dalam Formularium Rumah Sakit untuk memastikan ketersediaannya di kemudian hari.
Pengendalian penggunaan obat bertujuan untuk memantau jumlah penerimaan dan pemakaian obat agar kebutuhan dalam satu periode dapat dipenuhi dengan tepat.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan meliputi (Kementerian Kesehatan RI, 2019):
a. Perhitungan pemakaian rata-rata dalam periode tertentu, yang disebut sebagai stok kerja.
b. Menentukan:
1. Stok optimum, yaitu jumlah obat yang tersedia di unit pelayanan untuk menghindari kekurangan
2. Stok pengaman, yaitu stok yang disiapkan sebagai cadangan jika terjadi keterlambatan pengiriman atau kendala lain yang tidak terduga, misalnya karena keterlambatan pengiriman.
3. Memperhitungkan waktu tunggu (lead time), yaitu durasi dari proses pemesanan hingga obat diterima
4. Mengidentifikasi potensi waktu kekosongan obat agar dapat segera diantisipasi.
Cara pengendalian dapat dilakukan dengan menggunakan safety stock, stok maksimal dan minimal, ROP, EOQ, EOI, dan stok optimum, sebagai berikut:
Economic Order Quantity (Maulana et al., 2024)
EOQ = 2 (π·.π)π»
Keterangan:
- EOQ = Jumlah pesanan dengan total nilai stok terendah - D = Jumlah kebutuhan barang
- S = Biaya pemesanan atau biaya set-up - H = Biaya penyimpanan
Safety stock (Maulana et al., 2024)
SS = Ca x Lt Keterangan:
- SS = Safety stock
- Ca = Rata-rata penggunaan sehari atau sebulan - Lt = Waktu tunggu barang (Lead time)
Reorde point (Maulana et al., 2024)
ROP = (Ca x Lt) + SS Keterangan:
- ROP = Reorder point
- Ca = Rata-rata penggunaan sehari atau sebulan - Lt = Waktu tunggu barang (Lead time)
- SS = Safety stock Economic Order
Interval (Ariesty et al., 2016)
EOI = π»π·2π
Keterangan:
- EOI = Interval waktu optimal antara satu pemesanan dan pemesanan berikutnya.
- D = Jumlah kebutuhan barang
- S = Biaya pemesanan atau biaya set-up
- H = Biaya penyimpanan Stok maksimal
(Ariesty et al., 2016)
Stok maksimum = Smin + (Ca x PP) Keterangan:
- Smin = Stok minimum
- Ca = Rata-rata penggunaan sehari atau sebulan - PP = Periode pengadaan
Stok minimal (Ariesty et al., 2016)
Stok minimum = (Ca x Lt) + SS Keterangan:
- Ca = Rata-rata penggunaan sehari atau sebulan - Lt = Waktu tunggu barang (Lead time)
- SS = Safety stock Stok optimum
(Kementerian Kesehatan RI, 2019)
SO = SK + SWK + SWT + Buffer stock Keterangan:
- SO = Stok optimum
- SK = Stok kerja (stok pada periode berjalan)
- SWK = Stok waktu kosong (jumlah yang dibutuhkan pada waktu kekosongan obat)
- SWT = Stok waktu tunggu (jumlah yang dibutuhkan pada waktu tunggu (lead time)
- Buffer stok = Stok pengaman
DAFTAR PUSTAKA
Ariesty, A. and Andari, T.T. (2016) βMetode Economic Quantity Interval (EOI) untuk optimalisasi persediaan barang consumable Adem Sari Chingku pada PT Sari Enesis Indah Ciawi Bogorβ, Jurnal Visionida, 2(1), pp. 1β14.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013) Pedoman penerapan kajian farmakoekonomi. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2019) Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Maulana, A.T., Shaliha, K.Z., Siahaan, M.J.A., Wilatikta, J.W. and Lestari, M.A. (2024)
βAnalisis penerapan Economic Order Quantity (EOQ) untuk efisiensi pengelolaan bahan bakuβ, Jurnal Ekobistek, 13(4), pp. 167β172.
Melviani, Ziasti Fricilia, O., Rachman, F. I., and Munawarah (2021) Perbandingan pengukuran nilai willingness to pay per quality adjusted life year terapi penyakit moderate berdasarkan pendapatan masyarakat di kota Banjarmasin. Fakultas Kesehatan, Universitas Sari Mulia.
Prodyanatasari, A. (ed.) (2024) Farmakoekonomi. Malang: Future Science Publisher.
Wulandari, C., Setiani, L.A., Zunnita, O. and Ikramin, M. (2023) βCost effectiveness analysis kombinasi obat antihipertensi pada pasien hipertensi rawat jalan di RSUP Fatmawati Jakarta periode 2020β, Jurnal Farmamedika (Pharmamedika Journal), 8(2), pp.
200β208.
.