T.1.2 Resume
Nama : Gita Amalia Pratiwi NIM : 24811139
Kelompok : C
Faktur penjualan merupakan dokumen yang digunakan sebagai bukti transaksi penjualan barang atau jasa, yang mencantumkan jumlah yang harus dibayarkan oleh pelanggan setelah melakukan pembelian. Dokumen ini berisi informasi mengenai kuantitas barang atau jasa yang dibeli, harga per unit, serta total tagihan yang harus dibayarkan. Selain itu, faktur juga berfungsi sebagai bukti penagihan yang mencantumkan rincian harga serta tanggal jatuh tempo pembayaran. Setiap transaksi dalam suatu perusahaan biasanya memiliki format faktur yang bervariasi, tergantung pada kebutuhan bisnisnya. Beberapa elemen utama yang terdapat dalam faktur meliputi nomor urut faktur sebagai identifikasi unik, nomor pesanan yang berkaitan dengan transaksi, serta informasi mengenai surat jalan atau kode transaksi pengiriman barang. Selain itu, faktur juga mencantumkan deskripsi barang atau jasa yang ditransaksikan, subtotal sebagai jumlah keseluruhan sebelum pajak atau diskon, serta diskon dan biaya pengiriman jika ada. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga dapat dimasukkan dalam faktur, sebelum akhirnya dihitung total biaya yang harus dibayarkan oleh pelanggan (Yanuar dan Fitriani, 2022).
Penentuan harga obat di setiap apotek dapat bervariasi, namun umumnya didasarkan pada perhitungan Harga Netto Apotek (HNA) ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dengan atau tanpa penerapan diskon. Harga jual apotek (HJA) dapat dihitung dengan rumus HJA = HNA × PPN × margin keuntungan + E untuk obat tanpa resep, sedangkan untuk obat dengan resep, rumusnya menjadi HJA = HNA × PPN × margin keuntungan + tuslah + embalase. HNA merupakan harga obat yang tercantum pada faktur pembelian sebelum dikenakan PPN sebesar 11%. Margin keuntungan adalah persentase keuntungan yang ditentukan oleh masing-masing apotek, sementara tuslah mengacu pada biaya layanan, dan embalase adalah biaya pengemasan per resep. Selain itu, apotek juga harus memperhatikan beberapa faktor lain dalam menentukan harga jual obat, seperti apakah harga pada faktur sudah termasuk PPN atau belum, besaran margin keuntungan, jumlah isi dalam kemasan obat, dasar perhitungan keuangan, serta satuan yang digunakan dalam penjualan (Sabiti, 2016). Dalam menentukan harga jual obat, terdapat berbagai metode yang dapat digunakan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 73/PMK.05/2013 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung, harga obat generik ditetapkan menggunakan skema HNA + PPN, kemudian ditambah margin keuntungan sebesar 15% hingga 25% dari HNA + PPN. Sementara itu, menurut hasil wawancara dengan staf apotek, kisaran margin keuntungan di apotek X berkisar antara 10% hingga 20% (Putri, 2023).
Laporan laba rugi merupakan dokumen yang mencatat seluruh pendapatan dan beban yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut, serta mencerminkan laba atau rugi yang dialami perusahaan dalam suatu periode tertentu. Laporan ini menggambarkan perubahan posisi keuangan yang dihasilkan dari aktivitas operasional perusahaan selama periode tersebut. Tujuan utama dari laporan laba rugi adalah memberikan informasi mengenai kondisi keuangan perusahaan, apakah memperoleh keuntungan atau mengalami kerugian setiap periodenya. Selain itu, laporan ini juga berfungsi untuk menunjukkan jumlah total pajak yang harus dibayarkan oleh suatu entitas bisnis, menjadi bahan evaluasi bagi manajemen dalam menentukan langkah-langkah strategis ke depan, serta memberikan gambaran mengenai efektivitas perusahaan dalam mengelola biaya (Lella, 2024).
Jika laporan laba rugi disusun dalam bentuk bertahap, terdapat tiga elemen utama yang disajikan. Elemen pertama adalah pendapatan, yang mencakup uang, barang, jasa, atau
materi yang diperoleh dalam jangka waktu tertentu, biasanya sebagai hasil dari penggunaan modal atau kontribusi pihak lain. Elemen kedua adalah biaya produksi, mencakup seluruh pengeluaran yang terkait dengan proses produksi, termasuk pengolahan bahan baku hingga menjadi produk jadi. Elemen terakhir adalah keuntungan, yang secara umum didefinisikan sebagai selisih antara pendapatan dan beban yang ditanggung dalam suatu periode tertentu (Lella, 2024). Yang termasuk dalam elemen-elemen tersebut dan tercantum dalam laporan yaitu penjualan bersih (net sales) merupakan pendapatan yang diperoleh perusahaan dari hasil penjualan setelah dikurangi dengan pengembalian penjualan. Harga pokok penjualan (cost of goods sold) mencerminkan biaya yang dikeluarkan perusahaan dalam pengadaan barang. Pada perusahaan manufaktur, biaya ini mencakup biaya produksi, seperti bahan baku, upah tenaga kerja, serta biaya operasional pabrik. Laba kotor (gross profit) menunjukkan keuntungan yang diperoleh sebelum dikurangi dengan biaya operasional. Biaya usaha (operating expenses) terbagi menjadi dua jenis, yaitu biaya penjualan (selling expenses), yang mencakup semua pengeluaran terkait kegiatan pemasaran dan distribusi barang, seperti biaya pengiriman dan promosi, serta biaya umum dan administrasi (general and administration expenses), yang mencakup pengeluaran yang tidak berhubungan langsung dengan aktivitas penjualan, seperti biaya telepon dan gaji karyawan administrasi.
Selanjutnya, laba usaha (operating profit) merupakan keuntungan bersih yang diperoleh dari aktivitas operasional perusahaan. Sebelum dilakukan pemotongan bunga dan pajak, laba yang diperoleh disebut laba sebelum bunga dan pajak (earning before interest and tax).
Setelah dikurangi pajak dan bunga, laba yang diperoleh disebut laba bersih sesudah pajak (earning after tax). Sebagian dari laba tersebut dapat dialokasikan sebagai laba ditahan (retained earnings), yaitu keuntungan yang tetap diinvestasikan dalam perusahaan setelah dilakukan pemotongan pajak oleh pemegang saham (Hidayat, 2018).
Neraca yang juga dikenal sebagai laporan posisi keuangan, adalah laporan yang menunjukkan kondisi keuangan suatu perusahaan pada waktu tertentu. Laporan ini mencerminkan jumlah aset, kewajiban, dan ekuitas perusahaan secara sistematis, sehingga dapat memberikan gambaran jelas mengenai posisi keuangan perusahaan. Secara umum, neraca terdiri dari tiga komponen utama, yaitu aset (aktiva), kewajiban (liabilitas), dan modal (ekuitas). Aset dibagi menjadi dua jenis utama: aset lancar, yaitu aset yang digunakan atau habis dalam satu siklus produksi dan umumnya memiliki umur kurang dari satu tahun, serta aset tetap, yaitu aset yang bersifat tahan lama dan tidak habis dalam satu siklus produksi, tetapi digunakan dalam jangka panjang. Kewajiban dalam neraca mencerminkan utang atau kewajiban perusahaan kepada pihak lain dan terbagi menjadi dua jenis. Kewajiban jangka pendek atau kewajiban lancar adalah utang yang harus dibayarkan dalam waktu satu tahun sejak tanggal neraca, biasanya menggunakan aset lancar yang dimiliki perusahaan. Sementara itu, kewajiban jangka panjang merupakan utang dengan jangka waktu pelunasan lebih dari satu tahun. Ekuitas atau modal sendiri adalah bagian dari kekayaan perusahaan yang berasal dari pemilik dan tidak memiliki batas waktu tertentu dalam penggunaannya. Sumber ekuitas dapat berasal dari modal yang disetorkan oleh pemilik atau dari laba yang ditahan untuk mendukung pertumbuhan perusahaan. Dengan demikian, neraca menjadi laporan penting yang membantu pemangku kepentingan dalam menilai stabilitas keuangan serta kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban dan mengelola sumber daya yang dimilikinya (Riswan and Kesuma, 2014).
Metode yang umum digunakan dalam menentukan biaya penyusutan, yaitu metode garis lurus dan metode saldo menurun ganda. Metode garis lurus berfokus pada faktor waktu dibandingkan dengan tingkat pemanfaatan aset. Metode ini menghitung penyusutan aset tetap dengan mendistribusikan beban secara merata pada setiap periode akuntansi. Beban penyusutan dihitung dengan mengurangi harga perolehan aset dengan nilai sisa, lalu membaginya dengan estimasi umur ekonomis aset tersebut. Metode ini didasarkan pada
beberapa asumsi, seperti nilai ekonomis aset yang menurun secara proporsional di setiap periode, biaya perawatan serta perbaikan yang relatif stabil, serta manfaat ekonomi yang berkurang seiring waktu dengan tingkat penggunaan yang konsisten setiap periode. Metode garis lurus umumnya diterapkan untuk menghitung penyusutan pada aset seperti gedung, perabotan, dan peralatan kantor, dengan rumus: Penyusutan = Harga perolehan aset- nilai residu / taksiran umur ekonomis. Sementara itu, metode saldo menurun ganda menentukan penyusutan berdasarkan persentase umur ekonomis aset terhadap nilai buku aset tersebut, bukan berdasarkan biaya perolehannya. Hal ini menyebabkan beban penyusutan yang lebih besar pada tahun-tahun awal dan semakin menurun pada periode berikutnya. Metode ini sering digunakan untuk tujuan perpajakan karena memberikan pembebanan penyusutan yang lebih besar pada awal masa penggunaan aset. Perhitungannya dilakukan dengan mengalikan nilai buku aset pada awal tahun dengan tarif penyusutan yang telah ditentukan. Tidak seperti metode garis lurus yang membebankan penyusutan terhadap harga perolehan, metode saldo menurun ganda mendasarkan perhitungannya pada nilai buku aset yang terus menurun setiap tahunnya, dengan rumus: Penyusutan = Harga perolehan aset - nilai residu / taksiran umur ekonomis (Salesti, 2015).
Indikator rasio keuangan apotek merupakan metode yang digunakan untuk menilai kinerja keuangan suatu apotek. Rasio keuangan memiliki berbagai manfaat, di antaranya sebagai alat untuk menilai kinerja dan pencapaian perusahaan, sebagai acuan dalam perencanaan, serta sebagai sarana untuk mengevaluasi kondisi keuangan perusahaan. Selain itu, rasio keuangan juga berfungsi sebagai sumber informasi bagi kreditor dalam memperkirakan potensi risiko yang mungkin dihadapi, serta menjadi dasar penilaian bagi para pemangku kepentingan dalam organisasi (Fadli et al., 2023). Beberapa indikator yang digunakan dalam analisis rasio keuangan yaitu rasio likuiditas, rasio solvabilitas, rasio profitabilitas, dan rasio aktivitas.
a. Rasio Likuiditas adalah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya saat jatuh tempo. Kemampuan ini bergantung pada jumlah aset likuid yang dimiliki perusahaan (Riyanto, 2010). Beberapa rasio yang digunakan untuk menilai likuiditas meliputi (Litamahuputty, 2021):
- Current Ratio (Rasio Lancar), yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam melunasi kewajiban jangka pendeknya dengan aset lancar yang dimiliki dengan nilai keberterimaan 2-3,8, dengan rumus:
Current Ratio = 𝐴𝑠𝑒𝑡 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟 𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟
- Quick Ratio (Rasio Cepat), yang mengukur sejauh mana aset lancar yang paling likuid dapat digunakan untuk menutupi utang lancar tanpa mempertimbangkan persediaan dengan nilai keberterimaan 1-2, dengan rumus:
Quick Ratio = 𝐴𝑠𝑒𝑡 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟 − 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑎𝑛 𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟
- Cash Ratio (Rasio Kas), yang mengevaluasi jumlah kas dan saldo bank yang tersedia untuk membayar kewajiban lancar perusahaan, dengan rumus:
Cash Ratio = 𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟𝐾𝑎𝑠 + 𝐵𝑎𝑛𝑘
b. Rasio Solvabilitas, yaitu rasio yang digunakan untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangan jangka pendek maupun jangka panjang.
Perusahaan yang memiliki aset atau kekayaan yang cukup untuk melunasi seluruh
utangnya disebut perusahaan yang solvable. Rasio yang termasuk dalam kategori ini yaitu Debt to Assets Ratio (DAR), yang mengukur persentase dana yang berasal dari utang dan menunjukkan sejauh mana utang dapat ditutupi oleh aset. Semakin tinggi rasio ini, semakin baik kondisi keuangan perusahaan, karena total aset harus lebih besar dibandingkan dengan total utang, dengan rumus (Litamahuputty, 2021):
Debt to Asset Ratio = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡 𝑥 100%
c. Rasio Profitabilitas mencerminkan kemampuan suatu perusahaan dalam menghasilkan laba selama periode tertentu. Profitabilitas perusahaan dapat diukur dengan membandingkan laba yang diperoleh dalam suatu periode dengan jumlah aset atau modal yang dimilikinya. Beberapa rasio yang dapat digunakan untuk menilai profitabilitas adalah sebagai berikut (Rosalina & Dachi, 2024):
- Nett Profit Margin (NPM) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur persentase laba bersih terhadap penjualan. Standar yang diterima untuk NPM adalah sebesar 20%, dengan rumus:
NPM = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ
𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑥 100%
- Gross Profit Margin (GPM) adalah rasio yang mengukur persentase laba kotor terhadap penjualan bersih. Standar yang umum digunakan untuk GPM adalah sebesar 28%, dengan rumus:
GPM = 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐾𝑜𝑡𝑜𝑟 𝑥 100%
d. Rasio Performance merupakan indikator lain yang digunakan untuk menilai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dalam periode tertentu. Profitabilitas suatu perusahaan dapat diketahui dengan membandingkan laba yang diperoleh dalam suatu periode dengan jumlah aset atau modalnya. Rasio yang digunakan antara lain (Rosalina &
Dachi, 2024) (Litamahuputty, 2021):
- Return on Equity (ROE), yang mengukur tingkat keuntungan yang dihasilkan perusahaan dari modal sendiri, dengan rumus:
ROE = 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 − 𝐻𝑃𝑃
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑥 100%
- Return on Assets (ROA), yang mengevaluasi sejauh mana total dana yang ditanamkan dalam aset mampu menghasilkan keuntungan bagi perusahaan, dengan rumus:
ROA = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑗𝑎𝑘
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑒𝑡 𝑥 100%
e. Rasio aktivitas adalah rasio yang digunakan untuk menilai sejauh mana perusahaan mampu mengelola asetnya guna menghasilkan arus kas masuk. Rasio ini berfungsi sebagai indikator efektivitas penggunaan aset dalam operasional perusahaan. Menurut Tyas et al. (2023), terdapat beberapa jenis rasio aktivitas yang umum digunakan untuk mengukur efisiensi perusahaan dalam memanfaatkan asetnya, antara lain (Tyas et al, 2023):
- Perputaran Total Aktiva (Total Assets Turnover), yaitu rasio yang mengukur seberapa efektif perusahaan dalam memanfaatkan seluruh asetnya untuk menghasilkan pendapatan dari penjualan. Semakin tinggi rasio ini, semakin baik karena menunjukkan bahwa aset dapat digunakan secara lebih efisien dalam menghasilkan laba dan mendukung perputaran bisnis yang optimal., dengan rumus:
Total Assets Turnover = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛
- Perputaran Modal Kerja (Working Capital Turn Over), yaitu rasio yang mengindikasikan efektivitas pengelolaan modal kerja perusahaan dalam suatu periode
tertentu. Jika rasio ini rendah, hal tersebut dapat menandakan adanya kelebihan modal kerja. Sebaliknya, rasio yang tinggi menunjukkan tingginya perputaran persediaan atau piutang. Standar industri menetapkan bahwa nilai yang baik adalah di atas 6 kali, sedangkan di bawah angka tersebut dianggap kurang sehat., dengan rumus:
Working Capital Turn Over = 𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛
- Perputaran Aktiva Tetap (Fixed Assets Turnover), yaitu rasio yang digunakan untuk mengetahui apakah perusahaan telah mengoptimalkan penggunaan aktiva tetapnya. Standar industri menyatakan bahwa nilai yang baik adalah di atas 5 kali, yang menandakan bahwa perusahaan memanfaatkan aset tetapnya dengan efisien, dengan rumus:
Fixed Assets Turnover = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝑇𝑒𝑡𝑎𝑝𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛
- Perputaran Persediaan (Inventory Turn Over), yaitu rasio yang menunjukkan frekuensi pergantian persediaan dalam satu tahun. Semakin kecil angka rasio ini, semakin buruk kondisi perputaran persediaan. Sebaliknya, rasio yang tinggi menandakan bahwa persediaan bergerak dengan baik. Standar industri menetapkan bahwa jika angka perputaran berada di bawah 20 kali, maka kondisi tersebut dianggap kurang baik, sedangkan di atas 20 kali dinilai sebagai kondisi yang sehat, dengan rumus:
Inventory Turnover = 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛𝐻𝑃𝑃
- Perputaran Piutang (Receivable Turnover), yaitu rasio yang berfungsi untuk menilai kecepatan perusahaan dalam menagih piutang dalam suatu periode. Semakin tinggi angka perputaran, semakin baik karena menunjukkan bahwa dana yang tertanam dalam piutang dapat berputar dengan cepat. Standar industri menyatakan bahwa nilai di atas 15 kali dianggap baik, sedangkan di bawah angka tersebut menandakan kondisi perusahaan kurang optimal dalam mengelola piutangnya, dengan rumus:
Receivable Turnover = 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝐾𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡 𝑅𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑝𝑖𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔
Pajak penghasilan perusahaan adalah pajak yang dikenakan atas pendapatan yang diterima oleh badan usaha atau perusahaan. Jika perusahaan memiliki omset di bawah Rp4,8 miliar, maka dikenakan PPh final sebesar 0,5% dari total omset. Sedangkan bagi perusahaan dengan omset lebih dari Rp4,8 miliar, tarif pajak yang berlaku adalah 22% untuk pendapatan antara Rp4,8 miliar hingga Rp50 miliar. Namun, terdapat fasilitas pengurangan pajak sebesar 50% untuk pendapatan hingga Rp4,8 miliar. Pembayaran pajak ini dapat dilakukan secara mencicil setiap bulan, yang dikenal sebagai PPh 25. Sejak tahun 2020, tarif pajak badan ditetapkan sebesar 22%. Contoh perhitungan (Presiden Republik Indonesia, 2018):
1. Pajak perusahaan dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun dikenakan tarif pajak final sebesar 0,5% dari total omzet. Jika sebuah perusahaan memperoleh pendapatan sebesar Rp3 miliar dengan laba Rp200.000.000, maka pajak yang harus dibayarkan dihitung sebagai berikut:
0,5% × 3.000.000.000 = Rp15.000.0000,
2. Pajak perusahaan dengan omzet antara Rp4,8 miliar hingga Rp50 miliar per tahun dikenakan tarif 22% dari laba kena pajak. Sebagai contoh, apabila sebuah perusahaan memiliki pendapatan sebesar Rp 6 miliar dengan laba Rp 300.000.000, maka perhitungan pajaknya dilakukan dalam dua tahap:
- Untuk bagian laba hingga Rp4,8 miliar, tarif pajak yang dikenakan dengan fasilitas pajak 50%:
4,8 𝑀
6 𝑀 𝑥 300. 000. 000 𝑥 22% 𝑥 50% = 26. 400. 000
- Untuk bagian laba yang melebihi Rp4,8 miliar, dikenakan tarif pajak 22% penuh:
1,2 𝑀
6 𝑀 𝑥 300. 000. 000 𝑥 22% = 13. 200. 000
Total pajak penghasilan yang harus dibayarkan perusahaan adalah Rp39.600.000
DAFTAR PUSTAKA
Fadli, F., Zaini, M., Noviyanto, F., Sari, L. & Putri, D.R. (2023) Manajemen apotek.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2013) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 73/PMK.05/2013 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Kementerian Kesehatan.
Lella, A. (2024) ‘Analisis Laporan Laba Rugi PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk Periode 2018-2022’, CiDEA Journal, 2(2), pp. 132–138.
Litamahuputty, J.V. (2021) ‘Analisis Kinerja Keuangan Koperasi Berdasarkan Rasio Likuiditas, Solvabilitas dan Profitabilitas’, Jurnal Ekonomi, Sosial & Humaniora, 2(08), pp. 66-73.
Presiden Republik Indonesia (2018) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Jakarta:
Presiden Republik Indonesia.
Putri, C.N. & Safitri, R.A.N. (2023) ‘Penerapan Konsep Harga Obat Menurut Perspektif Islam dalam Pelayanan Kefarmasian di Apotek’, Sunan Kalijaga: Islamic Economics Journal, 2(2).
Riswan & Kesuma, Y.F. (n.d.) Analisis Laporan Keuangan sebagai Dasar dalam Penilaian Kinerja Keuangan PT. Budi Satria Wahana Motor. Universitas Bandar Lampung.
Rosalina, R. & Dachi, A. (2024) ‘Analisis Rasio Net Profit Margin dan Gross Profit Margin dalam Mengukur Kinerja Keuangan PT. Lippo General Insurance Tbk, Jakarta’, Jurusan Manajemen, STIE MBI, Depok Jawa Barat.
Salesti, J. (2015) ‘Analisis Efektivitas Metode Penyusutan Aktiva Tetap Pada Laba Perusahaan: Studi Kasus PT. Labberu Tahun 2011-2013’, Measurement Jurnal Akuntansi, 9(2).
Tyas, K.Z., Dewanty, A.R., Sechan, C. & Mukharomah, I.N. (2023) ‘Analisis Rasio Aktivitas untuk Menilai Kinerja Keuangan pada PT Adaro Minerals Indonesia Tbk yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia’, Jurnal Ekonomi dan Manajemen, 2(2).
Yanuar, A.D. & Fitriani, R. (2022) ‘Prosedur dan Alur Invoice Supplier CV. Karjum Jaya Mandiri’, Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 8(3), pp. 35-41.